Kesempatan Terakhir! Pendaftaran Ulang USKP Periode I Tahun 2025 Diperpanjang Hingga 6 Mei

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) mengumumkan pendaftaran ulang untuk Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode I Tahun 2025 resmi diperpanjang.

Tentunya, ini menjadi angin segar, khususnya bagi peserta yang akan mengulang ujian pada Tingkat A dan Tingkat B, yang sebelumnya mungkin terkendala waktu atau teknis saat proses pendaftaran awal.

Periode perpanjangan pendaftaran akan dibuka mulai Senin, 5 Mei 2025 pukul 08.00 WIB hingga Selasa, 6 Mei 2025 pukul 12.00 WIB. Waktu yang sangat terbatas ini menuntut ketelitian dan kesiapan peserta agar tidak kembali melewatkan kesempatan penting ini.

Namun perlu diperhatikan, perpanjangan ini hanya berlaku untuk lokasi-lokasi ujian yang masih memiliki kuota tersisa. Artinya, peserta perlu segera mengakses informasi terbaru untuk memastikan lokasi yang masih tersedia dan menyesuaikan pilihan sesuai kapasitas yang masih terbuka.

Langkah ini menunjukkan komitmen panitia dalam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi peserta yang serius menempuh jalur profesional sebagai konsultan pajak tersertifikasi. Di tengah tingginya animo dan persaingan dalam dunia perpajakan profesional, sertifikasi melalui USKP merupakan salah satu pintu utama menuju kredibilitas dan pengakuan resmi dari negara.

Bagi peserta yang ingin memperoleh informasi lebih lengkap, termasuk lokasi, persyaratan, dan mekanisme pendaftaran ulang, dapat langsung mengakses laman resmi, https://klc2.kemenkeu.go.id/sertifikasi/uskp/.

Lokasi Pelaksanaan

(bl/alf)

 

 

Tarif Sanksi Pajak Mei 2025 Stabil, Ada Kenaikan Tipis di Beberapa Pelanggaran

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menetapkan tarif bunga sebagai dasar pengenaan sanksi administratif pajak untuk periode 1–31 Mei 2025. Ketetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 6/MK/KF/2025 yang ditandatangani Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Nathan Kacaribu, pada Jumat (2/5/2025).

Dalam beleid tersebut, pemerintah mengatur tarif bunga bulanan yang berlaku untuk sanksi administratif maupun imbalan bunga bagi Wajib Pajak, sebagaimana tercantum dalam sejumlah pasal Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Secara umum, tarif bunga Mei 2025 menunjukkan kecenderungan stabil jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, terdapat sedikit peningkatan pada beberapa kategori pelanggaran pajak.

Salah satu tarif yang tetap adalah untuk permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3), yang berada di angka 0,58 persen per bulan tidak berubah dari April, setelah sebelumnya naik dari 0,57 persen pada Maret.

Adapun tarif untuk pelanggaran dalam Pasal 8 ayat (2) dan (2a), Pasal 9 ayat (2a) dan (2b), serta Pasal 14 ayat (3) juga tetap bertahan di level 1,00 persen per bulan. Stabilitas ini dinilai memberi kepastian bagi wajib pajak yang tengah melakukan pemenuhan kewajiban perpajakan.

Sementara itu, bunga atas pengungkapan ketidakbenaran sebelum pemeriksaan (Pasal 8 ayat 5) mengalami sedikit kenaikan menjadi 1,42 persen, naik tipis dari 1,41 persen di bulan sebelumnya.

Kenaikan serupa terjadi pada Pasal 13 ayat (2) dan (2a) terkait penerbitan Surat Ketetapan Pajak, yang naik dari 1,82 persen menjadi 1,83 persen. Namun, tarif tertinggi masih ditempati oleh sanksi pada Pasal 13 ayat (3b) dengan angka tetap di 2,25 persen.

Di sisi lain, pemerintah juga menetapkan imbalan bunga kepada Wajib Pajak yang berhak, tetap di angka 0,58 persen per bulan. Imbalan ini berlaku antara lain bagi mereka yang mengalami keterlambatan pengembalian kelebihan bayar, keterlambatan penerbitan SKPLB, atau yang menang dalam proses keberatan, banding, hingga peninjauan kembali. (alf)

 

Dua Petinggi Perusahaan Telekomunikasi Ditahan karena Kasus Pajak Rp8,2 Miliar

IKPI, Jakarta:  Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan resmi menahan dua pejabat tinggi sebuah perusahaan jasa instalasi telekomunikasi elektronik, berinisial BS dan PM, atas dugaan tindak pidana perpajakan yang merugikan negara hingga lebih dari Rp8,2 miliar.

BS selaku Direktur Utama dan PM sebagai Direktur Keuangan PT TE diduga dengan sengaja mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada April dan Desember 2018 secara tidak benar. Modus keduanya adalah melaporkan kompensasi kelebihan pembayaran pajak dengan angka fiktif.

Penahanan dilakukan setelah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan II menyerahkan tanggung jawab hukum dan barang bukti ke Kejari Jaksel. Berkas perkara ini telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Jaksa Penuntut Umum Kejati DKI Jakarta sejak 28 Februari 2025.

Atas perbuatannya, BS dan PM diancam hukuman pidana penjara maksimal enam tahun dan denda sebesar 300 persen dari kerugian negara, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan/atau i UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang telah diperbarui melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Selatan II, Neilmaldrin Noor, menegaskan bahwa proses hukum ini merupakan bentuk ketegasan negara dalam menindak pelanggaran perpajakan yang dilakukan secara sengaja dan terstruktur. Ia menyebut, sebelum melangkah ke jalur pidana, DJP telah memberi ruang perbaikan melalui imbauan dan pengungkapan ketidakbenaran sesuai Pasal 8 UU KUP, namun tidak diindahkan oleh para tersangka.

“Pemidanaan ini merupakan upaya terakhir setelah pendekatan persuasif tidak berhasil. Kami juga akan melakukan penyitaan aset untuk menjamin pemulihan kerugian negara,” kata Neil dalam keterangan tertulis, Jumat (2/5/2025).

DJP berkomitmen melanjutkan kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memberi efek jera bagi pelaku dan mencegah pelanggaran serupa oleh wajib pajak lainnya. (bl)

 

 

 

Kabar Gembira! Jual Beli Tanah Kini Bisa Bebas Pajak, Ini Syaratnya

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur ketentuan baru mengenai Pajak Penghasilan (PPh) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 192, yang menetapkan tarif baru PPh final untuk berbagai jenis transaksi properti Dengan tarif yang jauh lebih terstruktur, bahkan ada yang dibebaskan sepenuhnya (0%).

Tiga Skema Tarif PPh Final

Dalam Pasal 192 ayat (1), tarif PPh ditentukan berdasarkan jenis pengalihan dan pihak penerima, sebagai berikut:

• 0% (Nol Persen)

Dikenakan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada:

• Pemerintah

• BUMN dengan penugasan khusus dari pemerintah

• BUMD dengan penugasan dari kepala daerah

Pengalihan ini harus dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang.

• 1% (Satu Persen)

Berlaku untuk pengalihan rumah sederhana (RS) dan rumah susun sederhana (RSS) oleh Wajib Pajak yang kegiatan usahanya memang berfokus pada jual beli tanah dan bangunan sebagai barang dagangan. Properti yang dimaksud harus memenuhi kriteria RS dan RSS yang mendapat fasilitas PPN dibebaskan.

• 2,5% (Dua Koma Lima Persen)

Dikenakan pada pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan selain dari dua kategori di atas.

Penentuan Nilai Pengalihan

Ayat (2) menjelaskan dasar nilai pengalihan yang digunakan dalam perhitungan PPh:

• Pengalihan kepada pemerintah: nilai ditentukan oleh pejabat yang berwenang.

• Pengalihan lewat lelang resmi: mengacu pada nilai risalah lelang.

• Pengalihan jual beli tanpa hubungan istimewa: nilai yang benar-benar diterima.

• Pengalihan dengan hubungan istimewa: nilai yang seharusnya diterima.

• Selain itu (hibah, waris, tukar-menukar, dll): nilai yang seharusnya diterima berdasarkan harga pasar.

Ayat (3) menyebutkan bahwa penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah/bangunan juga dikenakan tarif PPh yang sama (0%, 1%, atau 2,5%) tergantung pada jenis transaksi dan hubungan antar pihak.

Dalam ayat (5), ditegaskan bahwa tarif 1% hanya dapat digunakan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan—artinya pengembang properti secara formal. (alf)

 

Ketetapan Pajak Bisa Dibatalkan Jika Tak Lewati Prosedur Resmi, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang membawa angin segar bagi Wajib Pajak. Aturan baru ini menegaskan bahwa Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikeluarkan tanpa melalui prosedur formal dapat dibatalkan.

Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 21 PMK 15/2025, yang menyebutkan bahwa SKP maupun SKP Pajak Bumi dan Bangunan hasil pemeriksaan bisa dibatalkan apabila diterbitkan tanpa penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) atau tanpa dilakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP). Kedua tahapan tersebut merupakan bagian penting dari proses pemeriksaan pajak yang menjamin transparansi dan akuntabilitas.

Direktur Jenderal Pajak (DJP) diberikan kewenangan untuk membatalkan SKP secara jabatan, atau berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak, mengacu pada ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Mengapa Ini Penting?

Dalam praktiknya, tidak sedikit Wajib Pajak yang mengeluhkan adanya SKP yang diterbitkan tanpa komunikasi atau tahapan yang semestinya. Dengan aturan ini, mereka memiliki landasan hukum untuk meminta pembatalan SKP yang tidak sah secara prosedural.

Tak hanya itu, PMK ini juga menegaskan bahwa setelah pembatalan, proses pemeriksaan wajib dilanjutkan kembali dengan mengikuti prosedur formal, termasuk penyampaian SPHP dan/atau PAHP. Ini mencegah adanya celah hukum atau ketidakjelasan atas status pemeriksaan yang sudah berjalan.

Ada Tenggat Waktu yang Ketat

Menariknya, jika SKP dibatalkan karena alasan prosedural atau karena dikalahkan melalui putusan gugatan, DJP hanya memiliki waktu maksimal 12 bulan untuk menerbitkan SKP baru. Tenggat ini dimulai sejak:

• Tanggal terbitnya SKP yang dibatalkan hingga tanggal terbitnya keputusan pembatalan SKP, atau

• Tanggal terbitnya SKP yang disengketakan hingga diterimanya putusan gugatan oleh DJP. (alf)

 

 

 

 

Kanwil DJP Jaksel II Catatkan Penerimaan Pajak Hingga Maret 2025 Rp15 Triliun

IKPI, Jakarta: Kinerja penerimaan pajak di wilayah Jakarta Selatan menunjukkan geliat positif. Hingga 31 Maret 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan II (Kanwil DJP Jaksel II) berhasil menghimpun penerimaan pajak neto sebesar Rp15,04 triliun. Angka ini menjadi bukti kuat bahwa sektor perpajakan mulai bangkit setelah dua bulan sebelumnya mengalami kontraksi.

Kontribusi terbesar berasal dari sektor Perdagangan Besar dan Eceran; Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor yang menyumbang Rp5,76 triliun. Disusul oleh sektor Industri Pengolahan (Rp2,13 triliun), Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan (Rp1,35 triliun), Aktivitas Profesional dan Teknis (Rp1,29 triliun), serta sektor Keuangan dan Asuransi (Rp1,04 triliun).

Keberhasilan ini tak lepas dari strategi optimalisasi pengawasan dan pemanfaatan data sektoral untuk menjaring potensi penerimaan yang sebelumnya belum tergarap maksimal.

Dalam konferensi pers ALCo Regional DKI Jakarta pada 2 Mei 2025, dilaporkan bahwa total penerimaan pajak mencapai Rp225,91 triliun atau 14,75% dari target nasional. Kontribusi terbesar datang dari PPh Non-Migas sebesar Rp146,16 triliun, disusul PPN (Rp54,92 triliun), PPh Migas (Rp10,13 triliun), serta PBB dan pajak lainnya sebesar Rp24,83 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jaksel II menegaskan bahwa rebound ini merupakan hasil dari pemetaan sektor dominan dan penguatan kepatuhan pajak wajib pajak. Langkah-langkah ini menjadi kunci dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah DJPb DKI Jakarta, Mei Ling, melaporkan bahwa realisasi pendapatan APBN regional mencapai Rp326,79 triliun (18,21% dari target), sementara belanja APBN mencapai Rp343,60 triliun (18,60%). Kinerja fiskal ini dinilai cukup solid, mengingat adanya surplus APBD yang turut memperkuat daya dorong ekonomi daerah.

Sinergi antara APBN dan APBD menjadi sorotan utama dalam menjaga kesinambungan pembangunan. Pemerintah berkomitmen untuk terus memperkuat kolaborasi fiskal guna mempercepat pemerataan kesejahteraan serta meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. (alf)

 

Penerimaan Pajak DJP Jakarta Pusat Tembus Rp22,24 Triliun, Perdagangan Jadi Kontributor Utama

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat mencatatkan penerimaan pajak sebesar Rp22,24 triliun hingga 31 Maret 2025. Angka tersebut mencerminkan capaian 20,07 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp110,85 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat, Eddi Wahyudi, menjelaskan bahwa Pajak Penghasilan (PPh) menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp13,44 triliun atau setara 23,17 persen dari target. Disusul oleh penerimaan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang mencapai Rp5,94 triliun (11,44 persen), serta pajak lainnya yang mencapai Rp2,85 triliun lonjakan drastis hingga 3.758,9 persen dari target.

“Lonjakan pada kategori pajak lainnya terutama disumbang oleh penerimaan dari pajak tidak langsung dan bunga penagihan PPh,” ungkap Eddi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (3/5/2025).

Ia menambahkan bahwa bulan Maret mencatatkan pertumbuhan penerimaan bruto yang sangat signifikan, mencapai 207,17 persen secara tahunan (year-on-year). Pertumbuhan ini dipicu oleh peningkatan tajam di seluruh subsektor perdagangan, dengan kontribusi dominan dari perdagangan besar non-kendaraan bermotor yang menyumbang 73,4 persen dari total sektor tersebut.

Tiga sektor utama yang menopang penerimaan pajak DJP Jakarta Pusat di bulan Maret adalah perdagangan (Rp7,4 triliun), administrasi pemerintahan dan jaminan sosial wajib (Rp4,44 triliun), serta jasa keuangan dan asuransi (Rp2,01 triliun).

Secara regional, total penerimaan pajak dari seluruh wilayah Jakarta mencapai Rp225,91 triliun, atau sekitar 14,75 persen dari target nasional. Dari jumlah ini, PPh nonmigas menyumbang Rp146,16 triliun, disusul PPN sebesar Rp54,92 triliun, PPh migas Rp10,13 triliun, dan pajak lainnya termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar Rp24,83 triliun.

“Dengan angka tersebut, Kanwil DJP se-Jakarta menyumbang sekitar 69,56 persen dari total penerimaan pajak nasional,” kata Eddi. (alf)

 

Presiden Trump Sebut Status Bebas Pajak Harvard Pantas Dicabut

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menjadi sorotan setelah menyatakan akan mencabut status bebas pajak Universitas Harvard. Langkah kontroversial ini disebut sebagai respons terhadap penolakan Harvard terhadap tuntutan pemerintah terkait penanganan aksi pro-Palestina di kampus tersebut.

“Status bebas pajak Harvard akan dicabut. Mereka pantas mendapatkannya!” tulis Trump melalui akun media sosial resminya, Sabtu (3/5/2025), mengutip laporan Reuters.

Pernyataan tersebut memperkuat ancaman yang sebelumnya ia lontarkan pada pertengahan April, saat ia menyebut Harvard telah berubah menjadi lembaga politik. Tidak lama setelah itu, juru bicara Gedung Putih, Harrison Fields, menyampaikan bahwa pemerintah telah melaporkan Harvard ke Internal Revenue Service (IRS) untuk dilakukan penyelidikan dan audit menyeluruh.

Namun, Harvard membalas dengan keras. Dalam pernyataannya, pihak kampus menyebut tindakan Trump sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan yang bisa merusak integritas sistem perpajakan negara. “Tidak ada dasar hukum untuk mencabut status bebas pajak kami,” tegas Harvard. Mereka juga memperingatkan bahwa penyalahgunaan instrumen hukum pajak dapat memberikan preseden berbahaya bagi masa depan pendidikan tinggi di AS.

Ketegangan antara Harvard dan pemerintah semakin memanas setelah universitas tersebut menggugat Gedung Putih atas penghentian dana hibah federal sebesar US$ 2,2 miliar. Dana tersebut sebagian besar dialokasikan untuk riset medis dan ilmiah.

Sementara itu, IRS maupun Kantor Inspektur Jenderal Perbendaharaan AS belum memberikan tanggapan resmi atas kasus ini. Menurut hukum AS, setiap pegawai IRS wajib melaporkan tekanan politik kepada otoritas pengawasan internal, namun belum ada indikasi apakah prosedur tersebut dijalankan dalam kasus ini. (alf)

 

 

 

 

 

PMK 15/2025: Buka Peluang Wajib Pajak Gugat Koreksi Lewat Jalur Resmi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 membuka ruang dialog resmi antara Wajib Pajak dan Tim Quality Assurance Pemeriksaan. Kebijakan ini tertuang dalam Pasal 19 PMK tersebut dan menjadi angin segar bagi Wajib Pajak yang merasa ada ketidaksesuaian hasil pemeriksaan.

Melalui ketentuan ini, Wajib Pajak yang tidak menyetujui seluruh atau sebagian hasil pemeriksaan pajak dapat mengajukan pembahasan ulang dengan Tim Quality Assurance.

Syaratnya, antara lain, Wajib Pajak telah menyatakan ketidaksetujuan secara tertulis dan telah melalui tahapan pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Pajak bertugas menyelesaikan perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak, khususnya terkait dasar hukum koreksi. Hasil dari pembahasan ini akan dituangkan dalam risalah resmi dan bersifat mengikat, menjadi dasar untuk menyusun berita acara akhir pemeriksaan.

Menariknya, ketentuan ini juga menetapkan tenggat waktu yang ketat yakni maksimal tiga hari kerja sejak risalah pembahasan ditandatangani untuk mengajukan permohonan pembahasan ke Tim Quality Assurance.

Namun, bila Wajib Pajak absen dalam pembahasan yang dijadwalkan, proses tetap berlanjut dan Tim akan membuat berita acara ketidakhadiran. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak Papua Capai Rp620 Miliar Hingga Maret 2025

IKPI, Jakarta: Hingga akhir Maret 2025, total penerimaan pajak di wilayah Papua mencatat angka Rp620,42 miliar, atau sekitar 10,41 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Demikian disampaikan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Papua, Papua Barat, dan Maluku, Dudi Efendi Karnawidjaya, dalam keterangan resmi, Jumat (2/5/2025).

Meski angka tersebut terlihat signifikan, realisasi bulan Maret justru menunjukkan penurunan. Tercatat, pemasukan pajak di bulan ketiga tahun ini berada di angka Rp218,84 miliar—mengalami penurunan sebesar 13,79 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dudi menjelaskan, penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi pada dua jenis pajak utama. Pajak Penghasilan (PPh) menurun hingga 19,34 persen dan hanya menyumbang 44,53 persen dari total penerimaan.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercatat turun tajam sebesar 31,62 persen, meski masih menyumbang sekitar 40,47 persen dari total penerimaan pajak.

Adapun faktor penyebabnya tak hanya berasal dari aktivitas ekonomi, tetapi juga kebijakan administratif serta dinamika sektoral.

Tiga sektor utama yang paling mempengaruhi adalah sektor pemerintahan dan jaminan sosial, yang tumbuh karena adanya pergeseran anggaran dari tahun 2024 ke 2025; sektor perdagangan, yang melemah karena turunnya setoran dari pelaku usaha makanan dan minuman; serta sektor keuangan dan asuransi, yang ikut melemah seiring penurunan kinerja perbankan di Papua. (alf)

 

 

 

 

en_US