Sidang Lanjutan UU HPP: Pemohon Soroti Dampak Pajak terhadap Kebutuhan Pokok

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Senin (21/4/2025). Sidang yang berlangsung di Ruang Sidang MK ini beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan untuk Perkara Nomor 11/PUU-XXIII/2025.

Permohonan uji materi ini diajukan oleh tujuh pihak dari berbagai latar belakang, mulai dari ibu rumah tangga, mahasiswa, pekerja swasta, pelaku usaha mikro, pengemudi ojek daring, hingga organisasi di bidang kesehatan mental.

Kuasa hukum para Pemohon, Judianto Simanjuntak, dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyampaikan sejumlah perbaikan dalam berkas permohonan. Salah satu perbaikan tersebut adalah penghapusan kata “Bab” dalam daftar pasal yang diuji, serta penyusunan ulang narasi mengenai legal standing yang kini dipisahkan dari bagian posita.

Pasal-pasal yang diuji dalam perkara ini mencakup Pasal 4A ayat (2) huruf b, ayat (3) huruf a, g, j, serta Pasal 7 ayat (1), (3), dan (4) UU HPP. Para Pemohon menilai ketentuan tersebut berdampak pada penghapusan barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti bahan pangan, jasa kesehatan, pendidikan, dan transportasi umum dari daftar yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Selain itu, Pemohon juga menyoroti ketentuan baru mengenai tarif PPN dan mekanisme perubahannya yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 28H ayat (2).

Menurut para Pemohon, kebijakan tersebut berpotensi meningkatkan beban hidup masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, akibat naiknya harga kebutuhan pokok sementara pendapatan masyarakat stagnan atau menurun.

Dalam petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga meminta agar perubahan tarif PPN hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, bukan peraturan pemerintah, serta mensyaratkan penetapan tarif didasarkan pada indikator ekonomi, sosial, dan lingkungan yang jelas. (alf)

 

Bayar Pajak Kini Bisa Lewat Deposit, Ini Caranya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerapkan mekanisme baru pembayaran dan penyetoran pajak melalui skema Deposit Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 103 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024. Langkah ini diambil untuk memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.

Berdasarkan Pasal 103 ayat (1), Wajib Pajak kini dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak. Selanjutnya, pada ayat (2) dijelaskan bahwa pembayaran dan penyetoran tersebut dilakukan melalui Pemindahbukuan, yaitu pemindahan saldo dari akun Deposit Pajak untuk membayar pajak yang terutang.

Ayat (3) dari peraturan ini mengatur tiga cara pengisian Deposit Pajak, yaitu:

a. Pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;

b. Permohonan Pemindahbukuan; atau

c. Permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak.

Sementara itu, ayat (4) mengatur mengenai penetapan tanggal pengisian Deposit Pajak berdasarkan metode pengisiannya. Tanggal pembayaran dan penyetoran pajak akan diakui berdasarkan:

a. Tanggal bayar pada Bukti Penerimaan Negara, jika pengisian dilakukan secara elektronik;

b. Tanggal bayar pada Bukti Pemindahbukuan, jika melalui permohonan Pemindahbukuan;

c. Tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, jika berasal dari sisa kelebihan pembayaran atau imbalan bunga.

Direktorat Jenderal Pajak menyebutkan bahwa penerapan skema Deposit Pajak ini merupakan bagian dari upaya modernisasi sistem perpajakan nasional. Sistem ini diharapkan dapat mempercepat proses administrasi, meningkatkan transparansi, dan mendukung kepatuhan pajak secara sukarela.

Pemerintah juga memastikan bahwa sistem ini terintegrasi secara elektronik dan memiliki pencatatan yang akuntabel untuk setiap transaksi, guna mencegah duplikasi pembayaran maupun potensi kesalahan administratif. (alf)

 

 

 

 

Bank DKI Pastikan Transaksi KJP Plus dengan Mesin EDC Berjalan Normal

IKPI, Jakarta: Bank DKI memastikan layanan transaksi non-tunai bagi penerima manfaat Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus tetap berjalan normal, khususnya untuk transaksi menggunakan mesin Electronic Data Capture (EDC) milik Bank DKI.

Direktur Utama Bank DKI, Agus H Widodo menegaskan bahwa dana dan data seluruh nasabah penerima bantuan sosial, termasuk penerima KJP Plus, aman dan tidak mengalami pengurangan.

Ia juga menjelaskan, transaksi pencairan dana KJP masuk kategori on us atau dilakukan dalam sistem perbankan internal Bank DKI, sehingga tidak terdampak gangguan teknis antarbank.

“Nah, bansos itu kan bukan dana keluar ke bank lain, istilahnya on us. Jadi karena ada di kita juga, itu bisa, tidak ada gangguan. KJP segala macam bisa dicairkan,” ujar Agus.

Lebih lanjut Agus menjelaskan, bahwa pihaknya juga menyediakan kemudahan bagi pemegang KJP Plus untuk bertransaksi langsung di toko mitra melalui EDC Bank DKI. Layanan ini memungkinkan pembelian kebutuhan harian dan pendidikan tanpa perlu menarik tunai.

Berikut rincian mekanisme transaksi bagi penerima KJP Plus secara tunai:

• Penerima KJP dapat melakukan penarikan tunai sebesar Rp100.000 di ATM Bank DKI.

Secara non-tunai

• Melalui EDC Bank DKI: Penerima dapat mengecek saldo dan melakukan transaksi pembelanjaan (misalnya subsidi pangan dan keperluan sekolah).

• Melalui JakOne Mobile Bank DKI: Penerima dapat berbelanja menggunakan QRIS dan fitur purchase untuk kebutuhan pendidikan.

Daftar toko mitra yang menerima transaksi EDC Bank DKI dapat diakses melalui tautan:

bit.ly/merchant-kjp Bank DKI terus melakukan evaluasi dan peningkatan layanan secara berkala demi memastikan kenyamanan akses bagi seluruh nasabah, khususnya penerima bantuan sosial pendidikan.

Masyarakat juga diimbau untuk bertransaksi di toko mitra resmi dan mengecek struk pembelanjaan sebagai bentuk pengendalian pribadi. Bank DKI menegaskan komitmennya untuk mendukung program-program Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan memastikan penyaluran bantuan sosial berjalan aman, tepat, dan transparan. (bl)

Slovenia Akan Tarik Pajak 25% dari Keuntungan Penjualan Kripto 

IKPI, Jakarta: Pemerintah Slovenia mengambil langkah strategis dalam pengelolaan aset digital dengan merilis rancangan undang-undang pajak kripto yang menekankan transparansi dan penyederhanaan beban administratif. Dalam RUU yang diperkenalkan Direktorat Pajak, Bea Cukai, dan Sistem Pendapatan Publik Lainnya, Kementerian Keuangan Slovenia mengusulkan tarif pajak flat sebesar 25% atas keuntungan dari penjualan aset kripto.

RUU yang diumumkan pada Kamis (17/4/2025) ini membuka ruang diskusi publik hingga 5 Mei 2025. Berbeda dari pendekatan represif yang diambil beberapa negara, Slovenia berupaya menyesuaikan regulasi kriptonya dengan standar internasional tanpa membebani pelaku pasar.

“Aturan ini bukan hanya soal pungutan pajak, tetapi juga menciptakan kejelasan hukum dan meminimalkan birokrasi,” demikian tertulis dalam pernyataan resmi Kementerian Keuangan Slovenia dikutip, Minggu (20/4/2025).

Keuntungan yang diperoleh dari mengonversi aset kripto ke mata uang fiat, pembelian barang atau jasa, serta transfer ke pihak lain akan dikenai pajak. Sementara itu, pertukaran antar-kripto atau transfer antar dompet pribadi tidak termasuk dalam objek pajak.

Langkah ini menunjukkan komitmen Slovenia membangun sistem fiskal yang adaptif terhadap inovasi digital. Wajib pajak diberikan pilihan metode penyederhanaan perhitungan pajak, termasuk basis alternatif berdasarkan 40% dari nilai aset per akhir 2025 dan total pelepasan aset selama lima tahun terakhir.

Tidak hanya itu, rancangan juga menyentuh instrumen derivatif finansial yang diselaraskan dengan Strategi Pengembangan Pasar Modal Slovenia 2023–2030. Penyamaan struktur pajak ini bertujuan menciptakan kerangka perpajakan yang lebih terintegrasi dan konsisten. (alf)

 

AS Soroti Praktik Bea Cukai RI Rentan Korupsi dan Bebani Pelaku Usaha

IKPI, Jakarta: Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali melayangkan sorotan tajam terhadap praktik bea cukai di Indonesia. Lewat laporan tahunan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis akhir Maret 2025, Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menggarisbawahi berbagai kendala yang dialami perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam saat berurusan dengan sistem kepabeanan Indonesia.

Dalam laporan tersebut, Indonesia termasuk dalam 59 negara mitra dagang yang dikaji. Satu hal yang menjadi perhatian serius AS adalah kebiasaan otoritas Bea Cukai RI dalam menggunakan daftar harga referensi sebagai dasar penilaian bea masuk, alih-alih mengacu pada nilai transaksi aktual seperti yang dianjurkan oleh perjanjian WTO.

“Perusahaan-perusahaan AS secara rutin mengeluhkan ketidakpastian dalam proses bea masuk di Indonesia,” tulis USTR dalam laporan yang dikutip Sabtu (19/4/2025).

Tak hanya metode penilaian, inkonsistensi antarwilayah juga disorot. USTR mencatat adanya perbedaan penentuan nilai bea masuk di berbagai daerah, meskipun barang yang diimpor identik. Situasi ini membuat pelaku usaha asing menghadapi risiko biaya tambahan dan ketidakpastian dalam logistik mereka.

Pemerintah AS juga menyoroti Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 tentang kewajiban verifikasi teknis prapengiriman untuk sejumlah produk. Meski aturan itu sudah berlaku, hingga akhir 2024 Indonesia belum melaporkannya kepada WTO, yang dinilai sebagai pelanggaran prosedural.

Tak kalah penting, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2022 yang mengatur tentang barang tidak berwujud, seperti unduhan digital, turut masuk dalam daftar sorotan. Ketentuan ini dianggap memberatkan karena mewajibkan penyimpanan dokumen tambahan yang belum jelas definisinya.

Paling mencolok, USTR juga menyinggung sistem insentif bagi petugas Bea Cukai Indonesia, di mana mereka bisa menerima hingga 50% dari nilai barang sitaan. Menurut USTR, skema ini membuka celah besar bagi praktik korupsi dan bertentangan dengan prinsip transparansi yang diusung WTO.

“Indonesia adalah satu dari sedikit mitra dagang utama kami yang masih menerapkan insentif semacam ini. Kami khawatir ini bisa menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif dan sarat ketidakpastian,” tulis USTR.

Laporan ini muncul hanya beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal, yang disebut-sebut bisa memengaruhi hubungan dagang bilateral. (alf)

 

Gubernur Banten Minta Pemerintah Pusat Bebaskan PPN untuk Perbaikan RTLH

IKPI, Jakarta: Gubernur Banten Andra Soni menunjukkan komitmen kuatnya dalam meningkatkan kualitas hidup warga melalui program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH). Namun di balik upaya tersebut, ia menghadapi satu tantangan yang dinilai cukup membebani pajak.

Di tengah semangat membangun rumah baru bagi warga kurang mampu, Andra mengajukan permohonan khusus kepada pemerintah pusat agar pembangunan rumah layak huni dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Kalau PPN-nya dihapus untuk program ini, dampaknya bisa luar biasa. Dana yang ada bisa langsung digunakan untuk membangun lebih banyak rumah bagi masyarakat,” kata Andra Soni dalam keterangan resminya dikutip, Minggu (20/4/2025).

Langkah konkret telah dilakukan. Dua unit rumah layak huni di Desa Cokop Sulanjana, Kecamatan Waringin Kurung, sudah selesai dibangun menggunakan model rumah modular. Rumah-rumah tersebut sebelumnya dalam kondisi memprihatinkan dan telah dilaporkan dua bulan lalu.

“Alhamdulillah, dua rumah sudah berdiri. Kami bangun dengan pendekatan modular agar bisa cepat dan efisien. Ini akan kami lanjutkan sebagai program berkelanjutan, sejalan dengan target nasional membangun tiga juta rumah dari Pak Presiden Prabowo,” ujar Andra.

Sebagai gubernur yang baru satu bulan dilantik, Andra mengakui bahwa tantangan masih banyak. Namun ia memastikan alokasi anggaran daerah akan diprioritaskan untuk program ini.

“Saya masuk saat APBD sudah berjalan, RPJMD juga disusun. Tapi ini amanah yang harus saya tuntaskan. Rumah yang layak adalah hak setiap warga,” tambahnya.

Namun, ia menyadari bahwa perjuangan ini tak bisa dilakukan sendiri. Kolaborasi antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi, hingga pusat menjadi kunci keberhasilan.

“Kalau kita bersinergi, kita bisa membangun lebih banyak rumah, lebih cepat, dan lebih berkualitas,” ujarnya. (alf)

 

 

Konsultan Pajak Berizin 2024 Wajib Lapor Tahunan tetapi Boleh Tak Memuat Realisasi PPL

IKPI, Jakarta: Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (PPPK) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa konsultan pajak yang telah memperoleh izin praktik wajib memenuhi kewajiban Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) mulai tahun berikutnya setelah izin diterbitkan. Hal ini disampaikan Tri Wury Handayani, Analis Laporan Profesi Keuangan PPPK, dalam sosialisasi bersama Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Jumat (11/4/2025).

“Pemenuhan SKP-PPL untuk konsultan pajak yang baru memperoleh izin pada tahun 2024 tidak diwajibkan untuk tahun tersebut. Namun, mulai Januari 2025, kewajiban mengikuti PPL dan mengumpulkan SKP sudah berlaku,” ujar Wury dalam pemaparannya.

Ia menjelaskan bahwa konsultan pajak tingkat A wajib mengumpulkan minimal 20 SKP dalam setahun. Realisasi Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) ini akan menjadi bagian dari laporan tahunan yang harus disampaikan pada tahun berikutnya. “Jadi, ketika melaporkan di tahun 2026 untuk kegiatan 2025, SKP-nya sudah tidak boleh kosong lagi,” tegasnya.

Wury juga mengingatkan bahwa meskipun izin praktik diterbitkan di akhir tahun, misalnya November 2024, konsultan pajak tersebut tetap wajib menyampaikan laporan tahunan untuk 2024 paling lambat 30 April 2025. Namun, laporan tersebut belum diwajibkan memuat realisasi PPL karena kewajiban itu baru efektif di tahun 2025.

“Penting bagi para konsultan pajak untuk memahami bahwa kewajiban PPL ini merupakan bagian dari profesionalisme dan integritas dalam menjalankan praktik perpajakan,” ujarnya.

Dengan penegasan ini, PPPK berharap tidak ada lagi konsultan pajak yang lalai atau keliru dalam memahami batas waktu dan kewajiban realisasi PPL sesuai peraturan yang berlaku. (alf/bl)

Catat! Ini Empat Komponen yang Wajib Diserahkan dalam Laporan Tahunan Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Konsultan pajak diwajibkan menyampaikan empat unsur utama dalam laporan tahunan, yaitu daftar klien, daftar realisasi Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL), kartu tanda anggota asosiasi, dan surat keterangan bekerja. Penegasan ini disampaikan Analis Laporan Profesi Keuangan dari Pusat PembinaanProfesi Keuangan (PPPK), Tri Wury Handayani, dalam sosialisasi yang digelar bersama Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Jumat (11/4/2025).

Wury menjelaskan bahwa daftar klien merupakan data wajib pajak yang menerima jasa perpajakan dari konsultan. Informasi yang harus dicantumkan meliputi tahun laporan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), nama dan alamat wajib pajak, status Pengusaha Kena Pajak (PKP), cakupan jasa yang diberikan, serta keterangan tambahan.

“Setiap konsultan pajak wajib mengisi semua klien yang menjadi tanggung jawabnya. Jika pada tahun 2024 memberikan jasa kepada 100 klien, maka seluruhnya harus dilaporkan dalam daftar,” kata Wury.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti pentingnya surat keterangan bekerja bagi konsultan pajak yang bekerja di perusahaan yang tidak memberikan jasa konsultasi perpajakan. Dalam kasus tersebut, nama perusahaan tempat bekerja tetap dapat dicantumkan dalam daftar klien dengan melampirkan surat keterangan tersebut.

“Kami beri tanda bintang khusus untuk surat keterangan bekerja ini, karena ini berlaku bagi konsultan pajak yang statusnya sebagai karyawan di perusahaan, bukan penyedia jasa konsultasi perpajakan,” jelasnya.

Wury berharap, dengan adanya penjelasan ini, tidak ada lagi kebingungan mengenai definisi dan kelengkapan daftar klien dalam laporan tahunan.

Ia menegaskan bahwa pemahaman yang tepat sangat penting untuk menjaga akuntabilitas dan profesionalisme konsultan pajak di Indonesia. (alf/bl)

 

 

Siapa yang Bayar Pajak BBM? Ini Penjelasan Lengkapnya

IKPI, Jakarta: Pajak atas Bahan Bakar Minyak (BBM) sering kali menjadi perbincangan publik, terutama saat harga BBM naik. Namun, siapa sebenarnya yang secara hukum diwajibkan membayar pajak BBM?

Menurut Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi DKI Jakarta, subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) adalah konsumen. Artinya, setiap individu atau badan usaha yang membeli dan menggunakan BBM, baik untuk kendaraan pribadi maupun keperluan industri menanggung beban PBBKB.

Meski demikian, pungutan PBBKB tidak dilakukan langsung oleh pemerintah kepada konsumen. Pihak penyedia BBM seperti Pertamina atau SPBU lainnya yang memungut pajak tersebut saat transaksi pembelian, kemudian menyetorkannya ke pemerintah daerah. Dengan kata lain, penyedia BBM berperan sebagai wajib pajak.

Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menyatakan bahwa wajib pajak PBBKB adalah orang pribadi atau badan yang menyediakan bahan bakar. Pemungutan dilakukan pada saat penyerahan BBM kepada konsumen akhir, sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023.

Selain PBBKB, konsumen juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas pembelian BBM nonsubsidi seperti Pertalite, Pertamax, dan Dexlite. Berdasarkan regulasi terbaru, tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 12%. Sementara BBM bersubsidi, seperti Solar subsidi, tidak dikenakan PPN.

Tak hanya sampai di situ, dalam rantai distribusi BBM, produsen dan importir juga dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, tarif PPh yang dikenakan adalah 0,25% untuk penjualan ke SPBU milik Pertamina dan 0,3% untuk SPBU non-Pertamina. PPh ini bersifat final dan dikenakan atas nilai transaksi sebelum PPN.

Dengan memahami struktur pajak ini, masyarakat dapat menyadari bahwa beban pajak BBM dibagi di seluruh rantai pasok, dari produsen hingga konsumen. Transparansi dalam mekanisme ini penting agar publik memahami kontribusinya terhadap penerimaan negara dan keuangan daerah. (alf)

 

 

Wajib Pajak Bisa Ajukan Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran, Ini Ketentuan Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Kabar baik bagi para Wajib Pajak, khususnya yang tengah menghadapi kendala keuangan. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memberikan peluang bagi Wajib Pajak untuk mengajukan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak. Hal ini tertuang dalam Pasal 113 dan 114 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Tata Cara Pemenuhan Hak dan Kewajiban Perpajakan.

Ketentuan ini memungkinkan Wajib Pajak, baik individu maupun badan, untuk menunda atau mencicil pembayaran pajaknya dalam kondisi tertentu. Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk memberikan ruang gerak lebih luas kepada Wajib Pajak yang sedang mengalami kesulitan likuiditas atau berada dalam situasi di luar kendalinya (force majeur).

Kapan Wajib Pajak Bisa Mengajukan Permohonan?

Berdasarkan Pasal 113 PMK 81/2024, permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dapat diajukan untuk:

• Kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 29 (sesuai dengan Pasal 95 ayat (1)).

• Pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan kewajiban pelunasan menurut Pasal 98 ayat (1).

Permohonan ini hanya dapat diajukan jika Wajib Pajak mengalami:

• Kesulitan likuiditas, yaitu kondisi keuangan yang membuat Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya; atau

• Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), seperti bencana alam, kebakaran, krisis sosial, dan lainnya, yang menyebabkan ketidakmampuan memenuhi kewajiban pajak.

Syarat dan Dokumen yang Harus Dipenuhi

Dalam Pasal 114 dijelaskan lebih lanjut bahwa permohonan harus diajukan melalui surat resmi, dengan ketentuan berbeda tergantung alasan pengajuan:

A. Jika karena Kesulitan Likuiditas

Wajib Pajak wajib menyampaikan:

• SPT Tahunan PPh untuk dua tahun terakhir.

• SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir.

• Surat permohonan yang mencantumkan:

• Alasan permohonan karena kesulitan likuiditas.

• Jumlah kekurangan pembayaran yang dimohonkan untuk diangsur atau ditunda, termasuk jangka waktu dan besarnya angsuran atau penundaan.

• Dokumen pendukung berupa:

• Laporan keuangan interim (bagi yang melakukan pembukuan).

• Atau catatan penghasilan bruto (bagi yang menggunakan pencatatan).

• Jaminan berupa aset berwujud milik sendiri, tidak sedang diagunkan, dan dibuktikan dengan dokumen kepemilikan yang sah.

B. Jika karena Force Majeur

Syaratnya hampir sama, dengan tambahan penting berupa:

• Surat keterangan resmi dari pihak berwenang yang menyatakan bahwa Wajib Pajak memang sedang dalam kondisi force majeur.

Dokumen jaminan atas aset berwujud tetap menjadi syarat mutlak, sebagaimana pada permohonan karena kesulitan likuiditas.

Batas Waktu Pengajuan

Permohonan ini harus diajukan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan PPh dan sebelum SPT tersebut disampaikan. Artinya, Wajib Pajak tidak bisa mengajukan permohonan ini setelah telanjur melaporkan SPT tanpa lebih dulu meminta keringanan.

Tata Cara Pengajuan

Proses pengajuan mengikuti tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PMK 81/2024. Permohonan dapat diajukan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar, lengkap dengan seluruh dokumen pendukung.

 

 

en_US