DJP Pastikan Regulasi Pajak Minimum Global di Indonesia Masih Berlaku

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya angkat bicara terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan kemungkinan penerapan pajak minimum global di Indonesia bisa batal. DJP menegaskan bahwa aturan tersebut masih berlaku sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, menegaskan bahwa hingga saat ini regulasi mengenai pajak minimum global masih berjalan sebagaimana mestinya. “Dapat kami sampaikan bahwa hingga saat ini PMK 136/2024 masih berlaku sebagaimana telah ditetapkan,” ujar Dwi di Jakarta, Jumat (21/2/2025).

Pernyataan dari DJP tersebut menegaskan bahwa belum ada perubahan atau pembatalan terkait penerapan pajak minimum global di Indonesia. Meskipun ada pernyataan dari Airlangga mengenai kemungkinan batalnya penerapan pajak ini, DJP memastikan bahwa regulasi yang ada masih tetap berlaku.

Diberitakan sebelumnya, Airlangga mengindikasikan bahwa kebijakan pajak minimum global bisa batal diterapkan di Indonesia, terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi menarik negaranya dari kesepakatan pajak global. Menurut Airlangga, Indonesia terus memantau perkembangan kebijakan global dan berupaya memitigasi dampak dari penerapan pajak minimum global.

“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15 persen. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam acara Indonesia Economic Summit di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Selasa (18/2/2025).

Meskipun aturan pajak minimum global telah disiapkan, pemerintah tetap berupaya menjaga daya saing investasi di Tanah Air. Airlangga menegaskan bahwa Indonesia masih mengoptimalkan berbagai insentif di antaranya tax holiday dan tax allowance guna menarik investor.

Seperti diketahui, setelah dilantik kembali sebagai Presiden AS periode 2025–2029, Trump mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa AS tidak akan mengikuti kesepakatan dari solusi 2 Pilar Pajak Global. Trump juga memerintahkan Departemen Keuangan AS untuk menyusun opsi atau langkah-langkah protektif terhadap negara-negara yang telah atau berpotensi memberlakukan aturan pajak yang dinilai merugikan perusahaan-perusahaan AS.

Kesepakatan pajak minimum global sebesar 15 persen merupakan hasil negosiasi yang dipimpin oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Perjanjian ini disepakati pada Oktober 2021 di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, dengan dukungan dari hampir 140 negara.

Namun, Kongres AS tidak pernah menyetujui langkah-langkah untuk menyesuaikan AS dengan perjanjian tersebut.

Sebagai perbandingan, pajak minimum global di AS saat ini berada di kisaran 10 persen, yang merupakan bagian dari paket pemotongan pajak besar yang disahkan pada 2017 oleh administrasi Trump.

Perbedaan ini memungkinkan negara-negara yang telah menerapkan pajak minimum 15 persen untuk mengenakan pajak tambahan (top-up tax) kepada perusahaan-perusahaan AS yang membayar tarif pajak lebih rendah. Trump menyebut tindakan semacam itu sebagai bentuk retaliasi.

Pasalnya, Uni Eropa, Inggris, dan sejumlah negara lainnya telah mengadopsi pajak minimum global sebesar 15 persen. Namun, tanpa partisipasi AS, terdapat risiko ketegangan baru. Mantan Menteri Keuangan AS Janet Yellen sebelumnya menyepakati perjanjian ini sebagai langkah untuk mengakhiri persaingan penurunan tarif pajak korporasi yang dianggap merugikan secara global.

Sementara itu, Scott Bessent, kandidat Menteri Keuangan yang dinominasikan Trump, menentang keras kelanjutan perjanjian ini. “Melanjutkan kesepakatan pajak minimum global akan menjadi kesalahan besar,” tegas Bessent.

Selain pajak minimum global, OECD juga berupaya merancang aturan baru terkait pembagian hak pajak atas perusahaan multinasional besar, terutama yang mendapatkan keuntungan signifikan di negara-negara tempat produk mereka dijual. Langkah ini ditujukan untuk menggantikan pajak layanan digital sepihak yang sebelumnya diberlakukan oleh negara-negara seperti Italia, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Turki. (alf)

Tak Lapor SPT, Sanksi Administratif dan Pidana Menanti Wajib Pajak Ini Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Meski kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kepada negara bersifat wajib, masih banyak wajib pajak (WP) yang tidak memenuhi kewajiban tersebut. Padahal, tindakan tersebut berpotensi dikenakan sanksi yang tidak main-main, mulai dari sanksi administratif hingga pidana.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), WP yang tidak melaporkan SPT tepat waktu atau tidak sesuai ketentuan bisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Sanksi ini bervariasi, tergantung jenis SPT yang tidak dilaporkan. Berikut rinciannya:

– Denda Rp500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

– Denda Rp100.000 untuk SPT Masa lainnya

– Denda Rp1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan

– Denda Rp100.000 untuk SPT PPh Wajib Pajak Perorangan

Lebih jauh lagi, WP yang dengan sengaja tidak melaporkan SPT atau melaporkan SPT dengan informasi yang tidak benar atau tidak lengkap, yang dapat merugikan pendapatan negara, bisa dijerat dengan sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 39 UU KUP, sanksinya bisa berupa pidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun, serta denda yang besarnya 2 hingga 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Di sisi lain, pelaporan SPT Tahunan untuk periode 2024 menunjukkan angka yang cukup signifikan. Hingga 12 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh yang sudah disampaikan oleh WP. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,73% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang tercatat sebanyak 3,21 juta pelapor SPT.

Jumlah tersebut terdiri dari 3,23 juta wajib pajak orang pribadi dan 103 ribu wajib pajak badan. Pelaporan SPT yang dilakukan melalui saluran elektronik tercatat sebanyak 3,26 juta, sementara sisanya sebanyak 75,77 ribu SPT dilaporkan secara manual.

Meskipun sistem Coretax sudah diluncurkan sejak 1 Januari 2025, mekanisme pelaporan SPT Tahunan 2024 masih menggunakan metode lama, yakni e-Filing. Namun, pada pelaporan SPT Tahunan 2025 yang akan dilakukan pada 2026, WP dapat menggunakan sistem Coretax yang baru.

Dengan adanya sanksi yang tegas ini, penting bagi seluruh wajib pajak untuk memastikan pelaporan SPT mereka dilakukan dengan benar dan tepat waktu, guna menghindari potensi masalah hukum dan finansial.(alf)

Singapura Bagikan Voucher dan Pangkas Pajak dalam Perayaan Kemerdekaan ke-60

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, mengumumkan serangkaian insentif bagi warga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Singapura yang ke-60. Dalam pidato anggaran pada Selasa (18/2/2025), Lawrence menyatakan bahwa pemerintah akan membagikan voucher hingga memangkas pajak penghasilan pribadi sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi masyarakat.

“Saya akan memperkenalkan paket SG60 untuk mengapresiasi kontribusi seluruh warga Singapura dan untuk berbagi manfaat kemajuan bangsa kita,” ujar Lawrence dikutip dari CNBCIndonesia.

Sebagai bagian dari paket SG60, pemerintah akan mendistribusikan voucher SG60 kepada warga Singapura berusia 21 hingga 59 tahun pada tahun 2025. Setiap orang dalam kelompok usia tersebut akan menerima voucher senilai S$600 (sekitar Rp7,3 juta). Sementara itu, warga berusia 60 tahun ke atas akan mendapatkan voucher senilai S$200 (sekitar Rp2,4 juta) atau S$800 (sekitar Rp9,7 juta), tergantung pada kriteria tertentu.

Tak hanya itu, bayi yang lahir pada tahun 2025 juga akan menerima “hadiah bayi SG60” sebagai bagian dari perayaan nasional ini. Distribusi voucher ini akan dimulai pada bulan Juli 2025 dan berlaku hingga 31 Desember 2026. Kelompok lansia akan diberikan prioritas dalam proses klaim sebelum distribusi berlanjut ke kelompok usia yang lebih muda.

Warga dapat mengklaim voucher melalui RedeemSG atau meminta bantuan di pusat layanan masyarakat jika mengalami kesulitan. Voucher ini dapat digunakan di berbagai tempat belanja, mulai dari supermarket hingga pedagang kaki lima.

Selain pembagian voucher, Lawrence juga mengumumkan pemangkasan pajak penghasilan pribadi (personal income tax/PPh) sebesar 60 persen untuk tahun pajak 2025. Pemangkasan ini akan dibatasi hingga S$200 per individu, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi pekerja kelas menengah.

Lebih lanjut, pemerintah juga akan memberikan dukungan kepada para pedagang di pasar dengan subsidi penyewaan kios sebesar S$600 per unit, guna meringankan beban biaya operasional mereka.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian Singapura dalam momentum perayaan kemerdekaan ke-60 tahun negara tersebut. (alf)

Pengkreditan Pajak Masukan di Coretax DJP Maksimal 3 Bulan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengimplementasikan kebijakan baru terkait pengkreditan Pajak Masukan dalam sistem Coretax. Dalam kebijakan ini, Pajak Masukan dapat dikreditkan dalam masa pajak yang tidak sama dengan batas maksimal 3 bulan sejak masa pajak faktur diterbitkan.

Implementasi ini berlaku untuk Faktur Pajak yang dibuat dalam sistem Coretax DJP, memberikan fleksibilitas bagi wajib pajak dalam mengkreditkan Pajak Masukan mereka. Berikut contoh pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan kebijakan terbaru:

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak Oktober 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari 2025.

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak November 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari atau Februari 2025.

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak Desember 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari, Februari, atau Maret 2025.

Kebijakan ini juga akan diterapkan pada Faktur Pajak yang dibuat dalam sistem Coretax DJP mulai Masa Pajak Januari 2025, dengan batas pengkreditan maksimal 3 bulan sejak masa pajak faktur diterbitkan.

Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih fleksibel dalam mengelola Pajak Masukan mereka, serta meningkatkan kepatuhan pajak dengan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku.

Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat menghubungi kantor pajak terdekat atau mengakses situs resmi DJP. (alf)

Google Bayar 326 Juta Euro ke Italia untuk Selesaikan Kasus Pajak

IKPI, Jakarta: Raksasa teknologi Google telah membayar 326 juta Euro kepada pemerintah Italia setelah penyelidikan atas dugaan pajak yang tidak dibayarkan, demikian disampaikan oleh jaksa di Milan pada Rabu (19/2/2025). Jaksa juga menyatakan bahwa mereka merekomendasikan penghentian proses pidana terkait kasus ini.

Otoritas pajak Italia menuduh Google Ireland Limited gagal melaporkan dan membayar pajak atas penghasilan yang dihasilkan di Italia antara tahun 2015 hingga 2019.

Penyelidikan ini berfokus pada pendapatan yang diperoleh Google dari penjualan ruang iklan di negara tersebut. Dalam kesepakatan yang dicapai dengan Google, perusahaan teknologi tersebut sepakat untuk membayar 326 juta Euro yang mencakup pajak, denda, dan bunga guna menyelesaikan permasalahan dengan otoritas pajak Italia. Jaksa di Milan mengonfirmasi pembayaran ini dalam pernyataan resmi mereka.

Sebagai tindak lanjut, jaksa telah mengajukan permintaan kepada hakim untuk menghentikan proses pidana dalam kasus ini. Hingga saat ini, Google belum memberikan komentar resmi terkait keputusan tersebut.

Tantangan Pajak bagi Raksasa Teknologi di Eropa

Kasus yang melibatkan Google ini merupakan bagian dari tantangan yang lebih luas bagi Uni Eropa dalam memastikan perusahaan teknologi membayar pajak secara adil di wilayah tersebut. Beberapa perusahaan besar dituduh mengalihkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak rendah seperti Irlandia dan Luksemburg guna mengurangi kewajiban pajak mereka.

Salah satu kasus yang menonjol adalah keputusan Komisi Eropa pada 2016 yang memerintahkan Apple untuk membayar pajak senilai 13 miliar Euro kepada Irlandia setelah menemukan adanya kesepakatan pajak yang dinilai menguntungkan satu pihak. Namun, keputusan ini kemudian dibatalkan oleh hakim Uni Eropa karena kurangnya bukti bahwa Apple telah melanggar peraturan.

Komisi Eropa saat ini masih berusaha membalikkan keputusan tersebut, serta menantang keputusan pengadilan lain yang membatalkan perintah pembayaran pajak sebesar 250 juta Euro oleh Amazon kepada Luksemburg.

Kasus-kasus ini mencerminkan perjuangan Uni Eropa dalam menegakkan regulasi pajak terhadap perusahaan teknologi besar, yang sering kali memiliki struktur bisnis kompleks dan lintas negara untuk mengoptimalkan kewajiban pajak mereka. (alf)

DJP Laporkan Perkembangan Penerbitan Faktur Pajak dan Pelaporan SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan perkembangan terbaru terkait penerbitan faktur pajak dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) hingga 19 Februari 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangannya pada Kamis, menyampaikan bahwa hingga 19 Februari 2025 pukul 04.00 WIB, sebanyak 803.372 wajib pajak telah berhasil memperoleh sertifikat digital atau sertifikat elektronik untuk keperluan penandatanganan faktur pajak dan bukti potong PPh.

Sementara itu, jumlah wajib pajak yang telah menerbitkan faktur pajak mencapai 266.608. Adapun faktur pajak yang telah diterbitkan dan divalidasi berjumlah 60.779.275 untuk masa Januari 2025, serta 14.233.029 untuk masa Februari 2025.

Di sisi lain, hingga 19 Februari 2025 pukul 12.02 WIB, terdapat 4,4 juta SPT Tahunan PPh yang telah disampaikan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4,27 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi, sedangkan 130,5 ribu berasal dari wajib pajak badan. Penyampaian SPT Tahunan yang dilakukan melalui saluran elektronik mencapai 4,31 juta, sementara yang disampaikan secara manual sebanyak 97,8 ribu.

“Kami mengimbau kepada Wajib Pajak agar terus mengikuti pengumuman resmi yang dikeluarkan DJP,” ujar Dwi.

DJP juga menyediakan panduan langkah-langkah penggunaan aplikasi Coretax DJP yang dapat diakses melalui laman https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/. Bagi wajib pajak yang mengalami kendala, dapat menghubungi kantor pajak setempat atau layanan Kring Pajak di 1500 200.

Sebelumnya, DJP telah mengumumkan bahwa pembuatan faktur pajak dapat dilakukan melalui tiga saluran utama, yaitu Coretax, e-Faktur Client Desktop, dan e-Faktur Host-to-Host melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP). Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-54/PJ/2025 tanggal 12 Februari 2025 tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Tertentu.

Dwi memastikan bahwa data faktur pajak yang dibuat melalui aplikasi e-Faktur Client Desktop akan tersedia secara periodik di Coretax DJP paling lambat H+2 setelah penerbitan faktur pajak. (alf)

Penerimaan Pajak Indonesia Masih Terbatas, Penasehat Presiden Soroti Ketergantungan pada Pembayar Pajak Terbatas

IKPI, Jakarta: Penasihat Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia masih terbilang rendah. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan negara yang terlalu besar pada jumlah pembayar pajak yang terbatas, meskipun jumlah penduduk Indonesia sangat besar.

Dalam acara “Kumparan The Economics Insights 2025” yang digelar di The Westin, Jakarta Selatan, Rabu (19/2/2025) Bambang menyatakan, karena bergantung hanya kepada basis pajak yaitu pembayar pajak yang jumlahnya tidak seberapa besar dibandingkan jumlah penduduk Indonesia, maka tax ratio RI hanya sekitar 10 persen.

Tax ratio Indonesia yang masih di angka 10 persen tersebut menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tax ratio terendah di kawasan ASEAN, bahkan berada jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Bambang menambahkan, Indonesia ingin menjadi anggota OECD, namun tax ratio yang rendah menjadi salah satu tantangan terbesar.

Meskipun demikian, Bambang menegaskan bahwa meningkatkan tarif pajak atau menambah objek pajak bukanlah prioritas utama. “Pengalaman saya atau pengamatan saya adalah, tentunya kita tidak menjadikan kenaikan tarif pajak maupun penambahan objek pajak sebagai prioritas. Kalau memang itu dirasakan sangat mendesak, barangkali boleh-boleh saja, tapi yang lebih penting nomor satu adalah untuk bisa meningkatkan penerimaan pajak,” ujar Bambang.

Lebih lanjut, Bambang juga menyoroti praktik transfer pricing yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, baik Penanaman Modal Asing (PMA) maupun perusahaan domestik Indonesia. Ia menjelaskan bahwa banyak keuntungan yang seharusnya dikenakan pajak di Indonesia justru dipindahkan ke negara lain dengan tarif pajak yang lebih rendah, sehingga merugikan pendapatan negara.

“Nah keuntungan itu dipindahkan ke negara lain yang menjanjikan PPh badan atau corporate income tax yang jauh lebih rendah. Tentunya ini kerugian bagi kita,” jelas Bambang.

Bambang juga mengungkapkan kesepakatannya dengan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Panjaitan, yang sering menekankan pentingnya penerapan Coretax sebagai langkah untuk mendeteksi penerimaan pajak yang lebih akurat dan memperluas basis pajak.

“Karena salah satu cara kita untuk bisa mendeteksi penerimaan pajak yang lebih akurat dan memiliki basis pajak yang lebih luas adalah melalui sistem yang komprehensif seperti Coretax,” ujar Bambang.

Pernyataan ini menegaskan bahwa Indonesia masih memiliki tantangan besar dalam memperbaiki sistem perpajakan dan meningkatkan penerimaan negara, yang menjadi kunci penting dalam mendukung pembangunan nasional.(alf)

DEN Dorong Presiden Prabowo Audit Coretax untuk Tingkatkan Rasio Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan audit terhadap Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Hal ini disampaikan Luhut dalam acara “Economic Insight 2025” di Westin Hotel, Jakarta, Rabu (19/2/2025).

Luhut menilai bahwa Coretax, yang sudah dirancang lebih dari sepuluh tahun, belum juga selesai dan ini menjadi salah satu hambatan utama bagi peningkatan rasio perpajakan Indonesia yang masih terbilang rendah.

Menurut Luhut, implementasi Coretax yang belum tuntas perlu dievaluasi lebih dalam agar bisa mengetahui penyebab dari keterlambatannya. Dia menekankan pentingnya sebuah audit untuk menggali lebih dalam kendala-kendala yang menghambat sistem ini.

“Coretax ini harus dipercepat. Buat saya, sebenarnya sederhana, masa Cortex sudah 10 tahun tidak jadi-jadi? Ada apa ini? Ini perlu dilihat. Makanya saya saran Presiden (Prabowo Subianto) audit saja, Pak,” ujar Luhut.

Lebih lanjut, Luhut menambahkan bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk mengevaluasi sistem perpajakan yang ada saat ini, terutama terkait rendahnya *tax ratio* yang hanya sekitar 10%. “Kita harus bertanya kenapa tax ratio kita masih 10% saja? Kenapa tidak bisa naik begitu? Jadi hal semacam ini perlu kita jawab dengan melakukan audit tadi,” ungkapnya.

Pemerintah, menurut Luhut, juga perlu mempelajari lebih dalam alasan di balik rendahnya rasio pajak di Indonesia dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem perpajakan yang ada. Sebab, potensi pendapatan pajak Indonesia sebenarnya sangat besar, apalagi jika Coretax diterapkan dengan optimal.

Luhut menjelaskan bahwa dengan penerapan sistem Coretax, diproyeksikan Indonesia dapat menarik pendapatan pajak hingga Rp 1.500 triliun. Ia menambahkan bahwa perbaikan sistem perpajakan, termasuk melalui digitalisasi, bisa memperbaiki efisiensi dan meningkatkan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) serta rasio pajak, yang berpotensi menyumbang hingga 6,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Kalau kita memperbaiki, ada beberapa item yang diberikan, termasuk digitalisasi tadi, itu kita bisa memperbaiki ICOR kita dan juga menaikkan tax ratio kita, (kontribusinya) dari 6,4% ke GDP atau setara dengan Rp 1.500 triliun. Kami pikir ya kita dapat sepertiganya saja saya kira sudah bagus,” kata Luhut.

Dengan langkah-langkah tersebut, Luhut berharap sistem perpajakan Indonesia dapat lebih efisien dan berkelanjutan dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional.(alf)

KPP Pratama Surakarta Buka Layanan Pojok Pajak Hingga Malam

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surakarta memperluas akses layanan dengan membuka Pojok Pajak di Kelurahan Gilingan, Kota Surakarta. Layanan ini beroperasi setiap hari mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WIB, yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak (WP) yang ingin melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) baik untuk individu maupun badan usaha setelah pulang bekerja.

Kepala KPP Pratama Surakarta, Herry Wirawan, menjelaskan bahwa penambahan waktu layanan sore hingga malam ini bertujuan untuk membantu Wajib Pajak yang tidak dapat mengurus administrasi SPT pada jam kerja reguler. Dengan adanya Pojok Pajak, WP dapat lebih fleksibel dalam melaksanakan kewajiban perpajakan mereka.

“Layanan ini termasuk aktivasi atau permintaan kembali Electronic Filing Identification Number (EFIN), permohonan perubahan data Wajib Pajak, hingga asistensi dalam pengisian dan pelaporan SPT Tahunan. Kami memastikan semua layanan tersedia hingga WP selesai melaporkan SPT mereka,” ungkap Herry dalam keterangan tertulis yang diterima oleh media, Rabu (19/2/2025).

Penyediaan layanan ini juga bertujuan untuk memfasilitasi WP dalam menghadapi kebijakan terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait implementasi Multi-Factor Authentication (MFA) yang berlaku sejak 2025. Setiap WP diwajibkan untuk memverifikasi identitas mereka melalui nomor handphone atau email untuk mengakses laman pajak.go.id. Langkah ini diambil untuk menjaga kerahasiaan data WP dan mencegah terjadinya pencurian akun.

Selain layanan di Pojok Pajak, KPP Pratama Surakarta juga memberikan informasi kepada WP melalui WhatsApp Blast mengenai jadwal layanan Pojok Pajak di kelurahan atau wilayah lainnya. Herry mengimbau kepada seluruh masyarakat agar segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum batas akhir yang ditetapkan, yaitu 31 Maret untuk WP orang pribadi dan 30 April untuk WP badan. Keterlambatan pelaporan akan dikenakan sanksi administratif berupa denda, yakni Rp 100 ribu untuk WP orang pribadi dan Rp 1 juta untuk WP badan.

Salah satu Wajib Pajak, Rahayu, menyampaikan apresiasinya terhadap layanan Pojok Pajak. “Saya selalu memanfaatkan layanan Pojok Pajak di kelurahan untuk melaporkan SPT Tahunan pribadi saya, bahkan untuk TK Aisyiyah 41 Tegalharjo,” ujar Rahayu.

Layanan Pojok Pajak ini diharapkan dapat mempermudah WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya tanpa mengganggu rutinitas harian mereka, serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya pelaporan SPT Tahunan tepat waktu.(alf)

DPD akan Panggil Dirjen Pajak Terkait Penurunan Laporan Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Ahmad Nawardi mengungkapkan rencana untuk memanggil Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Kementerian Keuangan Suryo Utomo, setelah adanya penurunan signifikan dalam laporan faktur pajak akibat penerapan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax).

Rencana pemanggilan tersebut disampaikan Nawardi usai rapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPD, Senayan, Jakarta. Dalam rapat tersebut, Nawardi menanyakan masalah terkait sistem Coretax, namun ia menyatakan bahwa hingga saat ini penjelasan lebih lanjut dari Menteri Keuangan belum diterima, sehingga Komite IV berencana untuk mendalami masalah ini lebih lanjut dengan mengundang Dirjen Pajak.

“Saya ingin memperdalam persoalan ini. Yang pasti, ke depannya kami akan mengundang Dirjen Pajak,” ujar Nawardi kepada wartawan, Selasa (18/2/2025).

Nawardi juga mengungkapkan bahwa penurunan laporan faktur pajak tersebut berdampak langsung pada penerimaan negara. Berdasarkan informasi yang diperolehnya, target penerimaan dari pengumpulan faktur pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai Rp 50 triliun, jauh lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 172 triliun.

“Faktur pajak yang diterbitkan tahun ini jauh berkurang. Pada tahun lalu, jumlah faktur yang masuk mencapai 60 juta, namun tahun ini hanya 20 juta faktur,” ungkap Nawardi. Penurunan tersebut diduga terkait dengan masalah pada penerbitan faktur dalam sistem Coretax.

Meskipun Coretax dipandang sebagai sistem pembayaran pajak digital yang canggih dan menjanjikan, Nawardi menekankan perlunya segera dilakukan perbaikan agar sistem ini tidak mengganggu penerimaan negara lebih lanjut. “Jangan sampai Coretax tidak digunakan sama sekali, apalagi sudah menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun,” ujarnya.

Sebagai informasi, pada 13 Februari 2025, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti melaporkan bahwa jumlah faktur pajak yang telah diterbitkan sepanjang Januari 2025 tercatat sebesar 52,5 juta faktur. Sementara pada Februari 2025, jumlah faktur yang diterbitkan hanya mencapai 6,91 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 46,9 juta faktur pada Januari dan 6,20 juta faktur pada Februari telah divalidasi atau disetujui.

Dengan penurunan yang signifikan ini, Komite IV DPD berharap pemerintah dapat segera mengatasi masalah teknis yang ada dalam penerapan Coretax agar target penerimaan negara dapat tercapai tanpa hambatan. (alf)

en_US