Pemerintah Terbitkan Dua PMK Baru untuk Usaha Bulion Berlaku 1 Agustus 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan dua aturan baru yang mengatur ketentuan perpajakan atas kegiatan usaha bulion, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 dan PMK Nomor 52 Tahun 2025. Kedua beleid ini ditetapkan pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Rosmauli, menjelaskan bahwa penerbitan kedua PMK ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi perpajakan dan memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha bulion.

“Selama ini terjadi tumpang tindih pemungutan PPh Pasal 22. Misalnya, penjual emas memungut 0,25% atas penjualan ke Lembaga Jasa Keuangan (LJK) Bulion, sementara LJK Bulion juga memungut 1,5% atas pembelian yang sama. Ini tentu tidak ideal,” ujar Rosmauli melalui keterangan tertulisnya, dikutip Jumat (1/8/2025).

Ia menambahkan, aturan baru ini diharapkan dapat menghilangkan kerancuan dan mendukung ekosistem usaha bulion secara lebih sehat.

Penyesuaian dengan UU P2SK

Latar belakang terbitnya aturan ini adalah perlunya penyesuaian regulasi perpajakan dengan perkembangan industri bulion yang telah diakui dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Kegiatan usaha bulion meliputi berbagai aktivitas terkait emas, seperti simpanan, pembiayaan, perdagangan, hingga penitipan emas oleh lembaga jasa keuangan.

PMK Nomor 51 Tahun 2025 mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian emas batangan dan kegiatan impor. LJK Bulion ditunjuk sebagai pemungut PPh 22 dengan tarif 0,25% atas pembelian emas batangan, termasuk dari konsumen. Namun, penjualan hingga Rp10 juta oleh konsumen akhir kepada LJK Bulion tidak dikenai pemungutan pajak.

Sementara itu, PMK Nomor 52 Tahun 2025 merupakan perubahan kedua atas PMK 48 Tahun 2023 dan fokus pada kegiatan perdagangan emas batangan dan perhiasan.

PMK ini menegaskan bahwa tidak ada kewajiban memungut PPh Pasal 22 atas penjualan kepada:

• Konsumen akhir,

• Wajib Pajak UMKM dengan skema PPh final,

• Wajib Pajak pemegang Surat Keterangan Bebas (SKB),

• Bank Indonesia,

• Pasar fisik emas digital,

• LJK Bulion.

Namun, jika penjualan emas batangan kepada LJK Bulion melebihi Rp10 juta, maka pemungutan PPh Pasal 22 tetap dilakukan sebesar 0,25% dari harga pembelian.

Bukan Pajak Baru

Rosmauli menegaskan, penyesuaian ini bukan berarti adanya jenis pajak baru. “Ini murni harmonisasi agar tidak ada lagi tumpang tindih dan agar mekanisme pemungutan lebih adil serta efisien,” jelasnya.

DJP juga memastikan akan terus menyesuaikan regulasi perpajakan seiring dengan dinamika sektor keuangan, termasuk di bidang perdagangan emas dan jasa keuangan berbasis emas.

Masyarakat dan pelaku usaha dapat mengakses teks lengkap kedua PMK tersebut melalui laman resmi www.pajak.go.id. (alf)

 

 

Dirjen Pajak Sebut Deposit Pajak Melejit 1.300 Persen, Dorong Penerimaan tapi Picu Kekhawatiran di Daerah

IKPI, Jakarta: Deposit pajak mengalami lonjakan tajam pada 2025, bahkan tercatat menyentuh 1.301 persen dari target semula. Fenomena ini ikut mendongkrak penerimaan dari komponen pajak lainnya. Namun, di sejumlah daerah, tren ini justru memunculkan kekhawatiran karena berpotensi mengganggu perhitungan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi pemerintah daerah.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengonfirmasi peningkatan signifikan deposit pajak sejak diberlakukannya sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, pada 1 Januari 2025. Menurutnya, fitur deposit justru dirancang untuk memudahkan wajib pajak dalam menyetor terlebih dahulu kewajiban perpajakannya sebelum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).

“Deposit ini sebenarnya kemudahan bagi wajib pajak, mereka bisa menyetor dulu kewajiban perpajakan kemudian melaporkan SPT,” kata Bimo dalam Media Brefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (31/7/2025).

Ia menegaskan bahwa peningkatan deposit bukanlah masalah besar. Sistem akan secara otomatis mendistribusikan nilai setoran ke jenis pajak yang sesuai begitu SPT dilaporkan. “Sampai SPT itu dilaporkan, maka itu masih menjadi deposit. Jadi tidak ada masalah, nanti akan di-clear up ketika SPT sudah disampaikan,” jelasnya.

Namun, tidak semua pihak merasa tenang. Di daerah seperti Kabupaten Bener Meriah, Aceh, lonjakan deposit justru memunculkan persoalan teknis yang berdampak pada perhitungan DBH Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pasalnya, penghitungan DBH mensyaratkan rincian jenis dan nilai pajak yang dibayarkan pemerintah daerah.

Dalam sebuah kegiatan bimbingan Coretax DJP di KP2KP Rimba Raya, Kepala KP2KP Nurdin menyampaikan bahwa lebih dari 45 persen setoran pajak SKPD di Bener Meriah sejak awal tahun tercatat sebagai deposit. “Jika tidak teralokasi dengan benar, maka akan memengaruhi nilai DBH dan berdampak ke pembangunan daerah,” ujarnya.

Bendahara Inspektorat Bener Meriah, Saipudin, juga meminta adanya penegasan dari Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKPA). Menurutnya, banyak bendahara masih menggunakan sistem deposit karena kendala teknis di awal penerapan Coretax belum sepenuhnya teratasi.

Motor Penggerak Pajak Lainnya

Meski memunculkan dinamika di daerah, tren lonjakan deposit terbukti ikut menyumbang besar terhadap penerimaan pajak nasional. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal, menyebut deposit pajak sebagai pendorong utama melesatnya komponen “pajak lainnya” sepanjang semester pertama 2025.

“Beberapa penerimaan kini masuk terlebih dahulu sebagai deposit. Ketika wajib pajak melaporkan SPT, dana tersebut langsung teratribusi sesuai jenis pajaknya,” jelas Yon dalam keterangannya pada 14 Juli lalu.

Berdasarkan Prognosis APBN Semester II-2025, komponen “pajak lainnya” diprediksi mencapai Rp 109,3 triliun, jauh melampaui target awal Rp 7,8 triliun. Pertumbuhan sebesar 1.301,2 persen ini menjadikannya penyumbang tertinggi di antara semua jenis pajak.

Selain itu, PBB juga diramal naik dari target Rp 27,1 triliun menjadi Rp 30,1 triliun. Di sisi lain, penerimaan dari PPh dan PPN justru diperkirakan terkoreksi. PPh diramal turun dari target Rp 1.209,3 triliun menjadi Rp 1.041,6 triliun, sementara PPN dan PPnBM diprediksi melorot dari Rp 945,1 triliun ke Rp 895,9 triliun. (alf)

 

Perkuat Penerimaan Negara, Kemenkeu dan ESDM Tukar Data dan Analisis Pajak

IKPI, Jakarta: Dalam langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, Kementerian Keuangan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) resmi menjalin kerja sama pertukaran data dan informasi. Fokus kerja sama ini mencakup kolaborasi erat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara serta Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa kerja sama ini tidak sekadar bertukar data, tetapi juga melibatkan analisis bersama hingga penagihan pajak secara terpadu. “Kami akan melakukan pekerjaan bersama antara DJP dan Dirjen Minerba, serta DJP dan SKK Migas, dalam bentuk pertukaran data, informasi, joint analysis, hingga penagihan bersama,” ujar Anggito di Kantor Kementerian Keuangan, Kamis (31/7/2025).

Perjanjian kerja sama ini telah diteken langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada hari yang sama. Kerja sama lintas kementerian ini diharapkan dapat memperkuat pengawasan dan kepatuhan di sektor sumber daya alam yang selama ini menyumbang signifikan terhadap pendapatan negara.

Tak hanya membahas kerja sama perpajakan, pertemuan antara Sri Mulyani dan Bahlil juga menyoroti arahan Presiden Prabowo terkait percepatan elektrifikasi desa. Bahlil mengungkapkan bahwa masih terdapat lebih dari 5.700 desa dan 4.400 dusun yang belum tersambung listrik.

“Target Bapak Presiden kurang lebih lima tahun harus selesai. Itu tadi yang kami koordinasikan dengan Ibu Menkeu,” ujar Bahlil kepada wartawan usai pertemuan. (bl)

 

 

 

 

Gaikindo Soroti Pajak Tinggi Biang Lesunya Penjualan Mobil di Indonesia

IKPI, Jakarta: Lesunya penjualan mobil di pasar domestik mendapat sorotan tajam dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menilai tingginya beban pajak kendaraan menjadi salah satu penyebab utama stagnasi industri otomotif nasional.

Berbicara dalam Dialog Industri Otomotif Nasional yang digelar di sela GIIAS 2025, Kamis (31/7/2025), Kukuh mengungkapkan bahwa tarif pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan Asia Tenggara.

“Saya pernah hadir di seminar otomotif di Vietnam, bahkan delegasi dari Amerika menyebut pajak kendaraan tertinggi ada di Indonesia. Kita bandingkan, Toyota Avanza buatan dalam negeri dikenakan pajak tahunan sampai Rp5 juta, sedangkan di Malaysia hanya sekitar Rp500 ribu untuk produk yang sama,” ujar Kukuh.

Menurutnya, beban pajak tinggi ini muncul karena kendaraan pribadi masih dikategorikan sebagai barang mewah sehingga terimbas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Akibatnya, harga kendaraan pun melambung dan tak sebanding dengan daya beli masyarakat.

“Orang ingin punya mobil, tapi harganya makin tak terjangkau. Tahun lalu saja penjualan mobil turun jadi 865 ribu unit. Kalau situasi ini dibiarkan, bukan cuma pabrikan yang terdampak, tapi juga para pemasok di tingkat pertama hingga ketiga. Kita bicara efek domino, sampai ke potensi PHK,” tegasnya.

Kondisi ini membuat Indonesia kehilangan keunggulan kompetitif di kawasan. Meskipun masih menempati posisi teratas dalam volume penjualan kendaraan di ASEAN, pangsa pasar domestik Indonesia kini turun dari lebih dari 30% menjadi 25%.

“Biasanya Indonesia, Thailand, dan Malaysia bersaing ketat. Tapi kini Malaysia mulai naik kelas, sementara Thailand justru turun drastis ke posisi tiga dengan penjualan hanya 500 ribu unit,” kata Kukuh.

Tak hanya soal pajak, Kukuh juga menyoroti ketimpangan antara pertumbuhan pendapatan masyarakat dan kenaikan harga kendaraan. Menurutnya, kelompok menengah yang menjadi tulang punggung pasar otomotif hanya mengalami peningkatan penghasilan sekitar 3% per tahun, sedangkan harga mobil yang banyak diminati melonjak hingga 7,5% per tahun.

“Ada gap yang terus melebar. Kalau tidak segera direspons, industri otomotif kita sulit bersaing. Sekarang waktunya berkompetisi sehat, tawarkan fitur terbaik dengan harga yang rasional,” pungkasnya.

Industri otomotif menjadi salah satu sektor strategis karena menyerap jutaan tenaga kerja dan menyumbang signifikan terhadap PDB nasional. Oleh karena itu, Gaikindo mendorong evaluasi ulang terhadap kebijakan fiskal yang membebani pembelian kendaraan, agar pasar kembali menggeliat dan industri nasional tetap bertumbuh. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Skema LPG 3 Kg Satu Harga, Tekan Ketimpangan Antarwilayah

 

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan penyeragaman harga untuk gas elpiji (LPG) 3 kilogram di seluruh Indonesia. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat, terutama di wilayah terpencil yang selama ini menghadapi harga jual lebih tinggi dari daerah lainnya.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Yuliot, menegaskan bahwa penetapan harga oleh pemerintah pusat menjadi kunci utama dalam menciptakan pemerataan. “Kalau ini ditetapkan oleh daerah, ya justru akan terjadi perbedaan harga. Maka kebijakan satu harga ini penting agar ada rasa keadilan di setiap wilayah,” ujar Yuliot di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Kebijakan ini juga muncul sebagai respons atas tingginya angka penyimpangan dalam penyaluran subsidi energi. Menteri Sosial Saifullah Yusuf sebelumnya mengungkapkan bahwa subsidi LPG 3 kg yang memakan anggaran hingga Rp87,6 triliun justru salah sasaran hingga 60,6 persen. Angka yang tak kalah memprihatinkan juga terjadi pada subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang salah sasaran hingga 82 persen dari total anggaran Rp26,7 triliun.

“Kalau subsidi dibiarkan terus seperti ini tanpa mekanisme pengawasan dan perbaikan distribusi, yang menikmati justru bukan masyarakat rentan yang berhak, tapi kelompok ekonomi mampu,” jelas Saifullah dalam kesempatan terpisah.

Wacana penetapan harga tunggal LPG 3 kg ini telah mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan. Selain dinilai mampu mempersempit celah permainan harga di tingkat pengecer, kebijakan tersebut juga sejalan dengan semangat pemerataan pembangunan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.

Pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini akan dibarengi dengan pembenahan sistem pendataan dan distribusi, termasuk integrasi dengan data pensasaran perlindungan sosial (P3KE) agar subsidi tepat sasaran. (alf)

DJP dan APKASINDO Sepakati Penguatan Pajak Sektor Perkebunan

IKPI, Jakarta: Komitmen untuk memperkuat peran petani sawit dalam mendukung penerimaan negara resmi ditegaskan melalui penandatanganan Nota Kesepakatan antara Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Riau dan DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Provinsi Riau. Penandatanganan berlangsung di Ballroom Suzuya Hotel, bersamaan dengan pelaksanaan workshop bertema “Kiat Sukses Pengelolaan Perpajakan pada Perkebunan Sawit Rakyat”, Selasa (29/7/2025).

Kerja sama strategis ini menyasar peningkatan literasi dan kepatuhan pajak di kalangan petani sawit yang kini dinilai telah mengalami transformasi signifikan dalam kapasitas ekonomi dan kelembagaan. Workshop diikuti oleh 13 koperasi, 10 Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), serta perwakilan dari tiga Pabrik Kelapa Sawit (PKS) se-Kabupaten Rokan Hilir.

Tiga fokus utama dalam nota kesepakatan tersebut antara lain edukasi perpajakan, pendampingan administrasi, serta pengembangan basis data lahan sawit untuk memperkuat perluasan cakupan perpajakan berbasis data aktual.

Kepala Kanwil DJP Riau Ardiyanto Basuki menyampaikan bahwa sinergi ini menjadi titik tolak penting untuk membangun sektor agribisnis yang lebih transparan dan berkontribusi nyata pada pembangunan nasional. “Kami percaya, setiap rupiah yang Bapak/Ibu setorkan akan kembali dalam bentuk pembangunan untuk negeri ini,” ujarnya.

Sementara itu, Sekjen DPP APKASINDO Rino Afrino menegaskan pentingnya pemahaman pajak di kalangan petani. “Petani sudah naik kelas, dan tandanya petani harus paham pajak,” tegasnya.

Ketua DPW APKASINDO Riau H. Suher juga menyampaikan apresiasinya terhadap dukungan DJP dan pemerintah daerah. “Ini adalah langkah menuju sektor sawit yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, dan berdaya saing,” katanya.

Turut hadir dalam acara ini antara lain Sekjen DPW APKASINDO Djono A. Burhan dan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Rokan Hilir Cicik Mawardi, yang mendukung penuh upaya bersama ini sebagai bagian dari penguatan ekonomi daerah berbasis partisipasi petani.

Langkah kolaboratif ini diharapkan dapat menjadi model nasional dalam integrasi antara otoritas pajak dan pelaku usaha tani, terutama di sektor unggulan seperti kelapa sawit, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian Riau.

Dengan semangat “petani naik kelas”, petani sawit kini tidak hanya sebagai produsen, tetapi juga sebagai warga negara yang aktif berkontribusi dalam pembangunan Indonesia. (alf)

 

INACA Desak Pemerintah Terapkan Pajak Karbon untuk Maskapai Asing yang Melintasi Udara Indonesia

IKPI, Jakarta: Indonesia National Air Carriers Association (INACA) mendorong pemerintah agar segera menerapkan pajak karbon (carbon tax) bagi maskapai asing yang melintasi wilayah udara Indonesia. Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja menilai langkah ini penting demi kedaulatan ruang udara nasional serta sebagai respons atas tren global penerapan pajak karbon di sektor penerbangan.

“Kalau negara lain bisa menerapkan carbon tax terhadap maskapai asing, Indonesia juga seharusnya bisa. Itu sebabnya pengelolaan ruang udara nasional harus diatur dalam Undang-Undang. Tanpa itu, kita tidak punya dasar mengenakan carbon tax kepada pesawat asing yang melintas di airspace Indonesia,” tegas Denon dalam Indonesia Aero Summit 2025, Rabu (30/7/2025).

Menurut Denon, maskapai nasional seperti Garuda Indonesia selama ini telah dikenai carbon tax saat melintas di wilayah negara-negara Eropa. Ia mencontohkan rute Jakarta–Amsterdam yang harus membayar pajak karbon per penumpang ketika pesawat memasuki kawasan udara Eropa.

“Artinya, ada biaya tambahan yang dibebankan ke maskapai kita. Sementara kita belum punya instrumen serupa untuk pesawat asing yang memanfaatkan udara kita,” ujarnya.

Dorong Regulasi dan Akselerasi SAF

Tak hanya soal pajak karbon, INACA juga mendorong percepatan penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor penerbangan nasional. Sustainable Aviation Fuel (SAF) dinilai menjadi kunci untuk menekan emisi sekaligus biaya operasional jangka panjang.

“Negara-negara lain sudah mulai. Singapura akan mewajibkan penggunaan SAF 1 persen mulai 2026. Sementara Indonesia baru merencanakan pencampuran SAF 3 persen di tahun yang sama,” jelas Denon.

Ia menekankan pentingnya langkah konkret untuk mengejar target net zero carbon yang kini ditetapkan Indonesia pada 2060. Salah satunya dengan mendorong penggunaan minyak jelantah atau Used Cooking Oil (UCO) sebagai bahan baku bioavtur, yang dinilai lebih ekonomis dan tersedia melimpah.

“UCO bisa membantu menurunkan biaya operasional maskapai, yang pada akhirnya berdampak ke harga tiket. Tapi distribusinya harus efisien. Jangan sampai UCO dikumpulkan di satu titik seperti Cilacap, lalu malah menambah ongkos karena harus dikirim lagi,” ujar Denon.

INACA berharap pemerintah segera merumuskan regulasi yang mencakup tata kelola ruang udara dan kebijakan lingkungan sektor aviasi. Tanpa dukungan hukum yang kuat, Indonesia berisiko tertinggal dalam transformasi menuju penerbangan hijau.

“Pajak karbon bukan hanya soal penerimaan negara, tapi juga bagian dari komitmen global terhadap pengurangan emisi. Kalau negara lain bisa menjadikannya standar, kita juga harus punya,” tutup Denon. (alf)

 

DJP dan Dukcapil Teken Kerja Sama Data Kependudukan untuk Perkuat Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri resmi menjalin kerja sama pemanfaatan data kependudukan untuk mendukung penguatan sistem administrasi perpajakan nasional.

Perjanjian kerja sama tersebut ditandatangani langsung oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi, Selasa (29/7/2025), di Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Kerja sama ini menandai sinergi antarinstansi pemerintah dalam memperluas integrasi data dan mendukung reformasi birokrasi, khususnya di sektor perpajakan.

Dalam siaran pers DJP Nomor SP-16/2025 yang dirilis Rabu (30/7/2025) Dirjen Dukcapil Teguh Setyabudi menyatakan komitmennya untuk mendukung penuh pemberian akses data kependudukan kepada DJP.

Ia menegaskan bahwa secara regulatif, data kependudukan memang dapat digunakan untuk menunjang berbagai kepentingan negara, mulai dari pelayanan publik hingga penegakan hukum.

“Pemanfaatan data ini mencakup validasi NIK, pemutakhiran data penduduk, hingga layanan face recognition, yang semuanya sangat relevan dalam mendukung pengawasan dan administrasi perpajakan,” kata Teguh.

Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menambahkan bahwa kerja sama ini merupakan bagian dari langkah strategis DJP dalam memperkuat tata kelola perpajakan nasional. Ia menilai integrasi data antar lembaga menjadi kunci dalam mewujudkan sistem administrasi perpajakan yang andal dan responsif terhadap dinamika digital.

“Ini adalah bagian dari fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih modern melalui pengembangan Coretax DJP,” ujar Bimo.

Menurut Bimo, kolaborasi lintas sektor seperti ini tidak hanya mendukung efektivitas pengawasan, tapi juga meningkatkan kualitas layanan publik yang berbasis data akurat. Ia menyampaikan apresiasi tinggi kepada Dukcapil serta seluruh jajaran DJP yang telah bekerja sama mewujudkan PKS ini.

Dengan kerja sama ini, DJP berharap pemadanan dan verifikasi data wajib pajak dapat dilakukan lebih efektif, sehingga mempersempit ruang gerak bagi praktik-praktik manipulasi identitas atau penghindaran pajak.

Langkah ini sejalan dengan agenda reformasi perpajakan jangka panjang yang menekankan pentingnya integrasi sistem dan pemanfaatan teknologi untuk mewujudkan kepatuhan sukarela yang berkeadilan dan berbasis data. (alf)

 

Ketua IKPI Lampung Tegaskan Kesuksesan Penyelenggaraan Seminar Pajak Berkat Sinergi Pengurus dan Dukungan Otoritas Pajak

IKPI, Lampung: Ketua IKPI Cabang Lampung, Teten Dharmawan, menyampaikan bahwa keberhasilan seminar “Transformasi Pajak 2025: Ketentuan Terbaru Pelaporan Pajak Berdasarkan PER-11/PJ/2025 dan Kiat-Kiat Menanggapi SP2DK Era Coretax System” merupakan hasil dari sinergi dan kolaborasi berbagai pihak yang saling mendukung, baik dari internal organisasi maupun eksternal.

“Kesuksesan seminar ini adalah buah dari kerja kolektif yang luar biasa. Saya menyampaikan apresiasi dan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh jajaran pengurus IKPI, baik di tingkat cabang, daerah, maupun pusat, serta kepada otoritas pajak yang telah hadir dan mendukung penuh terselenggaranya kegiatan ini,” ujar Teten, Rabu (30/7/2025).

Ia secara khusus mengucapkan terima kasih atas kehadiran Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional sekaligus President IFA-Asia Pasifik Ichwan Sukardi, Ketua Pengda Sumbagsel Nurlena, dan Ketua Pengcab Palembang Susanti, yang menurutnya turut memberi energi dan semangat tersendiri bagi para peserta serta menjadi wujud dukungan nyata dari organisasi secara menyeluruh.

“Dukungan dari pengurus pusat dan pengda adalah bentuk nyata bahwa IKPI selalu hadir dan kompak dalam mengedukasi serta mendampingi para konsultan dan masyarakat di daerah,” tambahnya.

Selain itu, Teten juga mengapresiasi kehadiran jajaran pejabat dari Kanwil DJP Bengkulu dan Lampung, termasuk Kabid P2Humas Tunas Hariyulianto yang hadir mewakili Kepala Kanwil DJP, serta perwakilan dari beberapa KPP di wilayah Lampung, antara lain:

• Billy, Penyuluh Pajak KPP Madya Lampung

• Arini Dyah Rahmawati, Kasi Pengawasan IV KPP Pratama Bandar Lampung 1

• Amston Sipahutar, Kasi Pengawasan III KPP Pratama Bandar Lampung 2

Ia menyebut sinergi antara IKPI dan DJP menjadi elemen penting dalam meningkatkan literasi dan kepatuhan perpajakan.

“Acara ini diikuti oleh 160 peserta, dengan 120 di antaranya dari kalangan umum. Ini menunjukkan bahwa edukasi perpajakan makin diminati, dan IKPI hadir di saat yang tepat untuk menjawab kebutuhan tersebut,” ujar Teten.

Ia juga memuji penyampaian materi oleh Sapto Windi Argo (narasumber) yang dinilai sangat aplikatif dan relevan, serta kerja profesional para moderator Elda Susilowaty Tambara dan Krista Purnama Sari.

“Transformasi sistem pajak tentu harus dibarengi dengan transformasi pemahaman. Saya berharap kolaborasi semacam ini bisa terus ditingkatkan di masa mendatang, agar literasi perpajakan di masyarakat terus tumbuh dan sistem perpajakan kita semakin adil dan transparan,” kata Teten. (bl)

Tarif Baru PPh 22 Berlaku 1 Agustus, Pembelian Emas Batangan Kena Pajak 0,25%

IKPI, Jakarta: Pemerintah memperluas cakupan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan memasukkan kegiatan usaha bullion dan pembelian emas batangan ke dalam objek pungutan. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 yang resmi diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 25 Juli 2025 dan mulai berlaku 1 Agustus 2025.

Salah satu poin penting dalam beleid ini adalah penetapan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pembelian emas batangan (tidak termasuk PPN), khusus bagi Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang menjalankan usaha bullion dan telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Atas pembelian emas batangan oleh Lembaga Jasa Keuangan penyelenggara Kegiatan Usaha Bullion yang telah memperoleh izin dari OJK dikenakan tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25%,” bunyi kutipan pasal dalam PMK 51/2025.

Kebijakan ini merupakan perluasan dari aturan sebelumnya dalam PMK 34/2017, dengan beberapa penyesuaian dan penegasan baru. Misalnya, terdapat ketentuan pengecualian atas pemungutan PPh Pasal 22 untuk impor sejumlah barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan PPN.

Daftar Barang yang Dikecualikan

PMK ini memuat 19 kategori barang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 saat impor, antara lain:

• Barang milik perwakilan negara asing dan badan internasional,

• Hibah untuk kegiatan sosial, kebudayaan, dan penanggulangan bencana,

• Barang riset dan pendidikan,

• Alat bantu bagi penyandang disabilitas,

• Buku pelajaran, kitab suci, serta buku ilmu pengetahuan,

• Kendaraan dan alat keselamatan bagi industri pelayaran, penerbangan, dan perkeretaapian nasional,

• Barang strategis untuk kepentingan pertahanan, energi, dan kesehatan nasional.

Tarif Pemungutan yang Diperinci

Selain emas batangan, PMK ini juga mengatur tarif PPh Pasal 22 lainnya berdasarkan jenis barang dan kegiatan impor:

• 10% untuk barang tertentu yang masuk daftar khusus,

• 7,5% untuk impor komoditas tertentu lainnya,

• 0,5% untuk kedelai, gandum, dan tepung terigu,

• 0,25% untuk impor emas batangan,

• Tarif khusus untuk ekspor komoditas tambang seperti batubara dan mineral logam serta non-logam.

Kepastian dan Kepatuhan Pajak

Dengan diberlakukannya PMK ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan kepatuhan pajak di sektor komoditas logam mulia, sekaligus memperjelas kewajiban perpajakan bagi pelaku usaha bullion yang sebelumnya belum secara eksplisit diatur dalam PMK terdahulu.

Aturan baru ini juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjaga ekosistem perpajakan yang adil dan merata, terutama di sektor perdagangan emas batangan yang nilainya besar namun masih minim kontribusi pajak dalam beberapa tahun terakhir. (alf)

 

en_US