Penerapan NIK Jadi NPWP Diterapkan Bersamaan Peluncuran Cortex

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa penerapan Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dijalankan bersamaan ketika sistem pajak canggih diluncurkan.

Rencananya, sistem pajak canggih bernama Coretax system ini akan diluncurkan pada pertengahan tahun depan. Artinya, implementasi secara penuh NIK-NPWP mundur menjadi pertengahan tahun depan, dari sebelumnya 1 Januari 2024.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utama mengatakan, saat ini pihaknya terus melakukan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan agar program reformasi perpajakan ini bisa berjalan optimal pada pertengahan 2024.

“Rencana implementasinya dapat kami sampaikan fully NIK-NPWP saat coretax terimplementasikan. Kami terus lakukan koordinasi dengan para pihak yang interoperable dengan sistem info DJP diantaranya beberapa stakeholder pembayaran yaitu perbankan dan K/L,” ujar Suryo dalam Konferensi Pers APBN KITA, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (24/11/2023).

Suryo bilang, saat ini para stakeholder terus melakukan penyesuaian sistem informasi yang dimiliki sehingga pada waktu implementasi coretax dijalankan, maka sistem-sistem yang seharusnya berkaitan tidak lagi mengalami hambatan.

Menurutnya, pengujian dan habituasi bagi wajib pajak ini dilakukan sehubungan dengan berbagai layanan administrasi pajak dan sistem inti dari pihak lain yang akan terdampak dengan implementasi NIK menjadi NPWP. (bl)

 

Mulai 2024 Skema Perhitungan PPh 21 Gunakan Tarif TER

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan metode penghitungan tarif pajak penghasilan pasal 21 atau PPh 21 karyawan akan berubah mulai Januari 2024. Skema penghitungan akan menggunakan tarif efektif rata-rata (TER).

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menuturkan landasan hukumnya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri keuangan tinggal ditandatangani.

“Insya Allah beberapa saat ke depan akan ditandatangani dan diterbitkan,” kata Suryo dikutip dari keterangannya, Senin (27/11/2023).

Tarif efektif ini tidak hanya berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi karyawan, tetapi juga bagi pegawai kriteria umum serta PNS/TNI-POLRI. Lantas, bagaimana cara hitung PPh menggunakan TER?

Rumus baru penghitungan tarif PPh mendatang ialah TER x Penghasilan Bruto untuk masa pajak selain masa pajak terakhir. Sedangkan, masa pajak terakhir menggunakan tarif Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh, atas jumlah penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan atau pensiun, iuran pensiun, dan PTKP.

Tarif efektif ini sudah memperhitungkan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi setiap jenis status PTKP seperti tidak kawin, kawin, serta kawin dan pasangan bekerja dengan jumlah tanggungan yang telah atau belum dimiliki.

Dengan demikian, dalam format perhitungan TER, akan diiringi dengan terbitnya buku tabel PTKP yang mengacu pada Bab III Pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Dalam tabel itu akan disusun ke bawah jenis status PTKP seperti Tidak Kawin, Kawin, Kawin dan Pasangan bekerja. Kemudian disusun ke samping jumlah tanggungan dengan keseluruhan digunakan simbol TK/0 – TK/3, K/0 – K/3, serta K/I/0 – K/I/3. Sedangkan nominalnya untuk TK/0 sebesar Rp 54 juta, K/0 Rp 58,5 juta, dan K/I/0 Rp 108 juta.

Berdasarkan UU HPP, tarif PPh orang pribadi sendiri telah ditetapkan sebanyak 5 tarif dari yang sebelumnya dalam UU PPh 4 tarif. Penambahan satu lapisan tarif dalam UU HPP untuk penghasilan tertinggi, yaitu Rp 5 miliar ke atas dikenakan tari 35%.

Dengan demikian tarif PPh yang berlaku saat ini untuk penghasilan setahun sampai dengan Rp 60 juta sebesar 5%, di atas Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta 15%, Rp 250 juta sampai Rp 500 juta 25%, Rp 500 juta sampai Rp 5 miliar 30%, dan di atas Rp 5 miliar 35%.

Berikut ini, ilustrasi perbandingan perhitungan PPh Pasal 21 terbaru dan yang berlaku saat ini:

Retto merupakan Wajib Pajak Orang Pribadi dengan status menikah dan tanpa tanggungan. Ia bekerja sebagai pegawai tetap di PT Jaya Abadi. Retto menerima gaji sebesar Rp10.000.000,00 per bulan.

1. Perhitungan PPh Saat Ini

Dengan mekanisme pemotongan PPh saat ini, maka perhitungannya sebagai berikut:

Dengan gaji Rp10.000.000 dikurangi Biaya Jabatan 5% x Rp10.000.000 yang menjadi sebesar Rp 500.000, maka penghasilan neto sebulan Retto sebesar Rp 9.500.000,00. Adapun penghasilan neto setahun dihitung sebagai berikut:

12 x Rp9.500.000,00 = Rp114.000.000.

Dengan memperhitungkan status Retto, PTKP setahun Retto yang masuk kategori kawin tanpa tanggungan atau dengan simbol tabel K/0. Alhasil, besaran pengurangan total penghasilan neto setahun dikurangi Rp 58.500.000 sehingga nominal Penghasilan Kena Pajak setahun menjadi Rp 55.500.000.

Dengan demikian total PPh Pasal 21 terutang perhitungannya menjadi 5% x Rp55.500.000 dengan hasil Rp2.775.000 dan PPh Pasal 21 per bulannya menjadi sebesar Rp2.775.000 : 12 dengan total akhir menjadi Rp231.250.

2. Perhitungan tarif efektif atau TER

Berdasarkan status PTKP dan jumlah penghasilan bruto, pemberi kerja menghitung PPh Pasal 21 Retto menggunakan Tarif Efektif Kategori A dengan tarif 2,25%. Dengan demikian, jumlah pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan Retto adalah:

Januari – November : Rp10.000.000,00 x 2,25% = Rp225.000,00/bln

Desember : Rp2.775.000 – (Rp225.000,00 x 11) = Rp300.000,00

Adapun, selisih pemotongan sebesar Rp75.000,00.

Tak Punya NPWP, Wajib Pajak Bisa Didenda Tarif PPh 20 Persen

IKPI, Jakarta: Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). NPWP berfungsi sebagai tanda pengenal diri wajib pajak serta untuk memudahkan segala urusan wajib pajak terkait dengan administrasi perpajakan.

Terdapat 2 jenis NPWP, yakni NPWP Pribadi untuk wajib pajak perorangan dan NPWP Badan untuk wajib pajak badan usaha. Barang siapa yang tidak memiliki NPWP, maka akan dikenakan denda yang cukup berat. Kelompok ini akan dikenakan tarif PPh hingga 20%. Aturan ini diatur dalam Pasal 21 ayat (5a) UU 36/2008.

“Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 20% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak,” tulis aturan tersebut.

Bagi individu, tidak memiliki NPWP juga akan menyusahkan. Pasalnya, Anda akan kesulitan mengajukan pinjaman di bank. NPWP menjadi salah satu syarat dokumen untuk dilampirkan saat mengajukan kredit ke bank. Jika tidak mencantumkan, pengajuan Anda bisa ditolak.

Kemudian, Anda akan sulit melakukan pembelian kendaraan, baik motor dan mobil. Tidak memiliki NPWP juga membuat Anda sulit berinvestasi di pasar saham. (bl)

 

Prabowo Akan Kaji Penghapusan Pajak Pendidikan

IKPI, Jakarta: Capres nomor urut 2 Prabowo Subianto menilai seharusnya pajak pendidikan nilainya serendah mungkin. Prabowo juga setuju jika pajak pendidikan dihapuskan, namun harus dikaji terlebih dahulu.

“Kemudian soal pajak, saya sangat setuju, saya akan menugaskan pakar saya menghitung. Tapi pajak untuk pendidikan harus serendah-rendahnya,” kata Prabowo, seperti dikutip dari Detik.com, Jumat (24/11/2023).

Menurut Prabowo, pajak pendidikan yang tinggi tak masuk akal. Oleh sebab itu, dia menilai jika bisa, pajak pendidikan dihapuskan.

“Kalau bisa, kita hapus untuk pendidikan, kalau bisa. Kalau bisa ya, tapi harus rendah, nggak masuk akal,” ujar Prabowo.

Prabowo mencontohkan pajak sektor pendidikan seperti pajak buku-buku. Prabowo membandingkan pajak sektor pendidikan di luar negeri.

“Karena apa? Juga masih kalau tidak salah kita pajak terhadap buku-buku sekolah, kemudian juga buku-buku impor beanya masih tinggi,” ucap Prabowo.

“Di negara-negara yang maju, khusus untuk sekolah, tidak ada bea masuk untuk buku dari lua negeri, tidak ada pajak,” sambungnya.

Selain itu, Prabowo menilai para pakar harus diberdayakan karena akan memimpin sektor pendidikan. Serta dibutuhkan para lulusan kampus yang banyak.

“Karena ini, kita harus memberdayakan tadi itu kelompok cendikiawan kita, teknokrat kita, yang akan mengawaki transformasi ini. Kita butuh ratus ribu insinyur, ratusan ribu sarjana, manager yang akan kelola itu semua,” imbuhnya. (bl)

KPP Sekayu Beri Penghargaan Kepada IKPI Palembang 

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Palembang, memperoleh penghargaan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Sekayu, Kamis (23/11/2023). Asosiasi pajak terbesar dan tertua di Indonesia ini dinilai aktif berkontribusi dalam Forum Konsultasi Publik di wilayahnya.

Ketua IKPI Cabang Palembang Andreas Budiman mengungkapkan, sejak dua tahun terakhir, KPP Pratama Sekayu mengundang IKPI Palembang dalam setiap kegiatan yang mereka selenggarakan.

“Tahun ini, kami juga mengadakan konsultasi gratis bagi wajib pajak badan UKM. Ini menjadi satu alasan kuat, KPP Pratama Sekayu mengapresiasikan kegiatan IKPI Palembang,” kata Andreas melalui keterangan tertulisnya, Kamis (23/11/2023).

Andreas menegaskan, IKPI adalah satu-satunya asosiasi konsultan pajak yang memperoleh penghargaan tersebut. Hal itu sekaligus menunjukan pentingnya peran IKPI terhadap target penerimaan pajak, khususnya di wilayah Palembang sangat terlihat.

Lebih lanjut Andreas mengatakan, KPP Sekayu mengharapkan hubungannya dengan IKPI bisa terus ditingkatkan, yang tentunya tetap menjaga integritas dan profesionalisme

Diceritakan Andreas, keharmonisan IKPI Palembang bisa terlihat dari berbagai kegiatan yang diselenggarakan KPP Sekayu yang selalu melibatkan asosiasinya.

“Kami sangat bangga atas penghargaan yang diberikan kepada IKPI. Tentunya, penghargaan ini juga diperoleh berkat hasil kerja seluruh pengurus dan anggota IKPI Palembang, serta koordinasi cabang dan Pengda yang terjalin baik,” ujarnya.

Dia berharap, dengan adanya penghargaan ini membawa dampak yg positif bagi anggota IKPI Palembang dan para wajib.

“Yang sangat utama, kami di daerah sangat menantikan lahirnya UU Konsultan Pajak. Ini menjadi payung hukum yang kuat untuk melindungi wajib pajak dan konsultan pajak,” katanya.

Apresiasi Pengurus Pusat

Sementara itu, Ketua Departemen Humas PP- IKPI Henri PD Silalahi, menyatakan apresiasi atas penghargaan yang diperoleh IKPI Palembang.

Menurut Henri, penghargaan itu sekaligus membuktikan bahwa IKPI benar-benar menjadi mitra strategis yang kuat bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam penyadaran wajib pajak, untuk membantu pencapaian target penerimaan negara dari sektor pajak.

Henri menegaskan, ada 42 cabang IKPI di berbagai daerah di Indonesia dengan jumlah lebih dari 6.000 yang siap membantu pemerintah dalam mewujudkan target penerimaan pajak.

“Jadi IKPI bukan hanya sekadar membantu pemerintah untuk sosialisasi aturan perpajakan, tetapi kami juga mendorong agar wajib pajak patuh akan kewajibannya,” kata Henri.

“Sekali lagi, selamat kepada Pak Andreas, pengurus dan anggota IKPI Palembang atas penghargaan yang diperoleh. Semoga kedepan, Kolaborasi dengan KPP di wilayah Palembang bisa terus ditingkatkan,” ujarnya. (bl)

 

 

Bappenas: Insentif Pajak Harus Bikin Eksportir Betah Parkir Dolar di RI

IKPI, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memberikan catatan terhadap rancangan peraturan pemerintah tentang perlakuan pajak penghasilan (PPh) atas penempatan Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam pada instrumen moneter/keuangan tertentu.

Direktur Keuangan Negara dan Analisis Moneter Bappenas, Tari Lestari mengatakan aturan DHE harus memberikan insentif lebih kepada eksportir yang memarkir dolarnya di dalam negeri.

“Karena perilaku logis dari para pelaku ekonomi ini people response to incentive, sehingga kita harus memastikan dengan kebijakan ini eksportir tidak mengeluarkan cost yang lebih tinggi, sehingga benefitnya harus dipastikan,” kata Tari seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (22/11/2023).

Sebagaimana diketahui, Kementerian Keuangan tengah menggodok Rancangan PP tentang perlakuan pajak penghasilan atas penempatan DHE itu akan rampung pada akhir November 2023. RPP itu disebut akan memuat mengenai insentif terkait diskon tarif PPh final atas bunga instrumen penempatan DHE. RPP ini merupakan hasil evaluasi terhadap penerapan PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE yang dinilai belum efektif.

Tari menilai pengaturan mengenai insentif tambahan untuk DHE dalam RPP yang sedang dirancang sudah tepat. Menurut dia, pemberian insentif akan mendorong eksportir untuk secara sukarela menempatkan dananya di sistem perbankan nasional.

“Karena dengan memberikan insentif dulu itu akan mendorong secara sukarela eksportir menempatkan dananya di dalam negeri,” kata dia.

Tari mengatakan minimnya insentif menjadi salah satu faktor belum efektifnya pelaksanaan aturan DHE. Eksportir emoh memarkir dolarnya di dalam negeri karena bunga yang relatif kecil. “Kita bisa lihat bahwa di satu bulan tenornya misalkan kita di Indonesia itu untuk valas ada di kisaran 2,78%, sementara untuk di Singapura bisa 2,95% sampai 3,86%,” kata dia.

Tari menilai pemberian insentif ini patut diperhatikan paling awal, sebelum aturan DHE benar-benar secara ketat diberlakukan. Menurut dia, dengan adanya insentif itu pemerintah akan lebih leluasa dalam menjatuhkan sanksi kepada eksportir nakal yang tidak mau menaruh duitnya di Indonesia.

“Sebelum kita melakukan punishment terhadap eksportir yang tidak comply, kita harus review dulu insentif yang kita berikan cukup logis, sehingga eksportir bisa dengan alamiah menyimpan dananya,” kata dia. (bl)

Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak untuk Lapor SPT 2023 Baru 80 Persen

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membukukan tingkat kepatuhan wajib pajak (WP) dalam menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) tahunan baru mencapai 80persen untuk periode 2023.  Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menyampaikan bahwa capaian tersebut masih jauh di bawah standar internasional yang ditetapkan sebesar 85 persen.  

“Tingkat pelaporan SPT tahunan kita baru mencapai level 80 persen, masih di bawah benchmark standar internasional 85 persen. Tentu ini menjadi PR dan tangan kita ke depan,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, Kamis (23/11/2023).  

Pihaknya pun tidak memungkiri bahwa memang hal tersebut masih menjadi tantangan bagi Kementerian Keuangan. Untuk itu, Kemenkeu khususnya DJP terus melakukan reformasi perpajakan. 

Yon menekankan bahwa penerimaan dari pajak menjadi penting karena memiliki porsi terbesar dari total pendapatan. Nantinya, dengan penerimaan pajak yang lebih besar, akan semakin memperluas ruang fiksal pemerintah untuk membiayai berbagai program pembangunan di Tanah Air. 

Adapun, pada tahun ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mematok target rasio kepatuhan lapor SPT Tahunan sebesar 83 persen dari jumlah wajib SPT (19,44 juta WP) atau sebanyak 16,1 juta.

Lebih lanjut, Yon melaporkan bahwa kinerja penerimaan pajak sepanjang Januari-September 2023 telah terkumpul sebanyak Rp1.387,78 triliun atau 80,78 persen dari target awal APBN. Capaian ini tumbuh 5,9 persen secara tahunan atau year-on-year (yoy).  

Utamanya, pendapatan negara bersumber dari pajak penghasilan (PPh) nonmigas senilai Rp771,75 triliun dan PPN-PPnBM senilai Rp536,73 triliun. Kontribusi PPh badan masih menjadi yang tertinggi sebesar 24,2 persen, diikuti PPN dalam negeri 23,5 persen, PPN impor 13,4 persen, dan PPh pasal 21 sebesar 11,2 persen. (bl)

 

Pemerintah Siapkan Sejumlah Langkah Pencapaian Target Pajak 2024

IKPI, Jakarta: Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengungkapkan bahwa pemerintah akan melakukan sejumlah langkah untuk mencapai target pajak 2024 senilai Rp1.989 triliun.

Salah satu tantangan dalam penerimaan pajak, kata Yon, adalah bahwa tahun depan ekonomi Indonesia masih dihadapi oleh situasi global yang tidak pasti dan sangat dinamis.

 “Tentu kami melihat bahwa ini menjadi tantangan tersendiri dan di sisi inilah kami mencoba melihat bagaimana menjaga stabilisasi dan fungsi distribusi dari APBN sehingga penyusunan postur pendapatan dan belanja harus dilakukan secara prudent,” ujarnya seperti dikutip dari Bisnis.com, Kamis (23/11/2023).

Ancaman global tersebut, pasalnya berdampak pada perdagangan internasional Indonesia, utamanya ekspor yang mulai melambat dan harga komoditas di pasar global yang lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Akibatnya, pendapatan khususnya penerimaan pajak yang terkait dengan impor seperti PPN impor tumbuh negatif sebesar 5,8% sepanjang Januari-September 2023.

Bukan hanya itu, bahkan kinerja bea keluar sampai dengan September 2023 terkontraksi hingga 78,1% akibat dinamika harga komoditas dunia.

Untuk itu, pemerintah melakukan reformasi perpajakan sebagai upaya untuk mencapai target dan menambah pundi-pundi negara.

Mulai dari meningkatkan kepatuhan wajib pajak hingga memperluas basis pajak, salah satunya melalui pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Selain itu, DJP juga tengah mempersiapkan core tax administration system (CTAS) atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang akan diimplementasikan pada pertengahan 2024.

CTAS merupakan teknologi informasi yang akan mendukung pelaksanaan tugas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan dalam automasi proses bisnis, seperti pemrosesan surat pemberitahuan, dokumen perpajakan, pembayaran pajak, hingga penagihan.

Pemberlakukan sistem tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 40/2018. Beleid ini mengatur pengembangan core tax system yang akan menjadi salah satu terobosan sistem administrasi perpajakan di Tanah Air.

Di sisi lain, selain untuk untuk melakukan efisiensi administrasi perpajakan, core tax ini diharapkan akan mendukung peningkatan kepatuhan Wajib Pajak secara bertahap, serta peningkatan tax ratio secara bertahap.

“Kami lihat di dalam APBN secara umum sudah menargetkan beberapa kebijakan umum antaranya bagaimana kita meningkatkan kepatuhan wajib pajak, kemudian menggunakan teknologi informasi memperluas basis pemajakan dan juga berbagai program yang sudah kita desain,” tambahnya.

Mengacu APBN Kita edisi Oktober 2023 yang memuat kinerja hingga September 2023, pendapatan negara dari penerimaan pajak telah mencapai Rp1.389 triliun atau 80,8% dari target awal APBN.

Sementara penerimaan dari bea cukai baru mencapai 64,5% dari target, atau sekitar Rp195,6 triliun.  (bl)

 

 

IKPI Dukung Kebijakan NIK Jadi NPWP Dengan Pertimbangan


IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mendukung kebijakan pemerintah terkait penggunaan NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai NPWP (Nomor Pokok Pajak Wajib). Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menutup kebocoran penerimaan pajak, karena penggunaan NPWP masih banyak menyisakan lubang kebocoran kepada penerimaan negara dari sektor pajak.

Namun demikian, Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI T Arsono juga menyatakan bahwa ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan ini.

Pertama, desain NIK tentu dimaksudkan untuk pemenuhan kepentingan administrasi kependudukan namun bukan dimaksudkan untuk pemenuhan kepentingan sarana administrasi perpajakan.

“Karena, kedua tujuan ini sangat berbeda dan bukan mustahil kedepan akan memunculkan suatu persoalan,” ujarnya Arsono, Rabu (22/11/2023)

Kedua, subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam UU Pajak Penghasilan memiliki pengaturan yang berbeda. Artinya, pemenuhan syarat subyektif dan obyektif patut dipertimbangkan.

Demikian juga kata dia, untuk suami dan istri yang memutuskan untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakannya secara sendiri-sendiri. Mereka belum tentu bisa diakomodasi dalam NIK.

Permasalahan berbeda juga akan terjadi dengan pajak warisan yang belum dibagi. Karena, dalam ketentuan perpajakan harta waris memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang berbeda dengan para ahli waris, dan ini belum tentu bisa terakomodasi dengan penggunaan NIK.

Namun demikian, lanjut Arsono, apapun kekurangan yang ada patut untuk diperbaiki. Sehingga, hak negara selaku penyedia jasa publik dalam memungut hak perpajakannya bisa terpenuhi dengan baik.

“Ini semua, bertujuan agar Indonesia menjadi negara yang semakin maju dan Sejahtera. Dan tentu saja layanan pemerintah kepada masyarakat menjadi lebih baik dan lebih berkualitas,” ujarnya. (bl)

 

 

 

Pengamat Kritisi Rencana Larangan Penunggak Pajak Kendaraan Isi Bensin di SPBU

IKPI, Jakarta: Pengamat kebijakan publik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Profesor Cecep Darmawan mengatakan rencana Pemprov Jabar melarang penunggak pajak kendaraan bermotor mengisi bahan bakar di SPBU mulai 2024 adalah rencana yang aneh dan lucu.

Satu sisi, sebagai warga negara memang berkewajiban untuk membayar pajaknya, termasuk pajak kendaraan.

Satu sisi lagi, orang hendak mengisi BBM, apalagi non subsidi merupakan haknya. “Jadi, saya melihatnya orang mau membeli BBM kemudian orang itu belum membayar pajak dilarang, itu sih dua hal yang berbeda, meski maksudnya supaya masyarakat membayar pajak,” katanya seperti dikutip dari Tribun Jabar, Selasa (21/11/2023)

Penunggak pajak kendaraan bermotor tentunya akan tercatat datanya di Bapenda, sehingga seharusnya Bapenda memberikan edukasi melalui email atau surat kepada penunggak tersebut.

“Ya bisa juga diperingatkan ‘jika belum membayar, Anda tak boleh menggunakan kendaraan itu di jalan raya karena akan dilakukan razia maupun tilang oleh aparat kepolisian’, misalnya,” ujar Cecep.

Terlebih, kepolisian pun telah memiliki kebijakan penilangan melalui elektronik (ETLE) yang mempermudah dalam merazia kendaraan bermotor. Cecep menilai hal tersebut tampak lebih efektif atau lebih baik ketimbang melarang penunggak pajak kendaraan mengisi BBM di SPBU.

“Optimalkan saja ETLE agar mereka bisa tersadar. Sebab, jika mereka membandel, maka akan terus menerus terkena denda lewat tilang elektronik dan sudah jelas pula aturannya di UU lalu lintas. Jika wacana pelarangan membeli BBM di SPBU itu tak relevan, sebab bisa saja nanti mereka (penunggak pajak) membeli BBM menggunakan kendaraan lain,” katanya.

Cecep mengatakan, pemerintah daerah sebaiknya bekerjasama dengan kepolisian melalui ETLE yang diperbanyak, sehingga kamera ETLE akan menyorot pelat nomor kendaraan dan akan keluar surat tilang.

“Itu lebih efektif dan akan ada efek jeranya, sehingga membuat penunggak pajak kendaraan bermotor tak berani mengeluarkan atau menggunakan kendaraannya di jalan raya karena akan terus terpantau. Ditambah, payung hukumnya jelas dan saya yakin jika ETLE diperbanyak akan signifikan orang membayar pajak kendaraan bermotor,” katanya. (bl)

 

en_US