LPPI: Rasio Pajak Indonesia Masih Tertinggal, Reformasi Menjadi Keharusan

IKPI, Jakarta: Lembaga Pemerhati Pajak Indonesia (LPPI) menyoroti stagnasi rasio pajak Indonesia yang masih bertahan di kisaran 12% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang mencapai 19–20%. Kondisi ini dinilai sebagai tanda bahwa reformasi sistem perpajakan tidak bisa lagi ditunda. Sorotan itu mengemuka dalam deklarasi pembentukan LPPI sekaligus diskusi publik yang dihadiri sejumlah narasumber seperti Anggota Komisi XI DPR RI Fauzi H. Amro dan Staf Ahli Jaksa Agung, Masyhudi di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Ketua Umum LPPI, Harianto Minda, menegaskan bahwa rendahnya rasio pajak menjadi masalah serius, terutama saat belanja perpajakan (tax expenditure) pada 2024 mencapai Rp362,5 triliun atau setara 1,73% PDB.

“Efektivitas belanja perpajakan ini masih dipertanyakan dalam mendukung pembangunan maupun investasi produktif,” ujar Harianto.

Ia juga menyinggung tingkat kepatuhan pajak badan usaha yang baru menyentuh 6% serta maraknya praktik penghindaran pajak agresif yang menggerus penerimaan negara.

Sejalan dengan itu, Anggota DPR Fauzi H. Amro menekankan pentingnya membangun sistem perpajakan yang adil, transparan, dan akuntabel. “Pajak adalah instrumen utama untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Keadilan fiskal hanya bisa terjamin bila hak-hak wajib pajak benar-benar dilindungi negara,” ungkapnya. Ia menyatakan dukungan penuh atas berdirinya LPPI sebagai pengawas independen.

Dari perspektif hukum, Masyhudi menilai pengawasan masyarakat sangat penting demi menjaga integritas aparatur perpajakan. Ia mengingatkan kembali sejumlah kasus yang mencoreng kredibilitas sektor ini, mulai dari kebijakan retribusi daerah yang tidak berdasar hingga kasus besar seperti Rafael Alun. “Kami mengajak masyarakat berpartisipasi aktif melalui LPPI untuk saling mengawasi,” tegasnya.

Sementara itu, Abdul Ghofur menyoroti potensi optimalisasi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perhutanan, perkebunan, pertambangan, dan sektor lain (PBB P5L). Menurutnya, penerapan PBB P5L yang transparan dan akuntabel mampu menopang pembangunan nasional sekaligus meningkatkan pendapatan daerah.

Dengan berbagai masukan itu, LPPI menegaskan komitmennya menjadi mitra kritis pemerintah dalam memperkuat fondasi fiskal Indonesia, sekaligus mendorong agar pajak benar-benar menjadi instrumen keadilan sosial. (alf)

 

Pergantian Menkeu Disebut Momentum Tuntaskan Ketimpangan Pajak Industri Ekstraktif

IKPI, Jakarta: Pergantian kursi Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati kepada Purbaya Yudhi Sadewa dinilai bisa menjadi momentum penting dalam arah baru reformasi perpajakan nasional. Organisasi Transisi Bersih mendorong pemerintah lebih serius menggali potensi penerimaan dari industri ekstraktif, khususnya nikel dan batu bara, yang selama ini dianggap terlalu longgar diberi insentif.

Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menegaskan bahwa penerimaan negara dari sektor tersebut jauh lebih besar dan adil ketimbang terus menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang langsung menekan daya beli masyarakat.

“Kalau PPN dinaikkan ke 12%, tambahan penerimaan negara secara kumulatif masih lebih kecil dibanding ekstensifikasi pajak dari nikel dan batu bara. Potensinya berkali-kali lipat lebih besar,” ujar Rahman, Selasa (9/9/2025).

Menurutnya, strategi pajak selama ini justru menimbulkan ketimpangan. Warga kecil harus menanggung kenaikan PPN dan pajak daerah, sementara industri besar serta individu superkaya kerap menikmati fasilitas seperti tax holiday, pembebasan bea masuk, hingga subsidi energi besar-besaran.

Dalam kasus nikel, Rahman menyoroti dampak kebijakan larangan ekspor bijih mentah yang diikuti insentif untuk pembangunan smelter. Hasil riset Transisi Bersih mencatat kapasitas smelting nikel melonjak 15 kali lipat dalam tujuh tahun, dari 200.000 ton pada 2016 menjadi lebih dari 3 juta ton pada 2023, bahkan berpotensi menembus 5,5 juta ton dalam beberapa tahun ke depan. Lonjakan produksi ini justru menimbulkan surplus yang menekan harga global sekaligus mempercepat terkurasnya cadangan nikel nasional.

“Akibat insentif berlebihan, keuntungan besar justru mengalir ke investor asing. Rakyat malah harus menanggung beban lingkungan dan sosial,” tegasnya.

Transisi Bersih menilai inilah saat yang tepat bagi Menkeu Purbaya untuk berani mengubah arah kebijakan fiskal. Bukan lagi sekadar “memanen di kebun binatang” dengan memajaki konsumsi masyarakat, melainkan berani masuk ke “belantara” sektor ekstraktif yang menyimpan potensi besar bagi penerimaan negara. (alf)

 

Pemkab Kotim Jemput Bola, Sediakan Layanan Pajak Keliling

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) terus berupaya meningkatkan penerimaan pajak kendaraan bermotor. Tahun ini, Bapenda bersama Samsat dan Satlantas menghadirkan layanan jemput bola melalui mobil pajak keliling yang langsung turun ke kecamatan.

Kepala Bapenda Kotim, Ramadansyah, mengatakan program ini merupakan solusi agar masyarakat tidak lagi harus jauh-jauh datang ke Sampit hanya untuk membayar pajak. Selama ini, banyak warga di pelosok terbebani biaya transportasi yang justru lebih besar dibandingkan nilai pajaknya.

“Kalau pajaknya Rp200 ribu tapi ongkos ke Sampit bisa sampai Rp500 ribu, tentu memberatkan. Karena itu, kami sediakan mobil layanan keliling untuk memudahkan masyarakat,” ujarnya, Rabu (10/9/2025).

Saat ini baru ada satu unit mobil layanan keliling yang dioperasikan oleh Samsat. Namun, Pemkab Kotim berencana menambah armada agar jangkauan pelayanan semakin luas. Langkah ini diharapkan mampu mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) melalui dana bagi hasil pajak kendaraan bermotor.

Selain itu, Bapenda juga melakukan pendataan ulang kendaraan bermotor di tiap kecamatan. Pendataan ini memberi kesempatan bagi warga untuk melaporkan kendaraan yang sudah tidak layak pakai, sehingga tidak lagi dikenai pajak.

“Kalau kendaraan sudah rusak total dan tidak digunakan lagi, sebaiknya dilaporkan. Kalau tidak, pajaknya tetap berjalan dan menambah piutang,” tegas Ramadansyah.

Dengan strategi jemput bola dan pendataan ulang tersebut, Pemkab Kotim optimistis kesadaran masyarakat membayar pajak akan meningkat, sekaligus memperkuat penerimaan daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor. (alf)

 

 

 

 

 

idEA Minta Waktu Transisi Penerapan Pajak E-Commerce

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta pemerintah memberi masa transisi bagi marketplace sebelum menerapkan skema pemungutan pajak e-commerce yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37 Tahun 2025.

Ketua Umum idEA, Hilmi Adrianto, menegaskan seluruh platform lokapasar siap mengikuti kebijakan pemerintah. Namun, menurutnya, kesiapan teknis tiap marketplace harus diperhitungkan agar implementasi berjalan lancar.

“Kita semua akan patuh, hanya saja penerapannya tentu memerlukan persiapan teknis dari masing-masing platform, dan hal itu semoga bisa diakomodasi,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Hilmi menyebutkan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah membuka ruang dialog dengan idEA, dan asosiasi siap mendukung pelaksanaan aturan tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) PMK 37/2025 dijelaskan, marketplace yang ditunjuk DJP wajib memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang mulai bulan berikutnya setelah penetapan.

Sementara itu, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan, Yon Arsal, menekankan bahwa tujuan kebijakan ini bukan untuk mengejar tambahan penerimaan negara semata, melainkan meningkatkan kepatuhan dan mempermudah administrasi perpajakan.

“Dampaknya lebih kepada kerangka kepatuhan dan penyederhanaan administrasi, bukan sekadar rupiah yang masuk,” jelasnya.

Yon menambahkan, tarif PPh 22 yang dikenakan hanya 0,5 persen dan bukan merupakan pajak baru, melainkan perubahan mekanisme. Jika sebelumnya pedagang wajib menyetor dan melaporkan sendiri, kini kewajiban tersebut dipungut langsung oleh platform.

“Harapannya, merchant justru lebih mudah karena tidak perlu setor dan lapor sendiri,” kata Yon. (alf)

 

 

 

 

 

Calon Hakim Agung Usul Bentuk Kamar Pajak di MA

IKPI, Jakarta: Hakim Pengadilan Pajak yang juga calon hakim agung, Budi Nugroho, mengusulkan pembentukan Kamar Pajak di Mahkamah Agung (MA). Usulan itu ia sampaikan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI, Senayan, Selasa (9/9/2025).

Menurut Budi, Kamar Pajak perlu berdiri sendiri karena hukum pajak memiliki karakteristik berbeda dengan hukum administrasi. “Kalau perkara pajak tidak ditangani dengan perspektif hukum pajak, bisa muncul putusan yang keliru,” jelasnya.

Ia mencontohkan asas dalam hukum administrasi, presumptio iustae causa, yang menyatakan setiap keputusan pejabat dianggap benar sampai dibuktikan salah. Jika asas itu dipakai mentah-mentah dalam sengketa pajak, lanjut Budi, negara justru berisiko rugi karena keputusan aparat bisa dibatalkan hanya karena cacat prosedur.

Budi juga menyinggung potensi praktik mafia pajak. Ia menilai ada aparat yang bisa saja sengaja membuat penetapan keliru demi kepentingan tertentu. “Penetapan itu bisa lemah, tapi tetap dipajang sebagai temuan triliunan. Itu bisa jadi pola mafia pajak,” ujarnya.

Ia menegaskan, hukum pajak bersifat sui generis alias unik, sehingga hakim wajib mencari kebenaran materiil, bukan sekadar kebenaran formal.

Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menyinggung kembali kasus Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo saat bertanya soal pola mafia pajak. Ia berharap para calon hakim agung berani mengungkap sekaligus mencari solusi agar praktik serupa tidak berulang.

Uji kelayakan untuk 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc HAM akan berlangsung hingga 16 September 2025. Hasil akhir akan ditentukan melalui rapat pleno Komisi III. (alf)

 

 

Politisi PKS Ingatkan Bahaya Mafia Pajak Saat Uji Calon Hakim Agung

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, mengingatkan soal bahaya mafia pajak dalam uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) calon Hakim Agung di Senayan, Selasa (9/9/2025). Ia menegaskan pentingnya independensi hakim dalam menangani perkara perpajakan yang menyangkut kepentingan bangsa.

Nasir menyoroti salah satu calon yang baru enam tahun bertugas di Pengadilan Pajak. Menurutnya, masa pengabdian itu masih terlalu singkat sehingga rawan dipengaruhi oleh Kementerian Keuangan.

“Dibutuhkan independensi, supaya hakim tidak mudah diintervensi dalam perkara pajak. Pajak itu jiwa bangsa, dan mafia pajak bisa membunuh jiwa bangsa,” tegasnya.

Politikus PKS tersebut juga mengaitkan fenomena mafia pajak dengan teori kontrak sosial. Menurutnya, praktik manipulasi pajak justru merusak legitimasi negara di mata rakyat. Ia mengingatkan kembali kasus besar seperti Gayus Tambunan dan Rafael Alun Trisambodo yang mencederai kepercayaan publik.

“Masyarakat pernah dikejutkan oleh Gayus, lalu muncul Rafael Alun. Jangan-jangan masih banyak ‘Gayus’ lain, hanya saja belum ketahuan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Nasir mempertanyakan realisasi penerimaan pajak yang tidak sebanding dengan potensi sesungguhnya. Ia menduga sebagian potensi tersebut justru tergerus praktik mafia.

“Jangan-jangan potensi kita 10, tapi hanya tercatat 3 atau 5, sisanya jadi bancakan,” katanya.

Ia juga menyinggung kebijakan tax amnesty yang menurutnya menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menggali potensi pajak, serta praktik penghindaran pajak lewat penyimpanan dana di luar negeri seperti dalam Panama Papers.

Tak hanya di pusat, masalah di daerah pun ikut disorot. Nasir mencontohkan banyak daerah kaya tambang tidak menikmati hasil pajaknya karena NPWP perusahaan tercatat di Jakarta.

“Daerah hanya dapat ampasnya saja. Ini tidak adil bagi fiskal daerah,” ucapnya.

Di akhir pernyataannya, Nasir menekankan peran moral calon Hakim Agung. “Keputusan harus berdasar hukum dan keadilan, bukan semata aturan tertulis. Pajak bukan untuk bikin bingung atau bikin bangkrut, tapi untuk menyejahterakan rakyat,” katanya. (alf)

 

Ekonom Celios Dorong Menkeu Purbaya Tuntaskan Beban Pajak Masyarakat Menengah dan Bawah

IKPI, Jakarta: Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, perlu bergerak cepat menuntaskan persoalan yang membebani masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Menurut Bhima, langkah awal yang penting bagi Purbaya adalah meringankan tekanan pajak maupun pungutan lain agar daya beli rumah tangga bisa kembali meningkat. “Semua beban berat, khususnya bagi kelas menengah ke bawah, harus segera diselesaikan. Kita butuh konsumsi rumah tangga naik,” ujarnya, Selasa (9/9/2025).

Ia juga menyoroti efektivitas belanja perpajakan yang mencapai sekitar Rp530 triliun per tahun. Menurutnya, insentif fiskal seperti pembebasan pajak hingga 20 tahun perlu dievaluasi ulang. “Apakah benar insentif itu tepat sasaran? Sudahkah mendorong investasi dan penyerapan tenaga kerja sesuai harapan?” kata Bhima.

Lebih jauh, Bhima mendorong Menkeu untuk melakukan audit atas perusahaan yang menerima keringanan pajak, memastikan laporan keuangan mereka akurat, serta kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja jelas. Selain itu, ia menekankan pentingnya inovasi dalam pengelolaan utang negara.

“Kita membayar bunga utang Rp800 triliun per tahun. Ke depan akan lebih berat, jadi perlu ada renegosiasi atau restrukturisasi yang memberi manfaat langsung bagi masyarakat,” tuturnya.

Bhima juga menyinggung soal tata kelola internal di Kementerian Keuangan. Ia meminta Purbaya bersikap tegas terhadap praktik rangkap jabatan, khususnya di level wakil menteri. “Pejabat Kemenkeu yang masih menerima gaji dari BUMN lewat posisi rangkap tidak boleh dibiarkan. Itu masalah profesionalitas dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan,” tegasnya.

Dengan langkah-langkah tersebut, Bhima berharap kepercayaan pasar terhadap kepemimpinan baru di Kementerian Keuangan bisa segera terbangun, sekaligus membawa arah kebijakan fiskal lebih berpihak pada masyarakat luas. (alf)

 

Menkeu Purbaya: Fokus Sistem Pajak yang Ada untuk Dorong Ekonomi Tumbuh 8%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan dirinya tidak akan menambah jenis pajak baru untuk meningkatkan penerimaan negara. Menurutnya, strategi yang lebih efektif adalah mengoptimalkan sistem perpajakan yang sudah berjalan.

“Menurut saya pribadi selama ini nggak usah (pajak baru). Dengan sistem yang ada pun kalau pertumbuhannya bagus, tax-to-GDP ratio tetap bisa naik,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Senin (8/9/2025).

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, target penerimaan pajak ditetapkan sebesar Rp2.357,71 triliun. Angka ini naik 13,51% dibandingkan target 2025 senilai Rp2.076,9 triliun.

Kontribusi terbesar masih berasal dari Pajak Penghasilan (PPh) yang dipatok Rp1.209,36 triliun, meningkat dari target tahun ini Rp1.051,65 triliun. Selanjutnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) ditargetkan Rp995,27 triliun, naik dari Rp890,94 triliun.

Namun, target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) justru turun dari Rp30,08 triliun menjadi Rp26,13 triliun. Sementara itu, pos pajak lainnya melonjak menjadi Rp126,93 triliun dari Rp104,23 triliun. Pertumbuhan terbesar terlihat sejak 2023 yang hanya Rp9,72 triliun, lalu 2024 Rp8,74 triliun.

Lebih jauh, Purbaya menegaskan kunci peningkatan penerimaan negara bukan dengan menambah beban masyarakat, melainkan lewat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Ia menargetkan ekonomi Indonesia mampu tumbuh hingga 8% agar bisa sejajar dengan negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.

“Pada era Pak Jokowi, pertumbuhan ekonomi memang cukup tinggi, tapi sektor swasta kurang berkembang. Kredit rata-rata hanya tumbuh 7%. Ke depan, kita akan hidupkan pemerintah sekaligus swasta agar bisa tembus 6-7%, bahkan menuju 8%,” jelasnya.

Untuk mencapai hal tersebut, Purbaya akan mengoptimalkan peran APBN sekaligus menciptakan iklim kondusif bagi sektor swasta agar lebih agresif dalam berinvestasi. (alf)

 

Politisi PDIP Desak Pemerintah Naikkan Pajak bagi 60 Keluarga Penguasa Lahan

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Deddy Sitorus, mendesak Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Nusron Wahid, untuk mengambil langkah konkret terkait penguasaan lahan oleh segelintir keluarga di Indonesia. Salah satunya dengan memberlakukan pajak lebih besar kepada 60 keluarga yang disebut menguasai hampir separuh lahan bersertifikat nasional.

Desakan itu disampaikan Deddy dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Kementerian ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (8/9/2025). Ia mengapresiasi keberanian Nusron yang mengungkapkan data soal konsentrasi kepemilikan tanah, namun menekankan perlunya tindak lanjut yang nyata dari pemerintah.

“Pak Menteri, saya senang sekali mendengar pernyataan Bapak bahwa tanah di Indonesia dikuasai 60 keluarga. Itu artinya negara mulai jujur kepada rakyat. Tapi kalau hanya berhenti di pernyataan, justru bisa memunculkan rasa ketidakadilan di masyarakat bawah,” ujar Deddy.

Menurutnya, keadilan agraria tidak cukup hanya dijawab dengan program reforma agraria. Beban pajak yang lebih tinggi harus dikenakan kepada para pemilik lahan superbesar tersebut. “Saya kira pajaknya harus dinaikkan betul, Pak. Mereka sudah kaya untuk 70 turunan. Saatnya negara mengambil sebagian untuk kepentingan rakyat,” tegasnya.

Deddy menyinggung pengalaman di daerah, ketika pemerintah daerah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) masyarakat kecil demi menutup kebutuhan anggaran. Padahal, katanya, kelompok pemilik lahan raksasa jarang disentuh kewajiban pajaknya secara proporsional.

Sebelumnya, Nusron Wahid mengungkapkan bahwa 48 persen dari 55,9 juta hektare lahan bersertifikat di Indonesia ternyata hanya dikuasai oleh 60 keluarga. Menurutnya, jika ditelusuri kepemilikan perusahaannya, pola penguasaan tersebut bermuara pada beneficial ownership yang sama.

“Inilah problem di Indonesia yang menyebabkan kemiskinan struktural. Bukan karena rakyat tidak mampu, tapi karena ada kesalahan kebijakan masa lalu yang membuat distribusi tanah tidak adil,” jelas Nusron dalam kesempatan berbeda di Jakarta, Juli lalu.

Ia menyebut Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan agar prinsip keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan menjadi dasar kebijakan pertanahan ke depan. Meski demikian, Nusron enggan membeberkan identitas 60 keluarga yang dimaksud. (alf)

 

 

Presiden Prabowo Minta Menkeu Belajar ke Dirjen Pajak 

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto memberi arahan khusus kepada Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Ia diminta banyak belajar dari Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, yang dinilai memahami seluk-beluk penerimaan negara.

Hal tersebut diungkapkan Purbaya usai menghadiri konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Senin (8/9/2025).

“Presiden meminta saya belajar langsung kepada Dirjen Pajak,” kata Purbaya.

Dalam kesempatan itu, ia juga menyoroti stagnasi rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB). Menurutnya, jika dalam waktu dekat penerimaan pajak sulit terdongkrak, maka strategi yang bisa dipilih adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Kalau tax ratio sulit naik, jalan lain adalah dorong ekonominya lebih cepat,” ujarnya.

Isu pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) juga tak luput ditanyakan. Purbaya menegaskan, sampai sekarang belum ada instruksi dari Presiden mengenai rencana tersebut. Ia bahkan menilai, lembaga sejenis BPN nyaris tidak ditemukan di negara lain. “Kalau kita bikin, malah jadi unik sendiri. Lebih baik maksimalkan sistem yang ada,” jelasnya.

Lebih jauh, Purbaya menekankan dirinya tidak akan mengikuti pola umum pejabat baru yang gemar melakukan bongkar-pasang birokrasi. Ia memilih memperbaiki mekanisme yang sudah berjalan.

“Mesin yang ada akan kita rawat, yang terhenti kita hidupkan lagi, dan yang sudah bergerak akan kita percepat,” tutur mantan Ketua Dewan Komisioner LPS itu.

Purbaya resmi dilantik Presiden Prabowo sebagai Menteri Keuangan pada Senin sore di Istana Negara melalui Keputusan Presiden Nomor 86 Tahun 2025. Ia menggantikan Sri Mulyani Indrawati, meski serah terima jabatan secara resmi belum dilakukan. (alf)

 

en_US