IKPI Cabang Medan dan Sumbagut Jalin Sinergi dengan KPP Pratama Binjai

IKPI, Medan: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Cabang Medan bersama Pengurus Daerah Sumatera Utara (Sumbagut) menggelar audiensi di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Binjai, Kamis (14/8/2025).

Ketua IKPI Cabang Medan Ebenezer Simamora (Eben) mengungkapkan, pertemuan ini disambut langsung oleh Pelaksana Tugas KPP Pratama Binjai, Muhammad Taufiq Hidayatulloh Al Mahdy, bersama jajaran, Arden dan Diana.

“Audiensi menjadi langkah awal dalam memperkuat solidaritas dan menjalin kerja sama strategis antara kedua pihak,” kata Eben, Kamis (14/8/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Eben juga memaparkan sejarah singkat IKPI dan perannya sebagai asosiasi konsultan pajak berizin resmi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia juga mengundang KPP Pratama Binjai untuk berpartisipasi dalam kegiatan donor darah serentak yang akan digelar seluruh cabang IKPI dalam rangka HUT IKPI ke-60.

Pada kesempatan tersebut, Taufiq menegaskan komitmen KPP Pratama Binjai untuk terus membuka ruang dialog dengan para konsultan pajak dan menghadirkan pelayanan yang inklusif serta profesional bagi masyarakat.

“IKPI menyatakan siap menjadi mitra strategis KPP dalam membina wajib pajak serta mendukung program sosialisasi dan edukasi perpajakan. Kolaborasi ini diharapkan menciptakan iklim perpajakan yang transparan, adil, dan kondusif, khususnya di wilayah kerja KPP Pratama Binjai,” kata Taufiq.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Pada kesempatan tersebut, dari IKPI Sumbagut hadir Bendahara Mayawaty, sementara dari Cabang Medan hadir Ketua Eben Ezer Simamora, Wakil Ketua I Hang Bun, Wakil Ketua II Pony, Sekretaris Silvia Koesman, Wakil Sekretaris Novianna, Wakil Bendahara Usman, serta Herlina dari Bidang Humas, Information and Technology (IT) dan Kemitraan. (bl)

Pemerintah Pastikan 2026 Tanpa Kenaikan Tarif Pajak dan PNBP

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memastikan pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak apapun pada 2026. Kepastian ini ia sampaikan dalam Live Special Talkshow CNBC dengan tema “Nota Keuangan dan RAPBN 2026: Membaca Arah Ekonomi dan Kebijakan Fiskal 2026”, Jumat (15/8/2025).

Anggito menegaskan, selain menahan kenaikan tarif pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pemerintah juga tidak berencana menghadirkan jenis pajak baru. Fokus tahun depan, katanya, adalah mengoptimalkan penerimaan yang ada.

“2026 kita harus ganti tanda petik dari sisi optimalisasi pajak dan PNBP. Pajak sudah kita sampaikan, tidak akan ada jenis pajak baru,” ujar Anggito.

Ia hanya menyebutkan, hanya ada kenaikkan cukai pada tahun ini. Meski tanpa kenaikan tarif, pemerintah tetap akan memperkuat penegakan kepatuhan, memperbaiki administrasi, dan memperluas basis pajak (tax base).

Anggito optimistis, dengan pertumbuhan ekonomi 5,4%, penerimaan pajak akan meningkat seiring peningkatan kepatuhan dan investasi di bidang perpajakan.

Kebijakan ini juga berarti pemerintah belum akan menerapkan PPN 12% terhadap seluruh barang dan jasa pada 2026.

Selain itu, pernyataan tersebut menegaskan pemerintahan Presiden Prabowo masih menunda pelaksanaan penyesuaian tarif PPN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). (alf)

 

 

Pemerintah Patok Target Pajak Rp2.357,7 Triliun di RAPBN 2026

IKPI, Jakarta: Pemerintah menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angka ini melonjak 13,5% dibandingkan proyeksi capaian tahun ini yang diperkirakan mencapai Rp2.076,9 triliun.

Presiden Prabowo Subianto mengumumkan target tersebut saat menyampaikan RAPBN 2026 beserta Nota Keuangan pada rapat paripurna DPR, Jumat (15/8/2025). Pajak kembali menjadi tulang punggung penerimaan negara dengan kontribusi mencapai 74,92% dari total pendapatan yang dipatok sebesar Rp3.147,7 triliun.

Selain pajak, penerimaan dari kepabeanan dan cukai dipatok Rp334,3 triliun atau naik 7,7% dari estimasi tahun ini sebesar Rp310,4 triliun. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) justru ditargetkan turun 4,7% menjadi Rp455 triliun dari outlook 2025 yang mencapai Rp477,2 triliun.

Prabowo menegaskan, pajak yang terkumpul tahun depan akan menjadi penopang utama berbagai program strategis. Di antaranya ketahanan pangan (Rp164,4 triliun), ketahanan energi (Rp402,4 triliun), serta program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun yang ditujukan bagi 82,9 juta penerima. Alokasi signifikan juga disiapkan untuk sektor pendidikan (Rp757,8 triliun) dan kesehatan (Rp244 triliun).

Dalam RAPBN 2026, belanja negara dipatok Rp3.786,5 triliun, sehingga defisit anggaran mencapai Rp638,8 triliun atau 2,48% dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah juga menetapkan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4%, inflasi 2,5%, penurunan tingkat pengangguran ke kisaran 4,44–4,96%, serta penghapusan kemiskinan ekstrem hingga 0–0,5%. (alf)

 

 

Lonjakan PBB-P2 di Daerah Dinilai Imbas Pemangkasan Dana Transfer, Istana Membantah

IKPI, Jakarta: Pakar otonomi daerah sekaligus Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, menilai kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah tak lepas dari persoalan fiskal yang mendera pemerintah daerah. Ia menyoroti bahwa langkah tersebut erat kaitannya dengan pemangkasan signifikan dana transfer dari pemerintah pusat.

“Presiden yang baru terpilih menginstruksikan efisiensi, dan nilainya besar untuk kepentingan daerah. Ada data yang beredar, lebih dari Rp50 triliun dana transfer dipangkas. Tentu daerah otonom terkena imbasnya,” ujar mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri itu, Kamis (14/8/2025).

Menurutnya, sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih bergantung pada Dana Transfer ke Daerah (TKD), baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi makin pelik karena banyak bupati dan wali kota yang baru dilantik Februari 2025 mewarisi APBD yang disusun pemerintahan sebelumnya, namun kemudian mendapati alokasi dana dari pusat menyusut drastis—bahkan hingga ratusan miliar rupiah.

“Posisi APBD di Februari itu sudah terpaku. Begitu dicek, dana dari pusat banyak hilang—ada yang Rp100 miliar, ada yang Rp200 miliar. Saat perubahan APBD di Maret, April, atau Mei, kepala daerah mulai berimprovisasi mencari cara agar pembangunan yang direncanakan tetap berjalan,” terangnya.

Ia menyebut opsi seperti kerja sama dengan swasta atau memaksimalkan pendapatan dari BUMD membutuhkan waktu lama, sementara kepala daerah terdesak untuk memenuhi janji kampanye. Alhasil, banyak yang memilih langkah cepat: menaikkan pajak daerah, termasuk PBB-P2.

Namun, Djohermansyah mengkritik keras kebijakan tersebut karena dinilai tanpa kajian mendalam dan minim pelibatan publik. “Tiba-tiba naiknya mencolok, bahkan ratusan persen. Masyarakat tentu kaget dan keberatan, apalagi PBB ini dibayar semua warga, baik di desa maupun kota,” ujarnya.

Ia menegaskan, meski Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah memberi kewenangan daerah untuk mengatur NJOP dan tarif pajak, keputusan itu seharusnya tetap mempertimbangkan kondisi makroekonomi, daya beli, kemiskinan, dan pengangguran di wilayah masing-masing.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menepis anggapan bahwa lonjakan PBB-P2 di daerah, termasuk di Pati, disebabkan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.

“Menyebut ini sebagai imbas kebijakan efisiensi adalah tanggapan prematur. Efisiensi sudah berjalan sejak awal 2025 dan berlaku untuk seluruh daerah, bukan hanya satu-dua kabupaten/kota,” kata Hasan di Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).

Hasan menegaskan bahwa kenaikan PBB-P2 adalah keputusan otonom masing-masing daerah. “Kalau seperti di Pati, itu murni dinamika lokal. Kalau mau bicara dampak efisiensi pusat, konteksnya harus seluruh 500-an kabupaten/kota di Indonesia,” tegasnya. (alf)

 

ADB Kucurkan Pinjaman USD500 Juta untuk Modernisasi Sistem Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Asian Development Bank (ADB) menyetujui pinjaman berbasis kebijakan senilai USD500 juta untuk mendukung modernisasi sistem perpajakan di Indonesia. Pendanaan ini menjadi tahap awal dari tiga subprogram dalam kerangka Program Mobilisasi Sumber Daya Domestik (Domestic Resource Mobilization/DRM) yang dirancang untuk memperkuat basis penerimaan negara.

Menurut Direktur ADB untuk Indonesia, Jiro Tominaga, program ini menjadi langkah strategis bagi keberlanjutan fiskal Indonesia. “Dengan digitalisasi administrasi pajak dan penguatan kerja sama pajak internasional, Indonesia akan memiliki kemampuan lebih besar untuk membiayai prioritas pembangunan sekaligus menjaga stabilitas makroekonomi,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (14/8/2025).

Reformasi yang diusung mencakup tiga pilar utama, peningkatan efisiensi administrasi pajak, perluasan kerja sama pajak lintas negara, serta penyusunan kebijakan pajak yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

ADB memperkirakan, subprogram awal ini mampu mengerek rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 1,28 poin persentase pada 2030. Peningkatan ini diharapkan menciptakan ruang fiskal untuk memperbesar investasi dan mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Salah satu elemen penting dalam program ini adalah penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax)—platform digital baru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang akan merampingkan proses administrasi, memperbaiki akurasi data, dan memperkuat kemampuan deteksi ketidakpatuhan.

Selain itu, reformasi juga difokuskan pada penanggulangan praktik penghindaran pajak internasional, sejalan dengan Kerangka Inklusif OECD/G20 mengenai Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Di sisi lain, pelaku usaha, khususnya sektor usaha kecil dan menengah (UKM), akan merasakan manfaat dari penyederhanaan proses restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan percepatan penyelesaian sengketa pajak.

ADB meyakini, rangkaian reformasi ini akan mempercepat langkah Indonesia menuju status negara berpenghasilan menengah ke atas, sekaligus memperkuat daya saing perekonomian di tingkat global. (alf)

 

DPR Ingatkan Pemda Tingkatkan PAD Jangan Hanya Andalkan Kenaikan Pajak

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi II DPR RI Deddy Yevri Hanteru Sitorus mengingatkan pemerintah daerah (pemda) untuk lebih bijak dalam menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Ia menegaskan, menaikkan pajak bukanlah solusi berkelanjutan dan justru berpotensi menimbulkan masalah baru bagi masyarakat.

“Bukan hanya di Pati, Jawa Tengah, tapi banyak daerah lain yang mencoba menaikkan PAD lewat kenaikan pajak. Pemda harus berhati-hati dan mengedepankan inovasi, bukan sekadar membebani rakyat,” ujar Deddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

Politikus PDI Perjuangan itu menyebut, menaikkan pajak merupakan “jalan pintas” yang tidak memerlukan kreativitas, namun risikonya besar. “Cara paling mudah ya menaikkan pajak. Tidak perlu orang pintar untuk itu. Tapi, kalau dibiarkan, ini bisa memicu gejolak di banyak daerah,” tegasnya.

Selain itu, Deddy juga menyoroti pentingnya efisiensi belanja daerah. Ia mendorong pemda memangkas pengeluaran yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik, mengingat potensi penurunan transfer dana dari pemerintah pusat. “Kalau tren ini berlanjut, transfer ke daerah tahun depan bisa terpangkas lagi, dan dampaknya akan dirasakan semua pihak,” tambahnya.

Pernyataan Deddy muncul di tengah sorotan publik terhadap kisruh kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati. Kebijakan yang sempat menaikkan tarif hingga 250 persen itu memicu aksi unjuk rasa ribuan warga pada Rabu (13/8) di alun-alun kota, bahkan mendorong desakan agar Bupati Pati Sudewo mundur.

Merespons tekanan publik, Bupati Sudewo akhirnya membatalkan kebijakan tersebut. “Tarif PBB-P2 akan dikembalikan seperti tahun 2024,” kata Sudewo pada 8 Agustus lalu, didampingi Kajari Pati, Dandim 0718 Pati, dan Kapolresta Pati. Ia mengaku keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan masifnya penolakan dari masyarakat. (alf)

 

 

 

Penerimaan Pajak Jakbar Tumbuh 16,34 Persen di Tengah Tantangan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak di wilayah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat (Jakbar) menunjukkan kinerja positif hingga akhir Juli 2025. Total realisasi tercatat Rp42,29 triliun, naik 16,34 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Pertumbuhan ini menjadi sinyal positif di tengah tantangan ekonomi global,” ujar Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Capaian tersebut sudah memenuhi 53,81 persen dari target penerimaan pajak Jakarta Barat tahun 2025 yang dipatok Rp78,59 triliun. Berdasarkan jenis pajak, Pajak Penghasilan (PPh) masih menjadi tulang punggung penerimaan dengan kontribusi Rp21,72 triliun atau 51,37 persen dari total, melonjak 23,84 persen dibandingkan tahun lalu.

Di posisi berikutnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menyumbang Rp19,66 triliun (46,50 persen) dengan pertumbuhan 4,68 persen. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menambah Rp63 miliar (0,15 persen), sedangkan pajak lainnya mencatat Rp837,77 miliar (1,98 persen).

Dari sisi sektor usaha, empat sektor utama menjadi penyumbang terbesar: perdagangan Rp19,33 triliun (45,72 persen), industri pengolahan Rp8,9 triliun (21,05 persen), pengangkutan dan pergudangan Rp2,78 triliun (6,59 persen), serta konstruksi Rp1,95 triliun (4,62 persen). Total kontribusi keempat sektor tersebut mencapai 77,97 persen dari seluruh penerimaan neto.

Kepatuhan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan juga relatif tinggi, yakni 84,78 persen atau 340.987 SPT dari target 402.188 SPT, mendekati rata-rata nasional sebesar 87,14 persen.

Untuk menjaga momentum, Kanwil DJP Jakarta Barat mengandalkan tiga strategi utama: optimalisasi pengawasan pembayaran masa, penguatan pengawasan kepatuhan material melalui sinergi antarfungsi, serta manajemen restitusi guna menjaga stabilitas penerimaan PPN.

“Pengawasan terhadap setoran rutin yang belum dibayarkan juga menjadi fokus agar potensi penerimaan dapat dimaksimalkan,” jelas Farid.

Ia optimistis, langkah-langkah tersebut akan menjaga laju pertumbuhan hingga akhir tahun dan membantu pencapaian target penerimaan pajak 2025. (alf)

 

 

IKPI Jakarta Selatan dan KPP Madya Dua Jaksel I Perkuat Sinergi Hadapi Tantangan Perpajakan

IKPI, Jakarta: Jajaran pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan melakukan kunjungan silaturahmi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Dua Jakarta Selatan I, Rabu (13/8/2025). Agenda ini menjadi wadah untuk mempererat hubungan kelembagaan sekaligus membahas beragam isu dan tantangan dalam praktik perpajakan di Indonesia.

Rombongan IKPI Jakarta Selatan dipimpin Ketua Cabang, Sahata Edy dan diterima langsung oleh Kepala KPP, Marasi Napitupulu, bersama jajaran kepala seksi dan supervisor.

Sekretaris IKPI Cabang Jakarta Selatan, Faryanti Tjandra, yang juga ikut dalam rombongan mengungkapkan, dalam diskusi terbuka yang menggabungkan perspektif praktisi dan otoritas pajak, akhirnya memunculkan cerita-cerita menarik dan semakin asik sebagai bahan diskusi.

Dalam diskusi tersebut, pengurus IKPI menyampaikan sejumlah pertanyaan serta berbagi pengalaman lapangan yang kerap dihadapi konsultan pajak. Pihak KPP Madya Dua memberikan tanggapan yang tidak hanya memaparkan ketentuan peraturan, tetapi juga menyoroti solusi praktis yang dapat diterapkan dalam situasi nyata.

Faryanti menegaskan, forum semacam ini penting untuk membangun kesamaan persepsi dan memperkuat komunikasi antara konsultan pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Sinergi yang baik akan menciptakan praktik perpajakan yang lebih efektif, transparan, dan berkelanjutan,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).

Kunjungan ini diharapkan menjadi langkah awal dari kerja sama yang lebih erat antara IKPI Jakarta Selatan dan KPP Madya Dua Jaksel I, khususnya dalam mendorong kepatuhan dan kualitas layanan perpajakan di wilayah Jakarta Selatan. (bl)

Warga Jombang Bisa Ajukan Keringanan PBB, Begini Syarat dan Prosedurnya

IKPI, Jakarta: Bagi warga yang merasa beban Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terlalu berat, kini tersedia jalur resmi untuk mengajukan pengurangan. Pemerintah Kabupaten Jombang melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) membuka layanan khusus yang memungkinkan wajib pajak mendapatkan keringanan, asalkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Kepala Bapenda Jombang menjelaskan, mekanisme ini tidak hanya berlaku bagi wajib pajak perorangan, tetapi juga badan usaha, lembaga pendidikan, pensiunan, veteran, maupun warga berpenghasilan rendah. Bahkan, objek pajak yang terkena bencana alam atau memiliki status cagar budaya juga berhak mengajukan keringanan.

Syarat Umum yang Harus Dipenuhi

Beberapa ketentuan pokok yang wajib disiapkan antara lain:

Surat permohonan resmi dari wajib pajak atau kuasanya yang ditujukan kepada Bupati Jombang, u.p. Kepala Bapenda, dengan mencantumkan besaran pengurangan yang diminta serta alasan yang jelas.

Tidak memiliki tunggakan PBB-P2 tahun sebelumnya (kecuali untuk kasus bencana alam).

Melampirkan fotokopi KTP, KK, SPPT tahun sebelumnya, dan bukti lunas PBB-P2 tahun berjalan.

Dokumen pendukung sesuai kategori pemohon, misalnya SK Pensiun untuk pensiunan, SK Veteran untuk veteran, atau Surat Keterangan Tidak Mampu dari Kepala Desa bagi warga berpenghasilan rendah.

Bagi badan usaha dan lembaga pendidikan, diperlukan dokumen tambahan seperti akta pendirian dan laporan keuangan dua tahun terakhir. Sementara untuk objek cagar budaya, perlu melampirkan SK penetapan dari pejabat berwenang.

Batas Waktu dan Ketentuan Pengajuan

Permohonan pengurangan harus diajukan maksimal tiga bulan sejak SPPT diterima atau sejak terjadinya bencana. Untuk permohonan akibat bencana alam atau peristiwa luar biasa yang bersifat massal, pengajuan dilakukan melalui kepala desa/lurah dengan persetujuan camat.

Jika persyaratan tidak lengkap, permohonan akan dianggap gugur dan tidak dapat diproses. Bapenda wajib memberi jawaban tertulis paling lambat 30 hari kerja sejak berkas diterima.

Langkah Mengajukan Keringanan di Bapenda Jombang

1. Datangi Kantor Bapenda Jombang sambil membawa SPPT tahun berjalan.

2. Isi formulir permohonan yang disediakan.

3. Lampirkan dokumen pendukung sesuai ketentuan.

4. Tim Bapenda akan memverifikasi data dan kondisi ekonomi pemohon.

5. Keputusan pengurangan akan disampaikan kepada pemohon setelah proses evaluasi selesai.

Menurut Bapenda Jombang, mekanisme ini dirancang agar lebih cepat dan transparan. “Kami ingin memastikan masyarakat yang benar-benar membutuhkan mendapat kemudahan, tanpa melanggar aturan,” ujar perwakilan Bapenda.

Dengan prosedur ini, warga tidak perlu khawatir jika merasa terbebani PBB. Selama persyaratan lengkap dan alasan pengajuan jelas, peluang mendapatkan keringanan terbuka lebar. (alf)

 

 

 

 

 

Penerimaan Pajak Merosot, INDEF: Pertumbuhan Ekonomi RI Terlihat “Anomali”

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak negara sepanjang 2025 terus menunjukkan tren melemah. Hingga 11 Agustus 2025, realisasi pajak baru menyentuh Rp996 triliun, atau 45,51 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Angka tersebut turun 16,72 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai kontraksi ini tidak lepas dari perlambatan ekonomi domestik. Ia menyoroti perbedaan antara data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan kondisi lapangan.

BPS sebelumnya melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen. Namun, menurut Eko, capaian tersebut terasa janggal. “Kalau kita lihat indikator-indikator ekonomi lain yang cenderung lesu, angka pertumbuhan itu memang terlihat anomali,” ujarnya dalam talk show 30 Tahun INDEF, di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Eko mengungkapkan, penjelasan yang mungkin terkait tingginya pertumbuhan versi BPS adalah kontribusi dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang sebagian diarahkan ke pembelian peralatan mesin, alutsista, dan investasi fisik lainnya. Meski demikian, faktor ini tak cukup mengerek penerimaan pajak.

PPh Badan & PPN Jadi Penyumbang Pelemahan

Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi dua sektor utama yang mengalami perlambatan. Banyak perusahaan melaporkan penurunan laba, bahkan merugi, yang diikuti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di sisi lain, pelemahan daya beli masyarakat menekan penjualan barang dan konsumsi. “Kalau konsumsi turun, otomatis penerimaan PPN juga ikut merosot,” kata Eko.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tak luput dari tekanan. Lesunya pajak ekspor akibat jatuhnya harga komoditas membuat kontribusinya semakin kecil.

“Tiga komponen ini PPh, PPN, dan PNBP turun bersamaan. Walaupun PMTB naik, tetap saja pajak nggak bisa terdorong naik,” pungkas Eko. (alf)

 

 

 

 

en_US