NPWP Wanita Kawin Tak Lagi Dihapus, Kini Hanya Dinonaktifkan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mengubah ketentuan terkait Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi wanita kawin melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini menggantikan beleid sebelumnya, PER-04/PJ/2020, dengan membawa perubahan signifikan: NPWP wanita kawin yang memilih menggabungkan kewajiban perpajakannya dengan suami tidak lagi dihapus, melainkan cukup dinonaktifkan.

Sebelumnya, sistem administrasi pajak menghapus NPWP wanita kawin ketika kewajiban perpajakannya melebur dengan suami. Namun, kebijakan baru menjaga identitas perpajakan tetap ada dalam sistem, hanya berstatus nonaktif. Dengan begitu, data NPWP tidak hilang dan bisa diaktifkan kembali sewaktu-waktu bila dibutuhkan.

“Status nonaktif memberi fleksibilitas administratif. Wajib pajak tidak perlu mendaftar ulang dari awal jika suatu saat ingin kembali menjalankan kewajiban perpajakan secara mandiri,” tulis DJP dalam penjelasan beleid tersebut.

Langkah ini selaras dengan kebijakan strategis lain, yaitu integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP 16 digit. Menghapus NPWP berarti juga menghapus keterkaitannya dengan NIK dalam sistem perpajakan, yang berpotensi mengganggu konsistensi integrasi data nasional.

Selain efisiensi administratif, aturan baru ini juga mengandung makna penting dalam penghormatan terhadap otonomi perempuan. Dengan mempertahankan NPWP dalam status nonaktif, negara menegaskan bahwa identitas perpajakan tidak hilang hanya karena status perkawinan berubah.

Kebijakan ini juga memperkuat fondasi menuju sistem perpajakan modern yang terhubung dengan berbagai layanan publik, mulai dari BPJS, sistem perbankan, hingga OSS (Online Single Submission). Jika data perpajakan dihapus, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor pelayanan publik lain.

Secara prinsip, PER-7/PJ/2025 mengatur bahwa setiap NPWP kini hanya mengenal tiga status: aktif, nonaktif, atau digabung dengan suami. Dengan skema ini, manajemen data wajib pajak menjadi lebih tertata, sekaligus mempermudah otoritas pajak dalam menjaga integritas informasi.

Perubahan sederhana dari “hapus” menjadi “nonaktif” ini mencerminkan pergeseran besar dalam paradigma perpajakan nasional. Negara kini menempatkan data wajib pajak sebagai aset berharga yang harus dijaga, sekaligus menegaskan kesetaraan peran perempuan dalam sistem perpajakan modern. (alf)

 

 

 

 

 

Kanwil DJP Jakbar Gelar Kelas Pajak Coretax untuk Guru SMK

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat menyelenggarakan “Kelas Pajak Edukasi Coretax” di aula kantor setempat, Selasa (15/7/2025). Sebanyak 45 guru Akuntansi dari SMK Wilayah II Jakarta Barat hadir sebagai peserta untuk memperdalam pemahaman tentang sistem administrasi perpajakan terbaru.

Kegiatan ini dibawakan langsung oleh tim penyuluh Kanwil DJP Jakbar. Materi yang diberikan mencakup pengenalan sistem Coretax DJP, platform digital terintegrasi yang kini digunakan dalam pelayanan hingga pengawasan pajak, serta pembaruan aturan perpajakan sesuai kebijakan terkini.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jakbar menuturkan, pemilihan guru Akuntansi SMK sebagai peserta bukan tanpa alasan. Mereka memiliki peran penting dalam menanamkan pemahaman dasar perpajakan kepada siswa, sehingga generasi muda dapat mengenal kewajiban pajak sejak dini.

“Dengan membekali guru, kami berharap pembelajaran pajak di sekolah menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan praktik terbaru di lapangan,” ujarnya.

Salah satu peserta, Warno, guru Akuntansi dari SMKN 13 Jakarta, memberikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut. “Terima kasih Kanwil DJP Jakbar atas ilmu yang diberikan. Semoga semakin bermanfaat bagi para pendidik dan bisa kami teruskan ke siswa,” ungkapnya.

Program ini juga menjadi wujud sinergi antara otoritas pajak dan dunia pendidikan dalam membangun budaya sadar pajak. Coretax diperkenalkan bukan hanya sebagai sistem baru DJP, tetapi juga sebagai contoh nyata transformasi digital yang bisa dijadikan bahan ajar di kelas.

Ke depan, Kanwil DJP Jakarta Barat berencana memperluas cakupan kegiatan serupa agar lebih banyak guru terlibat, sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mencetak generasi muda yang melek teknologi sekaligus patuh pajak.(alf)

 

Pemkot Tangerang Kasih Diskon Pajak 20%, Hanya Hanya Sampai 31 Agustus 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang kembali menghadirkan program keringanan pajak bagi masyarakat. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), warga bisa menikmati potongan 20% hingga 31 Agustus 2025.

Wali Kota Tangerang, Sachrudin, mengatakan kebijakan ini dihadirkan sebagai bentuk kepedulian pemerintah terhadap kondisi ekonomi masyarakat sekaligus untuk mendorong kepatuhan pajak.
“Warga cukup melunasi 80% dari nilai pajak. Momentum bulan kemerdekaan ini kami jadikan kesempatan untuk memberi keringanan sekaligus meningkatkan kesadaran pajak,” ujarnya, Senin (25/8/2025).

Kepala Bapenda Kota Tangerang, Kiki Wibhawa, menjelaskan program tersebut tidak hanya berlaku untuk tahun berjalan, tetapi juga meliputi penghapusan denda PBB-P2 periode 1990–2024. Sementara itu, untuk BPHTB, diskon 20% dapat dimanfaatkan masyarakat dalam berbagai program pemerintah seperti Prona, PTSL, dan PTKL.

Untuk semakin memudahkan wajib pajak, pembayaran dapat dilakukan baik secara daring maupun luring. Sejumlah kanal digital yang bisa digunakan antara lain Tokopedia, Shopee, Ovo, Livin, LinkAja, Gopay, bjb DIGI, QRIS, Pospay, Blibli, Bukalapak, hingga aplikasi resmi Pemkot “Tangerang LIVE”.

Wakil Wali Kota Tangerang, Maryono, juga mendorong masyarakat agar segera memanfaatkan kesempatan ini. “Baik di gerai offline maupun online, diskon ini bisa langsung dirasakan oleh wajib pajak,” katanya.

Tahun ini, Pemkot Tangerang menargetkan penerimaan dari PBB-P2 mencapai Rp610 miliar dan dari BPHTB sebesar Rp650 miliar. Program keringanan diharapkan menjadi jalan tengah antara optimalisasi penerimaan daerah dengan memberi napas lega bagi masyarakat.(alf)

 

Tax Goes To School DJP Ajak Siswa SMK Belajar Pajak Sambil Main Kuis

IKPI, Jakarta: Belajar pajak ternyata bisa seru. Itu yang dirasakan puluhan siswa SMK Al-Falah Jakarta saat mengikuti program Tax Goes To School yang digelar Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Selatan I pada Selasa (22/7/2025).

Sebanyak 88 siswa kelas XI dan XII antusias mengikuti kegiatan yang menghadirkan Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) dari Politeknik Bisnis Pasar dan Pasar Modal (BCM College). Selain mendapat pemahaman mengenai konsep dasar perpajakan dan perannya dalam pembangunan negara, para peserta juga diajak menjawab kuis berhadiah yang membuat suasana semakin meriah.

“Belajar pajak sambil ketemu kakak-kakak dari kantor pajak seru, banyak hadiahnya,” kata Hanifah, siswi kelas XI, dikutip dari pajak.go.id, Senin (25/8/2026).

Kepala Sekolah SMK Al-Falah, Masruroh, S.Ag., M.Pd., menyampaikan harapannya agar para siswa benar-benar memahami pentingnya pajak. “Kelak ketika kalian bekerja, pengetahuan ini menjadi dasar agar sadar akan kewajiban membayar pajak,” ujarnya.

Sementara itu, penyuluh pajak dari Kanwil DJP Jakarta Selatan I, Djohan Arianto, menegaskan bahwa tujuan utama kegiatan ini adalah menanamkan kesadaran pajak sejak dini. “Kami ingin memperkenalkan pajak kepada generasi muda, karena merekalah calon pembayar pajak di masa depan,” ungkapnya.

Materi inti disampaikan oleh Fungsional Penyuluh Pajak, Edwin Widiatmoko dan Wanda Rahma, dengan tema “Pajak dan Pembangunan Negeri”. Agar tidak monoton, sesi materi dilengkapi dengan tanya jawab, kuis, hingga kesempatan bagi siswa untuk menyampaikan kesan dan pesan.

Kanwil DJP Jakarta Selatan I memastikan program edukasi seperti ini akan terus digelar sebagai upaya membangun budaya sadar pajak sejak bangku sekolah. (alf)

 

Tarif PBB-P2 Kota Bogor Disamakan Menjadi 0,25 Persen, Aturan Sedang Disiapkan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor tengah menyiapkan aturan turunan berupa Peraturan Wali Kota (Perwali) sebagai tindak lanjut dari disahkannya perubahan Peraturan Daerah (Perda) terkait Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Aturan baru ini menetapkan tarif tunggal sebesar 0,25 persen.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Kota Bogor, Deni Hendana, menjelaskan bahwa Perwali akan menjadi instrumen penting untuk mengatur pengenaan pajak secara lebih berjenjang. Mekanisme tersebut dilakukan agar tarif tunggal 0,25 persen dapat diaplikasikan secara adil berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

“Ini bukan penambahan beban pajak, hanya perubahan komposisi. Dari yang sebelumnya multi-tarif dengan satu dasar pengenaan, kini menjadi satu tarif dengan multi dasar pengenaan. Hasil hitungan tetap sama,” ujar Deni, Senin (25/8/2025).

Sebelumnya, sistem lama mengenakan tarif berbeda-beda: mulai dari 0,10 persen untuk NJOP Rp100 juta–Rp250 juta, hingga 0,225 persen untuk NJOP Rp5 miliar–Rp10 miliar. Dalam rancangan Perwali baru, pengenaan tarif akan dipecah ke dalam tujuh tingkatan, yakni 40 persen untuk NJOP Rp100–250 juta, 50 persen untuk Rp250–500 juta, 60 persen untuk Rp500 juta–Rp1 miliar, 70 persen untuk Rp1–2 miliar, 80 persen untuk Rp2–5 miliar, 90 persen untuk Rp5–10 miliar, dan 100 persen untuk NJOP di atas Rp10 miliar.

Dengan skema ini, Pemkot Bogor memastikan bahwa kebijakan tarif tunggal tidak serta-merta membuat masyarakat harus membayar lebih tinggi. Menurut Deni, Perda perubahan PBB telah resmi disetujui DPRD pada Rapat Paripurna 15 Agustus lalu dan kini tinggal menunggu penomoran. Sementara Perwali sedang difinalisasi dan akan segera diterbitkan.

Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, sebelumnya juga membenarkan adanya penyesuaian tarif PBB-P2 tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa langkah ini sejalan dengan upaya pemerintah daerah dalam memperkuat basis penerimaan pajak.

“Benar ada kenaikan tarif PBB dalam Perda baru. Selain itu, kami juga sedang menyiapkan strategi intensifikasi pendapatan dari sektor lain, seperti Pajak Pembangunan 1 (PB1) yang meliputi restoran, kafe, hiburan, hotel, hingga perparkiran,” kata Dedie.

Melalui regulasi baru ini, Pemkot Bogor berharap struktur pajak daerah bisa lebih sederhana, adil, dan berkelanjutan dalam menopang kebutuhan pembangunan kota. (alf)

 

IKPI Malang Gelar Donor Darah, Wujud Kepedulian untuk Sesama

IKPI, Malang: Suasana ramai terasa di Sekretariat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Malang pada Sabtu (23/8/2025). Sejak pagi, puluhan peserta dari berbagai kalangan mulai berdatangan untuk mengikuti kegiatan donor darah yang digelar IKPI Kota Malang bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Malang.

Kegiatan ini diikuti oleh 78 peserta, namun setelah melalui pemeriksaan kesehatan, tercatat 45 orang berhasil mendonorkan darahnya. Meski jumlah kantong darah yang terkumpul tidak sebanyak pendaftar.

Ketua IKPI Cabang Kota Malang, Ahmad Dahlan, menegaskan bahwa setiap tetes darah yang disumbangkan memiliki arti yang sangat besar bagi orang lain.

“Setetes darah mungkin kecil bagi kita, tetapi bisa menjadi penentu hidup bagi mereka yang sedang berjuang melawan penyakit. Itulah makna kemanusiaan yang ingin kita hadirkan melalui kegiatan ini,” ujar Dahlan, Minggu (24/8/2025).

Peserta yang hadir bukan hanya dari kalangan anggota IKPI, tetapi juga dosen, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Banyak di antara mereka datang bersama teman maupun keluarga, sehingga kegiatan ini terasa seperti sebuah pertemuan besar yang sarat dengan rasa kebersamaan. Salah seorang peserta bahkan mengaku baru pertama kali donor darah, namun merasa bangga bisa ikut berkontribusi.

Menurut Dahlan, kegiatan donor darah ini menjadi cerminan bahwa profesi konsultan pajak tidak hanya bergerak di bidang perpajakan, tetapi juga memiliki tanggung jawab sosial. “Kami ingin menegaskan bahwa konsultan pajak bukanlah profesi yang bekerja dalam ruang sempit angka-angka. Kami adalah bagian dari masyarakat, yang ikut peduli, berbagi, dan hadir ketika dibutuhkan,” katanya.

Selain membantu kebutuhan stok darah di PMI Kota Malang, acara ini juga menjadi ajang silaturahmi antaranggota IKPI dengan masyarakat. Tidak sedikit peserta yang saling bertukar cerita dan pengalaman, sehingga suasana yang tercipta bukan sekadar kegiatan sosial, melainkan juga wadah mempererat hubungan.

Ia berharap donor darah ini dapat menjadi agenda rutin IKPI Malang. Baginya, semakin banyak masyarakat yang sadar pentingnya donor darah, semakin besar pula harapan bagi pasien-pasien yang membutuhkan bantuan di rumah sakit. “Kami ingin menjadikan ini sebagai tradisi kebaikan. Semoga di tahun-tahun mendatang jumlah peserta semakin banyak dan dampaknya semakin luas,” ungkapnya.

Dahlan mengungkapkan, kegiatan ini juga menjadi bagian dari rangkaian perayaan HUT ke-60 IKPI. Dengan mengusung semangat kebersamaan, IKPI Malang ingin menunjukkan bahwa pengabdian tidak melulu soal profesi, tetapi juga tentang memberi manfaat nyata bagi nusa dan bangsa. (bl)

API Tegaskan Industri Tekstil Butuh Lebih dari Sekadar Insentif Pajak

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menilai insentif fiskal yang diberikan pemerintah belum cukup untuk mendorong kebangkitan industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Dukungan regulasi, efisiensi biaya produksi, hingga pembenahan infrastruktur energi dinilai sama pentingnya agar industri padat karya ini kembali kompetitif.

Wakil Ketua API, David Leonardi, menegaskan bahwa pertumbuhan manufaktur nasional tidak bisa hanya digantungkan pada insentif fiskal semata. “Kebijakan insentif pajak memang penting, tetapi harus berjalan beriringan dengan paket kebijakan lain yang benar-benar mendukung iklim usaha,” ujarnya, Minggu (24/8/2025).

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tekstil dan pakaian jadi tercatat tumbuh 4,35% year-on-year (yoy) pada kuartal II/2025. Angka ini sedikit melambat dibanding kuartal sebelumnya yang mencapai 4,64% yoy, namun jauh lebih baik dari pertumbuhan tipis 0,03% pada periode yang sama tahun lalu.

David mengingatkan bahwa meski masih tumbuh, sektor TPT tetap menghadapi ancaman serius berupa maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik. Untuk itu, selain insentif fiskal, pelaku usaha menantikan langkah nyata pemerintah dalam deregulasi impor bahan baku. “Jika deregulasi impor bisa berjalan seiring dengan insentif fiskal, dampaknya terhadap pertumbuhan industri akan lebih terasa,” katanya.

Selain regulasi impor, faktor lain yang dinilai krusial adalah harga gas industri, biaya logistik yang lebih efisien, serta penghapusan beban puncak listrik. David menyebut ketiga hal itu sebagai elemen vital yang menentukan daya saing produk TPT, khususnya di pasar ekspor. “Tanpa pembenahan di sektor energi dan logistik, sulit bagi industri TPT untuk kembali menjadi motor penggerak ekonomi,” imbuhnya.

Ia menambahkan, insentif yang diberikan pemerintah sebaiknya lebih tepat sasaran. Misalnya berupa pengurangan bea masuk untuk bahan baku yang belum diproduksi di dalam negeri, super deduction tax bagi industri padat karya yang berorientasi ekspor, hingga subsidi bunga kredit atau penjaminan pembiayaan bagi industri kecil-menengah.

David juga mendorong adanya tax holiday terbatas untuk investasi di sektor hulu seperti serat sintetis dan technical textile, serta dukungan fiskal bagi investasi mesin hemat energi dan ramah lingkungan. “Dengan begitu, industri TPT bisa memenuhi standar keberlanjutan yang menjadi syarat utama pasar global,” ujarnya.

Sebagai catatan, pemerintah terus meningkatkan belanja perpajakan untuk industri pengolahan. Pada 2026, alokasinya diproyeksikan naik menjadi Rp141,7 triliun, dari Rp137,2 triliun tahun ini. Tren tersebut sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir: Rp72,3 triliun pada 2021, naik menjadi Rp82,2 triliun di 2022, Rp88,8 triliun di 2023, dan Rp98,9 triliun di 2024. (alf)

 

 

 

Pembayaran Pajak Daerah di Balikpapan Makin Modern, 60 Persen Gunakan QRIS

IKPI, Jakarta: Transformasi digital dalam pelayanan pajak daerah mulai menunjukkan hasil positif di Kota Balikpapan. Badan Pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (BPPDRD) mencatat, hampir 60 persen wajib pajak sudah memanfaatkan QRIS sebagai sarana pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Kepala BPPDRD Balikpapan, Idham, menilai capaian ini sebagai sinyal kuat bahwa masyarakat semakin sadar dan patuh dalam menunaikan kewajiban pajaknya. Menurutnya, sistem pembayaran berbasis QRIS memudahkan wajib pajak karena proses transaksi menjadi lebih cepat, aman, dan praktis.

“Perkembangan pembayaran pajak melalui kanal digital sangat luar biasa. Saat ini hampir 60 persen PBB sudah dibayar lewat QRIS. Dengan cara ini, masyarakat tidak perlu lagi repot antre atau datang ke loket, cukup dari ponsel saja,” ujar Idham, Minggu (24/8/2025).

Lebih lanjut, Idham menegaskan komitmen Pemerintah Kota Balikpapan dalam memperluas digitalisasi layanan publik. Selain mempermudah masyarakat, langkah ini juga sejalan dengan upaya memperkuat perekonomian daerah.

“Digitalisasi bukan lagi tren, tetapi kebutuhan. Dengan sinergi antara pemerintah, Bank Indonesia, perbankan, dan pelaku UMKM, kita bisa menciptakan ekosistem ekonomi yang inklusif dan berdaya saing,” tambahnya.

Ia optimistis, kemudahan pembayaran pajak secara digital akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dampaknya, penerimaan daerah bisa lebih optimal untuk mendanai pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, pendidikan, hingga berbagai program kesejahteraan masyarakat.

Idham juga berharap pemanfaatan QRIS tidak berhenti pada pembayaran pajak saja, tetapi bisa diperluas ke transaksi sehari-hari masyarakat Balikpapan.

“Dengan semakin luasnya penggunaan QRIS, kita ingin Balikpapan benar-benar bertransformasi menjadi kota digital yang maju, sehat, dan berdaya saing,” pungkasnya. (alf)

 

Pemkot Parepare Turunkan 66 Petugas Tinjau Ulang Kenaikan PBB hingga 800%

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Parepare menurunkan 66 petugas untuk melakukan verifikasi ulang atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang sempat memicu polemik karena melonjak hingga 800 persen. Penagihan kenaikan tarif itu sebelumnya sudah ditunda oleh Wali Kota Parepare.

Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Parepare, Prasetyo, mengatakan tim verifikasi akan memeriksa kembali 9.015 objek pajak yang terdampak lonjakan tarif. Petugas dibagi ke dalam 22 kelurahan dengan target penyelesaian dalam waktu 2–3 hari.

“Kita menurunkan kekuatan penuh sebanyak 66 orang. Harapannya dalam 2 sampai 3 hari sudah ada hasil pengecekan,” ujar Prasetyo, Sabtu (23/8/2025).

Menurutnya, pemeriksaan ulang ini dilakukan untuk memastikan fungsi lahan sesuai dengan ketentuan. Dari hasil pendataan, pemerintah akan melakukan penyesuaian tarif berdasarkan regulasi yang berlaku.

“Objek pajak yang lahannya dipakai untuk produksi pangan atau peternakan tentu akan berbeda perlakuannya. Nanti semua akan kita sesuaikan,” jelasnya.

Pemkot juga menegaskan akan mengembalikan kelebihan pembayaran dari warga yang sudah terlanjur membayar tarif kenaikan PBB.

“Kalau lahan terbukti tidak produktif, maka tarifnya akan dikembalikan sesuai aturan. Warga yang sudah bayar juga akan kita data, agar kelebihan setoran bisa dikembalikan,” tambah Prasetyo.

Sementara itu, Wali Kota Parepare, Tasming Hamid, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan pembatalan kenaikan PBB, melainkan penundaan penagihan sembari menunggu hasil pengkajian ulang.

“Sebenarnya bukan pembatalan, tapi kalau hasilnya memang tidak sesuai, maka akan dikembalikan seperti semula. Kita cari solusi terbaik untuk masyarakat Parepare,” kata Tasming, Jumat (22/8/2025).

Tasming menjelaskan, kenaikan PBB sejatinya tidak berlaku untuk seluruh wajib pajak di Parepare. Dari sekitar 30 ribu wajib pajak, hanya 17 persen yang mengalami kenaikan, 13 persen tetap stagnan, dan sisanya justru mengalami penurunan tarif.

“Yang mengalami kenaikan inilah yang kita kaji ulang. Penagihannya kita tahan dulu supaya lebih jelas persoalannya,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

 

Ekonom Desak DPR Bayar Pajak PPh 21 Secara Mandiri demi Transparansi

IKPI, Jakarta: Polemik tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menuai sorotan publik. Salah satunya terkait komponen Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditanggung negara melalui skema pajak ditanggung pemerintah (DTP).

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menilai skema tersebut sebaiknya dievaluasi. Menurutnya, DPR sebagai wakil rakyat idealnya menanggung kewajiban perpajakannya sendiri sebagaimana wajib pajak lainnya.

“Yang perlu dikejar dari sisi perpajakan pejabat publik adalah transparansi. Sebagai individu yang mampu, anggota DPR seharusnya membayar dan menyetorkan pajaknya sendiri,” kata Huda, Minggu (24/8/2025).

Huda menjelaskan, saat ini bukan hanya DPR, melainkan pejabat negara, ASN, TNI, Polri, hingga pensiunan masih menikmati fasilitas PPh 21 DTP. Secara teknis, gaji atau tunjangan mereka memang dipotong pajak, tetapi dana potongan itu berasal dari APBN maupun APBD.

“Artinya, penghasilan mereka dipajaki dengan uang negara juga. Jadi bisa dikatakan PPh 21 para pejabat ini sejatinya dibayarkan pemerintah,” ujarnya.

Meski demikian, Huda menegaskan penghapusan skema PPh 21 DTP tidak serta merta akan menekan belanja negara. Jika fasilitas itu dihapus, gaji pejabat otomatis akan disesuaikan lebih tinggi untuk menutup potongan pajak mandiri.

“Secara fiskal tidak ada penghematan signifikan, hanya memindahkan pos anggaran saja,” jelasnya.

Namun, menurut Huda, dampak terbesar justru pada persepsi publik. Dengan membayar pajak secara mandiri, anggota DPR menunjukkan transparansi sekaligus menghapus kecurigaan bahwa mereka mendapat perlakuan istimewa dari negara.

“Prinsipnya soal keadilan. Jika masyarakat membayar pajak langsung, maka pejabat publik pun seharusnya melakukan hal yang sama,” imbuhnya.

Huda menilai langkah ini penting untuk memperkuat rasa keadilan dalam sistem perpajakan. Selain itu, mekanisme pembayaran mandiri juga akan menutup ruang polemik tunjangan DPR yang selama ini kerap menuai kritik.

Diketahui, berdasarkan surat edaran Setjen DPR RI NO.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 serta surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015, terdapat komponen tunjangan khusus bagi anggota DPR untuk kewajiban PPh 21 yang nilainya hampir Rp2,7 juta per bulan.

Isu ini sempat memanas di ruang publik setelah masyarakat menilai fasilitas tersebut terlalu mewah, di tengah tuntutan efisiensi anggaran.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui akun resmi Instagram telah menegaskan bahwa pejabat negara tetap memiliki kewajiban membayar pajak sesuai PP Nomor 58 Tahun 2023. Hanya saja, kewajiban itu difasilitasi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010. (alf)

 

en_US