Coretax Bantu Pemerintah Pantau Pengusaha Nakal Penghindar Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kini punya senjata canggih untuk mengawasi para pengusaha ‘nakal’ yang mencoba menghindari kewajiban pajak. Senjata itu bernama Coretax, sistem administrasi perpajakan terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam acara AMSC Gathering 2025 di Jakarta Pusat pada Rabu malam (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan bagaimana Coretax bekerja layaknya radar ekonomi. Dengan hanya berbekal Nomor Induk Kependudukan (NIK), sistem ini mampu melacak setiap aktivitas ekonomi warga, termasuk perputaran omzet para pelaku usaha.

“Coretax akan mengintegrasikan data dari berbagai pihak ketiga. Jadi, setiap transaksi ekonomi bisa terpantau. Hasil akhirnya, kami bisa menerapkan prinsip keadilan perpajakan dengan lebih tepat sasaran,” ungkap Suryo.

Contohnya, ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar per tahun. Bila seorang pengusaha melampaui angka itu, maka ia wajib membayar PPh Badan sebesar 22% dan memungut PPN dari konsumennya. Sebaliknya, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzet di bawah batas tersebut hanya dikenai PPh final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.

“Pertanyaannya, bagaimana kami bisa tahu siapa yang sudah lewat Rp4,8 miliar dan siapa yang belum? Nah, inilah fungsinya Coretax. Setiap transaksi bisa kami lacak. Insyaallah semua tercatat,” jelas Suryo.

Dirjen Pajak juga menyebut, ke depan pihaknya akan mengirim notifikasi otomatis kepada pengusaha berdasarkan data transaksi. Jika sistem mendeteksi omzet tahunan pengusaha sudah melewati batas, maka status PKP langsung diberikan. Tidak ada lagi celah untuk menghindar.

Lebih dari sekadar alat pengawas, Coretax juga dirancang untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak, meningkatkan efektivitas pemungutan, dan mencegah potensi kecurangan. Meski sempat mengalami kendala saat awal peluncuran, Suryo mengaku sistem kini berjalan jauh lebih stabil.

“Coretax ini adalah bagian dari proyek strategis nasional. Sekarang pelaksanaannya sudah jauh lebih baik. Terima kasih atas semua masukan, terutama dari pengusaha ritel. Kami terus lakukan penyempurnaan,” ujarnya. (alf)

 

 

 

 

Sri Mulyani Soroti Peran Coretax dalam Pacu Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan lonjakan penerimaan pajak menakjubkan pada Maret 2025, dengan realisasi mencapai Rp 134,8 triliun atau naik drastis dari Februari yang hanya mencatat Rp 98,9 triliun.

“Ini bukti reformasi perpajakan bekerja!”, kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di KSSK, Kamis (24/4/2025).

Total akumulasi pajak hingga Maret 2025 telah menembus Rp 400,1 triliun atau 16,1% dari target APBN. Pencapaian ini disebutnya tak lepas dari keberhasilan implementasi Coretax dan perbaikan sistem administrasi.

Bulan Maret saja menyumbang 41,8% dari total realisasi kuartal pertama (Rp 322,6 triliun). Sri Mulyani menyoroti tren ini sebagai indikator pulihnya daya beli masyarakat dan ketahanan sektor ekonomi. “Pajak yang naik berarti ekonomi bergerak,” ujarnya.

Dengan dukungan teknologi Coretax, proses penarikan pajak dinilai semakin efisien dan transparan. “Kami optimis pertumbuhan akan terus terjaga,” katanya. (alf)

 

 

Advokat Gugat UU Pengadilan Pajak, Soroti Peran Menteri Keuangan dalam Penentuan Kuasa Hukum

IKPI, Jakarta: Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menggugat Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan bernomor 25/PUU-XXIII/2025, Zico mempermasalahkan keberadaan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan bagi kuasa hukum dalam perkara perpajakan.

Dalam sidang pendahuluan yang digelar Rabu (23/4/2025), kuasa hukum Zico, Bernie Joshua L. Tobing, menyampaikan bahwa ketentuan tersebut merugikan kliennya secara langsung sebagai advokat yang aktif beracara, termasuk di MK.

“Putusan-putusan MK sebelumnya belum sepenuhnya menyelesaikan isu independensi kekuasaan kehakiman di Pengadilan Pajak, terutama karena peran Menteri Keuangan yang masih dominan dalam menentukan syarat kuasa hukum,” tegas Bernie dikutip dari website resmi MK, Kamis (24/4/2025).

Pasal yang dipersoalkan menyebutkan bahwa kuasa hukum harus memenuhi “persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”, yang menurut pemohon bertentangan dengan prinsip kemandirian profesi advokat. Mereka menilai bahwa advokat seharusnya tidak dibatasi dengan syarat administratif tambahan yang tidak diberlakukan di pengadilan lain, termasuk pengadilan khusus lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Dalam argumentasinya, pemohon menyoroti bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184 Tahun 2017 mendefinisikan kuasa hukum dengan kriteria yang sejatinya sudah tercakup dalam kewenangan dan kompetensi advokat. Karenanya, penambahan syarat oleh Menteri Keuangan dianggap tidak relevan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat posisi Menteri berada dalam lingkup eksekutif.

Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa persyaratan tambahan hanya dapat ditentukan oleh Undang-Undang, bukan melalui peraturan menteri.

Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan Ridwan Mansyur mengingatkan pemohon agar memperjelas apakah permohonan tersebut benar-benar menyangkut persoalan konstitusionalitas norma atau sekadar soal implementasi peraturan.

“Pendelegasian pada peraturan menteri biasanya hanya bersifat administratif. Maka perlu dicermati, apakah ini soal norma inkonstitusional atau pelaksanaan teknis yang bermasalah,” ujar Daniel dalam persidangan.

Majelis memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonan. Perbaikan harus sudah diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 6 Mei 2025. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Sampaikan Kekosongan Waketum Segera Dibahas dalam Rapat Pleno

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan dinamika internal organisasi dalam acara “Outlook Perpajakan 2025: Pemeriksaan, Pemeriksaan Perpajakan, dan Penyidikan” yang digelar IKPI Cabang Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy mengungkapkan rasa duka cita atas wafatnya Wakil Ketua Umun IKPI, Jetty, yang juga merupakan anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Bu Jety selama ini dikenal sebagai sosok berdedikasi tinggi dalam organisasi. Kepergiannya menyisakan kekosongan jabatan penting di jajaran pimpinan IKPI.

Menanggapi hal itu, Vaudy menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (20) Anggaran Rumah Tangga IKPI, Ketua Umum memiliki kewenangan menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum yang berhalangan tetap, setelah mendengar pendapat dari Rapat Pleno.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, saya akan meminta pendapat dari Rapat Pleno, yakni rapat antara Pengurus Pusat dan Pengawas—terkait urgensi pengisian jabatan Wakil Ketua Umum. Saya pribadi menilai hal ini penting, mengingat masa kepengurusan masih berlangsung hingga tahun 2029,” ujarnya.

Selain itu, lebih lanjut Vaudy mengungkapkan bahwa acara Outlook Perpajakan 2025 ini menjadi forum penting untuk membahas arah kebijakan perpajakan nasional di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi pengurusa cabang IKPI yang aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti ini. Selain berkontribusi untuk dunia perpajakan, kegiatan seperti ini sekaligus mengukuhkan IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak yang aktif berperan membantu pemerintah dalam menyosialisasikan dan melakukan edukasi perpajakan kepada masyarakat serta dunia usaha,” ujarnya.

Sekadar informasi, turut hadir dari IKPI dalam kesempatan antara lain, Ketua Dewan Kehormatan Christian B. Marpaung, perwakilan Ketua Dewan Penasehat Heru R. Hadi, Pengurus Pusat Warsito dan Fadhil, serta perwakilan Ketua Pengda DKJ, Kosasih. (bl)

Dirjen Pajak Minta Pengusaha Dukung dan Sukseskan Implementasi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mengakselerasi transformasi digital sektor perpajakan lewat sistem Coretax. Dalam acara AMSC Gathering 2025 yang digelar di Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo secara terbuka meminta dukungan dari kalangan pengusaha agar sistem ini bisa berjalan maksimal.

Coretax adalah sistem inti administrasi perpajakan berbasis digital yang diyakini mampu menciptakan keadilan dan transparansi lebih besar dalam pengelolaan pajak. “Saya sangat berharap, betul-betul memohon dukungan para pihak. Supaya apa? Coretax ini betul-betul dapat kita jalankan dengan baik,” ujar Suryo.

Ia memaparkan sembilan pilar utama dalam pengembangan Coretax, mulai dari otomasi layanan, transparansi transaksi, hingga penyediaan data kredibel dan penegakan hukum berbasis risiko. Semua itu bertujuan memudahkan wajib pajak dan menekan potensi kecurangan. Tak hanya bicara konsep, Coretax juga telah diuji di lapangan.

Dalam periode 24 Maret–20 April 2025, sistem ini menunjukkan performa cukup stabil, meskipun sempat mengalami lonjakan waktu tunggu saat terjadi peningkatan aktivitas transaksi. Misalnya, proses pendaftaran sempat melambat hingga 1,13 detik, dan pengelolaan SPT Masa pernah mencatat latensi hingga 30,1 detik. Namun, DJP memastikan semuanya kini terkendali dan jauh lebih baik.

“Fluktuasi latensi ini wajar dalam masa transisi, apalagi saat volume transaksi tinggi. Tapi sekarang sudah jauh lebih stabil,” kata Dwi Astuti, Direktur P2Humas DJP.

Sejak awal tahun hingga 20 April 2025, Coretax telah menangani hampir 200 juta faktur pajak dan lebih dari 70 juta bukti potong. Sistem ini juga mengelola lebih dari 2 juta SPT Masa untuk tiga bulan pertama tahun ini.

Suryo menegaskan bahwa Coretax bukan sekadar proyek teknologi, tetapi bagian dari proyek strategis nasional yang bertujuan menurunkan biaya kepatuhan, meningkatkan efisiensi pemungutan, dan meminimalkan risiko fraud. Ia pun menyampaikan terima kasih kepada pengusaha ritel yang terus memberikan masukan konstruktif selama proses implementasi.

“Intinya, kami ingin membuat perpajakan yang lebih mudah, adil, dan terpercaya. Coretax adalah fondasi menuju masa depan itu,” katanya. (alf)

 

DJP Pangkas Latensi Sistem Coretax Jadi 1,18 Milidetik!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan Sistem Coretax yang tengah diimplementasikan terus mengalami penyempurnaan signifikan dan hasilnya mulai terasa nyata. Salah satu buktinya, waktu latensi dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa kini dipangkas drastis hingga hanya 1,18 milidetik!

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa kecepatan sistem ini mengalami lompatan luar biasa. Jika pada 26 dan 27 Maret 2025 latensi sempat berada di angka 21,2 hingga 30 detik, maka pada 19 April 2025 turun menjadi hanya 0,00118 detik.

“Penyempurnaan ini hasil dari kerja keras tim DJP dalam menambal bug, memperbaiki proses submit, hingga mengoptimalkan sistem validasi,” kata Dwi dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).

Tak hanya itu, DJP juga menambal sejumlah celah dalam sistem pelaporan SPT Masa, termasuk menghapus masalah status “Draft” yang sempat membingungkan wajib pajak, menghindari duplikasi data kompensasi, serta menyempurnakan proses unduhan dokumen dan pelaporan objek pajak di SPOP.

Hasilnya? Hingga pukul 00.00 WIB, 20 April 2025, tercatat sebanyak 2.080.778 laporan SPT Masa berhasil masuk ke sistem. Angka ini mencakup:

• 933.484 SPT Masa PPN dan PPnBM (Januari–Maret 2025)

• 997.705 SPT Masa PPh Pasal 21/26

• 149.589 SPT Masa PPh Unifikasi

Detail pelaporan PPN dan PPnBM meliputi:

• Januari: 433.563

• Februari: 385.700

• Maret: 114.221

Sementara itu, pelaporan PPh terdiri dari:

• PPh 21/26

• Januari: 368.195

• Februari: 345.964

• Maret: 283.547

• PPh Unifikasi

• Januari: 171.404

• Februari: 173.075

• Maret: 149.589

Kabar baik lainnya, DJP memberikan insentif berupa penghapusan sanksi administratif bagi pelaporan SPT Masa Maret 2025 yang dilakukan tepat waktu. Untuk PPN dan PPnBM, batas waktunya hingga 10 Mei 2025. Sedangkan untuk PPh 21/26 dan PPh Unifikasi, penghapusan sanksi berlaku jika dilaporkan paling lambat 30 April 2025, sesuai dengan KEP-67/PJ/2025. (alf)

 

 

DJP Kembali Ingatkan Modus Penipuan Berkedok Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui akun instagram @pajakjakartapusat, Rabu (23/4/2025)  kembali mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap berbagai modus penipuan yang mengatasnamakan instansi pajak. Modus penipuan terbaru yang marak beredar dikenal dengan istilah “Coretax DJP”, yang bertujuan menipu wajib pajak dengan berbagai cara licik.

Modus Penipuan yang Perlu Diwaspadai:

• Permintaan Pemutakhiran Data

Penipu berpura-pura meminta #KawanPajak melakukan update data dengan dalih verifikasi akun atau kewajiban perpajakan.

• Permintaan Transfer Dana

Modus lain melibatkan permintaan transfer dana untuk pembayaran tunggakan pajak atau kelebihan pembayaran pajak yang diklaim bisa dicairkan.

• Aplikasi Palsu Berformat .apk

Masyarakat diminta mengunduh aplikasi berformat .apk yang sebenarnya adalah perangkat lunak jahat yang dapat mencuri data pribadi.

• Situs Web Palsu

Penipu menyebarkan tautan laman web yang menyerupai situs DJP, namun bukan domain resmi .pajak.go.id.

• Transfer Bea Meterai

Dalam beberapa kasus, penipu meminta transfer dana untuk bea meterai yang diklaim sebagai bagian dari layanan pajak.

• Email Palsu

Waspadai email yang datang dari alamat yang bukan domain resmi DJP seperti @pajak.go.id.

Lakukan Konfirmasi Melalui Saluran Resmi DJP

Jika Anda menerima permintaan mencurigakan, segera lakukan konfirmasi melalui:

• Kantor Pajak terdekat

• Kring Pajak: 1500200

• Email: pengaduan@pajak.go.id

• Akun X (Twitter): @kring_pajak

• Situs Pengaduan: https://pengaduan.pajak.go.id

• Live Chat: www.pajak.go.id

Laporkan Penipuan ke Kominfo

Selain melaporkan ke DJP, #KawanPajak juga bisa membantu memberantas penipuan digital dengan:

• Melaporkan nomor penipu di https://aduannomor.id

• Melaporkan konten, tautan, atau aplikasi penipuan di https://aduankonten.id (alf)

 

 

Pekan Sita Serentak: DJP Jawa Barat II Kedepankan Edukasi dan Pencegahan 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Barat II tengah menggelar Pekan Sita Serentak pada 21–25 April 2025. Tidak semata-mata menitikberatkan pada tindakan hukum, kegiatan ini juga mengusung misi edukatif dan preventif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kepatuhan pajak.

Melibatkan 11 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungannya, kegiatan ini menyasar berbagai objek sita seperti kendaraan bermotor, logam mulia, saldo rekening, hingga tanah. Namun, menurut Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II, Dasto Ledyanto, tujuan utama dari kegiatan ini adalah menciptakan pemahaman yang lebih luas mengenai hak dan kewajiban perpajakan.

“Ini bukan sekadar eksekusi atas hak negara, tetapi juga bentuk edukasi kepada masyarakat bahwa kepatuhan pajak adalah bagian dari kontribusi terhadap pembangunan,” ujar Dasto dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Rabu (23/4/2025).

Dasto menekankan bahwa DJP memiliki komitmen untuk menuntaskan hak dan kewajiban kedua belah pihak negara dan wajib pajak. “Kami pastikan, jika negara memiliki hak, akan kami perjuangkan. Namun, jika wajib pajak memiliki hak, itu juga akan kami selesaikan secara adil,” tambahnya.

Langkah ini diharapkan mampu menciptakan deterrent effect, namun dalam kerangka yang konstruktif. Dengan pendekatan yang juga menekankan sosialisasi, DJP berharap masyarakat dapat lebih proaktif dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara tepat waktu.

Melalui Pekan Sita Serentak ini, DJP Jawa Barat II tidak hanya menunjukkan ketegasan, tetapi juga membuka ruang dialog dan edukasi demi terciptanya ekosistem perpajakan yang lebih sehat dan berkelanjutan. (alf)

 

 

 

Ingin Klaim Pajak Lebih Bayar? Hati-hati, PMK 15/2025 Bisa Buat Anda Diperiksa!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang mempertegas kriteria pemeriksaan perpajakan. Aturan ini menjadi sinyal kuat bagi Wajib Pajak untuk lebih berhati-hati, terutama saat mengajukan klaim pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Mengacu pada Pasal 4 PMK 15/2025, Wajib Pajak yang menyatakan lebih bayar dalam Surat Pemberitahuan (SPT), baik yang mengajukan pengembalian maupun tidak, menjadi salah satu pihak yang berpotensi diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Tak hanya itu, pemeriksaan juga dapat dilakukan dalam kondisi lain, seperti ketika Wajib Pajak melaporkan kerugian, melakukan perubahan tahun buku, restrukturisasi perusahaan (merger, likuidasi), atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) meski telah ditegur.

PMK ini juga menegaskan bahwa DJP dapat menggunakan data konkret untuk memicu pemeriksaan, termasuk:

• Faktur pajak yang telah disetujui tapi tidak dilaporkan,

• Bukti pemotongan atau pemungutan pajak yang tidak masuk dalam laporan SPT,

• Data transaksi perpajakan lainnya yang relevan.

“PMK ini bertujuan menjaga integritas sistem perpajakan. Dengan memanfaatkan data dan teknologi, DJP kini lebih cepat mendeteksi ketidaksesuaian,” demikian dikutip dari isi peraturan. (alf)

 

 

 

Gubernur Jakarta Pangkas Pajak BBM jadi 5%

IKPI, Jakarta: Warga Ibu Kota bakal merasakan angin segar di tengah isu kenaikan harga bahan bakar. Gubernur Jakarta, Pramono Anung, resmi menurunkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) dari sebelumnya 10% menjadi 5% untuk kendaraan pribadi. Sementara kendaraan umum mendapatkan tarif lebih ringan, hanya 2%.

“Mulai kemarin saya sudah ambil keputusan. Di Jakarta, kami beri relaksasi atau kemudahan, dari yang dulunya 10%, sekarang jadi 5% untuk kendaraan pribadi, dan 2% untuk kendaraan umum,” kata Pramono di Balai Kota, Rabu (23/4/2025).

Pramono menuturkan bahwa tarif 10% yang selama ini dikenakan sudah berlaku selama lebih dari 10 tahun. Namun kini, seiring hadirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang memberi keleluasaan kepada kepala daerah, ia memanfaatkan kewenangan tersebut untuk meringankan beban masyarakat.

Ia memastikan kebijakan ini bakal dituangkan dalam bentuk Peraturan Gubernur (Pergub) dan segera disosialisasikan kepada publik. “Nanti di SPBU, yang bisa ngerasain perubahan ini ya cuma warga Jakarta. Karena sebelumnya memang mereka yang kena pajak 10%,” ujarnya. (alf)

 

en_US