Generasi Muda se-Jatim Unjuk Gigi di Final FunTaxTic Competition 2025

IKPI, Jalarta: Dalam rangka memperingati Hari Pajak 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur (Kanwil DJP Jatim) II menggelar Final FunTaxTic Competition 2025, sebuah ajang kompetisi kreatif yang menyatukan semangat belajar pajak dengan ekspresi anak muda.

Disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube DJP Jatim II pada Kamis pagi (17/7/2025), gelaran ini menjadi sorotan karena berhasil menghadirkan suasana edukatif yang menyenangkan dan inspiratif.

Empat kategori lomba digelar Tax Talk, Ranking 1, Video Reels, dan Desain Poster dengan partisipasi dari siswa SMA dan mahasiswa mitra inklusi perpajakan. Membawa tema besar “Siapkan Generasi Penerus Bangsa Berkarakter dan Paham Pajak”, kompetisi ini bukan hanya soal adu bakat, tapi juga tentang menanamkan nilai kepatuhan sejak dini melalui cara yang relevan dengan dunia generasi Z.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/7/2025) mengatakan bahwa pentingnya peran anak muda sebagai fondasi kesadaran pajak di masa depan.

“Pajak bukan sekadar kewajiban administrasi. Ini soal kontribusi dan kepedulian terhadap negeri. Anak muda harus jadi garda depan yang sadar akan perannya sebagai warga negara,” ujarnya.

Diungkapkan Vita, finalis dari berbagai kota tampil memukau. Ada yang menyampaikan pidato pajak dengan narasi menggugah, ada pula yang memvisualisasikan semangat membayar pajak lewat video sinematik dan poster digital. Semua karya mereka dinilai oleh juri dari kalangan profesional, akademisi, dan praktisi pajak.

Uniknya, kata Vita. Para peserta dijuluki “bintang dari galaksi inklusi” simbol bahwa mereka bukan hanya finalis, tapi juga agen perubahan dalam dunia perpajakan.

Selain sebagai wadah kompetisi, ajang ini juga menjadi bentuk nyata sinergi antara DJP, Tax Center perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah mitra inklusi di wilayah Jawa Timur II. Edukasi pajak pun hadir tak lagi kaku, tetapi bisa dibungkus dengan kreativitas dan kolaborasi.

Ia menyampaikan harapannya agar ajang ini bisa terus digelar secara rutin. “Kita butuh lebih banyak ruang seperti ini. Tempat anak-anak muda bisa belajar, mencoba, dan menyampaikan pesan penting tentang pajak dengan cara mereka sendiri. Karena mereka bukan hanya peserta lomba mereka adalah masa depan Indonesia,” pungkasnya. (alf)

 

DJP Ingatkan Bayar Lewat Deposit Tak Gantikan Kewajiban Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan seluruh wajib pajak untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) meskipun telah melakukan pembayaran pajak melalui fitur deposit pajak dalam sistem Coretax. DJP menegaskan, pembayaran lewat deposit tidak serta-merta menggugurkan kewajiban pelaporan pajak.

“Wajib pajak tetap dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan pelaporan, penerbitan surat teguran, serta tindakan administratif lainnya sebagai bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan,” tulis DJP dalam pengumuman resmi yang disampaikan melalui akun Coretax masing-masing wajib pajak, dikutip, Kamis (17/7/2025).

Fitur deposit pajak merupakan salah satu inovasi dari implementasi sistem Coretax yang tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024. Melalui mekanisme ini, wajib pajak dapat membayar pajak tanpa langsung mengaitkannya dengan jenis kewajiban tertentu. Pembayaran deposit bisa dilakukan melalui sistem penerimaan negara secara elektronik, permohonan pemindahbukuan, atau menggunakan sisa kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan.

Meski menawarkan kemudahan dan menghindarkan dari sanksi bunga karena keterlambatan bayar, DJP menekankan pentingnya ketelitian dalam proses pemindahbukuan. Dana deposit harus segera dialokasikan ke Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang sesuai, agar tercatat sebagai pelunasan pajak yang sah.

Tanggal pembayaran juga bergantung pada metode pengisian deposit. Bila dilakukan melalui sistem elektronik, tanggal pada Bukti Penerimaan Negara (BPN) dianggap sebagai tanggal pembayaran. Sedangkan melalui pemindahbukuan atau kelebihan bayar, tanggal yang berlaku mengikuti bukti pemindahbukuan atau penerbitan SKPKPP.

Peningkatan signifikan dalam pemanfaatan fitur ini tercermin dalam laporan penerimaan pajak semester I/2025. Pemerintah mencatat realisasi penerimaan dari pos “pajak lainnya” melonjak drastis menjadi Rp61,3 triliun, atau tumbuh 1.550,6% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Diketahui, penerimaan pajak lainnya tumbuh 1.550,6% dibandingkan realisasi semester I/2024. Hal tersebut dipengaruhi oleh inisiatif wajib pajak dalam melakukan deposit pajak. (alf)

DJP: Penunjukan Marketplace Jadi Pemungut PPh 22 Dimulai Bertahap

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan penerapan kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 tidak akan dilakukan serentak, melainkan secara bertahap. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur secara teknis mekanisme pungutan tersebut.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa tahapan penunjukan dilakukan demi memastikan kesiapan sistem teknologi informasi dan memberikan edukasi yang cukup kepada para pelaku usaha digital.

“Meski PMK-nya sudah keluar, kami tidak serta-merta menunjuk semua marketplace. Penunjukan dilakukan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak, dengan menyebutkan siapa yang ditunjuk dan sejak kapan berlaku efektif,” ujarnya dalam Podcast Cermati, Kamis (17/7/2025).

Menurut Hestu, langkah bertahap ini meniru pendekatan yang sebelumnya digunakan pemerintah saat menunjuk pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) asing untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2020 lalu. “Kami sudah berdiskusi dengan para marketplace, meminta mereka bersiap dari sisi sistem, dan nanti akan ditunjuk satu per satu,” jelasnya.

Namun Hestu menegaskan bahwa arah kebijakan ini tetap jelas: seluruh marketplace dalam negeri pada akhirnya akan ditunjuk sebagai pemungut pajak. Tujuannya adalah menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring. “Nanti semua marketplace akan kami tunjuk. Supaya ada fairness, agar semua pelaku usaha punya perlakuan pajak yang sama,” tambahnya.

PMK 37/2025 sendiri mengatur bahwa marketplace akan memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang dalam negeri. Tarif ini dapat bersifat final atau tidak final tergantung kondisi wajib pajak. Selain itu, pedagang diwajibkan memberikan informasi transaksi kepada marketplace, yang menjadi dasar pemungutan pajak.

Menariknya, PMK ini menetapkan invoice sebagai dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh dalam sistem unifikasi. Ini berarti invoice penjualan harus memuat data minimal sesuai standar, dan marketplace pun diwajibkan melaporkan informasi tersebut kepada DJP. (alf)

 

Kemenkeu Siapkan Standar Kompetensi Konsultan Pajak, Komisi XI DPR Minta Landasan Hukum Pengawasan Profesi

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan langkah besar dalam pembinaan profesi konsultan pajak. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI pada Senin, 14 Juli 2025, dan jajaran eselon I di Kementerian Keuangan yang salah satunya adalah Ditjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK).

Dirjen DJSPSK, Masyita Crystallin, mengungkapkan bahwa penetapan standar kompetensi dan pengendalian mutu konsultan pajak menjadi fokus utama pada tahun 2026.

“Fokus di tahun 2026 adalah menetapkan standar kompetensi dan standar pengendalian mutu, sehingga konsultan pajak lebih baik lagi dalam membantu masyarakat melakukan tugas-tugas di bidang perpajakan,” ujar Masyita.

Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari tujuh program strategis DJSPSK, termasuk pembangunan Sistem Inti Profesi Keuangan (SIPK) platform digital yang akan mengintegrasikan proses pembinaan dan pengawasan terhadap 66 jenis profesi sektor keuangan.

Namun, rencana ni langsung mendapat perhatian dari Komisi XI DPR RI. Wakil Ketua Komisi XI, Dolfie Othniel Frederic Palit, mempertanyakan landasan hukum dari rencana pembinaan dan pengawasan profesi keuangan, termasuk konsultan pajak, penilai, dan akuntan.

“Ini hal baru. Selama kami di Komisi XI, belum pernah ada pembahasan soal pembinaan dan pengawasan profesi seperti ini. Mohon disampaikan landasan hukumnya,” tegas Dolfie.

Menanggapi hal itu, Masyita menyatakan akan segera menyampaikan penjabaran lengkap dasar hukum dari masing-masing profesi. Ia menyebut bahwa sebagian pengaturan memang telah tertuang dalam Undang-Undang, dan upaya ini penting tidak hanya untuk pelayanan pajak nasional, tetapi juga dalam konteks penguatan diplomasi ekonomi global.

Langkah pemerintah ini juga didukung dengan upaya sinergi triple helix antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, yang akan diterapkan melalui program piloting link and match untuk mengembangkan profesi konsultan pajak.

Dalam paparannya, Masyita menekankan bahwa sistem SIPK yang tengah dikembangkan akan mengintegrasikan layanan pembinaan, pengawasan, dan proses administratif lainnya ke dalam satu platform digital yang efisien dan interoperatif. “Ini adalah platform yang mengintegrasikan seluruh proses bisnis, sekitar 66 jenis profesi, menjadi lebih mudah, efisien, dan tidak perlu masuk dari aplikasi yang berbeda-beda,” jelasnya.

Pengawasan terhadap profesi konsultan pajak dan profesi keuangan lainnya dilakukan oleh Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) di bawah DJSPSK. Saat ini, terdapat 7.375 konsultan pajak yang diawasi oleh direktorat tersebut, bersama profesi lain seperti akuntan, penilai, aktuaria, dan profesi di bidang lelang serta kepabeanan. (bl)

 

Ekonom Nilai Kesepakatan Tarif RI-AS Tak Menguntungkan, Bisa Jadi Target Tekanan Dagang

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kesepakatan baru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mengenai penurunan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19%, hasil dari perundingan panjang dengan Presiden AS Donald Trump. Namun di balik penurunan tarif tersebut, kalangan ekonom menilai hasil negosiasi ini justru merugikan posisi Indonesia di kancah perdagangan global.

“Beliau seorang negosiator cukup keras juga. Akhirnya ada kesepakatan. Kita akan istilahnya memahami kepentingan mereka, dan mereka memahami kepentingan kita,” ujar Prabowo setibanya di Tanah Air, Rabu (16/7/2025), usai lawatannya ke AS dan Eropa.

Dalam keterangannya, Prabowo juga mengakui bahwa sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia diminta untuk membuka pintu impor bagi produk-produk AS seperti Boeing, gandum, kedelai, dan migas, demi mendukung kebutuhan domestik.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kesepakatan ini justru menciptakan preseden yang tidak sehat bagi Indonesia.

“Ini bisa menjadi template. Kalau mau menekan Indonesia, ikuti saja gaya Trump: minta Indonesia buka keran impor lebih besar dan tetap terima tarif ekspor ke sana,” tegas Bhima.

Ia menyoroti pernyataan Trump yang menyebut bahwa barang-barang AS akan bebas tarif saat masuk ke Indonesia, sementara barang ekspor Indonesia ke AS tetap dikenakan tarif 19%.

“Itu jelas asimetri. Bukan negosiasi yang menguntungkan bagi Indonesia,” katanya.

Bhima juga menyoroti klausul kesepakatan lain yang mengharuskan Indonesia melakukan impor BBM, LPG, dan produk pertanian dengan nilai kontrak jangka panjang. Ia memperingatkan bahwa posisi tawar Indonesia bisa semakin lemah, apalagi jika hal ini menjadi acuan bagi negara-negara lain yang ingin menekan Indonesia.

Dalam perspektif regional, Bhima membandingkan hasil negosiasi Indonesia dengan Vietnam. Ia menyebut Vietnam, yang awalnya dikenai tarif 46%, kini hanya dipatok 20% setelah negosiasi.

“Selisih 1% saja kita kalah dari Vietnam, padahal mereka punya biaya logistik dan produksi lebih rendah. Artinya industri manufaktur kita kalah saing, relokasi investasi pun bisa lebih banyak ke Vietnam,” jelasnya.

Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai Indonesia harus menyusun strategi untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik. Perbedaan struktur ekspor dengan Vietnam memang ada, tapi bukan alasan untuk bersikap pasif.

“Kalau tidak dibarengi reformasi struktural dan insentif, kita akan terus tertinggal. Perlu langkah nyata agar ekspor tumbuh dan tidak terjebak dalam ketergantungan impor,” ujar Esther.

Sementara itu, dari kalangan dunia usaha, pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Apindo, Hariyadi Sukamdani. Ia melihat peluang di balik kesepakatan ini.

“Menurut saya, ini deal terbaik yang bisa diambil dalam situasi sekarang. Peluang ekspor tetap terbuka, tinggal bagaimana kita maksimalkan saja,” ucapnya.

Hariyadi mendorong pelaku usaha untuk fokus menggenjot ekspor produk unggulan seperti pertanian dan consumer goods, serta memainkan diplomasi lebih cermat dalam sektor migas.

“Amerika tetap penting buat kita ekonomi besar, daya beli tinggi. Jangan sampai hubungan ini terganggu. Kita perlu cerdas berdiplomasi,” tambahnya.

Di sisi lain, Prabowo menyebut perundingan di Brussels menghasilkan progres penting dalam kerangka Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), yang berpotensi membuka jalur bebas tarif untuk produk Indonesia ke Uni Eropa dan sebaliknya.

Namun, menurut para ekonom, diplomasi dagang ke depan harus lebih strategis dan berpihak pada kepentingan jangka panjang Indonesia, bukan sekadar imbal dagang jangka pendek. (alf)

DPR Dukung Pajak e-Commerce, Asal Tak Bebani Konsumen dan Jamin Keamanan Data

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah yang mulai memungut pajak penghasilan (PPh) dari para pedagang online melalui platform e-commerce. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan agar kebijakan tersebut tidak membebani konsumen maupun para pelaku usaha kecil menengah di ranah digital.

“Pemungutan pajak bagi pedagang online adalah langkah yang positif dan perlu mendapat dukungan. Tapi prinsipnya harus tetap memudahkan para wajib pajak dan menjamin keamanan data mereka,” ujar Rivqy dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Rivqy merujuk pada praktik serupa di negara-negara maju seperti Australia, Korea Selatan, India, hingga Tiongkok, yang menurutnya dapat menjadi rujukan dalam merancang sistem pemungutan pajak digital yang efektif dan tidak memberatkan.

Ia juga menyoroti pentingnya aspek perlindungan data dalam kebijakan ini. “Jangan sampai data para pedagang bocor atau disalahgunakan hanya karena sistem perpajakan yang belum matang. Digitalisasi ini harus dibarengi dengan keamanan digital,” tambahnya.

Kebijakan pajak bagi pelaku e-commerce ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mulai diberlakukan sejak pertengahan Juli. Aturan ini mengamanatkan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan lainnya sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang yang berjualan di platform mereka.

Besaran tarif yang dipungut yakni sebesar 0,5 persen dari omzet bruto tahunan, di luar PPN dan PPnBM. Namun, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun yang dikenai pungutan ini. Mereka wajib menyampaikan surat pernyataan kepada platform penyedia jasa e-commerce saat omzetnya melewati ambang batas.

Bagi pedagang kecil yang omzetnya belum mencapai Rp500 juta, mereka dibebaskan dari pungutan, selama mengajukan pernyataan resmi kepada platform yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Rivqy menilai, kebijakan ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak dan mendorong penerimaan negara, serta menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan konvensional. “Jangan sampai tujuan mulia seperti ini justru gagal gara-gara implementasi yang tidak ramah pelaku usaha,” tegasnya.

Ia juga menyebut model Mini One Stop Shop (MOSS) yang diterapkan di Uni Eropa sebagai contoh skema pemungutan pajak digital yang dapat menyederhanakan proses administratif dan mencegah beban ganda bagi pelaku usaha.

“Kalau memang tujuannya untuk efisiensi dan keadilan, maka pemerintah perlu benar-benar memastikan eksekusinya berjalan tanpa menimbulkan keresahan baru,” kata Rivqy. (alf)

 

 

Tak Hanya Lokal, Marketplace Asing Kini Bisa Pungut PPh dari Pedagang RI

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai memberlakukan kewajiban baru bagi marketplace luar negeri untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5% dari para pedagang asal Indonesia yang berjualan di platform mereka. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 dan menjadi langkah berani untuk memastikan keadilan pajak lintas platform digital.

Marketplace asing seperti yang berbasis di Singapura, Cina, Jepang, hingga Amerika Serikat kini tidak luput dari sorotan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Selama mereka memenuhi syarat tertentu, termasuk memiliki transaksi dan lalu lintas pengguna yang signifikan serta menggunakan rekening escrow, pemerintah berwenang menunjuk mereka sebagai pemungut pajak.

“Kalau kita lihat ada marketplace luar negeri, entah di Singapura atau Amerika, yang ternyata digunakan oleh banyak pedagang dari Indonesia, maka kita bisa tunjuk mereka untuk memungut PPh 0,5%,” ujar Hestu Yoga Saksama, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, di Jakarta, baru-baru ini.

Hestu menekankan bahwa penunjukan ini bertujuan menciptakan level playing field antara marketplace domestik dan asing. Tanpa aturan ini, para pelaku usaha cenderung akan migrasi ke platform luar negeri demi menghindari potongan pajak.

“Ini bukan semata-mata soal pemasukan negara, tapi juga soal menjaga fairness dalam ekosistem e-commerce,” tambahnya.

Adapun kriteria penunjukan marketplace luar negeri sebagai pemungut pajak akan ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Hestu memberi gambaran bahwa kemungkinan besar kriterianya tidak jauh berbeda dari aturan PPN PMSE, yakni transaksi di atas Rp600 juta setahun atau traffic minimal 1.000 pengunjung per bulan.

Meski PMK 37/2025 telah resmi berlaku sejak 14 Juli 2025, implementasi pemungutan baru akan dimulai setelah DJP mengeluarkan keputusan resmi atas penunjukan masing-masing marketplace.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap semua pelaku usaha, baik yang berjualan di platform dalam maupun luar negeri, turut berkontribusi secara adil dalam sistem perpajakan nasional. (alf)

 

Ojol dan Penjual Pulsa Bebas dari Pungutan PPh 22 Pedagang Online

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pengemudi ojek online (ojol), penjual pulsa, hingga pelaku usaha emas tidak termasuk dalam kelompok yang wajib dipungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dalam skema perdagangan elektronik.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mengatur pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPh oleh pihak ketiga terhadap pedagang dalam negeri yang berjualan melalui platform digital (e-commerce).

“Ojol tidak termasuk objek pungutan. Mereka masuk dalam daftar pengecualian,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama dalam sesi taklimat media di Jakarta, Senin (14/7/2025).

Hestu juga menyebutkan bahwa penjual pulsa dan kartu perdana tidak dikenai pungutan pajak karena telah diatur dalam ketentuan tersendiri, yakni PMK Nomor 6 Tahun 2021. Dalam beleid tersebut, sudah diatur mekanisme pajak untuk transaksi pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer.

Tak hanya itu, beberapa jenis usaha lain juga dikecualikan dari pemungutan PPh 22. Di antaranya pelaku usaha emas perhiasan, emas batangan, hingga perhiasan dari bahan non-emas dan batu permata. Termasuk pula transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang lazimnya dilakukan melalui notaris.

“Khusus pengalihan tanah dan bangunan, proses pajaknya dilakukan secara terpisah melalui notaris,” jelas Hestu.

Pengecualian juga berlaku bagi pedagang yang telah memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) pemungutan atau pemotongan PPh.

Untuk pedagang yang dikenai pajak, tarif yang berlaku adalah sebesar 0,5% dari omzet bruto, di luar komponen Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Omzet bruto diartikan sebagai seluruh penghasilan sebelum dikurangi potongan penjualan dan sejenisnya.

PMK 37/2025 juga menetapkan dua kriteria utama bagi pedagang online yang dikenai pungutan PPh 22. Pertama, menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening elektronik sejenis. Kedua, menggunakan alamat IP atau nomor telepon yang menunjukkan aktivitas dari dalam wilayah Indonesia. (alf)

 

 

 

 

Dirjen Pajak Jamin PPh 22 E-Commerce Tak Naikkan Harga Barang, Asosiasi Minta Masa Transisi

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, memastikan bahwa pemberlakuan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 terhadap pedagang di platform e-commerce tidak akan berdampak pada harga barang yang dibayar konsumen. Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang menunjuk platform digital sebagai pihak pemungut pajak.

“Enggak ada (kenaikan harga), ini bukan pajak baru. Jadi tidak akan menaikkan harga. Penjual di marketplace selama ini sudah menghitung sendiri kewajiban perpajakannya, meskipun belum dipungut oleh platform,” tegas Bimo usai rapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (15/7/2025).

Menurut Bimo, kebijakan ini dirancang dengan prinsip keadilan dan konsistensi dengan sistem perpajakan yang telah berjalan. “Policy ini sudah sangat fair dan sesuai dengan praktik yang selama ini diimplementasikan,” ujarnya.

Namun, kekhawatiran tetap muncul dari kalangan pelaku industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, menyatakan bahwa meskipun PMK 37/2025 tidak menciptakan beban pajak baru, implementasinya membawa tantangan teknis dan administratif yang cukup signifikan, terutama bagi UMKM.

“Marketplace memang tidak diwajibkan memverifikasi surat pernyataan omzet dari penjual. Tapi mereka harus menyediakan sistem bagi seller untuk mengunggah dokumen tersebut, yang kemudian diteruskan ke sistem DJP. Surat ini wajib ditandatangani dan dibubuhi materai, sehingga perlu kesiapan sistem dan edukasi intensif,” jelas Budi dalam pernyataan resminya.

idEA pun meminta agar pemerintah memberikan masa transisi yang cukup serta sosialisasi menyeluruh kepada para pelaku usaha, khususnya UMKM yang belum familiar dengan administrasi digital perpajakan. Menurutnya, mayoritas platform butuh waktu setidaknya satu tahun untuk siap sepenuhnya menjalankan peran sebagai pemungut pajak.

Meski pungutan PPh Pasal 22 secara yuridis dibebankan kepada penjual, Budi tak menampik kemungkinan adanya dampak tidak langsung ke konsumen. “Dalam praktiknya, keputusan untuk menanggung atau meneruskan beban pajak ke harga jual sangat tergantung strategi masing-masing merchant,” pungkasnya. (alf)

 

Sri Mulyani Wajibkan Marketplace Setor Pajak Pedagang Online, Ini Skemanya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menunjuk para pelaku e-commerce atau marketplace sebagai pemungut dan penyetor pajak penghasilan (PPh) atas transaksi para pedagang online di platform mereka. Ketentuan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Melalui aturan tersebut, marketplace kini berperan sebagai “pihak lain” yang ditugaskan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang dalam negeri yang melakukan transaksi secara elektronik.

“Marketplace akan memungut PPh dari pedagang online yang omzetnya di atas Rp 500 juta per tahun,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Tidak Semua Pedagang Kena Pajak

Namun demikian, pemerintah menegaskan tidak semua pedagang online otomatis dikenai pungutan pajak. Pengecualian diberikan bagi mereka yang memiliki omzet tahunan maksimal Rp500 juta. Ketentuan ini mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kalau omzetnya sampai Rp 500 juta setahun, tidak dikenai PPh. Ini bentuk perlindungan bagi UMKM kecil,” jelas Yoga.

Skema Pemungutan PPh Final

Pedagang orang pribadi dengan omzet antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar per tahun akan dikenai PPh Final 0,5%, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Sementara itu, untuk omzet di atas Rp4,8 miliar atau bagi yang memilih skema tarif umum, PPh yang dipungut tetap 0,5% namun bersifat kredit pajak bukan final sehingga bisa diperhitungkan dalam pelaporan SPT Tahunan.

Aturan serupa juga berlaku untuk pedagang berbentuk badan usaha. Jika omzetnya di bawah Rp4,8 miliar dan memenuhi syarat PP 55/2022, maka tarif final 0,5% masih bisa digunakan. Di atas batas itu, pungutan menjadi kredit pajak.

“Kalau di atas Rp4,8 miliar, PPh yang dipungut bisa dikreditkan. Jadi ini bukan beban ganda, justru menyederhanakan dan memudahkan pelaporan,” imbuh Yoga.

Simulasi Penghitungan Pajak

Mengacu situs resmi Direktorat Jenderal Pajak, berikut simulasi penghitungan PPh di e-commerce:

• Omzet tahunan: Rp600 juta

• Bagian tidak kena pajak: Rp500 juta

• Bagian kena pajak: Rp100 juta

• PPh Final 0,5% × Rp100 juta = Rp500.000

Kebijakan ini menjadi langkah pemerintah untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan di sektor ekonomi digital, tanpa mempersulit pelaku UMKM kecil yang baru tumbuh. (alf)

en_US