Pemerintah Resmi Berlakukan Insentif Pajak untuk Kendaraan Hybrid

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan telah mengumumkan pemberlakuan regulasi baru yang memberikan insentif pajak bagi kendaraan hybrid. Regulasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025 yang diundangkan pada 4 Februari 2025 dan mulai berlaku pada tanggal tersebut.

Aturan ini mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai roda empat tertentu dan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai bus tertentu. Selain itu, PMK ini juga mengatur Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas penyerahan kendaraan bermotor roda empat emisi karbon rendah listrik tertentu yang ditanggung Pemerintah untuk tahun anggaran 2025.

Insentif untuk Kendaraan Hybrid

Salah satu poin utama dalam PMK Nomor 12 Tahun 2025 adalah pemberian insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) untuk kendaraan hybrid atau yang dikenal dengan istilah Low Carbon Emission Vehicle (LCEV). Insentif ini berlaku untuk tiga jenis kendaraan hybrid, yaitu:

• Full Hybrid Electric Vehicle (FHEV): Kendaraan yang memiliki fitur seperti idling stop (mesin mati otomatis saat berhenti sejenak), regenerative braking (pengereman regeneratif), motor listrik sebagai alat bantu gerak, dan mampu bergerak sepenuhnya menggunakan motor listrik untuk waktu atau kecepatan tertentu.

• Mild Hybrid Electric Vehicle (MHEV): Kendaraan yang memiliki fitur idling stop, regenerative braking, dan motor listrik sebagai alat bantu gerak.

• Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV): Kendaraan yang memiliki minimal satu motor listrik atau motor generator serta minimal satu motor bakar, dan dilengkapi dengan sistem pengisian daya dari luar (eksternal charging).

Ketentuan dan Masa Berlaku Insentif

Untuk mendapatkan insentif ini, kendaraan hybrid harus memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 74 Tahun 2021.

Insentif yang diberikan berupa PPnBM DTP sebesar 3% dari harga jual kendaraan hybrid yang memenuhi ketentuan tersebut. Insentif ini berlaku untuk Masa Pajak Januari 2025 hingga Masa Pajak Desember 2025.

“Pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah tahun anggaran 2025 sebagaimana dimaksud dalam P ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis aturan tersebut.

Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kendaraan ramah lingkungan di Indonesia serta mendukung upaya pengurangan emisi karbon secara nasional. (alf)

 

Pajak Pariwisata Diusulkan untuk Menyaring Wisatawan ke Bali

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VII DPR Bane Raja Manalu, mengusulkan penerapan pajak pariwisata bagi wisatawan berkualitas yang berkunjung ke Bali. Usulan ini bertujuan untuk mengatasi masalah over tourism yang kini semakin mengkhawatirkan di Pulau Dewata.

“Untuk mengatasi over tourism ini, bisa juga melalui pengenaan pajak pariwisata sehingga turis yang datang adalah turis berkualitas. Pajak pariwisata ini bisa juga digunakan untuk promosi, perbaikan fasilitas, dan lain sebagainya,” ujar Bane dalam rapat Panja RUU Kepariwisataan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Meski demikian, Bane tidak merinci secara jelas seperti apa kriteria wisatawan berkualitas yang dimaksud. Menurutnya, kondisi Bali saat ini telah dipenuhi wisatawan yang membuat situasi semakin memburuk.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali sepanjang 2024 mencapai 6,3 juta kunjungan, naik dari 5,2 juta kunjungan pada tahun 2023.

“Ketika Bali sudah over tourism, sudah tidak sesuai dengan Tri Hita Karana, sampah dan kemacetan menjadi persoalan, lalu masalah sosial lainnya,” kata Bane.

Ia juga menyoroti fenomena wisatawan yang sering membuat resah masyarakat setempat.

Kondisi tersebut, lanjut Bane, berpotensi diperparah dengan beroperasinya Bandara Buleleng yang dirancang untuk melayani penerbangan dengan biaya rendah atau low cost carrier.

Menurutnya, bandara ini akan menarik lebih banyak wisatawan yang tidak memberikan dampak ekonomi positif.

“Kenapa harus ada bandara dengan tujuan penerbangan low cost carrier yang akan mendatangkan lebih banyak lagi turis-turis yang tidak kita harapkan? Turis yang tidak membawa dampak ekonomi,” jelas Bane.

Oleh karena itu, Bane berharap agar pengelolaan pariwisata di Indonesia bisa lebih baik melalui RUU tentang Kepariwisataan yang saat ini sedang dibahas di parlemen. RUU tersebut diharapkan dapat memberikan dasar hukum yang kuat bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan pajak pariwisata demi menarik wisatawan yang lebih berkualitas. (alf)

 

Kanwil DJP Lampung dan Bengkulu Harapkan Kerja Sama dengan IKPI Semakin Efektif

IKPI, Lampung: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung mengadakan audiensi dengan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Bengkulu dan Lampung pada Senin, (10/3/2025). Acara ini membahas berbagai hal terkait perpajakan dan peran konsultan pajak.

Kepala Kanwil DJP Lampung dan Bengkulu Rosmauli menekankan bahwa IKPI merupakan mitra DJP yang berperan penting dalam membantu peningkatan penerimaan pajak. Ia berharap kerja sama ini dapat memperkuat edukasi dan layanan kepada Wajib Pajak (WP).

Rosmauli juga menyampaikan bahwa Kanwil DJP Lampung dan Bengkulu berhasil mencapai peringkat kedua terbaik secara nasional dalam pencapaian target penerimaan pajak tahun 2024, dengan capaian sebesar 102%. Mengingat target yang meningkat pada tahun 2025, kerja sama dengan IKPI diharapkan semakin efektif.

Sementara itu, Ketua IKPI Cabang Lampung, Teten Dharmawan, menyampaikan bahwa IKPI Lampung memiliki total 49 anggota, meskipun hanya sekitar 20 orang yang berdomisili di Lampung.
Dalam sesi diskusi, Supi selaku Kabid PEP mengingatkan bahwa IKPI berperan penting sebagai perpanjangan tangan DJP untuk membantu WP yang belum memahami peraturan perpajakan.

Pada sesi diskusi, anggota IKPI Lampung, Bambang Setiawan mengajukan pertanyaan terkait kriteria dan syarat keringanan sanksi atau denda. Pertanyaan tersebut dijawab perwakilan Kanwil DJP, Benikto yang menjelaskan bahwa pemberian keringanan sanksi mengikuti aturan yang berlaku secara umum.

Lebih lanjut Rosmauli menambahkan bahwa keputusan terkait keringanan atau penghapusan denda harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena dapat memengaruhi pemeriksaan dan audit internal.
Isu terkait perpanjangan PPh Final 0,5% juga turut dibahas dalam audiensi ini.
Diakhir audiensi, Rosmauli menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen penuh untuk mencapai target penerimaan pajak tanpa kepentingan pribadi. Ia juga berpesan agar semua pihak tidak memberikan hadiah atau tanda terima kasih kepada jajarannya, guna menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas.

Audiensi ini menegaskan pentingnya sinergi antara Kanwil DJP Lampung dan Bengkulu dengan IKPI Cabang Lampung dalam mendukung pencapaian target penerimaan pajak tahun 2025.

Peserta Audiensi Dari pihak Kanwil DJP Lampung dan Bengkulu, hadir:
• Rosmauli – Kakanwil DJP Bengkulu Lampung
• Supi – Kabid PEP
• Benito – Kabid KBP
• Ismail – Kabid DP3
• Bapak Ishak – Penyuluh
• Edi – Kabid Umum
• Fuad – Penyuluh
• Bapak Endartana – Kasie Bimbingan dan Pelayanan
Dari IKPI Cabang Lampung, hadir:
• Teten Dharmawan – Ketua IKPI Cabang Lampung
• Henry K Yuza – Wakil Ketua
• Heltati – Sekretaris
• Heriyanto – Bendahara
• Bambang Setiawan – Humas
• Endang Rusyana – Bidang PPL
• Yuli Rahayu
• Agoes M
• Handi Sutanto
• Khamid Nur
• Mustopa
• Muhamad Fikri
• Krista Purnama Sari
(bl)

IKPI dan Kementerian UMKM Rencanakan Kerja Sama Bantu Pelaku Usaha di Indonesia

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyatakan rencana kerja sama strategis dengan Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dalam rangka memberikan pendampingan kepada para pelaku UMKM di seluruh Indonesia.

Vaudy menegaskan bahwa kerja sama ini bertujuan untuk membantu pelaku UMKM dalam menghadapi berbagai tantangan perpajakan dan permasalahan hukum khususnya bidang perpajakan yang mereka hadapi. “Kami memahami bahwa banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan dalam mengisi SPT tahunan pajak atau menghadapi permasalahan hukum terkait perpajakan. Oleh karena itu, kami siap memberikan pendampingan yang komprehensif,” ujar Vaudy di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Ia menjelaskan, program pendampingan ini mencakup beberapa aspek penting, seperti:

• Pembimbingan Pengisian SPT Tahunan Pajak: IKPI akan menyediakan konsultan pajak untuk membantu para pelaku UMKM memahami tata cara pengisian dan pelaporan pajak tahunan dengan benar dan sesuai peraturan yang berlaku.

• Pendampingan Hukum: Pelaku UMKM yang menghadapi masalah hukum terkait dengan perpajakan akan mendapatkan bimbingan langsung dari konsultan pajak guna mencari solusi terbaik.

• Edukasi Perpajakan: IKPI akan menggelar berbagai seminar, workshop, dan program edukasi guna meningkatkan pemahaman pelaku UMKM tentang kewajiban perpajakan mereka.

“Kami berharap dengan adanya kerja sama ini, para pelaku UMKM tidak lagi merasa khawatir dalam mengelola kewajiban perpajakan mereka dan bisa lebih fokus dalam mengembangkan usaha,” kata Vaudy.

Rencana kerja sama ini diharapkan dapat direalisasikan dalam waktu dekat dan menjangkau UMKM di seluruh wilayah Indonesia, baik di perkotaan maupun pedesaan. Dengan langkah ini, IKPI dan Kementerian UMKM berkomitmen untuk menciptakan iklim usaha yang lebih sehat dan patuh terhadap regulasi pajak di Indonesia.

Sementara itu, Deputi Pembiayaan dan Investasi, Kementerian UMKM Ali Mansur, menyatakan pihaknya tengah merancang program baru untuk memberikan konsultasi dan advokasi pajak bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Program ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih berkelanjutan bagi para pelaku usaha tersebut.

“Sebenarnya ini program yang reguler, tiap tahun ada,” ujar Ali Mansur.

Namun, menurut Ali, program sebelumnya hanya berbentuk sosialisasi terkait pajak kepada UMKM. Melalui pengembangan program yang tengah dirancang ini, mekanisme baru akan diterapkan agar dampaknya lebih signifikan dan berkelanjutan.

“Cuma tahun-tahun sebelumnya bentuknya itu kita laksanakan hanya semacam sosialisasi ke UMKM kaitan dengan pajak. Kita mau coba kembangkan program ini sehingga mekanismenya itu harapannya memberi manfaat yang lebih berkelanjutan,” kata Ali saat melakukan audiensi dengan jajaran Pengurus Pusat IKPI yang dipimpin Ketua Umum Vaudy Starworld di kantornya, Rabu (12/3/2025).

Ali juga mengungkapkan bahwa pola program ini akan mengacu pada layanan bantuan hukum yang sudah diterapkan untuk usaha mikro kecil. Melalui pola tersebut, Kemenkop UKM akan bekerja sama dengan para konsultan pajak di daerah yang nantinya akan mendampingi pelaku usaha mikro kecil yang mengalami kendala atau masalah terkait perpajakan.

“Kami sedang memikirkan untuk merancang bagaimana program konsultasi dan advokasi pajak ini polanya seperti layanan bantuan hukum. Di sana itu bekerja sama dengan konsultan pajak di daerah. Ketika ada usaha mikro kecil yang sedang mengalami masalah pajak, konsultan pajak mitra kita itu yang akan diterjunkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ali menekankan bahwa pendekatan ini bertujuan agar program tidak hanya bersifat sosialisasi, tetapi benar-benar memberikan manfaat yang berkelanjutan bagi para pelaku UMKM.

“Daripada hanya sosialisasi, tapi manfaatnya itu tidak melanjutan. Kalau program seperti itu, lebih beneficial lah buat usaha mikro kecil khususnya,” kata Ali.

Kementerian UMKM juga berencana untuk memasukkan regulasi terkait program ini jika pola tersebut terbukti efektif dan memberikan dampak positif. Saat ini, pihaknya tengah mengumpulkan masukan dari berbagai praktisi perpajakan dalam hal ini IKPI untuk menyusun panduan yang tepat guna program ini.

Dengan adanya program ini, diharapkan para pelaku UMKM dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan mereka, sekaligus mendapatkan pendampingan yang efektif saat menghadapi permasalahan hukum terkait pajak. (bl)

Kebijakan TER Sebabkan Lebih Bayar PPh 21 Rp 16,5 Triliun 

IKPI, Jakarta: Kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang mulai berlaku sejak Januari 2024 menimbulkan dampak signifikan pada penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Akibat penerapan kebijakan tersebut, terjadi lebih bayar PPh 21 sebesar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar pada Kamis (13/3/2025), mengungkapkan bahwa kelebihan pembayaran tersebut dapat memengaruhi penghitungan penerimaan pajak tahun ini.

“Pada 2024 ada lebih bayar sebesar Rp 16,5 triliun. Jika lebih bayar tersebut diklaim kembali atau dinormalisasi pada Januari dan Februari 2025, sebetulnya penerimaan PPh 21 tahun ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” jelas Anggito.

Lebih bayar pajak ini umumnya terjadi ketika perusahaan atau pemberi kerja membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan oleh karyawan mereka. Dengan adanya kebijakan TER yang berlaku sejak awal 2024, perhitungan pajak yang sebelumnya mengacu pada tarif yang lebih rendah kini mengalami penyesuaian, yang menyebabkan pembayaran pajak menjadi lebih besar.

Anggito menambahkan bahwa meski lebih bayar ini terjadi, kondisi tersebut seharusnya tidak diartikan sebagai penurunan kinerja penerimaan pajak.

“Jika kita lihat dampak penyesuaian tersebut secara keseluruhan, justru penerimaan PPh 21 tahun ini memperlihatkan peningkatan yang signifikan,” ujar Anggito.

Kementerian Keuangan juga menyoroti pentingnya sosialisasi terkait kebijakan TER agar wajib pajak memahami mekanisme penghitungan baru ini. Selain itu, pihaknya akan berupaya mempercepat proses pengembalian kelebihan bayar bagi perusahaan yang mengajukan klaim pada awal 2025.

Pemerintah berharap kebijakan TER ini dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan bagi seluruh lapisan masyarakat, serta meningkatkan kepatuhan pajak di masa mendatang. (alf)

 

Wamenkeu Anggap Wajar Penurunan Penerimaan Pajak Awal Tahun 2025: Faktor Musiman dan Kebijakan Baru  

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu, menjelaskan bahwa penurunan penerimaan pajak pada awal tahun 2025 merupakan hal yang wajar. Faktor utama yang memengaruhi penurunan ini adalah hilangnya efek musiman dari perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) serta perlambatan harga komoditas seperti batu bara, nikel, dan minyak bumi.

Anggito menegaskan bahwa data penerimaan pajak Januari 2025 tidak dapat sepenuhnya dibandingkan dengan tahun sebelumnya karena adanya kebijakan baru, salah satunya penerapan relaksasi PPN Dalam Negeri (PPN DN) selama 10 hari juga memengaruhi penerimaan pajak awal 2025.

Dengan kebijakan ini, pembayaran PPN DN untuk Januari dapat dilakukan hingga 10 Maret 2025. Anggito menyatakan bahwa jika dinormalisasi, rata-rata penerimaan PPN pada periode Desember 2024-Februari 2025 mencapai Rp 69,5 triliun, tumbuh 8,3% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 64,2 triliun.

Penurunan penerimaan pajak juga dipengaruhi oleh perlambatan setoran PPh Pasal 25 Badan, yang terjadi seiring dengan penurunan harga komoditas. Meski demikian, Anggito menegaskan bahwa kondisi ini masih dalam batas normal dan tidak menunjukkan anomali.

“Setoran PPh 25 masih mengikuti pola normal meskipun sedikit melambat karena faktor eksternal penurunan harga-harga komoditas,” kata Anggito dalam pemaparan APBN KiTa di kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 mengalami kontraksi signifikan sebesar 30%, mencapai Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target yang ditetapkan. Angka ini lebih rendah dibandingkan penerimaan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 269,02 triliun.

Meskipun terjadi penurunan, pemerintah menilai kondisi ini masih dalam batas wajar dan dipengaruhi oleh faktor musiman serta kebijakan fiskal baru yang diterapkan. (alf)

 

 

Menkeu Umumkan Penerimaan Pajak Menurun 30,19% di Awal Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 187,8 triliun. Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 30,19% dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 269,02 triliun.

“Penerimaan pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6% dari target,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (13/3/2025).

Penurunan signifikan juga terlihat pada penerimaan pajak pada Januari 2025, yang hanya mencapai Rp 88,89 triliun. Angka ini lebih rendah 41,86% dibandingkan penerimaan pajak pada Januari 2024 yang mencapai Rp 152,89 triliun.

Secara keseluruhan, pendapatan negara hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp 316,9 triliun, yang setara dengan 10,5% dari target pendapatan tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp 3.005,1 triliun.

Lebih rinci, pendapatan negara tersebut terdiri dari:

• Penerimaan pajak: Rp 187,8 triliun

• Kepabeanan dan cukai: Rp 52,6 triliun

• Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP): Rp 76,4 triliun

Penurunan penerimaan pajak ini menjadi perhatian khusus pemerintah yang berupaya menjaga stabilitas keuangan negara di tengah tantangan ekonomi global. (alf)

 

Penerimaan Pajak Turun Drastis, Defisit Anggaran 2025 Terancam Melebar

IKPI, Jakarta: Penurunan signifikan pada penerimaan pajak di awal tahun 2025 diprediksi akan berdampak besar terhadap defisit anggaran negara. Pada Januari 2025, kinerja penerimaan pajak tercatat turun hingga 41,9%, yang berpotensi membuat defisit anggaran melebar dari target yang telah ditetapkan sebesar 2,53% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyebut bahwa jika tren penurunan ini terus berlanjut, penerimaan negara berpotensi mengalami shortfall Rp300 hingga Rp400 triliun. Hal ini secara otomatis akan memperbesar defisit anggaran hingga mencapai Rp800 triliun atau hampir 3% dari PDB.

“Berdasarkan prediksi kami pada akhir Januari 2025 lalu, potensi defisit hingga Rp800 triliun atau hampir 3% PDB adalah skenario yang realistis jika situasi ini terus berlanjut tanpa solusi cepat,” ujar Achmad dalam keterangan resmi pada Rabu (12/3/2025).

Penurunan penerimaan pajak ini terjadi di tengah tingginya kebutuhan belanja negara, terutama untuk program-program yang menjadi janji kampanye Presiden Prabowo-Gibran. Program-program tersebut mencakup belanja sosial dan pangan, yang membuat ruang fiskal untuk pemangkasan belanja menjadi sangat terbatas.

Selain itu, upaya untuk menutup defisit dengan penerbitan utang baru diperkirakan akan lebih mahal karena pasar obligasi mulai bereaksi negatif terhadap kondisi ini. Kenaikan imbal hasil atau yield obligasi negara (SUN) menunjukkan bahwa pasar menuntut premi risiko yang lebih tinggi bagi utang pemerintah, seiring dengan kekhawatiran atas kondisi fiskal yang memburuk.

Achmad memperingatkan bahwa jika pemerintah terus memaksakan belanja tanpa disertai penerimaan yang memadai, maka risiko pembengkakan utang akan meningkat. Hal ini dapat memperbesar beban bunga utang yang saat ini telah mencapai lebih dari Rp500 triliun per tahun.

Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI, Teuku Riefky, juga menyoroti potensi pelebaran defisit akibat kebutuhan belanja yang tinggi di tengah penurunan aktivitas ekonomi. Sementara itu, Ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, mengamini bahwa penerimaan pajak mengalami tekanan dari berbagai sisi.

Selain implementasi sistem Coretax yang belum optimal, target penerimaan tahun 2025 juga mengandalkan PPN sebesar 12%. Namun, kebijakan tersebut batal diterapkan dan PPN tetap berada pada level 11%. Daya beli masyarakat yang lemah turut berpengaruh pada penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) individu maupun badan.

Di sisi lain, penurunan harga komoditas seperti batu bara dan nikel semakin memperbesar potensi shortfall penerimaan negara.

“Jadi tahun ini target defisit sebesar 2,53% dari PDB kemungkinan akan melebar hingga 2,6% hingga 2,8% pada akhir tahun,” ungkap Putera Satria, Rabu (12/3/2025).

Dalam postur APBN 2025, pemerintah menargetkan pendapatan negara senilai Rp3.005,13 triliun, yang utamanya bersumber dari penerimaan pajak sebesar Rp2.189,31 triliun. Sementara itu, belanja negara direncanakan mencapai Rp3.621,3 triliun, yang menambah tantangan bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal di tengah kondisi penerimaan pajak yang tertekan. (alf)

 

Penerimaan Pajak Januari 2025 Turun Jadi 41,86% 

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp 88,89 triliun. Angka ini mengalami penurunan signifikan sebesar 41,86% dibandingkan dengan penerimaan pajak pada Januari 2024 yang mencapai Rp 152,89 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak Januari 2025 tercatat Rp 88,89 triliun atau 4,06% dari target, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,”

tulis Kemenkeu dalam Laporan APBN Kita Edisi Februari 2025 yang dirilis pada Rabu (12/3/2025).

Rincian penerimaan pajak hingga 31 Januari 2025 adalah sebagai berikut:

• Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas: Rp 57,78 triliun atau 5,04% dari target.

• Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM): Rp 24,62 triliun atau 2,60% dari target.

• Pajak Penghasilan (PPh) migas: Rp 4,27 triliun atau 6,79% dari target.

Kinerja penerimaan pada ketiga kelompok pajak tersebut mengalami pelambatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Di sisi lain, penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta pajak lainnya mengalami peningkatan sebagai dampak dari ketentuan baru terkait deposit pajak.

Realisasi PBB dan pajak lainnya tercatat sebesar Rp 2,22 triliun atau 6,37% dari target.

Penurunan signifikan pada penerimaan pajak ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam upaya mencapai target penerimaan pajak tahun 2025. (alf)

 

Kemenkeu Satu dan Pemprov DKI Jakarta Perkuat Edukasi Pajak di Sekolah hingga Pertukaran Data Perpajakan

IKPI, Jakarta: Kantor Perwakilan Kemenkeu Satu se-Jakarta Raya menjalin kolaborasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam upaya memperkuat kebijakan fiskal. Kerja sama ini mencakup beberapa inisiatif utama, di antaranya integrasi edukasi perpajakan di sekolah-sekolah, pertukaran data perpajakan, serta penguatan pemahaman wilayah fiskal di Jakarta.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat yang juga menjabat sebagai Kepala Perwakilan Kemenkeu Satu se-Jakarta Raya, Eddi Wahyudi, menyoroti pentingnya harmonisasi antara pajak pusat dan pajak daerah guna memastikan keberlanjutan fiskal nasional dan daerah.

“Pentingnya sinkronisasi antara aparatur Pajak Pusat dan Pajak Daerah demi mencapai APBD dan APBN yang tangguh. Sinergi ini menjadi kunci dalam menjaga stabilitas keuangan negara dan daerah,” ujar Eddi dalam keterangannya pada Rabu (12/3/2025).

Sebelumnya, Eddi Wahyudi bersama perwakilan Kementerian Keuangan lainnya telah mengadakan audiensi dengan Gubernur Daerah Khusus Jakarta, Pramono Anung, di Balai Kota. Audiensi tersebut membahas berbagai bentuk kolaborasi penguatan kebijakan fiskal yang bertujuan untuk mempererat sinergi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.

Eddi menyampaikan harapannya bahwa pertemuan tersebut dapat semakin mempererat kerja sama antara unit kerja vertikal DJP dengan Pemprov DKI Jakarta, demi mewujudkan sistem perpajakan yang lebih inklusif, transparan, dan berdaya guna bagi pembangunan daerah maupun nasional.

Dalam kesempatan yang sama, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menegaskan komitmen Pemprov DKI untuk memperkuat kolaborasi fiskal dengan Kemenkeu.

“Pemprov DKI Jakarta menyambut baik pertemuan ini dan berkomitmen untuk menjadi partner yang bisa berkolaborasi dengan baik, saling respek, dan memberikan apresiasi,” kata Pramono.

Sebagai simbol dukungan terhadap edukasi perpajakan bagi generasi muda, Kanwil DJP Jakarta Barat turut menyematkan jaket Relawan Pajak “Renjani” kepada Pramono. Penyematan jaket ini menjadi simbol kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam meningkatkan literasi pajak di kalangan pelajar dan mahasiswa. (alf)

 

 

en_US