Menkeu Purbaya Tegaskan Tax Amnesty Berulang Rusak Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa program pengampunan pajak (tax amnesty) tidak perlu lagi dijalankan. Menurutnya, pemberian amnesti secara berulang hanya akan merusak kredibilitas kebijakan dan memberi sinyal keliru bagi para wajib pajak.

“Kalau amnesti dilakukan berkali-kali, apa jadinya kredibilitas kebijakan itu? Pesan yang sampai ke masyarakat justru membolehkan melanggar aturan pajak, toh nanti ada pengampunan lagi,” tegas Purbaya dalam media briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

Purbaya menilai, langkah yang lebih tepat dibanding mengandalkan pengampunan pajak adalah memaksimalkan instrumen perpajakan yang sudah tersedia, sembari memperkuat upaya pemberantasan praktik penggelapan pajak.

Menurutnya, tax amnesty berulang bisa menjadi bumerang. “Kalau setiap tiga atau lima tahun sekali ada tax amnesty, ya sudah. Semua orang akan sengaja sembunyikan duitnya, menunggu pemutihan berikutnya. Itu yang tidak boleh terjadi,” katanya.

Selain merusak kepatuhan, ia khawatir kebijakan tersebut justru membuka ruang manipulasi dari wajib pajak besar. Mereka bisa mengakali aturan, lalu menjadikan tax amnesty sebagai jalan pintas untuk melegalkan praktik penghindaran pajak.

“Kalau terus-terusan seperti itu, pesan yang diterima masyarakat ya hanya satu: akali dulu pajaknya, tunggu pemutihan. Ini tidak sehat untuk sistem perpajakan kita,” tegas Purbaya.

Sebagai solusi untuk memperbaiki rasio pajak, ia mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional yang saat ini masih mengalami tren perlambatan.

Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI diketahui telah memasukkan RUU Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026. Selain itu, ada juga RUU Perampasan Aset serta RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang akan dibahas dalam periode yang sama.

“Jika RUU Perampasan Aset tidak rampung dibahas tahun ini, pembahasannya akan berlanjut ke 2026, sama halnya dengan sejumlah RUU lainnya,” kata Wakil Ketua Baleg DPR RI, Sturman Panjaitan. (alf)

 

Profit Shifting Rugikan Indonesia, Denny Vissaro Dorong Aturan Anti-Avoidance

IKPI, Jakarta: Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan penerimaan negara dari praktik penghindaran pajak. Denny Vissaro, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory, mengungkapkan bahwa praktik pengalihan laba atau profit shifting perusahaan multinasional menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan negara hingga Rp35 triliun pada 2020.

“Data internasional menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 10,3 persen dari total penerimaan PPh Badan akibat profit shifting. Angka ini bahkan lebih tinggi dari rata-rata global yang berada di level 9,1 persen,” ungkap Denny saat menjadi panelis dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, baru-baru ini.

Fenomena ini, jelas Denny, terjadi karena perusahaan multinasional kerap menargetkan keuntungan secara agregat di level grup, bukan pada masing-masing negara tempat mereka beroperasi. “Tidak masalah jika ada entitas tertentu yang merugi di negara dengan tarif pajak lebih tinggi, selama laba sebenarnya bisa dipindahkan ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah. Itu strategi umum yang mereka lakukan,” jelasnya.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara pasar dengan sumber daya melimpah justru rentan menjadi target praktik tersebut. Laba yang semestinya dikenakan pajak di Indonesia bisa “digeser” keluar negeri melalui mekanisme transfer pricing atau skema agresif lainnya.

Untuk mengatasinya, Denny menekankan perlunya penerapan anti-avoidance rule secara konsisten. Ia menyinggung keberadaan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) yang sebenarnya sudah diadopsi dalam kerangka hukum perpajakan terbaru. “Tax avoidance memang tidak melanggar aturan secara eksplisit, tetapi jelas menyalahi semangat perpajakan. GAAR memberi pemerintah alat untuk membatalkan skema agresif yang tujuannya hanya menghindari pajak,” tegasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa penerapan GAAR perlu dijalankan secara hati-hati. “Mengukur motif di balik sebuah transaksi bisnis bukan perkara mudah. Jika regulasi tidak jelas, justru bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak. Ini yang harus diantisipasi,” kata Denny.

Ia menilai, jika regulasi anti-avoidance diperkuat dan diterapkan dengan konsisten, Indonesia tidak hanya bisa menutup kebocoran pajak, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. “Kita perlu memastikan bahwa sistem pajak tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga adil dan memberikan perlindungan bagi wajib pajak yang patuh,” pungkasnya. (bl)

Founder TaxPrime Kritik PPN 11%: Daya Beli Rakyat Bisa Tertekan

IKPI, Jakarta: Kebijakan fiskal pemerintah kembali menuai sorotan. Founder sekaligus Managing Partner TaxPrime, Muhamad Fajar Putranto, menilai langkah pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen dan menuju 12 persen perlu dikaji ulang secara serius.

Dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, pada 16 September 2025, Fajar menyebut keputusan tersebut berpotensi menekan daya beli masyarakat, yang justru menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Kalau konsumsi rumah tangga turun, itu alarm keras buat pemerintah. Bayangkan, riset menunjukkan kontribusi konsumsi sudah merosot dari 21 persen ke 17 persen. Pertanyaannya, apakah kenaikan PPN ini sudah benar-benar berbasis riset dan perbandingan internasional yang tepat?” ujarnya.

Ia menekankan, konsumsi tidak bersifat elastis. Sekali daya beli masyarakat terpukul akibat kenaikan PPN, pemulihannya tidak otomatis kembali meski tarif diturunkan lagi.

“Begitu PPN naik, harga-harga terkerek, konsumsi melemah. Tapi ketika diturunkan lagi, konsumsi tidak serta-merta kembali. Ada resistensi. Ini berbahaya kalau tidak diperhitungkan,” paparnya.

Ia menilai pemerintah harus lebih berhati-hati memainkan pajak konsumsi, apalagi di tengah perlambatan ekonomi global. Menurutnya, kebijakan fiskal yang salah arah justru akan memperparah kondisi dan membuat Indonesia kesulitan menjaga momentum pertumbuhan.

“Jangan sampai kita bermain-main dengan instrumen pajak konsumsi hanya demi target jangka pendek. Karena yang dipertaruhkan adalah daya beli rakyat, dan itu fondasi ekonomi kita,” tegasnya. (bl)

DJP dan Ditjen AHU Sempurnakan PKS Pemanfaatan Data

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan bersama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM kembali memperkuat sinergi pemanfaatan data melalui penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) terbaru. Penandatanganan dilakukan oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dan Dirjen AHU Widodo pada 11 September 2025.

PKS ini merupakan penyempurnaan dari dua kerja sama sebelumnya, yaitu pemanfaatan basis data pemilik manfaat (beneficial ownership) periode 2019–2024, serta pangkalan data AHU Online dalam mendukung penerimaan negara periode 2020–2025.

“Penandatanganan PKS ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman Induk antara Kemenkumham dan Kemenkeu mengenai sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang hukum dan keuangan negara,” ujar Widodo dalam keterangan pers, Jumat (19/9/2025).

Sebagai implementasi, Ditjen AHU telah menyalurkan sembilan rumpun jenis data kepada DJP untuk memperkuat basis informasi perpajakan. Aliran data ini terbukti berdampak pada kegiatan penagihan pajak. Sejak 2020 hingga September 2025, DJP menerima 540.396 profil lengkap dari Ditjen AHU yang kemudian dimanfaatkan secara optimal dalam pengawasan wajib pajak.

Kontribusinya nyata. Pemanfaatan data tersebut berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp896,6 miliar ke kas negara sepanjang periode 2020–September 2025.

Penyempurnaan kerja sama ini menegaskan strategi pemerintah dalam menutup celah kepatuhan sekaligus menjaga kinerja penerimaan pajak di tengah tantangan ekonomi yang dinamis. (alf)

 

 

 

 

Pemerintah Tak Turunkan Target Pajak 2026, Wamenkeu: Ruang Improvement Masih Luas

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan target penerimaan pajak dalam revisi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 tetap Rp2.357,7 triliun. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak mengubah angka tersebut meski postur anggaran negara mengalami penyesuaian.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan keputusan itu bukan tanpa alasan. Menurutnya, pemerintah menilai masih ada ruang perbaikan di dalam sistem perpajakan nasional yang bisa dimanfaatkan untuk mengejar penerimaan tanpa menambah beban wajib pajak.

“Masih ada ruang untuk improvement, baik dari sisi kepatuhan maupun administrasi. Kita juga punya joint program dan strategi ekstensifikasi yang bisa dijalankan tanpa membebani masyarakat,” kata Anggito seusai Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Kamis (18/9/2025).

Salah satu bentuk perbaikan itu adalah implementasi Core Tax Administration System (Coretax). Anggito menyebut sistem ini mampu meningkatkan kepatuhan, mengefisienkan administrasi, sekaligus memberi kepastian bagi wajib pajak.

“Coretax membuat pembayaran lebih pasti, hak-hak wajib pajak lebih transparan dan lebih mudah terdeteksi,” ujarnya.

Anggito juga membantah kabar bahwa pemerintah tengah menyiapkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 8 persen.

“Belum ada pembicaraan internal soal penurunan tarif PPN ke 8 persen,” tegasnya.

Desakan penurunan tarif PPN sebelumnya ramai dibicarakan, salah satunya oleh CELIOS. Lembaga riset itu menilai tarif 8 persen bisa mendongkrak PDB hingga Rp133,65 triliun dan menaikkan konsumsi masyarakat sekitar 0,74 persen.

Postur RAPBN 2026 Berubah

Meski target pajak tidak diubah, pemerintah dan DPR sepakat mengutak-atik pos lain dalam RAPBN 2026. Pendapatan negara naik tipis menjadi Rp3.153,6 triliun, belanja negara melonjak menjadi Rp3.842,7 triliun, sementara defisit anggaran membengkak ke Rp689,1 triliun atau 2,68 persen dari PDB.

Dengan strategi tersebut, pemerintah berharap keseimbangan primer meningkat menjadi Rp89,7 triliun, jauh lebih tinggi dibanding rancangan awal. (alf)

 

 

Kemenkeu Optimis Coretax Bantu Capai Target Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis sistem Core Tax Administration System (Coretax) akan menjadi motor penggerak dalam mengejar target penerimaan pajak tahun 2026 yang dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun. Kepercayaan diri ini didukung dengan peningkatan anggaran dalam RAPBN 2026 serta perluasan layanan Coretax yang semakin komprehensif.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menegaskan, strategi yang ditempuh pemerintah tidak akan menambah beban wajib pajak. Sebaliknya, langkah utama yang diambil adalah pembenahan administrasi, peningkatan kepatuhan, dan pemanfaatan teknologi modern lewat Coretax.

“Kita punya beberapa strategi untuk ekstensifikasi tanpa harus memberikan beban tambahan kepada wajib pajak,” ujar Anggito seusai rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Kamis (18/9/2025).

Anggito menjelaskan, Coretax akan menghadirkan transparansi lebih baik dalam proses perpajakan. Sistem ini memudahkan wajib pajak dalam pembayaran dan pelaporan, sekaligus memperkuat kemampuan pemerintah mendeteksi potensi kewajiban pajak.

“Dengan Coretax nanti kepatuhan meningkat. Dari sisi pembayaran, kewajiban, maupun hak wajib pajak jadi lebih transparan dan lebih mudah dideteksi,” jelasnya.

Coretax Masuk PPh Tahun Depan

Sejauh ini Coretax telah digunakan untuk mengelola Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai 2026, cakupannya diperluas hingga ke Pajak Penghasilan (PPh), termasuk pelaporan SPT Tahunan PPh.

“Sekarang baru PPN, tahun depan mulai PPh. PPh jumlahnya dan kompleksitasnya lebih tinggi. Tapi secara umum, layanan PPN lewat Coretax sudah berjalan lancar. Masalah faktur, data, hingga traffic sistem sudah oke,” tambah Anggito.

Dalam RAPBN 2026, total anggaran Kemenkeu ditetapkan Rp 52,02 triliun. Dari jumlah itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerima alokasi terbesar sebesar Rp 6,26 triliun, naik Rp 832 miliar dari tahun sebelumnya.Tambahan anggaran tersebut diarahkan untuk memperkuat infrastruktur digital, keamanan data, dan pengembangan sistem Coretax.

Dengan dukungan teknologi yang semakin matang dan anggaran yang lebih besar, Kemenkeu percaya diri Coretax akan menjadi senjata utama untuk mengejar target penerimaan pajak sekaligus menciptakan sistem perpajakan yang modern, transparan, dan akuntabel. (alf)

 

 

Serikat Pekerja Tanggapi Kebijakan Bebas Pajak untuk Gaji di Bawah Rp10 Juta

IKPI, Jakarta: Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi) menyambut positif langkah pemerintah yang membebaskan pajak penghasilan (PPh 21) bagi pekerja sektor padat karya dan pariwisata dengan gaji di bawah Rp10 juta per bulan. Kebijakan ini dinilai memberi napas segar bagi jutaan pekerja yang tengah bergelut dengan tekanan biaya hidup.

Presiden Aspirasi, Mirah Sumirat, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan sekadar keringanan administrasi, melainkan tambahan ruang finansial nyata yang bisa langsung dirasakan pekerja.

“Dengan penghasilan lebih utuh dibawa pulang, pekerja bisa lebih leluasa memenuhi kebutuhan keluarga. Ini juga akan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18/9/2025).

Menurut Mirah, konsumsi rumah tangga berpotensi melonjak karena masyarakat punya daya belanja lebih besar. Efek domino dari hal itu diyakini dapat memperkuat pondasi ekonomi nasional.

Namun, ia memberi catatan tegas: jangan sampai kebijakan ini dijadikan alasan pengusaha untuk menahan kenaikan upah.

“Pemerintah perlu memastikan perusahaan tetap memenuhi kewajiban menaikkan gaji sesuai regulasi dan kondisi ekonomi. Jangan sampai insentif ini jadi tameng untuk menghindari kewajiban tersebut,” tegasnya.

Mirah juga menyinggung pentingnya keadilan fiskal. Menurutnya, pemerintah harus menutup rapat kebocoran pajak korporasi serta memperluas basis pajak pada kelompok berpenghasilan tinggi dan perusahaan besar.

“Kami akan terus mengawal agar kebijakan ini benar-benar menguntungkan pekerja sekaligus memperkuat prinsip keadilan sosial di Indonesia,” tambahnya.

Sebelumnya, pemerintah telah memutuskan untuk melanjutkan insentif PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) hingga 2026. Kebijakan ini pertama kali diberlakukan bagi pekerja padat karya bergaji di bawah Rp10 juta sejak 4 Februari 2025 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025.

Adapun untuk pekerja sektor pariwisata, pembebasan pajak akan berlaku mulai kuartal IV 2025. Pemerintah memperkirakan sekitar 2,2 juta pekerja akan merasakan manfaat kebijakan tersebut.

“Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (15/9/2025). (alf)

 

 

Menkeu Purbaya Sidak Kring Pajak, Tes Langsung Layanan Coretax Lewat Telepon

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bikin kejutan saat melakukan inspeksi mendadak terhadap layanan publik Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam momen yang terekam di akun TikTok resmi @ditjenpajakri, Jumat (19/9/2025), Purbaya terlihat menguji langsung sistem contact center Kring Pajak 1500200 dengan berpura-pura menjadi masyarakat yang butuh informasi soal sistem pajak terbaru.

Didampingi Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Purbaya mengangkat telepon dan menanyakan soal Core Tax Administration System atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP).

“Core Tax ya? Saya belum tahu tuh Core Tax, boleh ga mbak kasih tau saya kira-kira berapa lama kalau daftar Core Tax segala macam?” tanya Purbaya kepada petugas Kring Pajak.

Unggahan DJP itu bahkan menuliskan caption jenaka: “Menkeu PYS tiba-tiba ngetes bawahannya dengan telepon ke Kring Pajak 1500200 untuk mengecek keandalan sistem contact center DJP. Deg-degan ga tuh yang nerima teleponnya?”

Meski percakapan lengkapnya tidak ditampilkan, dalam video terlihat petugas Kring Pajak awalnya menyinggung soal Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang kini harus diproses lewat laman Coretax. Purbaya pun menimpali dengan gaya polos seolah benar-benar awam.

Langkah sidak ini memantik perhatian publik, mengingat Purbaya baru saja menjabat sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani. Aksinya seolah ingin memastikan bahwa pelayanan perpajakan modern yang dibangun DJP benar-benar bisa dipahami masyarakat.

Sebagai informasi, Coretax merupakan sistem administrasi terpadu yang dibangun DJP sejak Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. Sistem ini merombak total proses bisnis perpajakan berbasis teknologi COTS (Commercial Off-the-Shelf), mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan.

Melalui sistem Coretax, pemerintah berharap pelayanan perpajakan jadi lebih cepat, transparan, dan mudah diakses. Wajib Pajak bisa mengakses layanan tersebut lewat laman resmi coretaxdjp.pajak.go.id.

Dengan gaya yang nyeleneh namun serius, inspeksi mendadak Menkeu Purbaya ini sekaligus mengirim sinyal tegas pelayanan pajak harus ramah, siap, dan benar-benar membantu masyarakat kapan pun dibutuhkan. (alf)

 

 

PMK 37/2025 Dinilai Tutup Celah Penghindar Pajak di E-Commerce

IKPI, Jakarta: Lonjakan transaksi perdagangan digital di Indonesia akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini menugaskan marketplace menjadi pemungut pajak atas transaksi para pedagang online (merchant) dengan tarif 0,5 persen.

Kepala Grup Tax BCA, Yuandri Martua Philip, menyebut PMK 37/2025 sebagai tonggak penting dalam reformasi perpajakan digital. Menurutnya, regulasi ini bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme untuk menutup celah yang selama ini membuat banyak transaksi e-commerce lolos dari radar pajak.

“Sebelumnya, ketika marketplace membayar hasil penjualan kepada merchant, 100 persen diteruskan tanpa potongan pajak. Hanya dipotong biaya manajemen. Dengan PMK 37, marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak. Jadi nomor 12 sampai 100 yang selama ini bebas, kini mulai bisa tersentuh,” kata Yuandri dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Yuandri menjelaskan, aturan ini merupakan kelanjutan dari wacana sejak 2013 ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran 62. Saat itu, pemajakan e-commerce hanya menyentuh penyelenggara marketplace, bukan pedagang di dalamnya. Upaya lanjutan melalui PMK 210/2018 sempat ditolak keras oleh asosiasi e-commerce dan akhirnya dibatalkan.

“Dari situ kita belajar. Penolakan terjadi karena kurang sosialisasi dan pemahaman. Sekarang pemerintah sudah jauh lebih matang, ada edukasi, ada komunikasi, dan yang paling penting: penekanan bahwa ini bukan pajak baru. Sama sekali tidak menaikkan harga barang. Hanya mekanisme pemungutan yang berbeda,” jelasnya.

Dalam PMK 37, marketplace besar yang memiliki omzet lebih dari Rp600 juta per tahun atau trafik lebih dari 12 ribu akses per tahun wajib menjadi pemungut pajak. Bahkan marketplace luar negeri juga bisa ditunjuk apabila memenuhi kriteria. Bukti pemungutan pajak cukup berupa invoice digital yang diterbitkan marketplace, sehingga bisa dikreditkan oleh wajib pajak badan maupun UMKM.

Namun, Yuandri menegaskan tantangan terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada kesiapan sistem dan keamanan data.

“Marketplace harus menyiapkan sistem pemungutan, ini butuh biaya. Lalu, keamanan data juga sangat penting. Jangan sampai terjadi kebocoran data nasabah atau pedagang. Kalau dua hal ini terjaga, aturan bisa berjalan mulus,” ungkapnya.

Yuandri menambahkan, PMK 37/2025 juga punya tujuan besar: menciptakan level playing field antara pelaku usaha digital dan konvensional. Selama ini, perusahaan besar selalu taat memotong dan menyetor pajak ketika menggunakan jasa luar negeri, sementara individu yang bertransaksi dengan platform global seperti Google atau Facebook sering luput dari kewajiban.

“Dengan aturan ini, fairness bisa lebih tercapai. Semua yang menikmati pertumbuhan ekonomi digital ikut berkontribusi. Inilah cara menutup kebocoran, sambil memastikan teko pajak kita terisi penuh,” ujarnya. (bl)

 

Pajak Minimum Global Berlaku, Indonesia Hadapi Tantangan Baru

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi memasuki era baru perpajakan internasional dengan mulai berlakunya Global Minimum Tax (GMT) pada 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengadopsi kesepakatan global di bawah kerangka OECD.

Vice Managing Partner of PB Taxand, Didit Permana Adi Saputra, menyebut kebijakan GMT bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme baru untuk memastikan perusahaan multinasional membayar pajak sesuai standar minimum global.

“Konsep ini disebut GLOBE atau Global Anti-Base Erosion Rules. Intinya, grup usaha dengan pendapatan konsolidasi di atas 750 juta euro wajib membayar pajak minimal 15 persen di seluruh dunia,” ujar Didit dalam diskusi perpajakan di Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Didit menuturkan, GMT bekerja melalui mekanisme top up tax. Jika sebuah entitas di suatu negara hanya dikenakan pajak efektif di bawah 15 persen, maka perusahaan wajib menambah bayarannya hingga mencapai batas minimal tersebut. Skema ini dijalankan dengan tiga instrumen utama, yakni Income Inclusion Rule (IIR), Undertaxed Payment Rule (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT).

Meski cakupannya di Indonesia relatif terbatas, diperkirakan kurang dari 1.000 perusahaan namun korporasi yang terkena aturan ini adalah pemain besar. Karena itu, dampaknya terhadap penerimaan negara tetap signifikan.

“Kalau Indonesia tidak ikut menerapkan, justru pajak dari perusahaan yang beroperasi di sini akan dipungut negara lain yang sudah lebih dulu memberlakukan GMT. Itu jelas merugikan kita,” kata Didit

Namun di balik peluang menambah penerimaan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Pertama, GMT berpotensi mengurangi daya tarik insentif fiskal nasional seperti tax holiday atau keringanan pajak lain. “Di satu sisi kita ingin menarik investasi dengan insentif. Tapi di sisi lain, kalau tarif efektif jatuh di bawah 15 persen, perusahaan tetap harus top up. Insentif kita jadi kurang menarik,” jelasnya.

Tantangan kedua adalah peningkatan beban administrasi. Perusahaan multinasional tidak hanya wajib menyampaikan SPT tahunan, tetapi juga laporan tambahan seperti SPT PPh GLOBE dan dokumen Globe Information Return. Hal ini menuntut kesiapan administrasi dan sistem kepatuhan yang lebih kompleks.

Didit menambahkan, implementasi GMT juga bisa berdampak pada sinkronisasi regulasi domestik dengan aturan internasional. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, justru ada risiko sebagian potensi penerimaan Indonesia mengalir ke negara lain.

Meski demikian, ia menekankan bahwa kebijakan ini membawa manfaat strategis jangka panjang. GMT mencegah praktik profit shifting, menciptakan level playing field antarnegara, melindungi basis pajak domestik, serta memastikan keadilan perpajakan global.

“Kesimpulannya, mau tidak mau kita harus ikut. Tantangan pasti ada, tapi kalau kita tidak ikut, kerugiannya lebih besar. Indonesia harus segera menyiapkan strategi insentif baru yang selaras dengan GMT agar tetap kompetitif menarik investasi,” ujarnya. (bl)

en_US