Kemenkeu: Realisasi Penerimaan Pajak Kaltim Turun 4,13%

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Provinsi Kalimantan Timur mencatat realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2024 mencapai Rp39,25 triliun atau 97,40% dari target. Namun, capaian ini menunjukkan penurunan sebesar 4,13% dibandingkan tahun 2023.

Kepala Kanwil DJPb Kaltim, M. Syaibani, menyebut penurunan tersebut dipengaruhi oleh turunnya harga batu bara di pasar global dan pembayaran Pajak Penghasilan Badan Pasal 25/29. “Secara umum, penerimaan pajak dalam negeri masih didominasi oleh wajib pajak badan dan bendahara pemerintah, dengan sektor pertambangan sebagai kontributor terbesar,” ujar Syaibani, Minggu (26/1/2025).

Meskipun penerimaan pajak mengalami penurunan, realisasi pajak perdagangan internasional di Kalimantan Timur justru melampaui target. Realisasi mencapai Rp2,23 triliun atau 100,98% dari target, didorong peningkatan Bea Keluar akibat kenaikan harga crude palm oil (CPO) pada akhir 2024.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga mencatatkan hasil positif dengan realisasi sebesar Rp3,44 triliun, atau 156,82 persen dari target, meningkat 7,94 persen dibanding tahun sebelumnya.

“Peningkatan capaian PNBP bersumber dari pendapatan jasa kepelabuhanan, jasa layanan pendidikan, serta PNBP lainnya,” kata Syaibani.

Belanja APBN Didominasi Pembangunan IKN

Realisasi belanja APBN melalui kementerian/lembaga di Kalimantan Timur mencapai Rp50,62 triliun, atau 95,61% dari total pagu sebesar Rp52,94 triliun. Peningkatan belanja sebesar 43,04% dibandingkan tahun sebelumnya ini didorong oleh belanja modal untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Pekerjaan pembangunan IKN sepanjang 2024 makin masif, sehingga mendorong pertumbuhan belanja modal yang signifikan,” ujarnya.

Dengan penerimaan dan belanja yang terus dioptimalkan, DJPb Kaltim berkomitmen menjaga stabilitas fiskal dan mendukung percepatan pembangunan di wilayah tersebut, terutama dalam mewujudkan IKN sebagai pusat pemerintahan masa depan. (alf)

PMK 118/2024 Atur Ketentuan Pembetulan Surat Ketetapan Pajak: Ini Isi Lengkapnya!

IKPI, Jakarta: Mulai 1 Januari 2025, Wajib Pajak dapat mengajukan pembetulan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2024. Regulasi ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam mengoreksi kesalahan administratif atau substantif pada dokumen perpajakan.

Berikut adalah ketentuan yang diatur dalam PMK tersebut:

1. Jenis Dokumen yang Dapat Diajukan Pembetulan

Direktur Jenderal Pajak, baik atas permohonan Wajib Pajak maupun atas jabatannya, dapat membetulkan berbagai dokumen perpajakan, antara lain:

• Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),

• Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),

• Surat Tagihan Pajak (STP),

• Surat Keputusan Keberatan,

• Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi,

• Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB,

• Surat Keputusan Persetujuan Bersama, dan lainnya.

2. Kriteria Kesalahan yang Dapat Diajukan Pembetulan

Kesalahan Tulis

Kesalahan tulis mencakup data administratif yang tidak memengaruhi jumlah pajak terutang, seperti:

• Nama, alamat, atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

• Nomor objek pajak, lokasi objek pajak, atau sektor/subsektor objek pajak;

• Masa atau tahun pajak;

• Tanggal jatuh tempo;

• Jenis pajak atau nomor ketetapan.

Kesalahan Hitung

Kesalahan hitung mencakup:

• Kesalahan dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian, atau pembagian angka;

• Kesalahan yang muncul akibat dokumen perpajakan lain yang terkait, seperti SKP atau STP.

Kekeliruan Penerapan Ketentuan Perundang-Undangan

Kekeliruan dalam penerapan peraturan meliputi:

• Kesalahan penerapan tarif pajak, norma penghitungan penghasilan neto, atau kurs valuta asing;

• Kesalahan dalam pengkreditan pajak atau penghitungan pajak penghasilan;

• Kekeliruan dalam pemberian pengurangan pokok PBB atau penghitungan nilai jual objek pajak.

3. Prosedur Pengajuan Pembetulan

Wajib Pajak yang ingin mengajukan pembetulan dapat mengajukannya ke DJP dengan melampirkan bukti pendukung. Proses ini bertujuan untuk memperbaiki kesalahan administrasi maupun substantif sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dengan diberlakukannya PMK 118/2024, diharapkan Wajib Pajak dapat lebih mudah memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam dokumen perpajakan mereka, sehingga tercipta transparansi dan akurasi dalam pelaksanaan kewajiban pajak. (alf)

Kanwil DJP Jawa Barat I Kukuhkan 342 Relawan Pajak Renjani 2025

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat I mengukuhkan sebanyak 342 Relawan Pajak Untuk Negeri (Renjani) tahun 2025 dalam acara yang berlangsung secara hybrid di Aula Lantai 3 Kanwil DJP Jawa Barat I, baru-baru ini. Para relawan ini berasal dari 28 Tax Center perguruan tinggi yang telah menjalin kerja sama dengan Kanwil DJP Jawa Barat I.

Kegiatan ini dihadiri secara langsung oleh Tax Center dari wilayah Bandung Raya dan Cianjur, sementara peserta lainnya mengikuti secara daring melalui Microsoft Teams.

Kepala Kanwil DJP Jawa Barat I, Kurniawan Nizar, menyampaikan bahwa program Renjani merupakan peluang besar bagi generasi muda untuk belajar, berkontribusi, dan membawa perubahan positif bagi negeri.

“Jadilah inspirasi dan teladan bagi masyarakat. Mari kita tunjukkan bahwa generasi muda Indonesia memiliki kepedulian dan tanggung jawab besar untuk membangun negeri,” ujar Nizar.

Nizar juga mengapresiasi kontribusi aktif pengurus Tax Center sebagai mitra strategis DJP dalam meningkatkan literasi dan kesadaran pajak di masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa.

Selain pengukuhan relawan tahun 2025, Kanwil DJP Jawa Barat I juga menutup program Renjani tahun 2024. Pada kesempatan tersebut, apresiasi diberikan kepada relawan pajak terbaik tahun 2024 berdasarkan poin aktivitas tertinggi.

• Peringkat 1: Putri Utami (Universitas Muhammadiyah Bandung)

• Peringkat 2: Siti Halimah (Universitas Nusa Putra)

• Peringkat 3: Rahma Wardatul Jamilah (Universitas Nusa Putra)

Pembekalan Relawan Pajak 2025

Dalam rangka persiapan penugasan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), para relawan pajak tahun 2025 menerima pembekalan terkait tugas yang akan dijalankan serta penilaian kegiatan Renjani. Kanwil DJP Jawa Barat I juga mengumumkan lokasi penempatan relawan untuk mendukung pelaksanaan program ini.

Dengan pengukuhan ini, Kanwil DJP Jawa Barat I berharap para relawan dapat menjadi garda terdepan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kepatuhan pajak demi pembangunan bangsa. (alf)

DJP Sumut I Tanggapi Keluhan Keluhan Wajib Pajak Terkait Coretax

IKPI, Jakarta: Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Utara (Sumut I), Arridel Mindra, mengungkapkan adanya berbagai keluhan dari wajib pajak terkait penerapan sistem layanan pajak terbaru, Coretax, yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2025. Keluhan tersebut, menurutnya, tersebar di wilayah Sumatera Utara, dan menjadi perhatian utama bagi pihak otoritas pajak.

Arridel menyampaikan hal tersebut dalam konferensi pers bertajuk “APBN Kita Regional Sumatera Utara” yang digelar di Gedung Keuangan Negara (GKN) Medan baru-baru ini. Meskipun ada sejumlah laporan mengenai kendala yang dihadapi wajib pajak, Arridel memastikan bahwa pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus bekerja keras untuk menangani dan memperbaiki kelemahan yang dilaporkan oleh wajib pajak.

“Para wajib pajak mengeluhkan beberapa hal terkait dengan sistem Coretax yang baru diterapkan. Namun, kami di DJP terus berupaya untuk menangani masalah ini. Kami juga mendengarkan keluhan dan saran dari wajib pajak untuk terus memperbaiki sistem ini,” ujar Arridel dalam kesempatan tersebut.

Ketika ditanya tentang jumlah wajib pajak yang mengeluhkan serta rincian keluhan tersebut, Arridel mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki data numerik spesifik. Hal ini disebabkan karena keluhan dan pengaduan wajib pajak terkait sistem Coretax secara langsung terpusat melalui sistem di DJP Kementerian Keuangan.

Namun, menurut informasi yang diterima dari Kanwil DJP Sumut, tidak semua keluhan terkait dengan kelemahan teknis sistem Coretax. Beberapa wajib pajak, lanjut Arridel, mengeluhkan kesulitan karena kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan sistem baru ini.

“Beberapa keluhan memang lebih disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap penggunaan sistem baru, bukan hanya soal kelemahan sistem itu sendiri. Namun, kami pastikan semua keluhan tersebut kami tampung dan terus melakukan perbaikan yang diperlukan,” jelas Arridel.

Sistem Coretax ini sendiri diterapkan oleh DJP dengan tujuan untuk meningkatkan keandalan dan kenyamanan layanan perpajakan di Indonesia. Meskipun demikian, penerapan sistem baru ini memang memerlukan adaptasi dari berbagai pihak, termasuk wajib pajak, yang seringkali menghadapi tantangan dalam memahami dan memanfaatkan teknologi baru tersebut.

DJP pun berkomitmen untuk terus menyempurnakan sistem ini agar pelayanan perpajakan menjadi lebih efektif dan efisien bagi seluruh masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Utara. (alf)

PMK tentang Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai Berlaku 30 Januari 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 115 Tahun 2024 tentang Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai. Peraturan ini diundangkan pada 31 Desember 2024 dan akan mulai berlaku pada 30 Januari 2025.

Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan tata kelola penagihan utang di sektor kepabeanan dan cukai.
Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Budi Prasetiyo, menyatakan bahwa PMK ini bertujuan memperluas cakupan objek penagihan serta menyederhanakan prosedur birokrasi, seperti pemblokiran dan penyitaan harta. “Aturan ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum sekaligus mempermudah proses penagihan, sehingga mampu mendukung optimalisasi penerimaan negara,” ungkap Budi dalam keterangan resminya yang diterima, Minggu (26/01/2025).

Sekadar informasi, PMK 115/2024 mengatur tiga aspek utama, yaitu:
• Prinsip Penagihan: Memperluas cakupan objek penagihan, mengatur tugas dan wewenang juru sita, serta pembagian subjek utang.
• Pelaksanaan Penagihan: Mengubah jangka waktu penerbitan surat teguran, memperluas wilayah penagihan yang melibatkan Kantor Pelayanan Utama (KPU) dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC), serta memberikan kewenangan tambahan kepada Direktur Jenderal Bea Cukai untuk melimpahkan tanggung jawab penagihan.
• Ketentuan Pendukung: Mengintegrasikan sistem penagihan secara elektronik melalui CEISA 4.0, memperkenalkan mekanisme pemblokiran layanan publik tertentu, dan menetapkan masa kedaluwarsa terhadap kewajiban membayar.
Sistem CEISA 4.0 menjadi inovasi kunci untuk mempermudah pengelolaan penagihan secara digital, meningkatkan efisiensi, dan memperketat pengawasan terhadap utang kepabeanan dan cukai.

Budi menekankan bahwa PMK ini mendukung dunia usaha dengan memberikan kepastian hukum, menjaga kelancaran arus perdagangan, dan melindungi masyarakat dari potensi penyalahgunaan dalam penagihan utang. Peraturan ini juga memberikan kewenangan tambahan kepada Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai untuk menunjuk juru sita dan memantau pelaksanaan penagihan di wilayah masing-masing.

“Dengan implementasi PMK ini, diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara kepentingan negara, pelaku usaha, dan masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, Bea Cukai akan terus berperan strategis dalam memastikan implementasi peraturan ini berjalan lancar.
Budi mengajak seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mendukung kebijakan ini.

“Kami berharap dukungan penuh dari semua pihak untuk menyukseskan implementasi PMK Nomor 115 Tahun 2024, demi menciptakan tata kelola penagihan yang transparan, akuntabel, dan efisien,” katanya.
Dengan berlakunya PMK ini, pemerintah optimistis dapat mendorong optimalisasi penerimaan negara sekaligus meningkatkan pelayanan publik di sektor kepabeanan dan cukai. (alf)

Penghapusan Utang hingga Insentif Pajak jadi Capaian Kinerja 100 Hari Kementerian UMKM 

IKPI, Jakarta: Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman memaparkan capaian signifikan kementeriannya dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Fokus kebijakan yang dijalankan mencakup penghapusan utang pelaku UMKM, pemberian insentif pajak, hingga pelibatan UMKM dalam berbagai program strategis pemerintah.

“Terkait penghapusan piutang kepada pengusaha-pengusaha UMKM, agar yang dulunya sama sekali nggak punya kemampuan membayar, masuk dalam daftar hitam di bank, sekarang diputihkan supaya mereka bisa bergerak lagi,” kata Maman saat menghadiri acara Rampinas PIRA di Jakarta pada Sabtu, (25/1/2025).

Selain itu, pemerintah juga memperpanjang masa berlaku insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen bagi UMKM dengan omzet tahunan Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar. Langkah ini, menurut Maman, adalah bentuk tindakan afirmatif untuk mendukung keberlanjutan UMKM di tengah dinamika ekonomi.

Program strategis lain yang disoroti adalah keterlibatan UMKM dalam inisiatif pemerintah, seperti Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Bahkan, pemerintah berencana membuka ruang bagi pelaku UMKM untuk berpartisipasi dalam pembangunan 3 juta unit perumahan.

“Ini adalah bentuk keberpihakan nyata terhadap ekonomi kerakyatan. Pemerintah ingin memastikan UMKM menjadi bagian integral dalam pembangunan nasional,” tambahnya.

Capaian pemerintahan Prabowo Subianto ini mendapatkan apresiasi luas dari masyarakat. Berdasarkan survei Litbang Kompas pada 4-10 Januari 2025, sebanyak 80,9 persen responden di 38 provinsi menyatakan puas dengan kinerja pemerintah dalam 100 hari terakhir, sementara hanya 19,1 persen yang merasa sebaliknya.

Langkah-langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional, serta mewujudkan pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. (alf)

Indodax Klaim Kontribusi Rp490,06 Miliar pada Penerimaan Pajak Kripto Nasional 

IKPI, Jakarta: Indodax, perusahaan pertukaran aset kripto terbesar di Indonesia, melaporkan kontribusinya terhadap penerimaan pajak negara selama tiga tahun terakhir mencapai Rp490,06 miliar. Hal ini setara dengan 44,96 persen dari total pajak kripto nasional yang tercatat sebesar Rp1,09 triliun pada periode 2022-2024.

CEO Indodax Oscar Darmawan, menyatakan pemerintah Indonesia menerima pajak dari transaksi aset kripto sebesar Rp246,45 miliar pada 2022, Rp220,83 miliar pada 2023, dan melonjak menjadi Rp620,4 miliar pada 2024.

Lonjakan transaksi aset kripto menjadi faktor utama peningkatan ini, dengan total nilai transaksi mencapai Rp556,53 triliun sepanjang Januari hingga November 2024, meningkat 352,89 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Indodax berhasil menyumbang hampir setengah dari total pajak kripto nasional, dengan kontribusi mencapai Rp490,06 miliar,” ujar Oscar dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (26/1/2025).

Pada November 2024, volume transaksi Indodax tercatat sebesar Rp21,28 triliun, yang terus meningkat menjadi Rp23,76 triliun pada Desember 2024.

Oscar menegaskan bahwa tren ini mencerminkan pesatnya pertumbuhan sektor aset kripto di Indonesia.

Meski demikian, Oscar menggarisbawahi pentingnya kebijakan yang lebih mendukung industri ini, terutama penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk transaksi aset kripto. Menurutnya, jika PPN dihapuskan, volume perdagangan kripto di Indonesia dapat meningkat signifikan.

“Tanpa PPN, masyarakat akan lebih leluasa bertransaksi, sehingga volume perdagangan kripto berpotensi melonjak dua hingga tiga kali lipat. Hal ini akan berdampak langsung pada peningkatan penerimaan pajak negara,” jelasnya.

Oscar juga membandingkan sifat aset kripto dengan instrumen keuangan lainnya yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana produk keuangan pada umumnya tidak dikenakan PPN.

Ia berharap kripto mendapatkan perlakuan yang sama untuk mendukung pertumbuhan industri serta memberikan dampak ekonomi yang lebih besar.

“Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan ini agar ekosistem kripto Indonesia semakin kompetitif dan mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” kata Oscar. (alf)

Capaian Kinerja Perpajakan 2024 di DKI Jakarta Tunjukan Hasil Positif 

IKPI, Jakarta: Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi DKI Jakarta menggelar konferensi pers daring mengenai kinerja perpajakan untuk periode hingga Desember 2024. Acara ini dilaksanakan melalui aplikasi Microsoft Teams, dihadiri oleh perwakilan Kementerian Keuangan di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Forkopimda, Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, Otoritas Jasa Keuangan, akademisi, serta media, baru-baru ini.

Kepala Seksi Data dan Potensi Kanwil DJP Jakarta Timur Dwi Krisnanto, memaparkan pencapaian kinerja perpajakan di wilayah DKI Jakarta yang menunjukkan hasil positif. Hingga 31 Desember 2024, pendapatan pajak pusat di DKI Jakarta tercatat mencapai Rp1.799,54 triliun atau 110,53% dari target, dengan kenaikan 0,79% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu kontributor utama dengan pertumbuhan positif sebesar 8,12% (y-o-y), mencerminkan membaiknya aktivitas ekonomi dan konsumsi domestik. Namun, Pajak Penghasilan (PPh) Migas dan Non-Migas mengalami kontraksi, masing-masing sebesar 2% dan 5,31%, akibat penurunan lifting minyak dan gas bumi serta dampak dari kontraksi PPh 25/29 Badan.

Dwi Krisnanto juga mengungkapkan bahwa sektor pajak lainnya menunjukkan tren positif. PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi tumbuh 19,23%, didorong oleh meningkatnya gaji, upah, dan lapangan kerja baru. Sementara itu, PPh Pasal 21 mengalami kenaikan signifikan sebesar 20,5%, seiring dengan implementasi skema penarikan pajak efektif rata-rata (TER). PPN Dalam Negeri dan Impor juga tumbuh kokoh berkat menipisnya restitusi pajak pada sektor industri pengolahan dan pertambangan, serta membaiknya kinerja sektor perdagangan.

Selain itu, Kanwil DJP Jakarta Selatan I melaporkan penerimaan pajak yang sangat menggembirakan pada Desember 2024. Penerimaan mencapai Rp12,03 triliun, tumbuh 51,11% dibandingkan tahun sebelumnya. Capaian ini menjadikan total penerimaan Kanwil DJP Jakarta Selatan I sepanjang 2024 sebesar Rp95,76 triliun, atau 100,21% dari target yang ditetapkan.

Kanwil DJP Jakarta Selatan I menyatakan komitmennya untuk terus berperan aktif dalam mendukung APBN melalui penerimaan pajak yang optimal, serta memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak. (alf)

Pemerintah Siap Perkuat Ekonomi Domestik Pasca Penolakan Kesepakatan Pajak Global oleh AS

IKPI, Jakarta: Pemerintah berkomitmen memperkuat resiliensi perekonomian domestik menyusul penolakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap kesepakatan Solusi Dua Pilar Pajak Global. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia akan menghormati langkah AS di bawah kepemimpinan presiden terpilihnya, meskipun dampaknya berpotensi memengaruhi perekonomian global.

“Mengenai masalah pajak atau tarif, kami akan melihat bagaimana Presiden Trump akan memberlakukan berbagai kebijakan yang telah dijanjikan. Kemudian, kami terus memperbaiki dan memperkuat resiliensi dari perekonomian kita,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Jumat (24/1/2025).

Pemerintah juga telah menjalin koordinasi erat dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk memastikan kestabilan sistem keuangan dalam negeri.

Langkah-langkah strategis lain mencakup mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.

Indonesia Terapkan Pajak Minimum Global di 2025

Salah satu isu utama dalam kesepakatan pajak global adalah penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen bagi perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta Euro. Hingga kini, lebih dari 40 negara telah menerapkan kebijakan tersebut, dengan mayoritas pelaksanaan pada tahun 2025.

Indonesia juga akan mulai mengimplementasikan pajak minimum global sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024, yang ditandatangani oleh Sri Mulyani pada 31 Desember 2024.

Dampak Kebijakan AS terhadap Pasar Global

Kebijakan fiskal AS di bawah kepemimpinan Trump, yang bersifat ekspansif, dinilai meningkatkan ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini memengaruhi ekspektasi terkait penurunan Fed Funds Rate (FFR), mempertahankan yield US Treasury pada tingkat tinggi, dan mendorong penguatan indeks mata uang dolar AS (DXY). Kondisi ini turut memberikan tekanan terhadap berbagai mata uang dunia.

Selain itu, ketegangan politik global yang meningkat menyebabkan investor lebih memilih aset keuangan AS. Meski begitu, kebijakan ekonomi Trump pasca pelantikan dipandang lebih moderat dibandingkan ekspektasi pasar sebelumnya.

Fokus pemerintah tetap pada penguatan ekonomi nasional di tengah prediksi stagnasi pertumbuhan ekonomi global sebesar 3,3 persen pada 2025, sebagaimana proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF).

Pemerintah Indonesia akan terus memantau perkembangan dinamika global serta menyiapkan langkah-langkah antisipasi yang diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. (alf)

Menkeu: Pajak Minimum Global Dorong Iklim Investasi yang Kompetitif dan Sehat

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa penerapan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) bertujuan menciptakan iklim investasi yang lebih kompetitif dan sehat. Hal ini dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024.

“Kami terus memperbaiki iklim investasi agar lebih kompetitif dan sehat, salah satunya dengan menerbitkan PMK 136/2024 tentang Pajak Minimum Global,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, kemarin.

PMK tersebut menetapkan tarif minimum pajak sebesar 15 persen bagi wajib pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional dengan omzet konsolidasi global minimal 750 juta euro. Kebijakan ini mulai diberlakukan pada tahun pajak 2025.

Penguatan Pilar 2 G20

GMT adalah bagian dari Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), kesepakatan yang dicapai oleh negara-negara G20 dan dikoordinasikan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).

Saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan aturan serupa, sebagian besar mulai berlaku pada 2025.

“Perusahaan yang memanfaatkan fasilitas tax holiday tetap akan dikenakan pajak tambahan minimum domestik sesuai PMK 69/2024,” kata Sri Mulyani.

Untuk wajib pajak yang memenuhi kriteria, jika tarif pajak efektif mereka kurang dari 15 persen, maka mereka diwajibkan membayar pajak tambahan (top up tax) paling lambat akhir tahun pajak berikutnya.

Sebagai contoh, wajib pajak untuk tahun pajak 2025 harus melunasi pajak tambahan paling lambat 31 Desember 2026.

Pelaporan pajak minimum global wajib dilakukan maksimal 15 bulan setelah tahun pajak berakhir.

Namun, khusus tahun pertama penerapan GMT, pemerintah memberikan kelonggaran waktu hingga 18 bulan. Artinya, wajib pajak tahun 2025 dapat melaporkan kewajibannya paling lambat 30 Juni 2027, sementara tahun pajak 2026 dilaporkan maksimal 31 Maret 2028.

Menkeu menambahkan, pemerintah akan memberikan insentif kepada sektor-sektor strategis yang menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi untuk menjaga daya saing.

“Kami berharap kebijakan ini dapat mendorong terciptanya kompetisi yang sehat sekaligus memastikan kontribusi perpajakan yang adil dari perusahaan multinasional,” ujarnya. (alf)

en_US