IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld memberikan dukungan penuh kepada kepengurusan baru Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI) masa bakti 2025–2030. Ia meyakini, organisasi tersebut mampu menjadi kekuatan baru dalam memperkuat sinergi dan profesionalitas konsultan pajak di Indonesia.
“Kami, keluarga besar IKPI, mengucapkan selamat dan sukses atas pelantikan pengurus P3KPI masa bakti 2025–2030 sekaligus peringatan hari ulang tahun ke-5 P3KPI,” ujar Vaudy, Jumat (10/10/2025).
Vaudy menilai tema yang diangkat P3KPI, “Soliditas untuk Tumbuh Bersama dan Berkelanjutan,” mencerminkan semangat yang dibutuhkan dunia perpajakan saat ini. Menurutnya, soliditas antarpraktisi menjadi fondasi penting dalam meningkatkan kompetensi dan kontribusi nyata bagi pembangunan ekonomi nasional.
“Kami percaya P3KPI akan semakin kokoh dalam membangun kolaborasi antarpraktisi, meningkatkan kompetensi, serta memberi kontribusi nyata bagi kemajuan profesi dan pembangunan ekonomi nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, Vaudy mengajak seluruh anggota P3KPI untuk terus meneguhkan komitmen bersama, bersatu dalam soliditas, bertumbuh dalam profesionalitas, serta berkelanjutan dalam kontribusi terhadap negeri.
“Selamat bertugas, selamat berjuang, dan selamat ulang tahun ke-5 P3KPI!” kata Vaudy. (bl)
IKPI, Jakarta: Kolaborasi erat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terbukti bukan sekadar seremoni. Sepanjang 2020–2025, sinergi tiga lembaga strategis itu berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp18,47 triliun.
Capaian tersebut disampaikan dalam acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DJP, PPATK, dan BPKP di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Gedung Mar’ie Muhammad, Jakarta, Kamis (9/10). Acara ini turut dihadiri langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan pentingnya kolaborasi lintas lembaga untuk memperkuat tata kelola keuangan negara.
Penandatanganan kali ini mencakup dua perjanjian utama: antara DJP dan PPATK, serta DJP dengan BPKP. Kerja sama tersebut meliputi pembentukan satuan tugas (Satgas), pertukaran data strategis, hingga asistensi penanganan perkara penting di bidang penegakan hukum pajak dan keuangan negara.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut langkah ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah memperkuat integritas fiskal melalui pemanfaatan data hasil analisis keuangan dari PPATK dan hasil audit pengawasan dari BPKP.
“Dengan terjalinnya kerja sama ini, koordinasi antarinstansi diharapkan semakin solid. Tujuan akhirnya jelas: peningkatan penerimaan negara dan perlindungan sumber daya alam dapat dilakukan secara optimal serta berintegritas,” ujar Bimo, dikutip Jumat (10/10/2025).
Lebih dari sekadar menambah penerimaan pajak, pembentukan Satgas ini juga sejalan dengan strategi nasional dalam memperkuat pengawasan kawasan hutan dan menjaga kedaulatan sumber daya alam agar dikelola secara berkelanjutan.
Bimo memberikan apresiasi kepada seluruh tim dari DJP, PPATK, dan BPKP atas kontribusi nyata dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.
Ia menegaskan, kolaborasi ini bukan proyek jangka pendek, melainkan fondasi baru dalam membangun sistem keuangan negara yang tangguh, bersih, dan berpihak pada kepentingan publik.
“Sinergi ini bukan hanya tentang angka Rp18 triliun, tetapi tentang membangun kepercayaan dan memperkuat fondasi ekonomi Indonesia ke depan,” pungkasnya. (alf)
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (Foto: Istimewa)
IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerima kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia serta Kepala Badan Pengaturan (BP) BUMN Dony Oskaria di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Pertemuan tertutup yang berlangsung selama sekitar satu jam sejak pukul 10.00 WIB itu turut dihadiri Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara beserta jajaran. Ketiganya membahas isu panas: kompensasi energi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.
“Kita bahas mengenai pembayaran kompensasi, kompensasi energi,” ujar Suahasil kepada wartawan usai rapat.
Menurut Suahasil, pembahasan ini merupakan tindak lanjut dari rapat sebelumnya antara Menkeu Purbaya dan Komisi XI DPR RI. Fokus utama adalah tagihan kompensasi tahun 2024 yang masih menggantung dan perlu segera diselesaikan.
“Karena ada angka 2024 yang sudah ditetapkan oleh BPK. Itu tadi sudah dilaporkan, termasuk untuk triwulan I dan triwulan II. Semuanya berkaitan dengan pembayaran kompensasi energi,” jelasnya.
Suahasil memastikan pemerintah segera menuntaskan kewajiban tersebut setelah proses verifikasi dan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rampung.
“Untuk kompensasi triwulan II sudah diselesaikan oleh BPK, jadi bisa segera dibayarkan kepada Badan Usaha. Angkanya sudah ada, nanti disampaikan dan dibayarkan,” tegasnya.
Pembayaran kompensasi energi menjadi perhatian serius pemerintah mengingat beban subsidi dan kompensasi energi kerap menekan anggaran negara. Dengan penyelesaian tagihan 2024 dan triwulan II ini, diharapkan hubungan keuangan antara pemerintah dan badan usaha energi bisa kembali seimbang menjelang penutupan tahun anggaran. (bl)
IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, rencana penerapan pajak terhadap kegiatan niaga elektronik (e-commerce) belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Menurutnya, kebijakan tersebut baru akan dijalankan jika perekonomian nasional telah pulih sepenuhnya dan tumbuh di atas 6 persen.
“Saya bilang akan kita jalankan kalau ekonomi sudah recover. Mungkin kita sudah akan recover. Tapi belum recover fully. Let’s say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk memulai pemungutan pajak terhadap sektor tertentu sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan. “Kan menterinya saya,” ucapnya.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan skema pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi pedagang daring sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Namun, kebijakan itu belum diberlakukan menunggu kondisi ekonomi yang dinilai lebih siap.
Pajak tersebut bukan jenis pajak baru, melainkan penyederhanaan mekanisme administrasi agar setara dengan pelaku usaha konvensional. Bagi pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun, tetap berlaku tarif pajak 0,5 persen, baik bersifat final maupun tidak final.
Dalam rancangan PMK itu, pemungutan dilakukan oleh platform atau lokapasar tempat pedagang bertransaksi. Tujuannya adalah mempermudah kepatuhan pajak, menyamakan perlakuan antar pelaku usaha, dan menutup celah ekonomi tersembunyi (shadow economy) yang sering terjadi di sektor digital.
Kemenkeu menegaskan, fokus utama aturan ini bukan untuk meningkatkan penerimaan, melainkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana dan transparan di ranah ekonomi digital. (bl)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali bersih-bersih internal. Setelah resmi memecat 26 pegawai bermasalah, kini giliran 13 pegawai pajak lain yang tengah diperiksa atas dugaan pelanggaran serius.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa proses penegakan disiplin di tubuh DJP tidak berhenti di pemecatan sebelumnya. Ia memastikan langkah bersih-bersih akan terus berlanjut demi menjaga integritas lembaga.
“Masih ada 13 lagi yang kami proses. Nanti akan berkembang, jadi enggak cuma segitu,” ujar Bimo di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).
Bimo mengakui, jumlah pegawai yang diperiksa bisa saja bertambah seiring pendalaman investigasi. Namun, ia berharap ke depan seluruh aparatur pajak bisa menjalankan tugas sesuai aturan.
“Mudah-mudahan sih setop, kalau orangnya sudah baik-baik semua,” tambahnya.
Meski enggan membeberkan detail “dosa” para pegawai yang telah dipecat, Bimo membenarkan bahwa sebagian kasus berkaitan dengan pengemplangan pajak bernilai jumbo mencapai Rp60 triliun.
Langkah tegas DJP ini mendapat dukungan penuh dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan bahwa tindakan tanpa pandang bulu ini menjadi peringatan keras bagi seluruh jajaran pajak.
“Kalau ada yang ketahuan menerima uang atau bermain-main dengan kewenangan, ya harus dipecat. Enggak ada ampun,” tegas Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).
Ia berharap upaya bersih-bersih ini menjadi momentum pemulihan kepercayaan publik terhadap otoritas perpajakan.
“Ini bukan sekadar disiplin, tapi pesan moral bahwa pengabdian di DJP harus bebas dari praktik kotor,” pungkasnya. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan semakin gencar memburu para penunggak pajak. Sebanyak 200 wajib pajak besar kini menjadi target utama penagihan aktif dengan total utang pajak mencapai Rp60 triliun.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah ekstrem terhadap para pengemplang pajak yang tetap membandel. Sanksinya mencakup penyitaan aset, pemblokiran rekening, pencekalan ke luar negeri, hingga pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan.
“Apabila ternyata memang tidak kooperatif lagi, kami akan lakukan pencekalan juga, bahkan nanti kalau memang perlu dengan tindakan pemidanaan melalui gijzeling,” ujar Bimo, Kamis (9/10/2025).
Menurutnya, aset yang sudah disita akan dilelang apabila utang pajak tidak juga dilunasi dalam batas waktu yang ditentukan. Untuk mempercepat proses ini, DJP bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna melacak aset dan memperkuat penegakan hukum.
Meski begitu, realisasi penagihan masih jauh dari target. Dari total piutang Rp60 triliun, baru sekitar Rp7 triliun atau 11,6% yang berhasil masuk ke kas negara.
Langkah agresif ini menegaskan komitmen DJP dalam menegakkan keadilan fiskal dan menekan kebocoran penerimaan negara. Pemerintah ingin memberi sinyal kuat bahwa mengemplang pajak bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bisa berujung pidana.
“Kami akan pastikan setiap rupiah pajak yang tertunggak bisa kembali ke kas negara,” tutup Bimo. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memberi ruang bagi para pengemplang pajak di seluruh sektor ekonomi. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan praktik penunggakan pajak kini ditemukan di hampir semua bidang usaha mulai dari sektor ekstraktif, sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, hingga jasa keuangan dan infrastruktur.
“Hampir semua sektor ya, ada sektor ekstraktif, ada sektor sumber daya alam tentu, sektor perkebunan, pertambangan, juga sektor jasa, perdagangan, dan konstruksi,” ujar Bimo di Kantor DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi DJP untuk memperkuat pengawasan sekaligus meningkatkan kesadaran wajib pajak di seluruh lapisan industri. Untuk menekan angka penunggakan, DJP kini memperkuat langkah penagihan aktif dan kolaborasi lintas lembaga.
Kerja sama dijalin dengan Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan instansi lain dalam menelusuri aset dan mempercepat proses hukum terhadap pengemplang pajak.
“Upaya percepatan dilakukan lewat asset tracing dan penagihan aktif bersama beberapa institusi seperti Kejaksaan Agung,” jelasnya. Hasilnya, dalam waktu hanya sepekan, DJP berhasil mengamankan penerimaan hampir Rp7 triliun dari berbagai kasus besar.
Selain memperketat penagihan, Bimo menegaskan DJP juga melakukan bersih-bersih internal. Ia mengakui masih ada oknum yang bermain curang dalam proses penagihan, namun mereka langsung diberi sanksi tegas. “Kalau terbukti curang, langsung kami berhentikan, dan kerugian negara wajib dikembalikan,” ujarnya.
Pemerintah pun tak segan menggunakan langkah paling keras berupa penyanderaan (gijzeling) bagi wajib pajak bandel yang tak kooperatif meski sudah diberikan berbagai peringatan. “Apabila tidak juga kooperatif, kita akan lakukan pencekalan bahkan tindakan pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan,” tegas Bimo.
Dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan pembersihan internal yang berkelanjutan, Bimo optimistis kepatuhan pajak nasional akan meningkat, sekaligus memperkuat penerimaan negara di tahun-tahun mendatang. (alf)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan pajak untuk pedagang daring atau e-commerce akan mulai dipungut pada Februari 2026. Kepastian itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
“(Pajak e-Commerce) Februari 2026,” ujar Bimo kepada media.
Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang yang bertransaksi melalui platform e-commerce.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menunda penerapan aturan tersebut. Penundaan itu dilakukan setelah menerima masukan dari pelaku usaha yang khawatir penerapan pajak terlalu cepat di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil.
“Kita tunggu dulu deh, paling enggak sampai kebijakan penempatan uang pemerintah Rp200 triliun di bank, kebijakan untuk mendorong perekonomian, mulai kelihatan dampaknya. Baru kita pikirkan nanti,” kata Purbaya di kantornya, Jumat (26/9/2025).
Meski begitu, Purbaya menegaskan infrastruktur dan sistem pemungutan sudah siap 100%. Uji coba pemungutan bahkan telah dilakukan di beberapa platform besar, dengan hasil yang memuaskan.
“Sistemnya sudah siap, sudah dites, bahkan beberapa sudah bisa melakukan pemungutan. Jadi tinggal pelaksanaannya saja yang menunggu waktu,” ujarnya.
Menurutnya, pelaksanaan pajak e-commerce ini akan dilakukan ketika daya beli masyarakat sudah kembali menguat, sehingga tidak menekan aktivitas jual beli online yang saat ini menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi digital.
“Kita enggak mau ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi benar-benar masuk ke sistem perekonomian,” jelasnya.
Dengan dimulainya pungutan pajak e-commerce pada Februari 2026, pemerintah berharap ekonomi digital Indonesia bisa tumbuh lebih sehat dan berkeadilan, di mana setiap pelaku usaha memiliki kontribusi yang sama terhadap penerimaan negara. (alf)
IKPI, Jakarta: Banyak pasangan suami istri yang masih bingung soal aturan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terpisah. Padahal, keputusan istri untuk memiliki NPWP sendiri tidak sekadar urusan administrasi, tetapi berdampak langsung terhadap penghitungan dan pelaporan pajak penghasilan (PPh). Hal itu dijelaskan secara rinci oleh Nadira Hudaifah, narasumber edukasi perpajakan dalam kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara daring pada Kamis (9/10/2025).
Menurut Nadira, secara prinsip, sistem perpajakan Indonesia menganggap penghasilan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis. Namun, istri berhak memilih untuk melaksanakan kewajiban pajaknya secara terpisah sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh).
“Istri boleh memiliki NPWP sendiri, tetapi keputusan itu membawa konsekuensi. Cara menghitung pajak, hak atas pengurangan, dan tanggung jawab pelaporan menjadi terpisah dari suami,” kata Nadira dalam pemaparannya.
Nadira menjelaskan, tarif pajak progresif menyebabkan perbedaan hasil penghitungan antara sistem penggabungan dan pemisahan penghasilan. Bila penghasilan suami dan istri relatif sama besar, pelaporan terpisah kadang membuat pajak yang harus dibayar justru lebih ringan. Namun dalam kondisi tertentu, penggabungan bisa lebih efisien.
“Tidak ada rumus mutlak. Semuanya tergantung struktur penghasilan masing-masing. Karena itu, keputusan untuk pisah NPWP sebaiknya dipertimbangkan matang, bukan ikut-ikutan,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa pajak yang lebih bayar dari salah satu pihak tidak bisa dikompensasikan dengan pajak yang kurang bayar dari pihak lainnya.
“Kalau suami lebih bayar dan istri kurang bayar, keduanya tidak bisa saling menghapuskan kewajiban. Suami tetap harus mengajukan restitusi, dan istri wajib menyetor kekurangannya,” tambah Nadira.
Selain perhitungan pajak, ada pula kewajiban administratif yang sering dilupakan. Istri yang memiliki NPWP sendiri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan setiap tahun, bahkan jika tidak lagi memiliki penghasilan.
“Selama NPWP masih aktif, kewajiban pelaporan tetap melekat. SPT nihil pun tetap harus dilaporkan sampai NPWP dicabut secara resmi oleh DJP,” tegasnya.
Untuk mencabut NPWP, istri harus mengajukan permohonan tertulis ke kantor pajak terdaftar, melampirkan KTP, Kartu Keluarga, serta surat pernyataan penggabungan penghasilan ke NPWP suami.
Dalam kesempatan tersebut, Nadira juga menyinggung sistem Coretax (Cortex) yang kini sedang diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sistem ini memungkinkan penghitungan PPh suami-istri dilakukan secara lebih transparan melalui Lampiran IV SPT Tahunan, yang menampilkan komposisi penghasilan dan status tanggungan keluarga.
“Melalui Coretax, DJP berupaya menyajikan pelaporan yang lebih jelas dan mudah dipahami wajib pajak. Namun beberapa fitur masih dalam tahap penyempurnaan, khususnya untuk formulir daring,” jelas Nadira.
Komitmen IKPI
Kegiatan edukasi ini merupakan bagian dari program rutin IKPI Edukasi Perpajakan, yang digelar setiap Kamis siang secara daring dan gratis. Program ini menjadi wadah bagi masyarakat umum untuk belajar langsung dari konsultan pajak berpengalaman.
“IKPI berkomitmen membantu pemerintah meningkatkan literasi perpajakan masyarakat melalui edukasi yang mudah diakses, gratis, dan praktis,” ujar Nadira.
Melalui kegiatan ini, IKPI berharap wajib pajak semakin paham bahwa kepemilikan NPWP terpisah bagi suami dan istri bukan sekadar pilihan administratif, tetapi juga mempengaruhi kewajiban dan hak perpajakan masing-masing. (bl)
IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerapkan aplikasi Coretax sebagai platform utama pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2025. Aturan baru ini juga berlaku bagi wajib pajak badan dengan peredaran bruto tertentu yang menggunakan tarif PPh final 0,5%.
Kewajiban pelaporan melalui Coretax ditetapkan lewat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, yang menggantikan sistem lama berbasis e-Form. Sistem baru ini menghadirkan perubahan besar dalam proses pelaporan, format lampiran, dan validasi data pajak.
DJP menyebut, pembaruan ini dilakukan agar pelaporan SPT badan menjadi lebih terintegrasi, efisien, dan minim kesalahan input. Namun, wajib pajak perlu memahami format dan fitur baru di Coretax agar proses pelaporan berjalan lancar.
Berikut tiga hal penting yang perlu diperhatikan:
1. Lampiran 5 Jadi Wajib Diisi di Coretax
Bagi badan usaha dengan peredaran bruto tertentu, laporan mengenai peredaran bruto dan PPh Final 0,5% kini sudah menyatu dalam formulir SPT Tahunan di Coretax.
Sesuai PMK Nomor 164 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (1), laporan tersebut harus dicantumkan di Lampiran 5, yang terdiri dari:
• Bagian A: Rincian alamat tempat kegiatan usaha.
• Bagian B: Rekap peredaran bruto dan PPh final yang disetor sendiri atau dipotong pihak lain.
Lampiran 5 baru bisa diisi setelah wajib pajak menjawab “Ya” pada Induk SPT Bagian C.1a.
2. Cek Kesesuaian Bukti Potong di Sistem
Coretax menampilkan data pemotongan PPh Final 0,5% secara otomatis di Lampiran 3 (fitur prepopulated).
Meski begitu, wajib pajak tetap harus memeriksa apakah identitas pemotong dan jumlah potongan sudah benar.
Jika ada kesalahan, data bisa diubah, dihapus, atau ditambahkan manual (key-in). Nilainya harus sesuai dengan jumlah PPh final di Lampiran 5 Bagian B.
3. Catat Kelebihan Pajak dengan Benar
Apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak harus mengisi jumlah tersebut di Induk SPT Bagian H angka 21 huruf j.
Kelebihan ini dapat diajukan untuk pengembalian (restitusi) sesuai ketentuan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.
DJP menegaskan bahwa penggunaan Coretax merupakan bagian dari modernisasi administrasi perpajakan nasional.
Melalui sistem ini, pelaporan SPT Badan menjadi lebih akurat, transparan, dan terhubung langsung dengan data pemotongan pajak dari pihak lain.
Sebagai catatan, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2025 jatuh pada 30 April 2026. Wajib pajak disarankan mempelajari panduan teknis Coretax dan mencoba simulasi pelaporan lebih awal agar terhindar dari kendala teknis menjelang tenggat. (bl)