PMK 15/2025 Atur Batas Maksimal Waktu Pemeriksaan Pajak hingga 5 Bulan

IKPI, Jakarta: Pemeriksaan pajak kini memiliki batas waktu yang lebih jelas dan ketat, seiring diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025. Melalui Pasal 6 peraturan tersebut, pemerintah menetapkan bahwa pemeriksaan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak harus diselesaikan dalam batas waktu tertentu.

Berikut rincian lamanya waktu pemeriksaan:

• Pemeriksaan Lengkap: maksimal 5 bulan

• Pemeriksaan Terfokus: maksimal 3 bulan

• Pemeriksaan Spesifik: maksimal 1 bulan

Jangka waktu tersebut dihitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan hingga Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan diterima oleh Wajib Pajak.

Setelah itu, tahap Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan juga diatur maksimal selama 30 hari kerja.

Dalam hal tertentu, seperti pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dalam satu grup usaha atau yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing, waktu pemeriksaan dapat diperpanjang hingga 4 bulan tambahan. Perpanjangan ini harus disampaikan secara resmi kepada Wajib Pajak.

Untuk Pemeriksaan Spesifik yang memenuhi kriteria tertentu, waktu pemeriksaan dipercepat menjadi hanya 10 hari kerja, dengan waktu pembahasan hasil pemeriksaan juga maksimal 10 hari kerja.

Sementara itu, pemeriksaan yang berkaitan dengan sektor minyak dan gas bumi mengikuti ketentuan tersendiri berdasarkan peraturan terkait pelaksanaan kontrak kerja sama. (alf)

Investor Asing Kabur karena Trump, tapi BI Yakin Mereka Bakal ‘Mudik’ Lagi ke RI

IKPI, Jakarta: Drama perang dagang kembali memanas! Kali ini, keputusan Presiden AS Donald Trump menetapkan tarif resiprokal sebesar 32 persen pada 2 April 2025 membuat pasar global gonjang-ganjing. Indonesia, sayangnya, ikut terkena getahnya.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, buka suara. Dalam konferensi pers virtual Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada Kamis (24/4/2025), Perry menjelaskan bahwa lonjakan “risk appetite” para investor global bikin mereka buru-buru angkat kaki dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.

“Mereka lari ke tempat yang dianggap lebih aman, seperti Eropa dan Jepang. Pilihan instrumen? Mulai dari obligasi sampai emas,” ungkap Perry.

Namun jangan buru-buru panik. Perry menegaskan bahwa arus modal asing ini bukan kabur permanen hanya sekadar “menginap” sementara di luar. Ia yakin, begitu asap negosiasi tarif antara Indonesia dan AS mulai menipis dan kepastian kebijakan muncul, para investor akan balik lagi ke tanah air.

“Kami optimistis, saat risiko global mereda dan hasil negosiasi mulai terlihat, investor akan melirik lagi Indonesia. Imbal hasil yang menarik dan prospek ekonomi yang menjanjikan jadi daya tarik utama,” kata Perry dengan penuh keyakinan.(alf)

China Diam-Diam Longgarkan Tarif Chip AS, Ada Apa di Balik Layar Perang Dagang?

IKPI, Jakarta: Di tengah panasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China, sebuah langkah mengejutkan muncul diam-diam dari balik layar. Tiga agen impor di jantung teknologi China, Shenzhen, membocorkan kepada CNN bahwa Beijing telah mencabut tarif balasan super tinggi sebesar 125% untuk sejumlah semikonduktor asal AS.

Langkah ini tak diumumkan secara resmi oleh otoritas mana pun. Para agen baru mengetahuinya pada Kamis (18/4/2025), sepekan setelah China menggertak balik dengan tarif besar-besaran pada semua produk AS sebagai balasan atas keputusan Presiden Donald Trump yang lebih dulu menaikkan tarif barang dari China hingga 145%.

Namun ternyata, tak semua barang AS benar-benar kena palu godam. Komponen penting seperti sirkuit terpadu alias chip atau semikonduktor mendapat perlakuan istimewa. Keringanan tarif diberikan, meski diam-diam. Kenapa?

Jawabannya mungkin tersembunyi di dalam keterbatasan. Di balik sikap percaya diri yang ditunjukkan Beijing dalam beberapa bulan terakhir, ada kenyataan pahit: beberapa teknologi chip masih belum bisa diproduksi sendiri atau ditemukan alternatif dari negara lain.

Langkah ini menandai bahwa bahkan dalam pertarungan tarif yang panas, ada ruang kompromi — setidaknya untuk teknologi yang jadi nadi industri masa depan.(alf)

 

Pengusaha Mau Cabut Status PKP? Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Pasal 81 Tahun 2024 memberikan kemudahan baru bagi para Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk mencabut pengukuhannya. Pencabutan ini dapat dilakukan baik atas permohonan pengusaha maupun secara jabatan oleh otoritas pajak.

Dalam Pasal 67 diatur, “Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.”

Untuk pengusaha yang ingin mengajukan pencabutan, Pasal 68 menjelaskan bahwa permohonan harus diajukan di Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP tersebut dikukuhkan. Permohonan ini juga harus dilengkapi dengan dokumen yang menunjukkan bahwa pengusaha tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP.

Dalam aturannya disebutkan, “Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.”

Lebih lanjut, keputusan atas permohonan pencabutan ini wajib diterbitkan paling lambat enam bulan sejak permohonan diterima secara lengkap. Jika dalam enam bulan tidak ada keputusan, permohonan dianggap dikabulkan secara otomatis.

PMK ini menegaskan, “Apabila jangka waktu telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan.”

Selain atas permohonan, pencabutan pengukuhan PKP juga bisa dilakukan secara jabatan. Hal ini diatur dalam Pasal 69 yang menyatakan,

“Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.”

Pencabutan jabatan ini didasarkan pada hasil pemeriksaan atau penelitian administrasi, terutama bagi PKP yang memenuhi kriteria tertentu, seperti sudah nonaktif, tidak melakukan klarifikasi atas faktur pajak yang dinonaktifkan, menggunakan status PKP secara tidak sah, atau PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia tanpa meninggalkan warisan. (alf)

 

Jateng Siap Hapus Pajak Progresif Kendaraan, Masyarakat Bisa Bernapas Lega!

IKPI, Jakarta: Ada kabar segar untuk para pemilik kendaraan di Jawa Tengah. Pemerintah Provinsi Jateng tengah menggodok rencana penghapusan pajak kendaraan bermotor (PKB) progresif. Langkah ini disebut sebagai bentuk empati pemerintah terhadap beban finansial masyarakat yang kian berat, terutama sejak diterapkannya skema opsen pajak pada awal Januari 2025 lalu.

Kepala Bidang PKB Bapenda Jateng, Danang Wicaksono, menyampaikan bahwa pihaknya tengah melakukan kajian serius untuk melonggarkan aturan pajak progresif. “Kami sedang dorong agar ada relaksasi. Harapannya masyarakat nggak terbebani lagi,” ujar Danang saat ditemui, Sabtu (25/4/2025).

Pajak progresif selama ini membebani mereka yang memiliki lebih dari satu kendaraan, terutama mobil pribadi. Meski tarifnya di Jateng masih tergolong ringan dibanding provinsi lain, tetap saja banyak warga yang merasa keberatan.

Sebagai informasi, tarif progresif di Jateng saat ini diatur dalam Perda No.12 Tahun 2023, dengan besaran dimulai dari 1,40% untuk kendaraan kedua, hingga 2,45% untuk kendaraan kelima dan seterusnya. Aturan ini berlaku untuk kendaraan pribadi, termasuk motor di atas 200 cc.

Namun, ini bukan kali pertama Jateng melonggarkan aturan tersebut. Tahun lalu, sempat diberlakukan penghapusan pajak progresif sebagai insentif untuk mendukung industri otomotif. Danang menegaskan bahwa pendekatan kali ini serupa: bukan soal untung-rugi, tapi demi mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah.

“Kalau dari hasil kajian memang bermanfaat untuk masyarakat dan industri, kenapa tidak? Bahkan bisa saja dihapus selamanya,” tambahnya.

Kebijakan ini muncul di tengah sorotan terhadap sistem opsen pajak yang dinilai menambah beban masyarakat. Direktur Eksekutif KPPOD, Herman H. Suparman, bahkan mengusulkan agar kebijakan ini ditinjau ulang secara nasional agar tidak bertolak belakang dengan semangat pemulihan ekonomi. (alf)

 

Pemeriksa Pajak Tak Bisa Semaunya Lagi, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025, pemerintah menetapkan standar ketat bagi para pemeriksa pajak dalam menjalankan tugasnya. Aturan ini menekankan pentingnya transparansi, perlindungan hak Wajib Pajak, serta profesionalitas aparat pajak.

Dalam pasal 7 PMK ini, diatur bahwa setiap pemeriksa pajak wajib memperlihatkan Tanda Pengenal dan Surat Perintah Pemeriksaan sebelum memulai tugasnya. Wajib Pajak juga harus menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan yang sah, termasuk bila terjadi perubahan tim pemeriksa.

Tidak hanya itu, pemeriksa juga berkewajiban:

• Menyampaikan perubahan susunan tim apabila terjadi,

• Mengembalikan semua buku, catatan, atau dokumen yang dipinjam,

• Menjaga kerahasiaan seluruh informasi yang diperoleh dari Wajib Pajak, tanpa terkecuali.

Bila pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak, ada kewajiban tambahan yang harus dipenuhi. Pemeriksa pajak harus:

• Menjelaskan alasan dan tujuan pemeriksaan serta hak dan kewajiban Wajib Pajak,

• Memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengungkapkan sendiri ketidakbenaran data pajaknya,

• Menyampaikan pemberitahuan tertulis terkait pos atau data yang diperiksa, terutama untuk tipe Pemeriksaan Terfokus,

• Melakukan pembahasan temuan sementara sebelum hasil akhir ditetapkan,

• Memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan.

Namun, untuk Pemeriksaan Spesifik, ketentuan mengenai pembahasan temuan sementara ini tidak berlaku.

Di balik ketatnya kewajiban, pemeriksa pajak juga dibekali dengan sejumlah wewenang yang cukup luas untuk memastikan pemeriksaan berjalan efektif. Pemeriksa berhak:

• Melihat, meminjam, bahkan mengunduh data elektronik yang berkaitan dengan pembukuan atau kegiatan usaha Wajib Pajak,

• Memasuki tempat atau ruang penyimpanan dokumen, uang, atau barang yang relevan,

• Meminta keterangan dari Wajib Pajak atau pihak ketiga yang berkaitan,

• Melakukan penyegelan ruang, tempat, atau barang apabila diperlukan.

Selain itu, Wajib Pajak diminta memberikan bantuan untuk kelancaran pemeriksaan, seperti menyediakan tenaga ahli, akses ruang, peralatan khusus, bahkan tenaga pendamping. (alf)

 

 

 

Jakarta Serius Tagih Pajak! Surat Paksa Kini Dikirim Lewat Aplikasi

IKPI, Jakarta: Tak ada lagi ruang untuk sembunyi dari kewajiban pajak di Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lewat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), kini memanfaatkan teknologi untuk menagih pajak dengan cara yang lebih cepat, transparan, dan tegas. Lewat fitur baru di aplikasi Pajak Daerah, penunggak kini bisa langsung menerima Surat Paksa bukan lewat pos, tapi secara elektronik!

Program ini diberi nama Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), yang mulai aktif sejak Maret 2024 berdasarkan SK Kepala Bapenda No. 255 Tahun 2024. Tidak hanya lebih cepat, sistem ini memungkinkan seluruh proses tagih-menagih dari awal imbauan sampai tahap penyitaan dipantau secara real-time oleh pimpinan Bapenda. Tak ada celah untuk alasan “tidak tahu” lagi!

“Dengan digitalisasi, semua proses tercatat rapi dan bisa diawasi lintas divisi, mulai dari petugas UPPPD, kantor suku badan, hingga Juru Sita Pajak. Jadi lebih bersih dan profesional,” ujar pihak Bapenda dalam keterangan resminya, Kamis (24/4/2025).

Ada enam langkah dalam skema PPSP ini, mulai dari imbauan awal, pemasangan stiker penunggak, hingga pembacaan Surat Paksa dan penyitaan aset jika diperlukan. Hasilnya? Sejauh ini sudah 1.289 Surat Teguran yang diterbitkan dan lebih dari Rp384 miliar tunggakan berhasil dikumpulkan.

Tak hanya soal mengejar angka, sistem ini juga hadir membawa misi keadilan. Wajib Pajak yang taat jadi lebih dihargai, sementara yang menunggak mendapat perlakuan tegas dan setara. “Kami ingin ini jadi contoh nasional bahwa pajak bisa ditagih dengan cara modern, transparan, dan tetap berkeadilan,” tegas Bapenda.

Selain itu, literasi perpajakan pun jadi perhatian. Lewat pendekatan digital, Bapenda ingin masyarakat dan pelaku usaha makin paham hak dan kewajibannya. Dengan sistem yang tercatat secara otomatis, potensi manipulasi pun bisa ditekan. (alf)

 

Pemprov DKI Jakarta Pertimbangkan Hapus Pajak Progresif Kendaraan, Ini Alasannya

IKPI, Jakarta : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mempertimbangkan penghapusan pajak progresif kendaraan bermotor sebagai bagian dari upaya penertiban administrasi dan optimalisasi pelayanan Samsat. Wacana ini diungkapkan dalam pertemuan antara Pemprov DKI dengan pembinaan Samsat nasional, Kamis (24/4/2025), yang juga membahas berbagai kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak kendaraan bermotor.

Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Agus Fatoni, menjelaskan bahwa penghapusan pajak progresif bertujuan untuk memastikan keakuratan data kepemilikan kendaraan. “Pajak progresif dalam rangka ketertiban, administrasi yang baik, kemudian penegakan hukum ini dipertimbangkan untuk dihapus sehingga pemilik kendaraan adalah benar-benar yang terdaftar,” ujarnya.

Saat ini, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024, tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) bersifat progresif, dimulai dari 2% untuk kendaraan pertama hingga 6% untuk kendaraan kelima dan seterusnya.

Tarif ini dikenakan berdasarkan nama, NIK, dan/atau alamat yang sama, kecuali untuk kendaraan dengan jumlah roda berbeda, seperti satu motor dan satu mobil, yang dihitung sebagai kepemilikan pertama masing-masing.

Selain menghapus pajak progresif, Pemprov DKI juga menyiapkan kebijakan insentif bagi wajib pajak yang taat, sebagai bentuk apresiasi dan penerapan prinsip keadilan. “Insentif diberikan kepada yang benar-benar taat, tetapi tidak kepada yang melanggar,” tambah Agus. (alf)

 

 

SPT Tahunan Tembus 13 Juta, DJP Genjot Layanan Digital Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Antusiasme masyarakat untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan kian terasa. Hingga 24 April 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan sebanyak 13,46 juta wajib pajak telah menunaikan kewajibannya untuk tahun pajak 2024.

Dari jumlah itu, 12,89 juta merupakan wajib pajak orang pribadi dan 569 ribu sisanya adalah badan usaha. Data ini mencerminkan kesadaran pajak yang makin tumbuh di kalangan masyarakat.

Di balik peningkatan ini, DJP terus bergerak memperkuat infrastruktur digital melalui sistem Coretax. Perbaikan dan pembaruan sistem terus digencarkan demi menjamin kelancaran pelaporan serta pembayaran pajak secara daring.

“Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan perbaikan dan memastikan kelancaran pada sistem Coretax DJP,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Jumat (25/4/2025).

Menurutnya, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak agar mereka bisa membayar dan melaporkan pajak dengan lebih mudah.

Dwi juga menambahkan bahwa DJP aktif memberikan update seputar implementasi Coretax. Terbaru, pembaruan tersebut disampaikan melalui KT-12/2025 yang dirilis pada 23 April 2025. (alf)

 

Pelunasan Pajak Kini Bisa Diperpanjang Hingga Dua Bulan, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Wajib Pajak di daerah tertentu kini dapat bernapas lebih lega. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan fasilitas baru berupa perpanjangan waktu pelunasan pajak hingga dua bulan.

Dalam Pasal 99 ayat (1) PMK 81/2024 dijelaskan, “Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.”

Kebijakan ini menjadi langkah strategis pemerintah untuk memberikan ruang gerak lebih besar kepada UMKM dalam mengelola arus kas mereka, khususnya dalam menghadapi tantangan ekonomi dan keterbatasan akses pembiayaan.

Adapun yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak usaha kecil adalah:

• Wajib Pajak Orang Pribadi yang “menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dan memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak (Pasal 99 ayat 3).

• Wajib Pajak Badan, dengan syarat “tidak termasuk bentuk usaha tetap dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) Tahun Pajak” (Pasal 99 ayat 4).

Untuk memperoleh fasilitas perpanjangan ini, Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut harus diajukan paling lambat 9 hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pelunasan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (5).

Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan atas permohonan tersebut dalam waktu 7 hari kerja sejak diterimanya surat permohonan. “Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa: a. menyetujui; atau b. menolak permohonan Wajib Pajak,” bunyi Pasal 99 ayat (7).

Menariknya, jika dalam waktu 7 hari kerja Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan apa pun, maka permohonan dianggap dikabulkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 99 ayat (10): “Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.”

Keputusan persetujuan atas permohonan yang dianggap diterima tersebut harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelahnya.(alf)

 

en_US