Penerimaan Pajak 2025 Terancam Tak Capai Target, Pemerintah Waspadai Tekanan Ekonomi dan Administratif

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengakui penerimaan perpajakan tahun 2025 berpotensi tidak mencapai target yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dari target Rp2.490,9 triliun, penerimaan pajak diperkirakan hanya mampu terkumpul sebesar Rp2.387 triliun.

Informasi ini diungkap Menteri Keuangan , Sri Mulyani dalam rapat dengan DPR baru-baru ini menjelaskan Pelaksanaan APBN Semester I-2025. Hingga pertengahan tahun, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp978,3 triliun atau sekitar 39,3% dari target. Pemerintah memperkirakan akan ada tambahan Rp1.409 triliun pada semester II, namun belum cukup untuk menutup selisih target.

Laporan tersebut juga menyoroti sejumlah tantangan yang memengaruhi performa penerimaan, mulai dari kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih, harga komoditas unggulan yang berfluktuasi, hingga implementasi sistem perpajakan baru melalui core tax administration system (Cortex) yang belum optimal mendorong kinerja penerimaan.

Pajak penghasilan (PPh) menjadi salah satu komponen yang menunjukkan deviasi paling signifikan. Dari target Rp1.209,3 triliun, realisasinya diperkirakan hanya mencapai Rp1.041,6 triliun. Demikian pula dengan penerimaan dari PPN dan PPnBM yang diproyeksikan terkumpul Rp895,9 triliun, masih di bawah target Rp945,1 triliun.

Rendahnya penerimaan juga dipengaruhi oleh restitusi pajak yang melonjak serta batalnya kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada tahun ini. Selain itu, penerimaan dari sektor cukai ikut menyusut. Pemerintah hanya menargetkan realisasi Rp228,7 triliun, lebih rendah dari target awal Rp244,2 triliun.

Kondisi ini menjadi peringatan dini bagi pemerintah agar lebih cermat dalam mengelola kebijakan fiskal dan memperkuat strategi pengawasan serta kepatuhan pajak. Evaluasi dan penyesuaian kebijakan menjadi kunci untuk menjaga kesehatan fiskal di tengah situasi ekonomi yang dinamis. (alf)

 

DJP Perketat Pengawasan PKP, Fokuskan Pemeriksaan Lapangan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memberlakukan ketentuan baru dalam rangka pengawasan terhadap Pengusaha Kena Pajak (PKP) melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini menjadi pedoman teknis bagi petugas pajak dalam menguji kepatuhan administrasi PKP, baik dari sisi kewajiban subjektif maupun objektif.

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) regulasi tersebut, DJP akan melakukan pengawasan dengan meneliti apakah PKP telah memenuhi syarat sebagai pengusaha kena pajak secara menyeluruh. Pemeriksaan ini mencakup tiga kategori PKP, yakni: yang baru dikukuhkan, yang berpindah lokasi administrasi perpajakannya, dan yang tidak menjalankan kewajiban perpajakan secara semestinya.

Untuk dua kategori pertama PKP baru dan PKP pindahan pengujian wajib dilakukan maksimal 30 hari setelah tanggal pengukuhan atau terbitnya surat pindah. Pemeriksaan dilakukan secara langsung melalui penelitian lapangan di alamat terdaftar, baik itu tempat tinggal, kantor pusat, maupun lokasi usaha.

Virtual Office Tak Luput dari Pemeriksaan

Menariknya, dalam era digitalisasi usaha saat ini, penggunaan kantor virtual pun turut disorot. Jika suatu badan usaha menggunakan virtual office sebagai alamat resmi PKP, petugas pajak akan tetap melakukan pemeriksaan fisik. Lokasi yang diperiksa dapat mencakup kantor virtual itu sendiri, tempat tinggal pengurus yang terdaftar, hingga lokasi usaha yang sebenarnya beroperasi.

Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan dua hal: pertama, apakah kantor virtual tersebut sah secara administratif sebagai tempat kedudukan PKP; dan kedua, apakah kegiatan usaha benar-benar dilakukan sebagaimana tercantum dalam dokumen perpajakan.

Pemeriksaan di tempat tinggal pengurus bisa dilakukan jika seluruh kegiatan usaha hanya tercatat di kantor virtual. Sementara itu, jika diketahui ada kegiatan usaha riil di lokasi lain, maka lokasi tersebut juga akan ditinjau. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan alamat fiktif dalam proses pengukuhan PKP, sekaligus menjamin keabsahan data yang diberikan kepada otoritas pajak. (alf)

 

 

Golf Tak Dikenai Pajak Hiburan, Ini Alasannya! 

IKPI, Jakarta: Wakil Koordinator Staf Khusus Gubernur Jakarta, Yustinus Prastowo, menegaskan bahwa olahraga golf tidak lagi termasuk dalam objek pajak hiburan, meskipun sebelumnya sempat dikenai bersamaan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini ditegaskan sebagai bentuk penerapan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan, terutama setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Prinsipnya tidak boleh ada pajak berganda atas objek yang sama. Jadi sekarang golf hanya dikenai PPN sebesar 11 persen,” ujar Yustinus di Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Yustinus menjelaskan bahwa sebelumnya golf sempat menjadi objek pajak ganda, yakni pajak hiburan dan PPN. Namun, kondisi tersebut digugat oleh para pengelola lapangan golf, dan berujung pada terbitnya Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2012. MK menilai bahwa jasa penyediaan lapangan dan peralatan golf bukanlah bagian dari kategori hiburan yang dapat dikenai pajak hiburan.

Sebaliknya, olahraga padel dan sejumlah cabang olahraga lain kini justru dikenai pajak hiburan. Mengapa demikian? Yustinus menyebut hal itu sebagai bentuk penerapan keadilan perpajakan terhadap berbagai jenis olahraga komersial yang sejak lama telah dikenai pungutan serupa.

“Jadi pengenaan pajak hiburan atas padel bukan untuk memberatkan, tetapi untuk menciptakan kesetaraan. Banyak cabang olahraga permainan lainnya telah lebih dulu dikenakan pajak hiburan, seperti tenis meja, squash, panahan, biliar, hingga kolam renang,” jelasnya.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta mengatur hal ini melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 yang menyatakan bahwa penyewaan sarana dan prasarana olahraga merupakan kegiatan komersial yang dapat dikenai pajak. Kemudian, Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Nomor 257 Tahun 2025 menetapkan jenis-jenis olahraga yang masuk dalam objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) bidang hiburan, termasuk padel.

Menurut Ketua Pelaksana Penyuluhan Bapenda DKI Jakarta, Andri Mauludi Rijal, pajak hiburan sebesar 10 persen dikenakan atas transaksi sewa lapangan, tiket masuk, hingga pemesanan melalui aplikasi digital.

“Pajak berlaku atas penyediaan jasa hiburan kepada konsumen, termasuk penyewaan fasilitas olahraga yang bersifat komersial,” ujar Andri.

Yustinus pun menekankan pentingnya transparansi dan keadilan dalam pungutan pajak, serta memastikan bahwa penerimaan daerah benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.

“Masyarakat tak perlu cemas. Pajak ini untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik. Mari tetap berolahraga agar sehat, dan bersama-sama kita gotong royong melalui pajak demi kebaikan bersama,” pungkasnya. (alf)

 

Pemprov Jakarta Gratiskan PBB Tahun 2025, Ini Syarat dan Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi warga Jakarta! Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI resmi menggelontorkan insentif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) untuk tahun pajak 2025. Lewat kebijakan ini, sejumlah kategori wajib pajak berhak atas pembebasan atau pengurangan pajak, bahkan hingga bebas denda.

Kebijakan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 281 Tahun 2025, yang mulai berlaku sejak 8 April 2025. Informasi ini disampaikan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta melalui akun Instagram resminya, @humaspajakjakarta, Minggu (6/7/2025).

“Insentif ini memberikan pembebasan PBB-P2 sebesar 100 persen bagi wajib pajak untuk tahun pajak 2025,” demikian pernyataan resmi Bapenda.

Ragam Insentif PBB-P2 2025

Berikut ini rincian insentif yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta:

1. Pembebasan Pokok PBB Tahun Pajak 2025

Wajib pajak yang memiliki rumah tapak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) hingga Rp 2 miliar, atau rumah susun dengan NJOP sampai Rp 650 juta, akan mendapatkan pembebasan penuh (100%) PBB tahun 2025.

Namun, jika memiliki lebih dari satu properti, hanya objek dengan NJOP tertinggi yang dibebaskan. Pembebasan ini hanya berlaku bagi wajib pajak orang pribadi dengan NIK yang sudah tervalidasi di sistem Pajak Online Jakarta.

2. Pengurangan Pokok PBB

Bagi wajib pajak yang tidak memenuhi kriteria pembebasan, Pemprov tetap memberi keringanan berupa pengurangan otomatis sebesar 50% dari nilai PBB terutang.

Selain itu, sistem juga otomatis mengurangi tagihan agar kenaikan PBB tahun ini tidak melebihi 50% dari yang dibayarkan pada 2024.

3. Keringanan Pokok Pajak Tahun-Tahun Sebelumnya

Insentif juga menyasar pembayaran PBB tahun-tahun sebelumnya, mulai 2010 hingga 2025. Jika dibayarkan sesuai periode yang ditentukan, wajib pajak bisa mendapatkan potongan antara 5% hingga 25%.

4. Bebas Denda Administratif

Tak hanya pokok pajak, sanksi administratif juga dihapus. Wajib pajak yang mengangsur hingga 31 Desember 2025 dibebaskan dari bunga angsuran. Sementara mereka yang melunasi tunggakan PBB-P2 untuk tahun 2013–2024 selama periode 8 April hingga 31 Desember 2025 akan terbebas dari bunga keterlambatan.

Warga Diimbau Manfaatkan Insentif

Pemprov DKI mengajak seluruh masyarakat memanfaatkan kebijakan ini demi meringankan beban finansial sekaligus mendorong kepatuhan pajak. Insentif ini juga menjadi bagian dari upaya meningkatkan efektivitas penerimaan daerah tanpa membebani masyarakat kecil.

Untuk pengecekan status pajak dan pengajuan insentif, warga bisa mengakses situs resmi Pajak Online Jakarta atau menghubungi layanan informasi Bapenda DKI Jakarta. (alf)

 

Menteri Maruarar Usul Insentif PPN Ditanggung Pemerintah Diperpanjang Hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengusulkan agar kebijakan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor perumahan diperpanjang hingga akhir tahun 2025. Usulan tersebut telah ia sampaikan secara resmi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Maruarar mengungkapkan bahwa permintaan perpanjangan insentif PPN DTP disampaikan langsung kepada Menkeu dalam pertemuan di sela acara Danantara dua hari lalu. “Saya sudah kirim surat dan berdiskusi langsung dengan Ibu Menteri Keuangan. Mudah-mudahan usulan kami dapat dipertimbangkan,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Sabtu (5/7/2025).

Dorongan ini, kata Maruarar, muncul setelah mendengar aspirasi dari sejumlah asosiasi pengembang perumahan yang menilai insentif tersebut berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat dan keberlangsungan industri properti nasional. Menurutnya, insentif PPN DTP telah terbukti menjadi instrumen efektif untuk menjaga pertumbuhan sektor perumahan, sekaligus memudahkan masyarakat dalam mengakses hunian layak.

“Kalau kebijakan ini diperpanjang, tentu akan sangat membantu masyarakat yang sedang berjuang memiliki rumah, sekaligus memberikan dorongan bagi geliat sektor properti dan ekonomi secara umum,” tambahnya.

Sebagaimana diketahui, kebijakan PPN DTP tahun 2025 saat ini berlaku dalam dua periode. Pada 1 Januari hingga 30 Juni 2025, pemerintah menanggung 100% PPN untuk bagian harga jual rumah hingga Rp2 miliar, dengan batas harga jual maksimal Rp5 miliar. Sementara itu, untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2025, insentif dikurangi menjadi 50% untuk kriteria yang sama.

Dengan sisa waktu kurang dari enam bulan, Menteri Maruarar berharap pemerintah segera memutuskan perpanjangan kebijakan tersebut agar pelaku industri dan masyarakat dapat merencanakan pembelian rumah dengan lebih baik.

“Ini bukan hanya soal insentif, tapi soal bagaimana negara hadir memfasilitasi kebutuhan dasar rakyatnya: rumah,” tegasnya. (alf)

 

 

Sri Mulyani Andalkan Pinjaman dan SAL Tutup Defisit APBN 2026

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan strategi pemerintah untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Kamis (3/7/2025).

Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah akan mengandalkan kombinasi pembiayaan dari pinjaman luar negeri serta pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah dinamika ekonomi global.

“Pendanaan defisit selalu kita jaga dengan kombinasi pembiayaan melalui surat utang, pinjaman multilateral-bilateral, dan jika diperlukan, penggunaan SAL,” kata Sri Mulyani.

Adapun proyeksi defisit dalam RAPBN 2026 ditargetkan berada pada kisaran 2,48% hingga 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurutnya, realisasi strategi tersebut tetap akan disesuaikan dengan perkembangan pasar obligasi, baik domestik maupun internasional. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia, khususnya terkait pengelolaan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).

Saldo SAL Jadi Andalan

Sri Mulyani juga menyinggung peran strategis SAL sebagai instrumen pembiayaan nonutang. Ia menyebutkan, sisa SAL tahun anggaran 2024 mencapai Rp457,5 triliun, hanya berkurang tipis dari saldo awal sebesar Rp459,5 triliun.

Dalam sidang paripurna DPR RI yang digelar sebelumnya (1/7/2025), Menkeu meminta persetujuan DPR untuk menggunakan dana SAL sebesar Rp85,6 triliun pada semester II 2025. Penggunaan ini diarahkan untuk mengurangi kebutuhan penerbitan utang baru sekaligus memenuhi belanja prioritas pemerintah.

“Kami manfaatkan SAL bukan hanya untuk menjaga arus kas, tetapi juga sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang lebih bijak, agar tidak terlalu bergantung pada utang,” tutur Sri Mulyani.

Kebijakan ini dinilai penting di tengah tekanan ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan nasional yang terus meningkat. Dengan pendekatan pembiayaan yang fleksibel namun terukur, pemerintah berharap dapat menjaga keberlanjutan fiskal tanpa membebani generasi mendatang. (alf)

 

 

Pemprov DKI Klaim Pengenaan Pajak Padel untuk Keadilan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi Jakarta menegaskan bahwa kebijakan pemungutan pajak terhadap fasilitas olahraga padel dilakukan secara adil dan transparan. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Lusiana, menjelaskan bahwa pungutan ini merupakan bagian dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Jasa Kesenian dan Hiburan, yang tujuannya adalah demi kepentingan masyarakat luas.

“Pemungutan pajak ini dilakukan secara adil dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” tegas Lusiana dalam keterangan resminya, Sabtu (5/7/2025).

Ia mengungkapkan bahwa sejak 2024, sudah ada tujuh lapangan padel di Jakarta yang terdaftar resmi sebagai wajib pajak PBJT. Menurutnya, hal ini menunjukkan kesadaran para pelaku usaha olahraga terhadap pentingnya kontribusi dalam membangun kota.

“Dengan demikian, masyarakat tak perlu khawatir. Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong royong membayar pajak untuk kebaikan bersama,” ujar Lusiana.

Ia menambahkan, membayar pajak atas sarana hiburan dan olahraga merupakan bentuk investasi sosial yang tak hanya mendukung pembangunan, tetapi juga memperkuat budaya gotong royong. “Sebuah investasi kebaikan yang sempurna: sehat jiwa raga,” pungkasnya.

Kebijakan ini disebut sejalan dengan semangat Pemprov Jakarta dalam menciptakan kota yang sehat, adil, dan berdaya saing tinggi, tanpa menghambat aktivitas positif masyarakat seperti berolahraga. (alf)

 

 

 

Banggar DPR Setujui Laporan Semester I APBN 2025, Defisit Melebar Jadi 2,78% PDB

IKPI, Jakarta: Badan Anggaran (Banggar) DPR RI secara resmi menyetujui Laporan Semester I dan proyeksi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Dalam rapat kerja bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Kamis (3/7/2025), disampaikan bahwa defisit APBN diperkirakan melebar hingga Rp662 triliun atau setara 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir tahun.

Dalam laporan tersebut, penerimaan negara diproyeksikan mencapai Rp2.076,9 triliun, sementara belanja negara diperkirakan mencapai Rp3.527,5 triliun. Pelebaran defisit ini mencerminkan tantangan fiskal yang semakin kompleks di tengah ketidakpastian global dan penyesuaian kebijakan nasional.

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, memimpin jalannya rapat dan menyampaikan dukungan atas pelaksanaan kebijakan fiskal yang tetap adaptif namun waspada.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga kesehatan fiskal, meskipun dihadapkan pada dinamika ekonomi global dan kebutuhan nasional yang terus berkembang.

“Kami akan terus menjaga kehati-hatian APBN 2025. Kami melihat pelaksanaannya sangat menantang karena lingkungan yang berubah dinamis serta adanya prioritas baru seperti penguatan ketahanan dan pertahanan negara,” ujar Sri Mulyani.

Gubernur BI Perry Warjiyo juga menekankan pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal.

Persetujuan ini menjadi landasan penting bagi pemerintah dalam mengelola sisa anggaran tahun berjalan, terutama dalam menjaga keberlanjutan pembangunan dan stabilitas makroekonomi nasional. (alf)

 

 

Sri Mulyani Proyeksikan Rasio Pajak 2026 Turun Tipis

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan rasio pajak Indonesia akan berada di kisaran 10,08 persen hingga 10,45 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2026. Proyeksi ini menandakan komitmen pemerintah untuk menjaga kesinambungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui reformasi struktural di sisi pendapatan negara.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa upaya reformasi akan terus diperkuat, terutama melalui optimalisasi sistem Coretax, perbaikan pengelolaan bea dan cukai, serta peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “APBN akan terus dijaga secara berkelanjutan melalui berbagai reformasi, baik dari sisi perpajakan maupun PNBP,” ujarnya.

Untuk tahun 2025, rasio pajak diperkirakan hanya mencapai 10,03 persen dari PDB, sedikit di bawah target dalam APBN yang sebesar 10,24 persen. Realisasi ini juga hampir setara dengan capaian tahun 2024 yang berada di angka 10,08 persen.

Kontribusi terbesar dari rasio pajak pada 2025 berasal dari penerimaan pajak yang diproyeksikan sebesar 8,72 persen dari PDB, serta bea dan cukai sebesar 1,30 persen. Kedua angka ini berada di bawah target APBN masing-masing sebesar 9 persen dan 1,24 persen.

Pada 2026, penerimaan pajak diproyeksikan meningkat ke kisaran 8,90 persen hingga 9,24 persen dari PDB. Namun, bea dan cukai justru mengalami penurunan tipis ke level 1,18 persen hingga 1,21 persen. Hal ini membuat total rasio pajak tetap berada di bawah 10,5 persen.

Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai 2 persen dari PDB, lebih rendah dibanding target APBN sebesar 2,11 persen. Sedangkan pada 2026, PNBP diperkirakan turun lebih lanjut ke kisaran 1,63 persen hingga 1,76 persen dari PDB.

Dengan tren tersebut, total pendapatan negara diproyeksikan hanya mencapai 12,04 persen dari PDB pada 2025, atau di bawah target APBN yang sebesar 12,36 persen. Untuk tahun 2026, proyeksinya berada di kisaran 11,71 persen hingga 12,22 persen.

“Pendapatan negara antara 11,7 persen hingga 12,22 persen dari GDP,” kata Sri Mulyani.

Meski menghadapi tantangan dalam pencapaian target, pemerintah tetap optimistis reformasi perpajakan dan penguatan kelembagaan fiskal akan membawa dampak positif bagi keberlanjutan APBN dalam jangka menengah hingga panjang. (alf)

 

 

AS Hapus Insentif Pajak Mobil Listrik Mulai 30 September

IKPI, Jakarta: Pemerintah Amerika Serikat resmi mencabut insentif pajak untuk kendaraan listrik (EV), kebijakan yang selama ini dianggap sebagai pendorong utama adopsi kendaraan ramah lingkungan di Negeri Paman Sam. Kebijakan ini mulai berlaku pada 30 September 2025, menyusul disahkannya RUU perpajakan dan anggaran terbaru oleh Kongres AS, Kamis (3/7/1025).

Mengutip Reuters, insentif senilai hingga 7.500 dolar AS untuk pembelian atau sewa mobil listrik baru, serta 4.000 dolar AS untuk kendaraan listrik bekas, akan dihapus total. Ini sekaligus mengakhiri era insentif pajak yang telah berjalan sejak 2008.

Kelompok advokasi Electrification Coalition mengkritik keras keputusan tersebut, menyebutnya sebagai langkah mundur yang berisiko menyerahkan dominasi industri otomotif masa depan kepada China. “Ketika dunia berlomba ke arah elektrifikasi, Amerika justru menarik diri,” tegas pernyataan resmi mereka.

Awalnya, kredit pajak EV hanya berlaku untuk 200.000 unit per produsen. Namun, aturan ini direvisi pada 2022 untuk memperluas cakupan, termasuk kendaraan sewaan. Sayangnya, RUU baru justru membatalkan semua bentuk insentif tersebut.

Tak hanya itu, industri otomotif berbahan bakar fosil juga mendapat angin segar. Dalam aturan baru, sanksi atas pelanggaran standar efisiensi bahan bakar (CAFE) juga dihapus. Artinya, produsen dapat lebih leluasa kembali memproduksi kendaraan konvensional tanpa tekanan regulasi ketat.

Analis otomotif dari Barclays, Dan Levy, memperkirakan terjadinya lonjakan pembelian EV dalam waktu dekat sebelum insentif resmi dihentikan.

“Akan terjadi fenomena pre-buy dalam tiga bulan ini. Tapi setelahnya, pasar EV bisa anjlok tajam,” ujar Levy dalam risetnya.

Menurut studi Universitas Harvard (Maret 2025), penghapusan insentif ini diprediksi akan mengurangi penetrasi mobil listrik hingga 6% pada 2030. Namun, pemerintah akan menghemat dana publik sekitar 169 miliar dolar AS selama dekade mendatang.

Tak kalah kontroversial, RUU ini juga membatalkan rencana iuran tahunan 250 dolar AS untuk EV dan menggugurkan kewajiban menjual armada listrik milik Layanan Pos AS (USPS).

Langkah ini menuai respons beragam, bagi sebagian kalangan industri, ini adalah kelonggaran, namun bagi aktivis lingkungan, ini sinyal suram masa depan transisi energi di Amerika. (alf)

 

en_US