Aturan Baru PPh 21: Pegawai Tetap Wajib Tahu Skema Tarif Efektif Ini

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menyempurnakan sistem perpajakan dengan melakukan pembaruan terhadap ketentuan penghitungan dan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan terbaru ini membawa perubahan signifikan terhadap cara penghitungan pajak atas penghasilan pegawai tetap, khususnya untuk masa pajak selain masa pajak terakhir.

PPh Pasal 21 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, uang pensiun, dan pembayaran lain dalam bentuk apapun yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri atas pekerjaan, jasa, atau kegiatan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang PPh.

Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 58 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 168 Tahun 2023, pemerintah memperkenalkan metode penghitungan baru dengan menggunakan tarif efektif rata-rata bulanan atau tarif efektif bulanan (TER). Skema ini berlaku bagi pegawai tetap dan diterapkan untuk masa pajak selain bulan Desember.

Tarif efektif bulanan ini dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) wajib pajak, yaitu:

• Kategori A (PTKP: TK/0) dengan 44 lapisan tarif,

• Kategori B (PTKP: K/0) dengan 40 lapisan tarif, dan

• Kategori C (PTKP: K/1 hingga K/3) dengan 41 lapisan tarif.

Masing-masing lapisan memiliki tarif yang berbeda, tergantung dari penghasilan bruto bulanan pegawai. Besaran pajak dihitung dengan cara mengalikan jumlah penghasilan bruto sebulan dengan tarif pada lapisan TER sesuai kategori PTKP pegawai tersebut.

Skema TER ini dinilai lebih praktis dan memberikan kepastian hukum bagi pemberi kerja dalam menghitung dan memotong pajak. Selain itu, sistem ini memudahkan proses administrasi dan mengurangi potensi kesalahan dalam penghitungan PPh 21.

Dengan adanya pembaruan ini, pemerintah berharap kepatuhan perpajakan semakin meningkat, sekaligus memperkuat sistem perpajakan yang adil dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

 

 

 

DJP Bantah Isu Pajak Amplop Hajatan, Sebut Tak Masuk Prioritas Pengawasan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis isu yang menyebut amplop hajatan atau kondangan bakal dikenai pajak. DJP menegaskan bahwa pemberian uang dalam acara pribadi, seperti pernikahan atau khitanan, tidak menjadi objek pajak selama tidak terkait kegiatan usaha atau pekerjaan.

Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, merespons kekhawatiran publik usai pernyataan seorang anggota DPR yang menyebut akan ada pungutan atas amplop kondangan.

“Pernyataan itu kemungkinan besar timbul karena adanya kesalahpahaman terhadap prinsip-prinsip dasar perpajakan yang berlaku,” ujar Rosmauli kepada media, Rabu (23/7/2025).

Ia menegaskan, sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), memang benar bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis secara umum dapat menjadi objek pajak. Namun demikian, tidak semua pemberian otomatis dikenai pajak.

“Jika sifatnya pribadi, tidak rutin, dan tidak berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan usaha, maka tidak dikenakan pajak dan tidak menjadi fokus pengawasan DJP,” jelas Rosmauli.

Rosmauli juga mengingatkan bahwa sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, di mana warga negara melaporkan sendiri penghasilannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.

“DJP tidak pernah memungut pajak langsung dari acara hajatan. Dan saat ini pun tidak ada rencana ke arah sana,” tegasnya.

Isu pajak amplop kondangan ini mencuat setelah Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam rapat kerja dan dengar pendapat pada Rabu (23/7), mengungkap adanya wacana pungutan terhadap penerima amplop acara hajatan. Menurut Mufti, isu itu muncul setelah dana dividen dari BUMN tak lagi langsung masuk kas negara karena dialihkan ke pengelolaan Danantara.

“Kami mendapat kabar bahwa dalam waktu dekat, pemberian uang di kondangan pun akan dikenai pajak. Ini tentu memprihatinkan,” ujar Mufti.

Meski begitu, DJP memastikan bahwa kabar tersebut tidak berdasar dan meminta masyarakat tidak panik. Pemerintah, kata Rosmauli, tetap menjunjung asas keadilan dan proporsionalitas dalam pelaksanaan sistem perpajakan nasional. (alf)

 

DPR Tanggapi Isu Pajak Amplop Kondangan, Mufti Anam: Jangan Bebani Rakyat Kecil

IKPI, Jakarta: Isu pajak atas amplop kondangan memicu perhatian publik dan turut disorot anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam. Dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian BUMN dan PT Danantara di Gedung DPR, Rabu (23/7/2025), Mufti mengungkapkan kekhawatirannya atas kebijakan pajak yang dinilai semakin memberatkan masyarakat, bahkan menyentuh ranah sosial seperti hajatan pernikahan.

“Bahkan kami dengar dalam waktu dekat, orang yang mendapat amplop di kondangan dan hajatan akan dimintai pajak oleh pemerintah,” ujar Mufti, yang juga merupakan politisi PDI Perjuangan.

Pernyataan Mufti itu muncul saat membahas pengalihan dividen BUMN ke PT Danantara. Menurutnya, keputusan tersebut berdampak besar terhadap penerimaan negara dan mendorong pemerintah mencari sumber pemasukan baru, termasuk dari sektor-sektor nonkonvensional.

“Pengalihan dividen ke Danantara sangat jelas membuat negara kehilangan pemasukan. Akibatnya, Kementerian Keuangan harus memutar otak menambal defisit, dan salah satunya dengan kebijakan pajak yang dirasakan memberatkan rakyat,” ucapnya.

Ia menyoroti pula keresahan pelaku usaha mikro dan digital, termasuk penjual di marketplace seperti Shopee, TikTok, dan Tokopedia, serta para influencer yang kini dikenakan pajak. “Anak-anak muda kita yang berjualan secara online mulai menghitung ulang kelayakan usahanya. Ini mengganggu semangat berwirausaha,” tegas Mufti.

Meski belum ada pernyataan resmi dari pemerintah mengenai pajak atas amplop kondangan, Mufti meminta agar isu tersebut diklarifikasi dan tidak dijadikan solusi atas defisit anggaran. “Kita harus hati-hati. Jangan sampai penerimaan negara dikejar dari pos-pos yang justru mengganggu kehidupan sosial masyarakat,” katanya.

Ia juga mengingatkan pentingnya pengelolaan dividen BUMN secara akuntabel, agar tidak menjadi beban baru bagi rakyat. “Kalau sumber penerimaan utama negara dialihkan, pemerintah harus bertanggung jawab atas dampaknya. Jangan semua beban dialihkan ke rakyat,” katanya. (alf)

 

Jangan Salah Potong! Ini Ketentuan PPh atas Jasa Ekspedisi Menurut DJP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat, khususnya pelaku usaha, agar memahami dengan benar jenis pajak penghasilan (PPh) yang dikenakan atas penghasilan dari jasa ekspedisi atau pengiriman barang. Penentuan tarif dan jenis PPh sangat bergantung pada siapa penyedia jasa tersebut badan atau orang pribadi.

Melalui akun resmi media sosial Kring Pajak, dikutip Rabu (23/7/2025), DJP menegaskan bahwa apabila jasa ekspedisi diberikan oleh badan usaha, maka penghasilan dari jasa tersebut termasuk dalam kategori jasa lain sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 141/PMK.03/2015 dan akan dikenai PPh Pasal 23.

Namun, jika jasa diberikan oleh orang pribadi, maka penghasilannya dikenai PPh Pasal 21 sesuai dengan PMK 168 Tahun 2023.

“Silakan dipastikan kembali apakah lawan transaksinya adalah badan atau orang pribadi,” ujar Kring Pajak.

Tarif PPh Pasal 23 untuk Jasa Ekspedisi oleh Badan

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) PMK 141/2015, tarif PPh Pasal 23 atas jasa lain (termasuk jasa ekspedisi yang tidak diatur khusus dalam Pasal 15 UU PPh) ditetapkan sebesar 2% dari jumlah bruto pembayaran, tidak termasuk PPN. Jumlah bruto ini mencakup seluruh penghasilan yang dibayarkan atau telah jatuh tempo, kecuali dalam beberapa kondisi tertentu seperti:

• Pembayaran kepada tenaga kerja berdasarkan kontrak outsourcing;

• Pembayaran atas pembelian barang atau material;

• Pembayaran yang hanya diteruskan ke pihak ketiga;

• Reimbursement biaya oleh penyedia jasa.

Jika penerima jasa tidak memiliki NPWP, maka tarif PPh Pasal 23 dikenakan dua kali lipat, yaitu 4% dari jumlah bruto.

Dalam Pasal 1 ayat (6) huruf ba PMK 141/2015 ditegaskan bahwa jasa pengangkutan atau ekspedisi yang tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 15 UU PPh termasuk ke dalam jenis “jasa lain” yang dikenai PPh Pasal 23. Artinya, pengenaan pajaknya tidak bersifat final seperti usaha angkutan tertentu yang diatur khusus melalui norma perhitungan penghasilan neto.

DJP mengimbau agar para pemberi dan pengguna jasa ekspedisi lebih cermat dalam memverifikasi status pajak pihak yang mereka transaksikan. Kewajiban pemotongan PPh sangat bergantung pada jenis subjek pajak. Kegagalan memotong atau kesalahan dalam pengenaan tarif dapat menimbulkan sanksi administratif bagi pihak yang seharusnya melakukan pemotongan. (alf)

 

Menkeu Laporkan Defisit APBN 2025 Diperkirakan Naik Jadi 2,78% PDB

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diperkirakan akan mencapai 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025. Laporan ini disampaikan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/7), sebagai bagian dari update pembahasan lanjutan APBN 2024 dan 2025 yang sebelumnya berlangsung di DPR RI.

“Outlook dari APBN akan mencapai defisit 2,78 persen dari PDB, karena tekanan baik dari sisi penerimaan maupun belanja negara,” ujar Sri Mulyani kepada Presiden, seperti dikutip Rabu (23/7/2025).

Dalam pertemuan tersebut, Menkeu mengungkapkan bahwa pembahasan difokuskan pada dua agenda besar: Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pelaporan dan Pelaksanaan APBN 2024, serta evaluasi semesteran pelaksanaan APBN tahun anggaran 2025. Keduanya saat ini sedang digodok bersama Badan Anggaran DPR.

Meski menghadapi tekanan fiskal, pemerintah tetap berkomitmen menjaga integritas keuangan negara. Sri Mulyani menegaskan bahwa Kementerian Keuangan terus menindaklanjuti temuan dan rekomendasi audit serta menjaga kesinambungan fiskal agar tetap sehat dan kredibel. Pemerintah juga menargetkan kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan pemerintah pusat.

Capaian Fiskal 2024 Masih Terjaga

Sebelumnya, dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Sri Mulyani menyampaikan bahwa pelaksanaan APBN 2024 menunjukkan kinerja yang solid dan terkendali. Defisit APBN tahun ini tercatat sebesar 2,30% dari PDB masih dalam batas aman kebijakan fiskal.

Tak hanya itu, rasio penerimaan negara terhadap PDB mencapai 12,70%, melampaui target awal sebesar 12,27%. Realisasi pendapatan negara juga melebihi proyeksi, menandakan efektivitas kebijakan fiskal yang membaik.

“Indeks efektivitas pengawasan penerimaan negara pun berada di atas target. Ini menunjukkan bahwa tata kelola fiskal semakin akuntabel dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat,” ujar Sri Mulyani. (alf)

 

 

 

Prabowo Minta APBN 2026 Fokus pada Program Prioritas dan Reformasi Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto memberikan arahan tegas agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2026 difokuskan pada program prioritas sekaligus memperkuat reformasi fiskal, khususnya di sisi penerimaan pajak.

Pernyataan tersebut disampaikan usai rapat bersama jajaran Menteri Kabinet Merah Putih bidang Perekonomian di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Menkeu melaporkan perkembangan penyusunan Nota Keuangan dan Rancangan APBN 2026 kepada Presiden yang dijadwalkan akan disampaikan ke DPR pada 15 Agustus 2025.

“Bapak Presiden sudah sangat lengkap memberikan arahan. Reform di sisi penerimaan negara tetap dilakukan sehingga kita bisa mendapatkan penerimaan negara yang memadai,” ungkap Sri Mulyani.

Menurut Menkeu, Presiden meminta agar kebijakan fiskal 2026 diarahkan untuk mendukung program-program unggulan seperti Makan Bergizi Gratis, Pemeriksaan Kesehatan Gratis, Koperasi Merah Putih, perbaikan sekolah, dan ketahanan pangan. Belanja negara harus fokus dan efektif mendukung visi pembangunan lima tahun ke depan.

Namun yang tak kalah penting, kata Menkeu, adalah menjaga defisit anggaran tetap terkendali dan memastikan APBN menjadi instrumen fiskal yang sehat serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. “Defisit harus dijaga pada level yang baik,” tegasnya.

Presiden Prabowo juga menekankan perlunya langkah-langkah deregulasi yang dapat menciptakan iklim usaha dan investasi yang lebih kondusif. Ia ingin agar perekonomian Indonesia tidak selalu bertumpu pada belanja APBN, melainkan mampu tumbuh dari dinamika sektor swasta yang sehat dan aktif.

Reformasi Pajak Jadi Sorotan

Arahan reformasi di sisi penerimaan negara kembali menegaskan bahwa pajak akan tetap menjadi sumber utama pembiayaan negara. Di bawah arahan Presiden, pemerintah berkomitmen memperkuat sistem perpajakan, baik dari sisi ekstensifikasi basis pajak, peningkatan kepatuhan, hingga perbaikan tata kelola.

Ini menjadi sinyal penting bahwa pada APBN 2026, Direktorat Jenderal Pajak dan institusi fiskal lainnya dituntut makin adaptif dan inovatif dalam menjaga rasio pajak (tax ratio) tetap meningkat, sambil tetap menjaga keadilan dan efisiensi dalam pemungutannya.

Dengan makin banyaknya program prioritas yang memerlukan dukungan fiskal besar, ruang belanja negara akan sangat bergantung pada kinerja penerimaan pajak. Oleh karena itu, reformasi perpajakan bukan lagi sekadar wacana, melainkan menjadi tulang punggung kebijakan ekonomi nasional ke depan.

“Kita berharap penerimaan negara terutama dari sektor pajak bisa menopang seluruh kebutuhan pembangunan yang dicanangkan Presiden, tanpa membuat APBN menjadi terlalu berat,” kata Sri Mulyani. (alf)

 

Trump Umumkan Delapan Pilar Kesepakatan Perdagangan Baru dengan Indonesia

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mengumumkan tercapainya kesepakatan perdagangan besar dengan Indonesia, yang dinilai sebagai terobosan signifikan bagi ekspor AS di berbagai sektor strategis. Dalam siaran pers Gedung Putih yang dirilis Rabu (23/7/2025), Trump menyebut perjanjian ini sebagai “kemenangan nyata” bagi para pekerja, petani, eksportir, serta pelaku industri digital Negeri Paman Sam.

“Kesepakatan ini membuka akses yang selama ini dianggap mustahil ke pasar Indonesia. Ini adalah hasil dari negosiasi keras untuk memastikan rakyat Amerika mendapatkan keunggulan dagang yang adil,” ujar Trump dalam pengumuman resmi.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Indonesia akan memberlakukan tarif timbal balik sebesar 19% terhadap produk-produk tertentu dari AS. Namun, imbalannya jauh lebih besar: Indonesia akan menghapuskan hampir seluruh hambatan perdagangan terhadap produk ekspor asal AS.

Delapan Pilar Kesepakatan

Kesepakatan ini dibangun di atas delapan komitmen utama yang dirancang untuk memperluas pasar, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat posisi geopolitik dan ekonomi AS.

1. Penghapusan Tarif Produk AS

Indonesia sepakat menghapus tarif atas lebih dari 99% produk AS yang masuk ke pasarnya. Ini mencakup sektor pertanian, otomotif, teknologi informasi, kesehatan, makanan laut, hingga produk kimia. Langkah ini diperkirakan mendorong ekspor AS dan memperbesar kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB.

2. Pengurangan Hambatan Non-Tarif

Indonesia juga akan mencabut sederet hambatan non-tarif seperti persyaratan konten lokal, sertifikasi dan pelabelan berlebih, serta izin impor produk remanufaktur. Termasuk pula pengakuan atas standar keselamatan kendaraan AS dan sertifikasi FDA untuk produk farmasi.

3. Pembebasan Hambatan Pertanian

Produk pertanian AS akan dibebaskan dari izin impor dan kebijakan keseimbangan komoditas Indonesia. AS juga akan mendapatkan pengakuan penuh terhadap fasilitas produksinya untuk produk daging, susu, dan unggas.

4. Penegasan Aturan Asal

AS dan Indonesia sepakat menegosiasikan aturan asal yang memastikan manfaat dagang hanya diperoleh dari produk yang benar-benar berasal dari kedua negara, bukan dari pihak ketiga.

5. Perdagangan Digital dan Transmisi Data

Indonesia berkomitmen menghapus tarif atas produk digital tak berwujud dan mendukung moratorium bea masuk atas transmisi elektronik di WTO. Indonesia juga menyetujui transfer data lintas negara secara aman, sebuah tuntutan lama dari industri teknologi AS.

6. Keamanan Ekonomi dan Rantai Pasok

Indonesia akan bergabung dalam Forum Global untuk mengatasi kelebihan kapasitas baja dan membuka kembali ekspor berbagai komoditas industri strategis, termasuk mineral penting. Kedua negara juga akan mempererat kerja sama pengendalian ekspor dan investasi.

7. Reformasi Ketenagakerjaan

Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia berjanji melarang praktik kerja paksa serta memperluas kebebasan berserikat dan hak berunding bagi buruh. AS menyambut baik komitmen ini sebagai upaya peningkatan standar kerja global.

8. Kesepakatan Komersial Sektor Kunci

AS dan Indonesia akan menandatangani serangkaian perjanjian komersial strategis di sektor pertanian, kedirgantaraan, dan energi yang akan segera diumumkan secara terpisah.

Kalangan industri AS menyambut gembira terobosan ini. Perwakilan asosiasi perdagangan menyebutnya sebagai “perjanjian paling ambisius” antara kedua negara dalam dua dekade terakhir.

Sementara itu, pengamat menyebut kesepakatan ini sebagai langkah strategis Washington untuk memperkuat kehadirannya di kawasan Indo-Pasifik, sekaligus menyeimbangkan pengaruh Tiongkok di kawasan tersebut. (alf)

 

PPL IKPI Jakarta Utara Kupas Tuntas Bukper dan Penyidikan Pajak

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara kembali menggelar kegiatan Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di Jakarta, Selasa (22/7/2025). Seminar kali ini mengangkat tema “Kupas Tuntas Perbedaan Pemeriksaan, Bukti Permulaan (Bukper), dan Penyidikan Pajak”, yang diikuti 98 peserta anggota cabang Jakarta Utara dan peserta umum.

Hadir sebagai narasumber Ketua Pengawas IKPI, Prianto Budi Saptono. Seminar ini tidak hanya memberikan pembekalan teori, tetapi juga memperkaya peserta dengan wawasan praktis dan studi kasus lapangan yang selama ini belum banyak dikupas di forum-forum formal.

Ketua IKPI Jakarta Utara, Franky Foreson, menyampaikan apresiasi atas partisipasi aktif para anggota dan antusiasme yang tinggi selama seminar berlangsung.

(Foto: Istimewa)

“Kegiatan PPL ini bukan hanya sekadar memenuhi kewajiban administratif profesi, tapi juga menjadi ruang strategis untuk terus mengasah ketajaman analisis dan kemampuan profesional kita sebagai konsultan pajak,” ungkap Franky, Rabu (23/7/2025).

Menurutnya, tema PPL ini sangat penting, karena perbedaan antara pemeriksaan, bukti permulaan, dan penyidikan memberikan konsekuensi hukum yang berbeda sehingga kita benar benar perlu memahaminya sebelum melakukan pendampingan wajib pajak.

“Saya sangat berharap, setelah seminar ini, para peserta punya pemahaman yang lebih tajam dan siap menghadapi dinamika praktik perpajakan yang semakin kompleks,” lanjutnya.

Franky juga menekankan pentingnya PPL sebagai wadah saling berbagi pengalaman antaranggota, “Dengan kehadiran narasumber yang juga praktisi senior, kita bisa mendapatkan perspektif yang lebih lengkap. Ini juga memperkuat solidaritas dan profesionalisme kita sebagai bagian dari komunitas konsultan pajak yang kredibel,” ujarnya.

Kegiatan ini juga dihadiri dua wakil dari Pengurus Daerah DKI Jakarta dan empat Ketua Departemen IKPI Pusat: Benny Wibowo, Jemmi Sutiono, Andreas Budiman, dan Robert Hutapea.

Sementara itu, Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, gang juga hadir menyampaikan informasi penting yang baru saja diperolehnya dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pagi harinya. Salah satu informasi utama adalah terkait pembaruan kebijakan perpajakan yang relevan bagi profesi konsultan pajak ke depan.

Sekadar informasi, Vaudy hadir ke acara IKPI Jakarta Utara sesaat setelah menerima “Piagam Wajib Pajak” dari DJP yang diserahkan langsung oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto. (bl)

Bersiap Menjadi Konsultan Pajak! USKP Periode II dan III Tahun 2025 Dibuka 24 Juli

IKPI, Jakarta: Peluang menjadi Konsultan Pajak Bersertifikat kini kembali terbuka! Melalui Pengumuman Nomor PENG-11/KP3SKP/VI/2025, Komite Pelaksana Pengembangan Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) resmi membuka pendaftaran Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode II dan III Tahun 2025 untuk peserta baru Tingkat A dan B.

Pendaftaran dibuka mulai 24 Juli 2025, dan hanya diperuntukkan bagi peserta yang belum pernah mengikuti USKP atau pernah mengikuti namun dinyatakan Tidak Lulus (TL) di periode sebelumnya.

Jadwal Pelaksanaan Ujian

Ujian akan dilaksanakan selama tiga hari untuk masing-masing periode, yaitu:

• Periode II: 18–20 Agustus 2025 (Senin–Rabu)

• Periode III: 7–9 Oktober 2025 (Selasa–Kamis)

Kota Lokasi dan Kuota Peserta

USKP akan digelar serentak di 24 kota, dengan kuota total 3.059 peserta per periode. Jakarta menjadi kota dengan alokasi peserta terbanyak (1.274), disusul Medan 180 dan Surabaya 180.

Peserta hanya diperbolehkan memilih satu periode dan satu kota lokasi ujian, dan penetapan dilakukan berdasarkan prinsip first come, first serve, dengan prioritas tambahan bagi yang menyertakan sertifikat e-learning Open Access (OA).

Persyaratan Peserta

• Tingkat A: Minimal lulusan D-III Akuntansi/Perpajakan atau S-1 semua jurusan dari perguruan tinggi/sekolah kedinasan terakreditasi.

• Tingkat B: Minimal S-1 semua jurusan dan sudah memiliki Sertifikat Konsultan Pajak Tingkat A.

Dokumen yang wajib diunggah meliputi:

• Scan ijazah asli

• KTP asli

• Pas foto formal latar merah

• Surat pernyataan bermeterai

• Sertifikat OA (jika ada)

Pendaftaran dan Verifikasi

• Periode II:

• Pendaftaran: 24–28 Juli 2025

• Pengumuman Verifikasi: 1 Agustus 2025

• Ujian: 18–20 Agustus 2025

• Pengumuman Kelulusan: 3 September 2025

• Sertifikat Terbit: 11 September 2025

• Periode III:

• Pendaftaran: 31 Juli – 4 Agustus 2025

• Pengumuman Verifikasi: 8 Agustus 2025

• Ujian: 7–9 Oktober 2025

• Pengumuman Kelulusan: 23 Oktober 2025

• Sertifikat Terbit: 31 Oktober 2025

Pendaftaran dilakukan secara daring dan gratis melalui situs resmi: https://bopk.kemenkeu.go.id/uskp

Peserta yang telah diverifikasi akan mendapatkan notifikasi melalui akun masing-masing dan wajib hadir sesuai jadwal ujian. Jika tidak hadir tanpa alasan sah, akan dilarang mengikuti USKP selama tiga periode berikutnya.

Menjadi perhatian penting bagi para calon konsultan pajak. Seluruh informasi resmi akan disampaikan melalui laman: https://klc2.kemenkeu.go.id/sertifikasi/uskp

Pertanyaan lebih lanjut dapat dikirim ke email: uskp@kemenkeu.go.id. (bl)

 

 

DJP Tegaskan Komitmen Hukum dan Integritas: Bayar Pajak Harus Sesuai Aturan, Bukan Tekanan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa seluruh kewajiban perpajakan wajib pajak harus dilandaskan sepenuhnya pada ketentuan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada tekanan, pemaksaan, apalagi praktik-praktik menyimpang dalam proses penentuan pajak yang terutang.

Hal ini disampaikan secara tegas oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, di Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Ia mengingatkan bahwa pembayaran pajak tidak boleh dilakukan melebihi ketentuan hukum. “Semua harus berpatokan pada undang-undang dan peraturan pelaksananya. Itu sudah sangat jelas dan juga kami pertegas dalam Piagam Wajib Pajak yang diluncurkan hari ini,” ujar Bimo.

Piagam Wajib Pajak yang diluncurkan DJP hari ini menjadi dokumen resmi yang memuat hak dan kewajiban wajib pajak secara eksplisit. Piagam ini juga sekaligus menjadi instrumen pengingat bahwa tidak boleh ada interpretasi sepihak dari fiskus maupun tekanan terhadap wajib pajak.

“Memang kadang terjadi perbedaan pemahaman antara wajib pajak dan petugas pajak di lapangan. Tapi satu hal yang pasti, baseline dari semua itu adalah hukum, bukan asumsi,” kata Bimo.

Lebih lanjut, Bimo menekankan bahwa DJP tidak memberi ruang bagi aparat pajak yang menyimpang dari jalur integritas. “Kami tidak mentolerir gratifikasi sekecil apa pun, pemerasan sekecil apa pun yang dilakukan oleh pasukan kami. Itu sudah menjadi komitmen moral dan nilai yang kami pegang teguh,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa seluruh proses penegakan perpajakan harus bersandar pada peraturan perundang-undangan.

“Tidak boleh ada tekanan dalam bentuk apa pun baik itu suap, pemerasan, atau gratifikasi. Nilai-nilai ini adalah kompas moral yang wajib dijalankan seluruh petugas kami di lapangan,” pungkasnya. (alf)

 

en_US