Kemenkeu Siapkan Cukai Baru untuk Snack Tinggi Garam

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji perluasan objek cukai dengan menyasar produk pangan olahan bernatrium (P2OB) seperti makanan ringan dalam kemasan. Kebijakan ini masuk dalam rencana program pengelolaan penerimaan negara tahun anggaran 2026.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan, usulan cukai terhadap produk pangan tinggi natrium merupakan bagian dari strategi ekspansi barang kena cukai. “Rekomendasi kepada ekspansi barang-barang kena cukai,” ujar Anggito saat rapat bersama Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

Rekomendasi ini masuk dalam output kebijakan administratif yang dirancang untuk mengoptimalkan penerimaan negara secara adil, sehat, dan berkelanjutan. Selain itu, Kemenkeu juga merancang strategi lain seperti optimalisasi potensi perpajakan berbasis data dan media sosial, penguatan regulasi perpajakan dan PNBP, serta penyempurnaan proses ekspor-impor dan logistik.

Produk pangan olahan tinggi natrium telah menjadi bahan kajian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sejak 2024. DJBC menilai, konsumsi garam berlebih dari makanan olahan memiliki dampak jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat.

“Olahan bernatrium ternyata masuk dalam program GGL (gula, garam, lemak) di RPJMN Bappenas. Ini terkait penyakit tidak menular yang lebih berbahaya dari penyakit menular, karena dikonsumsi rutin tanpa disadari,” jelas Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC, Iyan Rubiyanto dalam kuliah umum di PKN STAN, Rabu (24/7/2024).

Selain P2OB, pemerintah juga masih mengkaji potensi cukai atas plastik, bahan bakar minyak (BBM), minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), serta pengalihan pajak barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor ke skema cukai.

Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mengintegrasikan kebijakan fiskal dengan aspek kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, sembari menjaga kesinambungan penerimaan negara. (alf)

 

Pamer Harta di Medsos? Siap-Siap Diintip Fiskus!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini semakin aktif memanfaatkan media sosial sebagai alat pengawasan kepatuhan pajak masyarakat. Strategi ini akan diperkuat pada 2026 mendatang sebagai bagian dari upaya mengoptimalkan penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (14/7/2025), menegaskan pentingnya menggali potensi penerimaan melalui pendekatan data analitik dan pemantauan media sosial.

“Penggalian potensi itu melalui data analytic maupun media sosial,” kata Anggito.

Langkah ini bukan hanya wacana. Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, mengungkapkan bahwa DJP telah menggunakan teknologi crawling yakni pemindaian otomatis terhadap unggahan pengguna di media sosial untuk mendeteksi potensi pajak yang belum tergali.

“Di medsos itu pasti diamati. Model crawling kita lakukan pengawasan, walau belum ada regulasi kita untuk memungut,” jelas Yoga saat media briefing di Kantor Pusat DJP.

Menurutnya, para fiskus aktif mencocokkan informasi kekayaan yang dipamerkan wajib pajak di medsos dengan data yang tercatat dalam sistem administrasi pajak. Bila ditemukan ketidaksesuaian, otoritas akan memberikan edukasi atau peringatan langsung kepada wajib pajak terkait.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, pasti diamati teman-teman pajak,” tegasnya.

Tak hanya pengguna biasa, penerima endorsement juga menjadi sasaran pengawasan. DJP memastikan bahwa aktivitas ekonomi digital yang muncul di media sosial tidak luput dari radar fiskus.

“Kalau endorsement juga sudah kita lakukan banyak pengawasan,” imbuhnya.

Yoga menegaskan, pengawasan ini bertujuan menciptakan kesetaraan dalam kepatuhan perpajakan, baik di dunia nyata maupun digital. Dengan semakin luasnya ekosistem digital, DJP merasa perlu untuk terus beradaptasi.

“Jangan sampai ada yang tidak kena pajak hanya karena aktivitasnya dilakukan secara daring, sementara yang lain tunduk pada kewajiban pajak,” pungkasnya. (alf)

 

Korporasi Kini Bisa Dipidana Pajak dan Dikenai TPPU, Yunus Husein: Saatnya Berburu di Hutan Pajak

IKPI, Jakarta: Penegakan hukum di bidang perpajakan mengalami kemajuan penting dalam beberapa tahun terakhir, terutama dalam menyasar korporasi sebagai subjek hukum yang bisa dijerat pidana. Hal itu ditegaskan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) periode 2002–2010, Yunus Husein, dalam diskusi panel bertajuk “Upaya Penegakan Hukum Dalam Rangka Akselerasi Meningkatkan Penerimaan Pajak”, yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

Dalam paparannya, Yunus menyebut bahwa perkembangan paling signifikan dalam penegakan hukum pajak adalah keberanian otoritas fiskal memproses badan hukum yakni wajib pajak korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan. Menurutnya, paradigma lama yang hanya menyasar individu wajib pajak mulai ditinggalkan.

“Sekarang, wajib pajak korporasi sudah mulai diproses sebagai subjek hukum. Ini bukan hanya karena putusan Mahkamah Agung tahun 2014 yang menegaskan bahwa Pasal 39 Undang-Undang KUP juga berlaku untuk badan, tapi juga karena keberanian fiskus menggunakan instrumen TPPU,” ujar Yunus.

Ia mencontohkan bagaimana Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini mulai menggabungkan pendekatan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), terutama Pasal 3, 4, dan 5, untuk membongkar skema pelanggaran pajak yang terorganisir dan kompleks.

Perampasan Aset Tanpa Terdakwa 

Salah satu pendekatan yang kini banyak digunakan, menurut Yunus, adalah mekanisme non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa kehadiran atau status hukum terdakwa), sebagaimana diatur dalam Pasal 67 UU TPPU dan ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2013.

“Kalau wajib pajak melarikan diri atau bahkan sudah meninggal, asetnya tetap bisa dirampas. Tidak perlu menunggu terdakwa diadili dan divonis bersalah. Ini penting untuk mencegah penghilangan barang bukti dan memulihkan kerugian negara lebih cepat,” jelasnya.

Meski demikian, Yunus mengakui masih ada hambatan implementasi di lapangan. Contohnya dalam kasus wajib pajak yang meninggal dunia, sebagian pengadilan masih ragu menyamakan status hukum dengan buron. Padahal, menurutnya, keduanya sama-sama tidak bisa hadir, dan karena itu pendekatan non-conviction tetap relevan.

Yunus juga mendorong agar aparat penegak hukum lebih berani menggunakan mekanisme in absentia penyidikan dan persidangan tanpa kehadiran terdakwa yang telah diperbolehkan oleh UU HPP maupun UU TPPU.

“Jangan ragu menindak meski wajib pajaknya tidak hadir. Banyak kasus besar seperti Hartawan Aluwi, Bank Century, dan kasus-kasus pajak fiktif, bisa tetap diproses meski pelaku tidak muncul,” ujarnya.

Lebih jauh, ia menyayangkan masih rendahnya tingkat tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisis (LHA) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari PPATK oleh instansi penegak hukum, termasuk DJP.

“Dari ribuan laporan yang kami kirim ke instansi pajak, belum sampai 50 persen yang ditindaklanjuti. Padahal, sebagian besar sudah mengandung indikasi pidana perpajakan yang serius,” ungkapnya.

Jangan Lagi Berburu di Kebun Binatang

Dalam konteks penerimaan negara, Yunus menyoroti bahwa tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10%, jauh di bawah negara-negara ASEAN lain seperti Thailand, Vietnam, atau bahkan Filipina.

Ia mengkritik kebiasaan fiskus yang terlalu fokus pada wajib pajak lama dan terus-menerus “memelototi” Surat Pemberitahuan (SPT) dari pihak yang sama, tanpa menggali potensi pajak dari sektor dan entitas baru.

“Mantan Kabareskrim Polri, Pak Susno Duaji pernah bilang ini seperti ‘berburu di kebun binatang’. Sudah pasti ketemu, tapi ya itu-itu saja. Yang kita butuhkan sekarang adalah keberanian berburu di hutan wajib pajak baru, perusahaan besar, aset-aset gelap yang belum tergali,” ujar Yunus.

Ia menegaskan bahwa sebagian besar potensi penerimaan negara belum tergali secara optimal. Banyak wajib pajak yang selama ini lolos dari radar pengawasan, khususnya dalam bentuk entitas bisnis yang belum memiliki riwayat pelaporan pajak, namun aktif dalam transaksi keuangan bernilai besar.

Yunus menekankan bahwa sinergi antara DJP, PPATK, Kejaksaan, dan Kepolisian menjadi kunci untuk meningkatkan penegakan hukum yang berdampak langsung pada penerimaan negara. Ia juga mengingatkan kembali keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2017 yang mewajibkan instansi penegak hukum menindaklanjuti laporan dari PPATK serta melaporkan hasilnya ke Presiden.

“Pajak adalah tulang punggung keuangan negara. Kalau kita tidak serius menindak pelanggaran pajak dengan instrumen hukum yang tersedia, bagaimana kita bisa membangun tanpa utang?,” kata Yunus. (bl)

 

Dirjen Pajak Siapkan Tiga Gebrakan, Perkuat Pengawasan & Penegakan Hukum

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa upaya perluasan basis pajak bukan satu-satunya fokus Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (14/7/2025), ia mengungkapkan tiga strategi utama yang tengah difinalisasi DJP untuk mendongkrak penerimaan negara.

“Kita sedang merencanakan dan memfinalisasi beberapa kebijakan, mulai dari pengenaan pajak atas transaksi aset kripto, penunjukan lembaga jasa keuangan untuk bullion, hingga digitalisasi transaksi lintas negara melalui platform luar negeri,” papar Bimo.

Ketiga inisiatif tersebut disebut sebagai bagian dari transformasi kebijakan perpajakan era digital. Untuk mendukung implementasinya, DJP menggelontorkan anggaran sebesar Rp8,62 miliar, meski kebutuhan riil mencapai Rp10,33 miliar.

Namun, Bimo tak hanya mengejar potensi pajak dari sektor digital dan investasi. Ia menegaskan pentingnya penguatan fungsi pengawasan dan penegakan hukum guna menutup celah kejahatan fiskal.

“Kami bekerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan Agung, KPK, dan lembaga lain untuk mengawasi praktik ekonomi ilegal maupun aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy),” ujarnya.

Menurutnya, dalam berbagai kegiatan penegakan hukum, selalu terdapat potensi pajak yang belum dipungut negara. Karena itu, DJP tidak hanya menunggu, tetapi aktif masuk melalui kerja sama audit bersama (join audit) dan pendekatan hukum yang adil.

“Tujuan kami jelas, mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan kuat, bukan sekadar mengejar target semata,” tutup Bimo.

Langkah DJP di bawah kepemimpinan Bimo menandai arah baru yang lebih progresif, dengan menyeimbangkan perluasan basis pajak dan penguatan pengawasan sebagai fondasi sistem perpajakan modern. (alf)

 

Wamenkeu Anggito Cari Tahu Tentang Pajak Lainnya yang Melonjak Hingga 1.300%

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengaku heran dengan lonjakan luar biasa penerimaan dari pos “pajak lainnya” dalam APBN 2025. Pasalnya, berdasarkan dokumen Prognosis Semester II APBN 2025, penerimaan dari komponen tersebut diprediksi meroket menjadi Rp109,3 triliun melampaui target awal yang hanya Rp7,8 triliun atau naik hampir 1.301,2%.

“Pajak lainnya itu apa maksudnya ya? Enggak tahu ya, enggak ada pajak lainnya itu ya, saya coba cek dulu ya,” kata Anggito saat ditemui di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (14/7/2025).

Pernyataan itu mencerminkan kebingungan yang juga dirasakan banyak pihak, mengingat “pajak lainnya” selama ini merupakan pos dengan kontribusi kecil terhadap total penerimaan negara. Namun kini, nilainya diprediksi menyalip komponen utama seperti PPh maupun PPN yang justru mengalami kontraksi.

Sebagaimana diketahui, pajak lainnya memang menjadi komponen dengan nilai terkecil dalam target awal, namun akan menjadi setoran yang paling optimal pada tahun ini, selain setoran pajak bumi dan bangunan yang juga diramal naik dari target Rp 27,1 triliun menjadi Rp 30,1 triliun.

Adapun komponen pajak lainnya yang melorot di antaranya pajak penghasilan (PPh) dari target Rp 1.209,3 triliun menjadi hanya Rp 1.041,6 triliun, serta PPN dan PPnBM dari Rp 945,1 triliun menjadi hanya Rp 895,9 triliun. (alf)

 

 

 

Kemenkeu Bentuk Direktorat Baru Demi Selamatkan PNBP yang Tergerus Danantara

IKPI. Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi membentuk direktorat baru untuk menggenjot penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sempat anjlok akibat pengalihan dividen BUMN ke entitas khusus bernama Danantara. Nilai dana yang dialihkan tak main-main: mencapai Rp90 triliun.

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Luky Alfirman, mengungkapkan pembentukan unit baru ini merupakan bagian dari langkah strategis menyikapi turunnya kontribusi dividen BUMN terhadap PNBP tahun 2025.

“Dividen yang dulu masuk PNBP, sekarang sebagian dialihkan untuk Danantara. Itu membuat angka PNBP kita merosot,” ujar Luky dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Senin (14/7/2025).

Untuk itu, Kemenkeu menghadirkan Direktorat Potensi dan Pengawasan PNBP, yang akan memperkuat koordinasi dengan dua direktorat lain: Direktorat PNBP Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan (SDA dan KND) serta Direktorat PNBP Kementerian/Lembaga (K/L).

“Direktorat baru ini akan fokus menggali potensi, menyusun strategi pengawasan, dan mengakselerasi kerja sama antarunit dalam mengamankan serta memperluas sumber-sumber PNBP,” jelas Luky.

Selain itu, untuk menopang kinerja lembaga baru ini, Kemenkeu juga menunjuk tenaga pengkaji bidang PNBP dan menghadirkan staf ahli khusus PNBP sebagai penguatan struktur kelembagaan.

Tak hanya soal struktur, Luky juga menyoroti kebutuhan anggaran. Ia menyampaikan bahwa pagu indikatif Ditjen Anggaran tahun 2026 sebesar Rp24,74 miliar dirasa belum cukup. Ia mengusulkan tambahan dana hingga menyentuh Rp45,30 miliar.

Tambahan anggaran sekitar Rp20,56 miliar itu, menurutnya, akan digunakan untuk tiga hal penting:

• Mendukung kebijakan direktif Presiden Prabowo Subianto dalam pengelolaan APBN senilai Rp8,02 miliar,

• Mendorong pencapaian target penerimaan sebesar Rp6,04 miliar,

• Membiayai kebutuhan dasar Direktorat Eselon II baru senilai Rp6,50 miliar.

Dengan kombinasi penguatan kelembagaan dan tambahan pendanaan, Luky optimistis potensi PNBP yang selama ini belum tergarap maksimal bisa mulai dikapitalisasi lebih optimal pada 2026. (alf)

 

 

Tegas! Dirjen Pajak Pecat Tujuh Pegawai Sejak Mei 2025

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengambil langkah tegas dalam memperkuat integritas lembaganya. Sejak menjabat pada Mei 2025, Bimo mengungkapkan telah memecat tujuh pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang terbukti melakukan pelanggaran.

“Kami sudah memecat tujuh orang selama kepemimpinan kami dari Mei kemarin,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI, Senin (14/7/2025).

Bimo menegaskan, DJP akan terus memperkuat fondasi etika dan moral aparatur pajak sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun kepercayaan publik.

“Zero tolerance terhadap fraud. Kami tidak pandang bulu. Fraud Rp100 pun kami akan tindak,” tegasnya.

Langkah bersih-bersih ini, menurut Bimo, merupakan bagian dari upaya membangun institusi pajak yang profesional, humanis, dan berwibawa. Ia meyakini bahwa kepercayaan wajib pajak hanya dapat dibangun dengan keteladanan dari internal DJP sendiri.

“Jika publik percaya, maka kepatuhan sukarela akan tumbuh. Itu kunci optimalisasi penerimaan pajak 2026,” imbuhnya.

Saat ini, DJP memiliki 43.993 pegawai yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, mencakup 34 kantor wilayah, 352 Kantor Pelayanan Pajak (KPP), 204 KP2KP, dan 4 Unit Pelaksana Teknis (UPT). Mayoritas pegawai DJP adalah lulusan sarjana hingga pascasarjana. (alf)

 

 

 

Anggota IKPI Diimbau Aktif Hadiri Kegiatan Cabang untuk Penuhi SKP PPL Tidak Terstruktur

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, menegaskan bahwa kehadiran anggota dalam kegiatan luring yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang dapat diakui sebagai bagian dari perolehan SKP Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) Tidak Terstruktur (NTS).

Hal ini disampaikan Robert menyusul adanya pertanyaan dari sejumlah pengurus dan anggota terkait pengakuan SKP PPL atas partisipasi dalam kegiatan cabang, seperti rapat anggota, seminar lokal, atau diskusi keorganisasian.

“Berdasarkan Pasal 8 ayat (11) Anggaran Rumah Tangga IKPI, anggota tetap wajib menghadiri Rapat Anggota Cabang minimal satu kali dalam satu tahun. Kehadiran ini tidak hanya bentuk pemenuhan kewajiban organisasi, tetapi juga bisa menjadi bagian dari SKP PPL Tidak Terstruktur,” kata Robert, Senin (14/7/2025).

Ia menambahkan, SKP PPL Tidak Terstruktur mencakup berbagai bentuk keterlibatan aktif anggota dalam kegiatan profesional non-formal, termasuk kegiatan yang diadakan oleh cabang IKPI.

Untuk itu, Robert mengimbau seluruh jajaran pengurus dan anggota agar:

• Menjadikan kehadiran dalam kegiatan cabang sebagai bagian dari perencanaan pengumpulan SKP PPL

• Pengurus Pusat hingga Dewan Penasihat agar turut hadir di kegiatan cabang sebagai bentuk keteladanan kepada anggota.

• Pengurus Cabang diharapkan menyelenggarakan kegiatan lebih dari satu kali dalam setahun agar memberi kesempatan lebih luas kepada anggota dalam mengumpulkan SKP PPL

• Seluruh anggota diingatkan untuk aktif hadir dalam kegiatan cabang guna memenuhi kewajiban sebagai anggota sekaligus mendukung proses pengembangan profesional.

“Dengan mengikuti kegiatan cabang secara aktif, anggota tidak hanya menunjukkan komitmen terhadap organisasi, tetapi juga dapat memperoleh SKP PPL secara berkelanjutan sesuai ketentuan,” ujarnya.

Robert mengungkapkan, SKP PPL merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga kompetensi dan profesionalisme konsultan pajak. IKPI terus mendorong agar seluruh anggotanya dapat memenuhi syarat hal ini secara konsisten melalui berbagai jalur, baik terstruktur maupun tidak terstruktur. (bl)

Kemenkeu Gelar Program E-Learning Gratis untuk Calon Peserta USKP 2025, Sertifikat OA Jadi Prioritas Pendaftaran

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Pusat Pembinaan Jabatan Fungsional dan Penjaminan Mutu (PPJFP) kembali menghadirkan Program E-Learning Open Access (OA) secara gratis bagi calon peserta Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) tingkat A dan B untuk periode I dan II tahun 2025. Langkah ini merupakan hasil kolaborasi antara PPJFP, Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP), dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak.

Mengutip dari pengumuman PPJFP Nomor PENG-3/PP.7/2025, Kementerian Keuangan, Senin (14/7/2025), tentang Program E-Learning Open Access.

Program OA ini dirancang guna meningkatkan kualitas dan kesiapan calon konsultan pajak sebelum menghadapi ujian sertifikasi yang menjadi gerbang legalitas profesi.

Program ini akan berlangsung selama sembilan hari, mulai 15 hingga 23 Juli 2025, dan dapat diakses oleh masyarakat melalui laman resmi klc2.kemenkeu.go.id. Peserta hanya perlu menggunakan akun Gmail untuk login dan mengikuti seluruh modul pembelajaran daring.

Berikut jenis program OA yang tersedia:

• Tingkat A: E-Learning Dasar-Dasar Perpajakan Bagi Masyarakat Umum Tingkat A (Kode Join: 101010)
Tautan program
• Tingkat B: E-Learning Dasar-Dasar Perpajakan Bagi Masyarakat Umum Tingkat B (Kode Join: 202020)

Meski tidak menjadi bagian dari penilaian USKP, peserta yang telah menyelesaikan program dan mengunggah sertifikat OA akan diprioritaskan dalam proses pendaftaran bila jumlah peserta melebihi kuota.

“Open Access ini bukan satu-satunya sumber belajar, namun sangat penting sebagai persiapan awal. Kami tetap mendorong peserta untuk menggali pengetahuan dari berbagai sumber lain,” tulis pengumuman tersebut.

Nantinya, sertifikat kelulusan OA akan tersedia untuk diunduh setelah seluruh modul selesai dikerjakan. Mekanisme unggah sertifikat akan diumumkan lebih lanjut saat pendaftaran resmi USKP dibuka. (bl)

Tok. Hari Ini Shopee dan Tokopedia Resmi Jadi Pemungut PPh Pedagang Online

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai memperketat pengawasan pajak di ranah digital. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menunjuk platform e-commerce besar seperti Shopee, Tokopedia, dan marketplace lainnya sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi pedagang online. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 dan mulai berlaku efektif per 14 Juli 2025.

Aturan anyar ini memberikan mandat kepada platform digital untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri yang berjualan melalui sistem elektronik.

“Pihak lain ditunjuk oleh menteri sebagai pemungut pajak penghasilan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak,” demikian bunyi Pasal 2 Ayat 1 beleid tersebut yang diteken Sri Mulyani pada 11 Juni 2025.

Besaran pungutan pajaknya ditetapkan sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto pedagang. Peredaran bruto didefinisikan sebagai seluruh penghasilan dari usaha sebelum dikurangi potongan apa pun, termasuk potongan tunai dan diskon.

Adapun pedagang online yang terkena kewajiban pemungutan pajak ini di antaranya adalah mereka yang menerima pembayaran melalui rekening bank atau layanan keuangan digital, serta menggunakan alamat IP atau nomor ponsel berkode Indonesia.

Langkah ini disebut-sebut sebagai bentuk adaptasi otoritas pajak terhadap perkembangan ekonomi digital yang terus melaju pesat. Melalui mekanisme ini, Direktorat Jenderal Pajak berharap bisa memperluas basis pajak dan mendorong kepatuhan pelaku usaha digital secara lebih sistematis.

Sementara itu, bagi pelaku UMKM yang khawatir terdampak, pemerintah disebut masih menyiapkan mekanisme pengawasan dan pengenaan yang memperhatikan batas ambang tertentu. (alf)

en_US