DJP Kalselteng Sita 34 Aset Penunggak Pajak Senilai Rp2,83 Miliar

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mengintensifkan penegakan hukum terhadap wajib pajak yang membandel. Terbaru, Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) menyita 34 aset milik penunggak pajak dengan total nilai taksiran mencapai Rp2,83 miliar.

“Sebanyak 34 aset disita dalam penindakan ini, terdiri dari berbagai jenis barang bergerak maupun tidak bergerak,” ungkap Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, saat konferensi pers di Banjarmasin, Rabu (6/8/2025).

Aset-aset tersebut merupakan milik 24 penanggung pajak yang memiliki total tunggakan mencapai Rp34,4 miliar. Langkah penyitaan ini, lanjut Syamsinar, dilakukan setelah DJP menempuh serangkaian upaya persuasif mulai dari imbauan, surat teguran, hingga surat paksa.

Jenis aset yang disita sangat beragam, mulai dari rekening tabungan dan giro, kendaraan bermotor, hingga tanah dan/atau bangunan yang tersebar di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.

Secara geografis, penyitaan paling banyak dilakukan di Kalimantan Selatan. Kantor Pelayanan Pajak (KPP) setempat menyita 22 aset dengan nilai taksiran mencapai Rp1,88 miliar. Sementara itu, KPP di Kalimantan Tengah menyita 12 aset dengan nilai sekitar Rp951 juta.

“Penyitaan ini adalah bentuk komitmen kami dalam menjalankan penegakan hukum perpajakan. Ini juga menjadi peringatan keras bagi wajib pajak lainnya untuk tidak mengabaikan kewajibannya,” tegas Syamsinar.

Ia menambahkan, langkah ini bukan semata untuk menindak, tetapi juga untuk mendorong penyelesaian tunggakan dan memastikan penerimaan negara tetap terjaga.

“Setiap rupiah yang berhasil diamankan akan sangat berarti bagi pembangunan nasional. Kami berharap tindakan ini memberi efek jera dan meningkatkan kesadaran pajak masyarakat,” pungkasnya.

Langkah tegas Kanwil DJP Kalselteng ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas sistem perpajakan dan memastikan keadilan fiskal diterapkan secara konsisten di seluruh penjuru negeri. (alf)

 

DJP Siap Cabut Penunjukan dan Putus Akses Marketplace yang Mangkir Bayar Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menunjukkan ketegasan dalam mengawasi kepatuhan pajak platform digital. Marketplace yang lalai menjalankan kewajiban sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 kini terancam bukan hanya sanksi administratif, tapi juga pemutusan akses secara teknis.

Ketentuan ini ditegaskan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2025, yang memberi DJP wewenang mencabut penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22, baik atas permintaan platform itu sendiri maupun secara jabatan apabila tak lagi memenuhi syarat.

Namun, sikap DJP lebih tegas terhadap platform yang tetap ditunjuk tetapi tidak menjalankan kewajibannya. Setelah proses teguran sesuai regulasi, DJP dapat mengenakan sanksi administratif hingga pemutusan akses terhadap platform tersebut.

“Pihak yang tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perpajakan dapat dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberi teguran,” bunyi aturan dalam Diktum KETIGA beleid tersebut.

Langkah ini menjadi peringatan keras bagi seluruh pelaku usaha digital, baik lokal seperti Tokopedia, Shopee, Bukalapak, maupun global seperti Amazon dan Alibaba. Selama platform memenuhi kriteria tertentu salah satunya memiliki omzet di atas Rp600 juta per tahun maka mereka wajib menjalankan tugas sebagai pemungut PPh Pasal 22.

Penunjukan ini bukan status permanen. Jika trafik atau omzet turun di bawah batas yang ditetapkan, DJP dapat mengakhiri penunjukan tersebut. Namun jika kewajiban tetap diabaikan selama masa penunjukan, konsekuensinya bisa fatal.

Langkah ini sekaligus menunjukkan transformasi DJP dalam menyikapi dinamika ekonomi digital yang terus berkembang, serta upaya untuk menciptakan level playing field yang adil antara pelaku bisnis konvensional dan digital. (alf)

 

 

Pemerintah Tawarkan Super Tax Deduction bagi Perusahaan yang Dukung Riset

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mendorong keterlibatan sektor swasta dalam mendukung kegiatan riset dan pengembangan (R&D) nasional. Dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri 2025 yang digelar di Bandung, Kamis (7/8/2029). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa insentif pajak dalam bentuk super tax deduction disiapkan untuk perusahaan yang berinvestasi di bidang penelitian.

“Kami menyiapkan instrumen fiskal dalam bentuk tax incentive untuk penelitian, yang disebut super tax deduction,” ujar Sri Mulyani di hadapan para peneliti dan pelaku industri, Kamis (7/8/2025).

Ia menjelaskan, insentif ini memungkinkan perusahaan untuk mengurangi beban pajaknya hingga tiga kali lipat dari nilai investasi R&D yang dikeluarkan. “Kalau sebuah perusahaan mengeluarkan Rp 1 miliar untuk penelitian dan pengembangan, maka mereka bisa mengurangi pajaknya hingga Rp 3 miliar,” terangnya.

Langkah ini diharapkan dapat memicu lebih banyak kolaborasi antara industri dan lembaga riset. Sri Mulyani menekankan pentingnya pendekatan yang lebih proaktif dari kalangan peneliti untuk menggandeng mitra industri.

“Saya berharap para peneliti juga bersikap lebih entrepreneurial. Ajak industri untuk kolaborasi. Katakan bahwa kalau mereka keluar Rp 1 miliar untuk penelitian bersama, itu bisa mengurangi pajak sampai tiga kali lipat. Mestinya ini justru menguntungkan,” imbuhnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga saat ini telah tercatat 30 wajib pajak yang mengajukan 224 proposal untuk memanfaatkan insentif super tax deduction. Nilai pengurangan pajak yang diajukan diperkirakan mencapai Rp 1,46 triliun.

Program ini menjadi bagian dari strategi fiskal pemerintah untuk memperkuat ekosistem inovasi nasional, sejalan dengan agenda transformasi ekonomi berbasis pengetahuan. Pemerintah berharap semakin banyak perusahaan yang terlibat aktif dalam membiayai inovasi demi meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. (alf)

 

Stimulus Pajak BBKB Disebut Bisa Dorong Pemulihan Ekonomi dan Ringankan Beban Rakyat

IKPI, Jakarta: Kebijakan Pemerintah Provinsi Bengkulu yang menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dari 10 persen menjadi 7,5 persen menuai apresiasi dari pelaku usaha dan masyarakat. Himpunan Pertashop Merah Putih Indonesia (HPMPI) menyebut langkah tersebut sebagai stimulus pajak yang tepat sasaran dan pro-rakyat, sekaligus mendorong pemulihan ekonomi daerah.

“Alhamdulillah, akhirnya pemerintah daerah membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Kami menyambut hal ini dengan gembira,” ujar Ketua Umum HPMPI Steven di Bengkulu, Kamis (7/8/2015).

Menurut Steven, penurunan tarif PBBKB akan berdampak luas, tidak hanya pada sektor energi, tetapi juga terhadap stabilitas biaya hidup masyarakat dan operasional dunia usaha. Ia menilai kebijakan ini dapat meringankan beban energi masyarakat sekaligus memacu pertumbuhan aktivitas ekonomi di daerah.

Dengan PBBKB yang lebih rendah, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi seperti Pertamax diperkirakan turun sekitar Rp300 per liter. Di SPBU, harga bisa turun dari Rp12.700 menjadi Rp12.500 per liter, bahkan di Pertashop menjadi sekitar Rp12.400 per liter.

Penurunan ini diyakini akan memberikan ruang gerak lebih besar bagi konsumen dan pelaku usaha dalam mengatur pengeluaran mereka.

“Penurunan harga ini adalah bentuk nyata stimulus ekonomi. Beban energi berkurang, daya beli meningkat, dan biaya distribusi bisa ditekan,” jelasnya.

Selain itu, stimulus fiskal melalui penyesuaian tarif pajak ini juga dinilai berkontribusi mengurangi potensi penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Selama ini, disparitas harga antara BBM subsidi dan non-subsidi menjadi pemicu maraknya penjualan eceran ilegal. Dengan selisih harga yang makin kecil, insentif untuk melakukan praktik tersebut akan menurun.

Steven menjelaskan bahwa kondisi ini juga membawa dampak positif bagi konsumen. Mereka akan lebih terlindungi dari risiko membeli BBM oplosan atau takaran tidak tepat. Di sisi lain, penyalur resmi seperti Pertashop mendapat peluang yang lebih sehat dalam bersaing.

Lebih lanjut, HPMPI menilai penurunan PBBKB ini bisa mendorong masyarakat beralih ke BBM berkualitas dan lebih ramah lingkungan. “Selama ini, banyak warga enggan membeli BBM non-subsidi karena selisih harganya terlalu tinggi. Sekarang, dengan selisih yang lebih kecil, masyarakat punya alasan untuk memilih BBM yang lebih baik untuk kendaraan dan lingkungan,” kata Steven.

Sebelum kebijakan ini diterapkan, tarif PBBKB Bengkulu sebesar 10 persen merupakan salah satu yang tertinggi di Sumatera. Hal ini berdampak pada tingginya harga BBM non-subsidi lokal, yang pada akhirnya menekan margin usaha dan daya beli masyarakat.

Kini, dengan tarif 7,5 persen yang lebih kompetitif, Steven berharap akan terjadi perbaikan ekosistem distribusi energi di daerah. Ia juga menyoroti fakta bahwa banyak unit usaha BBM skala kecil yang sempat gulung tikar akibat tingginya tekanan biaya.

“Dari sekitar 210 unit Pertashop di Bengkulu, yang aktif tinggal sekitar 110 hingga 130. Kami berharap penyesuaian tarif ini bisa menghidupkan kembali unit-unit yang tutup, sekaligus membuka jalan bagi ekspansi pelayanan BBM hingga pelosok,” ujarnya.(alf)

 

 

Tolak Diperiksa Pajak? Ini Konsekuensi yang Harus Dihadapi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Penolakan terhadap pemeriksaan pajak bukanlah perkara sepele. Meskipun wajib pajak memiliki hak untuk menyatakan keberatan terhadap pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), namun penolakan tersebut tetap memiliki konsekuensi hukum sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak.

Dalam ketentuan Pasal 15 PMK 15/2025, dijelaskan bahwa apabila wajib pajak, wakil, atau kuasanya tidak bersedia untuk diperiksa, maka mereka diwajibkan menyampaikan surat pernyataan penolakan pemeriksaan paling lambat tujuh hari sejak diterbitkannya surat pemberitahuan pemeriksaan. Surat ini harus ditandatangani oleh pihak yang menolak pemeriksaan.

Namun penolakan tidak hanya terbatas pada penyampaian surat saja. Wajib pajak juga dianggap menolak pemeriksaan apabila setelah tujuh hari sejak dilakukan penyegelan, mereka tetap tidak memberikan akses kepada petugas pajak untuk memasuki tempat yang disegel atau tidak memberikan bantuan yang diperlukan selama proses pemeriksaan.

Jika wajib pajak enggan menandatangani surat pernyataan penolakan, maka pemeriksa pajak akan membuat berita acara penolakan pemeriksaan, yang ditandatangani oleh pemeriksa sebagai dokumentasi resmi.

Bisa Berujung Pemeriksaan Bukti Permulaan

Konsekuensi hukum dari penolakan ini cukup serius. Bila penolakan terjadi dalam rangka pemeriksaan untuk menguji kepatuhan perpajakan, maka berdasarkan Pasal 15 ayat (4), petugas pajak dapat menetapkan besarnya pajak secara jabatan atau bahkan mengusulkan dilakukannya pemeriksaan bukti permulaan apabila terdapat indikasi pelanggaran pidana perpajakan.

Sementara itu, jika pemeriksaan dilakukan untuk tujuan lain (misalnya restitusi atau penerbitan NPWP), dokumen penolakan yang telah dibuat tetap dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam pengambilan keputusan.

Penolakan untuk diperiksa bukan berarti menghentikan langkah DJP. Justru sebaliknya, penolakan ini bisa memperkuat posisi fiskus untuk menetapkan kewajiban pajak secara sepihak. Jika ditemukan bukti awal yang mengarah pada tindak pidana pajak, maka pemeriksaan akan ditingkatkan menjadi proses penegakan hukum yang lebih serius.

Dari sudut pandang regulasi, PMK 15/2025 memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban wajib pajak. Namun ketika hak itu digunakan untuk menolak tanpa dasar yang kuat, maka negara tetap berwenang untuk menjalankan fungsi pengawasannya. (alf)

IKPI Sumbagteng Dorong Transformasi Pajak Daerah Lewat Workshop Coretax

IKPI, Batam: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng) kembali menegaskan komitmennya dalam mendorong transformasi perpajakan daerah melalui kegiatan edukatif yang menyasar sektor pelayanan publik. Kali ini, IKPI Sumbagteng turut ambil bagian dalam Workshop Pemahaman Aplikasi Coretax: Era Baru Perpajakan Indonesia, yang digelar pada 6–9 Agustus 2025 di Aston Hotel Nagoya Thamrin City, Batam.

Workshop ini diikuti oleh 46 bendahara dan petugas pemungut pajak dari Puskesmas di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar, Riau. Acara diselenggarakan oleh Koperasi Pemasaran Batobo KORPRI Kampar, bekerja sama dengan Forum Uji Kompetensi Indonesia (Fortukindo), IKPI, dan Universal Skill.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah)

Ketua IKPI Pengda Sumbagteng, Lilisen, menyampaikan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas digital dan literasi perpajakan di lingkungan pemerintah daerah, terutama di sektor kesehatan. “Dengan pemahaman yang kuat terhadap aplikasi Coretax, diharapkan proses administrasi pajak menjadi lebih efisien, akurat, dan sesuai regulasi terbaru,” ujarnya, Kamis (7/2025).

Menurutnya, pelatihan ini membekali peserta dengan keterampilan teknis dalam menggunakan aplikasi perpajakan terkini, seperti pembuatan e-Faktur, pelaporan PPh 21, PPh Unifikasi, SPT secara real-time, serta penginputan data ke sistem Coretax.

Ia mengakui bahwa transformasi ini tidak lepas dari tantangan, antara lain literasi digital yang masih rendah, kompleksitas regulasi perpajakan terbaru, serta akses internet yang belum merata di daerah.

Komitmen Berkelanjutan

IKPI Sumbagteng menargetkan agar workshop semacam ini menjadi program yang diterapkan di kabupaten/kota lain, di lingkungan Riau dan Sumatera Barat, dengan modul yang terus disesuaikan berdasarkan pemetaan kebutuhan dan regulasi terbaru.

Lilisen juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pajak, lembaga akademik, dan sektor swasta, guna memperkuat tata kelola fiskal daerah.

“Kami juga tengah menghimbau instansi lain untuk melakukan workshop serupa sehingga dapat meningkatan kepatuhan pajak secara signifikan. Harapannya, semangat transparansi dan akuntabilitas fiskal ini bisa menjadi budaya di seluruh unit layanan publik,” ujarnya. (bl)

Pinjol dan Paylater Jadi Penghambat Milenial & Gen Z Miliki Rumah, KPR Tersendat di BI Checking

IKPI, Jakarta: Generasi milenial dan Gen Z kembali mendapat sorotan terkait kesulitan mereka membeli rumah. Bukan hanya karena harga properti yang terus melambung, tetapi juga akibat perilaku konsumtif melalui pinjaman online (pinjol) dan skema buy now pay later (paylater).

Presiden Direktur PT Summarecon Agung Tbk, Adrianto P. Adhi, mengungkapkan bahwa utang dari pinjol maupun paylater kini tercatat dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) atau dikenal dengan BI Checking. Artinya, catatan tersebut akan menjadi pertimbangan utama bank saat seseorang mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

“Banyak calon pembeli rumah yang gagal mendapatkan KPR karena masih punya cicilan pinjol atau paylater. Bahkan ada yang ditolak hanya karena masih mencicil televisi dan kulkas,” kata Adrianto dalam Indonesia Summit 2025 di Jakarta, Rabu (27/8/2025).

Menurutnya, pinjol dan paylater telah mendorong gaya hidup konsumtif yang justru memperparah penurunan daya beli masyarakat, terutama di segmen menengah ke bawah. “Selain tekanan ekonomi dan banyaknya PHK, ancaman paling berbahaya bagi daya beli rumah justru datang dari pinjol,” tegasnya.

Meski demikian, Adrianto menyebut peluang masih terbuka bagi sebagian generasi muda. Data Summarecon mencatat, 62 persen pembeli rumah di kawasan Bekasi berasal dari kalangan milenial, sedangkan 16–17 persen lainnya adalah Gen Z.

Fenomena ini menjadi ironi: di satu sisi, generasi muda memiliki potensi besar sebagai pasar properti, namun di sisi lain, gaya hidup konsumtif melalui pinjol dan paylater justru menjadi batu sandungan terbesar untuk memiliki rumah pertama mereka. (alf)

Ekonom INDEF Soroti Kontradiksi Pertumbuhan Ekonomi dan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dilaporkan mencapai 5,12% pada kuartal II-2025 menuai tanda tanya dari kalangan ekonom. Fadhil Hassan, ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengaku heran dengan angka tersebut karena tak sejalan dengan tren pelemahan pada sejumlah indikator utama perekonomian.

“Dari 12 indikator ekonomi kunci, mayoritas justru menunjukkan perlambatan dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu,” ujar Fadhil dalam diskusi daring, Rabu (6/8/2025).

Ia menyoroti sektor konsumsi rumah tangga, aliran investasi asing langsung (FDI), penyaluran kredit perbankan, hingga maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semestinya menjadi alarm dini bahwa pemulihan ekonomi belum kokoh. “Kondisi-kondisi ini mestinya tercermin dalam angka PDB,” tambahnya.

Pajak Konsumsi Menurun, Tax Ratio Turun

Fadhil juga menggarisbawahi adanya ketidaksinkronan antara klaim pertumbuhan ekonomi dan capaian penerimaan pajak. Data menunjukkan, realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) justru turun signifikan dari Rp332,9 triliun pada semester I-2024 menjadi Rp267,3 triliun di periode yang sama tahun ini.

“Kalau ekonomi benar tumbuh, logikanya penerimaan dari pajak konsumsi juga meningkat. Tapi yang terjadi malah sebaliknya,” tegasnya.

Meski secara bruto penerimaan pajak tumbuh 2,3% menjadi Rp1.087,8 triliun, penerimaan bersih (neto) tercatat turun hingga 7% menjadi Rp831,3 triliun. Hal ini berdampak pada penurunan tax ratio dari 8,4% menjadi hanya 7,1%.

Atas ketimpangan data tersebut, Fadhil mendesak pemerintah agar lebih terbuka dalam menjelaskan metode dan basis data yang digunakan dalam penghitungan pertumbuhan ekonomi nasional.

“Kalau ada kesalahan dalam metodologi atau pencatatan PDB, dampaknya bukan hanya pada kredibilitas data, tetapi juga memperburuk persepsi terhadap kinerja fiskal dan perpajakan,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa ketidaksesuaian antara pertumbuhan ekonomi dan performa penerimaan pajak bukan hal yang sepele. “Ini bisa jadi sinyal bahwa struktur pertumbuhan kita bermasalah, atau ada data yang perlu dikoreksi,” ujarnya. (bl)

 

Belanja APBN Rp 2.121 Triliun Siap Digeber, Sri Mulyani: Harus Bebas Korupsi!

IKPI, Jakarta: Pemerintah masih mengantongi anggaran jumbo senilai Rp 2.121 triliun yang siap digelontorkan dalam enam bulan terakhir 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa belanja negara ini akan difokuskan untuk mengerek laju pertumbuhan ekonomi nasional, asalkan penggunaannya tepat sasaran dan bebas dari praktik korupsi.

“APBN pada semester kedua ini masih memiliki ruang belanja Rp 2.121 triliun. Ini akan kita dorong untuk dibelanjakan hingga akhir tahun guna menjaga momentum pertumbuhan,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (5/8/2025).

Salah satu upaya untuk menjaga geliat ekonomi yakni lewat penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diproyeksikan mencapai Rp 287,8 triliun hingga akhir tahun. Selain itu, pemerintah juga telah menyiapkan tambahan stimulus ekonomi sebesar Rp 10,8 triliun pada kuartal III.

“Stimulus ini kami harapkan bisa mendorong aktivitas ekonomi di Juli dan menjaga momentumnya hingga Agustus,” ujarnya.

Namun, Menkeu menekankan bahwa besarnya anggaran bukan jaminan jika tak diiringi dengan pengelolaan yang baik. Ia mengingatkan seluruh pihak agar belanja APBN dijalankan dengan tata kelola yang akuntabel.

“Yang penting adalah kualitas belanja, bukan hanya kuantitas. Tidak boleh ada penyimpangan atau korupsi. Angka Rp 2.121 triliun harus betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat,” tegasnya.

Di sisi lain, Sri Mulyani juga mengungkap potensi pelebaran defisit APBN 2025 yang diperkirakan mencapai Rp 662 triliun atau setara 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini lebih besar dari target awal yang hanya 2,53%.

“Defisit ini memang melebar, tapi masih dalam batas yang dapat dikelola,” jelasnya saat rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (1/7/2025).

Hingga akhir Juni 2025, realisasi defisit tercatat sebesar Rp 204,2 triliun atau 0,84% dari PDB. Pelebaran ini sebagian besar disebabkan oleh penurunan penerimaan negara, khususnya dari sektor pajak.

Sri Mulyani memproyeksikan pendapatan negara hingga akhir tahun hanya mencapai Rp 2.865,5 triliun, lebih rendah dari target Rp 3.005,1 triliun. Sedangkan belanja negara diperkirakan mencapai Rp 3.527,5 triliun, sedikit lebih rendah dari estimasi awal Rp 3.621,3 triliun.

“Pada kuartal pertama 2025, tekanan terbesar datang dari sisi penerimaan negara, terutama pajak,” jelasnya.

Belanja Jadi Kunci Pemulihan

Di tengah ketidakpastian global dan tekanan fiskal, pemerintah menaruh harapan besar pada belanja negara sebagai motor penggerak ekonomi. Dengan catatan, setiap rupiah yang dibelanjakan harus menghasilkan multiplier effect yang nyata bagi rakyat.

“APBN harus jadi instrumen fiskal yang efektif. Kami ingin memastikan belanja negara bukan hanya terserap, tapi juga produktif dan berkualitas,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

KY Gelar Wawancara Terbuka CHA, Anggota IKPI Dr Arifin Halim Jadi Calon Kuat

IKPI, Jakarta: Komisi Yudisial (KY) memulai tahapan wawancara terbuka terhadap 20 calon hakim agung (CHA) dan 3 calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) Mahkamah Agung (MA), yang digelar sejak Rabu (6/8/2025) hingga Sabtu (9/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Dari sederet nama yang ikut serta, salah satu sorotan jatuh kepada Dr. Arifin Halim, konsultan pajak yang juga anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), masuk menjadi kandidat hakim agung untuk Kamar TUN Khusus Pajak.

Wawancara terbuka ini menjadi tahap akhir dari rangkaian uji kelayakan calon hakim agung yang telah berlangsung sejak April 2025. Ketua KY Amzulian Rifai menegaskan pentingnya tahap ini dalam menggali secara mendalam integritas, visi, serta kompetensi teknis para calon.

“Kami ingin memastikan bahwa para kandidat yang kami rekomendasikan benar-benar memiliki kapasitas, moralitas, dan integritas tinggi,” ujarnya dalam pembukaan acara.

Praktisi Pajak Menuju Kursi MA

Masuknya Dr. Arifin Halim sebagai salah satu dari enam kandidat di kamar pajak menarik perhatian banyak pihak. Sosok yang telah lama berkecimpung sebagai praktisi pajak ini dikenal aktif memberikan edukasi perpajakan serta advokasi kepada wajib pajak. Dengan latar belakang akademik dan pengalaman mendalam dalam bidang hukum pajak, Arifin diharapkan membawa perspektif baru di Mahkamah Agung, khususnya dalam menyelesaikan sengketa pajak yang semakin kompleks.

Selain Arifin, lima nama lain di Kamar TUN Khusus Pajak meliputi hakim pengadilan pajak dan pejabat otoritas pajak, yakni Agus Suharsono, Budi Nugroho, Diana Malemita Ginting, Triyono Martanto, dan Wahyu Widodo.

Menurut Amzulian, keberadaan hakim agung di kamar pajak memiliki peran strategis dalam menciptakan kepastian hukum dan keadilan fiskal di tengah meningkatnya jumlah perkara perpajakan.

“Kami melihat kamar ini sebagai kunci dalam mendukung iklim perpajakan yang adil dan profesional,” ujarnya.

Tahapan wawancara dapat disaksikan masyarakat secara daring melalui kanal YouTube resmi KY. Hal ini merupakan bentuk keterbukaan proses seleksi sekaligus upaya untuk membangun kepercayaan publik terhadap kualitas calon hakim yang akan dipilih.

Sebanyak 23 peserta yang mengikuti wawancara terdiri dari 20 calon hakim agung dan 3 calon hakim ad hoc HAM. Para peserta diuji oleh panelis yang terdiri dari tujuh anggota KY, satu pakar hukum kenegaraan, dan satu pakar teknis hukum sesuai bidang masing-masing.

Seleksi ini dibuka untuk mengisi 17 posisi kosong hakim agung di MA, termasuk lima kursi di Kamar TUN Khusus Pajak, jumlah terbanyak dari semua kamar yang tersedia.

Setelah seluruh proses wawancara selesai, KY akan merumuskan hasil penilaian dan menetapkan nama-nama yang layak untuk diajukan ke DPR RI. Para kandidat yang lolos akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan lanjutan di Komisi III DPR sebelum resmi dilantik sebagai hakim agung.

Dengan masuknya nama Dr. Arifin Halim dalam daftar kandidat, kalangan profesi konsultan pajak memberikan dukungan dan harapan agar perwakilan praktisi juga dapat berkontribusi nyata dalam lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. (bl)

 

 

en_US