Sri Mulyani Sebut Penerimaan Pajak Hingga Maret 2024 Capai Rp342,88 Miliar

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan realisasi penerimaan pajak sampai dengan 15 Maret 2024 mencapai Rp342,88 triliun atau setara dengan 17,24 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

“Penerimaan pajak sampai 15 Maret mencapai Rp342,88 triliun, ini artinya 17,24 persen dari target,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari AntaraNews.com, Selasa (26/3/2024).

Penerimaan pajak penghasilan (PPh) non migas tercatat sebesar Rp203,92 triliun atau setara dengan 19,18 persen dari target. Pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) terdata senilai Rp121,92 triliun atau 15,03 persen dari target.

Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp2,56 triliun atau 6,79 persen dari target. Sementara realisasi penerimaan dari PPh migas tercatat Rp14,48 triliun atau setara dengan 18,95 persen dari target.

“Penerimaan pajak kita agak mengalami tekanan karena harga komoditas yang menurun mulai tahun lalu, akibatnya perusahaan meminta restitusi sehingga restitusi neto kita mengalami tekanan. Namun, dari sisi brutonya, kalau belum dikurangi restitusi kita masih tumbuh 5,7 persen,” jelas Sri Mulyani.

Hal itu utamanya terlihat dari penurunan PPN dalam negeri dan PPh migas. Sementara PPh non migas masih tumbuh positif didukung oleh aktivitas ekonomi nasional.

Secara umum, pendapatan negara tercatat sebesar Rp493,2 triliun atau setara dengan 17,6 persen dari target yang sebesar Rp2.802,3 triliun. Capaian tersebut terkontraksi sebesar 5,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) bila dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Pertumbuhan penerimaan negara sangat tinggi di 2021 dan 2022, itu tetap bisa terjaga pada 2023, dan kita tahu itu akan mengalami koreksi. Jadi, sekarang pertumbuhan pendapatan negara negatif 5,4 persen,” jelas Menkeu.

Penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp399,4 triliun, terdiri dari penerimaan pajak Rp342,9 triliun dan kepabeanan dan cukai Rp56,5 triliun. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat sebesar Rp93,5 triliun dan hibah Rp0,2 triliun. (bl)

Mahasiswa Keluhkan Rencana Kenaikan PPN 12% Kepada Jokowi

IKPI, Jakarta: Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 menjadi sorotan publik. Bahkan, para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) mengeluhkan hal ini secara langsung ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jajaran KAMMI pagi ini diterima langsung oleh Jokowi untuk melakukan pertemuan di Istana Negara, Jakarta Pusat. Ketua Umum PP KAMMI Zaky Ahmad Rivai mengatakan dalam momen pertemuan dengan Jokowi pihaknya menyampaikan agar kekhawatiran masyarakat soal kenaikan PPN 12% harus jadi perhatian pemerintah.

“Kita sampaikan juga isu-isu yang terjadi di tengah-tengah kita. Isu-isu kerakyatan, terutama PPN, pajak pertambahan nilai yang mau naik 12%. Ini yang menjadi keresahan masyarakat, itu juga sudah kami sampaikan kepada bapak Presiden,” ungkap Zaky seperti dikutip dari Detik Finance, Senin (25/3/2024).

Zaky mengatakan Jokowi pun merespons kekhawatiran kenaikan PPN yang disampaikan oleh pihaknya. Dia menyebut Jokowi akan mempertimbangkan kebijakan ini bersama dengan jajarannya.

“Bapak Presiden sudah menjawab bahwa beliau akan mempertimbangkan kembali bersama dengan jajaran,” sebut Zaky.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 merupakan kewenangan pemerintah selanjutnya. Itu artinya pelaksanaannya ada di tangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku pihak yang memenangkan Pemilu.

Airlangga menyebut, kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meski begitu, pelaksanaannya akan diperjelas lagi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.

“Tergantung pemerintah programnya nanti seperti apa. Nanti dibahas berikutnya,” kata Airlangga di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta Pusat, Jumat (22/3/2024). (bl)

 

 

Bumikan Nama Organisasi, IKPI Depok Turun ke Jalan Bagikan 600 Takjil

IKPI, Depok; Puluhan pengurus dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok, turun kejalan membagikan 600 paket takjil kepada warga dan pelintas di Jalan Raya Cinere, Depok, Jawa Barat pada Sabtu (23/3/2024).

Ketua IKPI Depok Nuryadin Rahman mengungkapkan, kegiatan sosial rutin tahunan yang mereka jalankan ini bukan hanya sekadar pembagian takjil, tetapi lebih memperkenalkan IKPI kepada masyarakat Depok.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

“Kami tempelkan stiker IKPI Depok di doz takjil yang dibagikan. Jadi selain beramal masyarakat juga mengetahui apa itu IKPI,” kata Nuryadin di lokasi acara.

Diungkapkannya, pada saat kegiatan banyak juga masyarakat yang bertanya siapa yang sedang berbagi takjil. “Nah disinilah kami menjelaskan, apa itu IKPI dan apa perannya untuk masyarakat dan negara,” ujarnya.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

Nuryadin juga menjelaskan, dana untuk pembelian takjil juga tidak diambil dari kas organisasi melainkan hasil dari sumbangan seluruh anggota IKPI Depok. Hasilnya ada sekitar Rp10,5 juta dana terhimpun untuk berbagi takjil dan buka puasa bersama.

“Setelah pembagian takjil, para pengurus dan anggota juga melakukan buka puasa bersama di Balcony Cafe & Resto di Jl Pala Raya No 51, Pondok Cabe Udik, Pamulang Jakarta Selatan,” ujarnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam kesempatan itu secara khusus Nuryadin juga mengundang pengurus pusat IKPI yang diwakili Hijrah Hafiduddin dari Departemen Humas.

Bersama-sama mereka menyantap masakan timur tengah yakni nasi kebuli kambing lezat yang dihidangkan oleh restoran tersebut.

(Foto: Dok. IKPI Cabang Depok)

(bl)

 

 

MK Tolak Permohonan Penolakan Sanksi Bagi Wajib Pajak Lalai Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Puguh Suseno terkait pasal yang mengatur sanksi penjara dan denda bagi wajib pajak yang lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak atau SPT dan menyetorkan pajak. MK menilai permohonan Puguh tidak jelas.
Putusan perkara nomor 30/PUU-XXII/2024 itu dibacakan dalam sidang di gedung MK, Kamis (21/3/2024). Sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo.

Dalam permohonannya, Puguh meminta agar MK menyatakan Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 13 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK mengubah Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 menjadi “Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar”.

Pemohon mengaku ditetapkan sebagai tersangka gara-gara dianggap melanggar Pasal 39 UU KUP. Pemohon ditetapkan sebagai tersangka karena lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT).

“Pemohon menjadi ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana perpajakan hanya karena lalai dalam melaporkan surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT),” demikian dikutip dari berkas putusan MK, Jumat (22/3/2024).

Selain itu, dalam permohonannya, pemohon juga menyinggung soal kasus gratifikasi mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo. Puguh menyebut wajib pajak bisa jadi menjadi ragu untuk menyetorkan pajak gara-gara kasus tersebut.

“Bukan bermaksud untuk tidak ingin membayar pajak, tetapi Pemohon wajar apabila pasca adanya perkara korupsi yang dilakukan oleh seorang oknum pegawai pajak bernama Rafael Alun Trisambodo, yang memiliki banyak harta mencurigakan tidak sesuai dengan profil penghasilannya sebagai pegawai, merasa khawatir apabila pajak yang dibayarkan malah dikorupsi oleh pegawai pajak,” ujar pemohon.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan pemohon keliru memahami pasal tersebut. Hakim MK Daniel Yusmic kalimat yang dianggap pemohon sebagai pasal 39 ayat 1 huruf i itu sebenarnya berdiri sendiri dan keberadaannya termuat di bawah huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 39 ayat (1) UU KUP. Sehingga, kata Daniel, kalimat demikian mencakup atau melingkupi seluruh perbuatan yang diatur dalam norma yang termaktub pada huruf a sampai dengan huruf i dari Pasal 39 ayat (1) UU KUP tersebut.

“Dengan demikian, Pemohon telah keliru membaca dan memahami norma, sehingga membuat permohonan Pemohon menjadi kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, dalil permohonan Pemohon tidak jelas dan ketidakjelasan ini berakibat pada permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal permohonan yang diatur dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengkajian Undang-Undang (PMK 2/2021),” ucap Daniel.

Atas dasar tersebut, MK menolak gugatan pemohon. Berikut amar putusannya:

1. Menyatakan permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740) tidak dapat diterima;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Prabowo Singgung Rasio Pajak Capai 14 Persen di Era Orde Baru

IKPI, Jakarta: Presiden terpilih, Prabowo Subianto menyinggung penurunan angka rasio pajak terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia hari ini dibandingkan dengan era Orde Baru saat dipimpin Soeharto.

Ia mengatakan kini rasio penerimaan pajak terhadap GDP sebesar 11 persen. Saat Orde Baru, rasio pernah mencapai 14 persen.

Prabowo mempertanyakan alasan di balik penurunan tersebut.

“Di zaman Orde Baru pernah 14 persen, kenapa sekarang turun?, katanya Orde Baru jelek,” kata Prabowo dalam pidatonya di acara buka bersama di Kantor DPP PAN,  seperti dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (22/3/2024).

Prabowo juga membandingkan angka itu dengan besaran negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia yang juga lebih besar dari Indonesia hari ini.

Padahal, menurut Prabowo, orang Indonesia memiliki karakteristik yang serupa dengan warga di tiga negara tersebut.

“Nah, kenapa kok kita hanya 10 persen, bedanya apa orang Thailand, orang Malaysia, orang Kamboja sama kita?” tanya dia.

Prabowo pun menargetkan agar rasio penerimaan pajak Indonesia meningkat dan setara atau bahkan melebihi Thailand dan Malaysia.

Ia menyebut jika rasio penerimaan pajak Indonesia berada di angka 16 persen atau naik sekitar lima persen dari jumlah yang sekarang.

“Berarti kan naiknya 5 persen, 5 persen dari GDP (PDB) kita itu US$75 milliar,” ucapnya.

Prabowo lantas mengajak para pakar mencari jawaban atas itu. Ia percaya rasio pajak Indonesia akan meningkat jika memiliki manajemen yang lebih baik.

Selain itu, ia juga yakin angka itu akan bertambah melalui penerapan komputerisasi hingga digitalisasi ke depannya. (bl)

Ekonom UI Sebut Diperlukan Peningkatan Penerimaan Pajak untuk Pembangunan

IKPI, Jakarta: Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky mengatakan penerimaan pajak perlu ditingkatkan untuk mendanai berbagai agenda pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi dan transisi energi.

“Terkait dengan penerimaan perpajakan ini memang menjadi isu yang sangat urgent di Indonesia dan memang perlu segera ditingkatkan penerimaan pajak kita atau tax ratio kita untuk kemudian bisa mendanai berbagai macam program khususnya untuk mendorong agenda pembangunan jangka panjang seperti pertumbuhan ekonomi dan transisi energi,” kata Riefky seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (22/3/2024).

Untuk membiayai berbagai macam program pembangunan, tentu saja tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak dari pajak pertambahan nilai (PPN), sehingga perlu dikombinasikan dengan instrumen lain.

“Ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh PPN, jadi perlu kombinasi dengan berbagai macam instrumen lainnya,” ujarnya.

Menurut dia, kenaikan PPN ke arah 12 persen tidak menjadi masalah, tapi perlu didukung dengan program lain seperti meningkatkan kepatuhan pajak agar penerimaan pajak bisa terus meningkat.

“PPN ini tetap bisa dinaikkan ke 12 persen tapi perlu disupport oleh program-program lainnya seperti misalnya menurunkan informalitas, meningkatkan kepatuhan pajak dan lain semacamnya. Ini memang sangat sangat diperlukan agar penerimaan pajak kita bisa terus meningkat,” tuturnya.

Ia berharap implementasi berbagai kebijakan pemerintah termasuk terkait penerimaan pajak dapat dioptimalkan untuk meningkatkan pendapatan negara.

“Nah, apakah lebih baik di 11 persen, nampaknya tidak. Kalau bisa dinaikkan ke 12 persen better (lebih baik), tapi ini tidak cukup, dan memang perlu diteruskan dengan berbagai macam kombinasi kebijakan lainnya,” ujarnya.

Baca juga: Penerimaan pajak Sulselbartra per Januari 2024 capai Rp1,39 triliun

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo memastikan pemerintah terus mengkaji kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025.

Dia menjelaskan kebijakan tersebut telah ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah juga memantau perkembangan terkini.

“Kajian akan terus kami jalankan, dan transisi pemerintah juga akan terjadi, jadi kami juga menunggu,” ujar Suryo saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa (19/3/2024). (bl)

Kolaborasi IKPI Jambi dan Kanwil DJP Bahas PMK-CTAS Dihadiri Ratusan Peserta

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jambi berkolaborasi dengan Direktorat Jenderal Pajak Sumatera Barat-Jambi menggelar edukasi perpajakan dengan mengambil tema pembahasan “Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 164 Tahun 2023, PMK 168 Tahun 2023, dan CTAS melalui aplikasi Zoom, Selasa (19/3/2024).

Dalam kegiatan yang dipandu Kabid P2Humas DJP Sumatera Barat dan Jambi Marhot Pahala Siahaan ini diikuti sekira 270 anggota IKPI dari seluruh Indonesia. “Jadi yang ikut dalam edukasi ini bukan hanya anggota IKPI Jambi saja, banyak juga dari IKPI pusat dan cabang di luar Jambi,” kata Nurlena melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (21/3/2024).

Dikatakan Nurlena, edukasi ini sangat penting diberikan kepada seluruh konsultan pajak untuk terus melakukan update peraturan. Dengan demikian, kegiatan ini diyakini dapat meningkatkan pemahaman terhadap peraturan perpajakan yang pada akhirnya meningkatkan kualitas jasa yg diberikan konsultan pajak khususnya dari anggota IKPI Cabang Jambi kepada para kliennya.

“Apa yang kami lakukan juga membantu pemerintah dalam hal ini DJP untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak di wilayah Provinsi Jambi,” katanya.

Menurut Nurlena, diskusi yang digelar IKPI Jambi sangat banyak peminat sehingga harus mengikuti melalui dua aplikasi yakni zoom maupun youtube. “Aplikasi Zoom kami sangat terbatas dan hanya bisa menampung 100 peserta. Karena itu teman-teman IKPI lainnya diperkenankan untuk ikut melalui live streaming Youtube,” ujarnya.

Diungkapkannya, ⁠kegiatan ini awalnya akan dibuka oleh Kakanwil DJP Sumatera Barat dan Jambi Etty Rachmiyanthi. Namun karena beliau berhalangan, diwakilkan kepada Kabid P2Humas Marihot P Siahaan.

Sebagai konsultan pajak lanjut dia, tema kali ini sangat penting dan terbilang masih hangat serta umum dijumpai konsultan pajak. Jadi ramainya peminat edukasi ini salah satunya disebabkan oleh faktor tersebut.

Selain itu, Nurlena juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah seringkali melakukan kolaborasi dengan DJP Sumbar-Jambi dalam berbagai kegiatan. “Kami sering bekerja sama, entah itu kegiatan sosialisasi maupun hal lainnya,” kata Nurlena.

Sebagai Ketua IKPI Jambi Nurlena berharap kolaborasi ini bisa bermanfaat khususnya bagi anggota IKPI Cabang Jambi dan cabang lainnya.

Lebih lanjut Nurlena mengungkapkan bahwa IKPI Cabang Jambi juga aktif mengadakan Seminar Perpajakan, BIMTEK Pengisian SPT Tahunan kepada masyarakat umum secara gratis. Selain itu ada juga kursus Brevet Pajak A & B Terpadu, bekerja sama dengan melalui MoU dengan Universitas Jambi dan Universitas Adiwangsa Jambi serta memberikan magang mahasiswa di kantor konsultan pajak anggota IKPI Cabang Jambi, mengisi kuliah perpajakan, bakti sosial dan banyak lagi.

Sekadar informasi, ⁠hadir dalam kegiatan edukasi ini Sekretaris Umum IKPI Jetty, Ketua Departemen PPL Vaudy Starworld, serta beberapa ketua cabang dan pengurus harian, pengurus daerah. “Terima kasih telah ikut berpartisipasi di dalam kegiatan IKPI Jambi. Semoga kegiatan ini membawa manfaat besar bagi seluruh anggota IKPI, pemerintah dan wajib pajak,” kata Nurlena. (bl)

 

 

Pemerintah Kenakan Pajak THR-Bonus Pegawai, Ini Cara Hitungnya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah mewajibkan perusahaan atau pemberi kerja memberikan tunjangan hari raya (THR) secara penuh bagi para pegawai. Perlu diingat bahwa THR ini merupakan bagian dari penghasilan yang dikenakan pajak.

Dalam buku Cermat Pemotongan PPh Pasal 21/26 Direktorat Jenderal Pajak (DJP), disebutkan bahwa penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Pegawai Tetap adalah menghitung seluruh penghasilan bruto yang diterima dalam satu bulan.

Penghasilan itu meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan penghasilan teratur lainnya, termasuk uang lembur. Kemudian bonus, THR, jasa produksi, tantiem, gratifikasi, premi, hingga penghasilan lain yang sifatnya tidak teratur.

“Penghasilan-penghasilan tersebut dapat diberikan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan,” tulis isi buku tersebut, seperti dikutip dari Detik Finance, Kamis (21/3/2024).

Melalui Instagram resminya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan contoh penghitungan pajak THR dan bonus. Misalnya seorang pegawai tetap yang bekerja penuh selama setahun memiliki gaji Rp 5 juta dan mendapatkan beberapa penghasilan lain berupa THR, bonus, dan uang lembur.

Pegawai itu menerima THR pada April sebesar Rp 5 juta, lalu uang lembur Rp 500 ribu pada Februari, Mei dan November. Premi JKK dan JKM tiap bulannya ialah Rp 40 ribu, sehingga total penghasilan brutonya dalam setahun adalah sebesar Rp 71,98 juta.

Dari total itu, dihitung pajaknya menggunakan tarif efektif rata-rata (TER) sesuai tabel dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2023 jo. PMK 168/2023. Lalu, untuk akhir tahun atau Desember diperhitungkan sesuai dengan ketentuan pasal 17 UU PPh jo UU Cipta Kerja dikurangi akumulasi TER Januari-November.

Dengan demikian, total penghitungannya ialah penghasilan bruto setahun Rp 71,98 juta dikurangi biaya jabatan setahun Rp 3.599.000, dikurangi iuran pensiun setahun Rp 1,2 juta sehingga penghasilan neto setahun Rp 67,18 juta. Dari jumlah itu dikurangi penghasilan tidak kena pajak Rp 58,5 juta, sehingga diperoleh penghasilan kena pajaknya senilai Rp 8,68 juta.

Setelah itu dikurangi dengan perhitungan lapisan PPh Pasal 21 terutang setahun untuk dikalikan dengan penghasilan kena pajak. Lapisan tarif pegawai itu masuk ke dalam golongan tarif 5%, sehingga 5% x Rp 8.681.000 sehingga total PPh Pasal 21 terutang setahun Rp 434.050. (bl)

Jika Naik 12 Persen, Indonesia dan Filipina Negara Pemungut PPN Tertinggi di Asia Tenggara

IKPI, Jakarta: Pemerintah berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2025 menjadi 12 persen. Jika hal ini benar – benar diimplementasikan, Indonesia akan menjadi negara di Asia Tenggara dengan PPN tertinggi setara dengan Filipina yang juga menerapkan PPN 12 persen.

Perbandingan pajak PPN Indonesia dengan negara lain di Asia Tenggara pun pada akhirnya cukup signifikan.

Selain Indonesia dan Filipina yang sama – sama akan menerapkan tarif PPN 12 persen, posisi selanjutnya untuk PPN tertinggi diduduki oleh Kamboja (10 persen), Vietnam (10 persen), Singapura (9 persen), Thailand (7 persen), dan Laos (7 persen). Tiga posisi negara dengan PPN terendah adalah Malaysia (6 persen), Myanmar (5 persen), dan Timor Leste (2,5 persen).

Sebagai catatan, perusahaan finansial Pricewaterhouse Coopers atau PwC menggolongkan pajak di Singapura sebagai pajak barang dan layanan. Kemudian di Malaysia dan Myanmar sebagai Pajak Komersial, dan di Timor Leste sebagai pajak penjualan barang impor.

Sebelumnya rencana kenaikan PPN tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinasi Perekonomian, Airlangga Hartanto kepada awak media beberapa waktu lalu. Pemerintah berdalih rencana kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan.

Meskipun berencana menaikkan PPN menjadi 12 persen, Kemenko Perekonomian juga akan tetap memberikan fasilitas PPN kepada sejumlah sektor, seperti sejumlah bahan pangan pokok rakyat untuk dibebaskan PPN.

Atas rencana kebijakan tersebut, Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mewanti-wanti pemerintah untuk berhati-hati dan membuat kajian yang matang atas rencana kebijakan tersebut.

Seperti dikutip dari Suara.com, Kamis (14/3/2024) Said mengutarakan rencana kebijakan kenaikan PPN itu memang akan memberi dampak kenaikan pendapatan negara antara Rp350-375 triliun, namun akan memberi dampak pelambatan pertumbuhan ekonomi nasional 0,12 persen, dan konsumsi masyarakat akan turun 3,2 persen, upah minimal akan anjlok, dan pemerintah in akan menghadapi banyak risiko ekonomi ditengah ketidakpastian global.

“Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,”

“Berdasarkan Undang Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), pemerintah memang diberikan kewenangan untuk menaikkan atau menurunkan PPN. Namun dalam hemat saya, pemerintah harus berhati-hati atas rencana kebijakan tersebut. Pada tahun 2022 lalu pemerintah telah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Dalam waktu tak berselang lama, PPN akan dinaikkan lagi, saya kira ini jalan pintas untuk menaikkan perpajakan, tidak kreatif, bahkan akan berdampak luas membebani rakyat,” ujar Said.

Dijelaskan Said mandat UU HPP adalah mendorong reformasi perpajakan secara menyeluruh. Mulai dari pembenahan administrasi data perpajakan, memperluas wajib pajak, termasuk mendorong transformasi shadow economy masuk menjadi ekonomi formal agar bisa terjangkau pajak, termasuk sektor digital yang tumbuh pesat namun selama ini lepas dari jangkau pajak. (bl)

Eks Wamenkeu Sebut Kenaikan PPN 12% Bisa Ganggu Sektor Industri

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025, dari yang saat ini sebesar 11%. Kenaikan itu akan mengerek harga produk akhir barang-barang yang dibeli masyarakat.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) periode 2010-2014 Anny Ratnawati mengungkapkan, ketika harga mengalami kenaikan otomatis akan membuat permintaan turun, dan ujungnya mengganggu penjualan dari sektor industri atau bisnis.

“Dalam teori umum kalau harga naik itu pasti demand turun, artinya itu nanti akan punya implikasi balik ke pengusaha,” kata Anny seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (20/3/2024).

Oleh sebab itu, dia menekankan kenaikan pajak itu tidak hanya akan menekan daya beli masyarakat karena harga-harga barang yang naik, melainkan juga akan menurunkan aktivitas bisnis di dalam negeri karena penjualannya menjadi semakin lesu.

Sektor industri yang ia perkirakan akan paling tertekan di antaranya adalah UMKM, hingga garmen atau tekstil, produk tekstil dan alas kaki. Khusus untuk sektor garmen atau tekstil, menurutnya akan menjadi yang paling tertekan karena dari sisi penjualan ekspor tengah tertekan dan penjualan di dalam negeri tengah bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.

“Sementara kita tahu tekstil dan produk tekstil, alas kaki, itu sektor yang betul-betul padat karya, sehingga kalau ini makin nanti terbebani misalnya dengan PPN bagaiman cara pemerintah mitigasi, sehingga mereka tetap bisa berusaha, tetap bisa kompetitif,” tegas Anny.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara soal implementasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Meski sudah disepakati pemerintah dan DPR pada 2021 lalu, namun hal itu masih berpotensi diubah.

Diketahui kesepakatan tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pasal 7 menyebutkan kenaikan PPN menjadi 11% berlaku mulai 1 April 2022. Kenaikan kembali terjadi pada 1 Januari 2025 menjadi 12%.

“PPN 12% sudah dibahas ini juga termasuk fatsun politik UU HPP yang kita semua bahas sudah setuju namun kita hormati pemerintah baru,” ucapnya saat rapat kerja dengan Komisi XI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (19/3/2024)

Menurut Sri Mulyani, pemerintah baru berhak mengubah kebijakan yang sudah disepakati sebelumnya. Tentunya disesuaikan dengan arah dan kebijakan yang dijanjikan ketika kampanye.

“Jadi kalau target PPN tetap 11%, nanti disesuaikan,” ujarnya. (bl)

 

en_US