Mantan Dirjen Pajak Tegaskan Kenaikan PPN 12% Harus Disertai Transparansi dan Aturan Pendukung

IKPI, Jakarta: Seminar akademik terkait kebijakan pajak yang dihadiri oleh sejumlah pakar dan mahasiswa hukum menghasilkan diskusi menarik mengenai kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini dianggap membawa dampak positif sekaligus negatif terhadap perekonomian nasional.

Dirjen Pajak 2001-2006 Hadi Poernomo mengatakan, peningkatan meskipun kenaikan PPN ini bertujuan meningkatkan rasio pajak dan pendapatan negara, implementasinya harus disertai transparansi dan peraturan pendukung yang jelas.

“Kenaikan ini bisa berdampak pada harga barang dan daya beli masyarakat. Namun, jika dilaksanakan dengan baik, kita dapat menurunkan beban pajak dalam jangka panjang,” ujarnya dalam diskusi akademik hasil kolaborasi antara Ikatan Konsultan Pajak Indonesia dengan Prodi Doktoral Ilmu Hukum, Universitas Pelita Harapan (UPH), Rabu (18/12/2024).

Menurut pri yang akrab disapa Pung ini, tax ratio Indonesia yang stagnan di bawah 12% menunjukkan perlunya reformasi struktural dalam pengelolaan pajak. Dibandingkan dengan negara-negara OECD yang rata-rata memiliki tax ratio di atas 30%, Indonesia masih jauh tertinggal.

Pada kesempatan itu, Pung menekankan perlunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 yang belum maksimal. Ia menyatakan bahwa masih ada inkonsistensi dalam peraturan pelaksanaannya, seperti subdelegasi peraturan pemerintah kepada peraturan menteri yang seharusnya tidak terjadi.

“Undang-undang ini sudah ada sejak 2008, namun integrasi data perpajakan belum terealisasi sepenuhnya. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen lembaga terkait untuk menjalankan amanat undang-undang,” katanya.

Anggota Kehormatan IKPI ini juga menyoroti pentingnya transparansi untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan mencegah korupsi. Ia juga mengajak semua pihak untuk mendukung reformasi pajak yang berimbang antara kebijakan fiskal dan kebutuhan masyarakat.

“Tujuan akhirnya adalah Indonesia yang sejahtera, dengan sistem perpajakan yang adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Dengan waktu yang semakin dekat menuju implementasi kebijakan ini, Pung berharap pemerintah segera menyelesaikan regulasi pendukung serta meningkatkan literasi masyarakat mengenai manfaat dan dampak dari kenaikan tarif PPN ini. (bl)

Ekonom Sebut Tarif PPN 12% Dapat Berdampak pada Kenaikan Harga Barang Sehari-hari

IKPI, Jakarta: Penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada tahun 2025 menuai kekhawatiran dari berbagai kalangan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia mengungkapkan, kebijakan menaikkan PPN berpotensi memperburuk daya beli masyarakat, terutama barang-barang yang selama ini dianggap terjangkau.

Menurut Bhima, barang-barang seperti peralatan elektronik, suku cadang kendaraan bermotor, hingga produk-produk sehari-hari seperti deterjen dan sabun mandi kemungkinan akan terpengaruh oleh tarif PPN yang lebih tinggi.

“Dengan tarif PPN 12%, barang-barang yang semula terjangkau bagi masyarakat kini bisa jadi lebih mahal. Bahkan barang-barang pokok seperti deterjen dan sabun mandi bisa terkena dampak. Ini bertentangan dengan narasi bahwa pajak hanya dikenakan pada barang orang mampu,” kata Bhima dalam siaran pers yang diterima Kamis, (19/12/2024).

Meskipun demikian, pemerintah menjelaskan bahwa beberapa komoditas tertentu, seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri, akan diberikan tarif PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1%, yang memungkinkan harga barang-barang tersebut tetap dikenakan tarif PPN 11% sepanjang tahun 2025. Namun, kebijakan tarif PPN 12% akan tetap berlaku untuk barang dan jasa lainnya.

Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono, menegaskan bahwa kebijakan PPN berlaku secara umum untuk semua barang dan jasa yang menjadi objek pajak, kecuali yang telah dikecualikan secara eksplisit oleh pemerintah.

“Pengelompokan barang dan jasa yang terkena tarif PPN sudah jelas. Mana yang terkena PPN 1%, mana yang DTP, mana yang dibebaskan. Semua barang dan jasa lainnya akan dikenakan tarif PPN 12%, kecuali yang sudah disebutkan dalam regulasi,” kata Susiwijono.

Terkait dengan isu barang mewah, yang sebelumnya disinggung oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono menegaskan bahwa tarif PPN 12% tetap akan berlaku untuk barang dan jasa secara umum, dengan pengecualian untuk barang dan jasa tertentu yang memenuhi kriteria mewah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022.

Meskipun kebijakan PPN 12% diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi negara, berbagai kalangan, terutama masyarakat berpendapatan menengah ke bawah, masih meragukan dampak sosial dan ekonominya. Banyak yang khawatir akan dampak kenaikan harga barang sehari-hari, yang dapat membebani daya beli masyarakat, terlebih bagi mereka yang sudah menghadapi kesulitan ekonomi.

Penerapan tarif PPN 12% ini juga menuai kritik dari sejumlah ekonom yang menilai kebijakan tersebut tidak konsisten dengan tujuan awal pemerintah yang semula ingin mengenakan PPN hanya pada barang mewah. Kini, rencana tersebut berubah menjadi kebijakan yang mencakup hampir semua barang dan jasa yang dikenakan pajak, dengan beberapa pengecualian.

Pemerintah telah menegaskan bahwa barang-barang tertentu seperti bahan pangan sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, serta transportasi akan tetap dikecualikan dari tarif PPN 12%. Namun, pengecualian tersebut diperkirakan akan semakin terbatas, mengingat bahan pangan premium dan jasa pendidikan serta kesehatan mewah akan segera dikeluarkan dari daftar pengecualian tersebut. (alf)

Penyelenggaraan Diskusi Coretax IKPI Dihadiri 1.500 Peserta Hybrid

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengelar diskusi sistem administrasi perpajakan terbaru (Coretax) di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (19/6/2024). Sistem ini rencananya akan mulai beroperasi pada 1 Januari 2025.

Ketua Panitia Diskusi Rindi Elina, mengatakan kegiatan yang diselenggarakan secara hybrid, baik online maupun offline, dihadiri oleh lebih dari 1.500 peserta. Mereka nampak terlihat antusias mengikuti pembahasan tentang modernisasi administrasi perpajakan tersebut.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Diungkapkan Rindi, Coretax merupakan terobosan dalam pengelolaan pajak yang bertujuan untuk menyederhanakan dan memodernisasi proses administrasi perpajakan.

“Sistem ini mengintegrasikan berbagai proses inti, seperti pendaftaran wajib pajak, pelaporan SPT, pembayaran pajak, hingga pemeriksaan dan penagihan. Dengan penerapan Coretax, pemerintah berharap dapat meningkatkan efisiensi administrasi dan mendongkrak rasio pajak menjadi 11,5% dari produk domestik bruto (PDB),” ujarnya di lokasi acara.

Pada kesempatan ini, IKPI menghadirkan beberapa narasumber, sepertu Dian Anggraini dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Ajib Hamdani dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Suwardi Hasan dari IKPI serta Jemmi Sutiono (moderator) yang juga dari IKPI.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Para narasumber memberikan pemaparan komprehensif mengenai pentingnya penerapan Coretax dan dampaknya terhadap dunia usaha, profesional, serta masyarakat umum,” katanya.

Rindi juga menyampaikan apresiasinya kepada seluruh peserta dan narasumber. “Terima kasih kepada semua pihak, baik yang hadir langsung maupun secara online, termasuk melalui Zoom dan YouTube. Partisipasi aktif ini menunjukkan besarnya antusiasme masyarakat untuk memahami kebijakan baru ini,” ujarnya.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menurutnya, acara ini juga bertujuan untuk mendorong wajib pajak, pengusaha, dan profesional agar mendukung implementasi Coretax. IKPI berharap masyarakat dapat secara sukarela berpartisipasi dalam sistem ini guna mendukung tujuan pemerintah menciptakan administrasi perpajakan yang lebih efisien dan transparan.

“Kami optimistis Coretax akan menjadi langkah maju bagi reformasi perpajakan di Indonesia,” katanya.

Sekadar informasi, pada kesempatan tersebut IKPI juga melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan lima rekanan, yakni: Pramita laboratorium, Prodia Laboratorium, STPI (Sekolah Tinggi Perpajakan Indonesia), Aston Kartika Grogol dan Pajak.com. (bl)

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 

IKPI Hargai Kebijakan PPN 12%: Dukungan Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Pajak yang Berkeadilan

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyikapi rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan itu dinilai sebagai perubahan dan langkah penting dalam memperkuat sistem perpajakan Indonesia ke depan, untuk Menuju Kemandirian Bangsa Melalui Kebijakan Pajak yg berkeadilan.

Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI, Pino Siddharta, dalam konferensi persnya di Hotel Aston Kartika, Grogol, Jakarta Barat, Kamis (19/12/2024) menyampaikan, kenaikan PPN ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, yang sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar dan tertua di Indonesia, IKPI menghargai keputusan kebijakan Pemerintah ini, dengan catatan bahwa pelaksanaannya harus memperhatikan keseimbangan antara kewajiban pajak dan kemudahan bagi wajib pajak, serta program penyanggah ekonomi berupa stimulus ekonomi/fiskal dijalankan dengan baik dan tepat.

Pino juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan komunikasi yang baik antara pemerintah dan pelaku usaha dalam menghadapi perubahan tersebut. Menurutnya, sosialisasi yang lebih intensif akan sangat membantu masyarakat dan dunia usaha dalam mempersiapkan diri menghadapi perubahan tarif PPN.

“Sebagai asosiasi yang memiliki peran strategis dalam pendampingan pajak, kami akan terus mendukung implementasi kebijakan ini dengan memberikan edukasi dan bimbingan kepada wajib pajak, agar mereka dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada,” kata Pino.

Ia juga menekankan bahwa kenaikan PPN ini diharapkan dapat mendorong perbaikan struktur perpajakan di Indonesia, menciptakan iklim usaha yang lebih adil, serta memberikan kesempatan untuk memajukan sistem pelayanan publik melalui pendapatan negara yang lebih optimal.

Dengan adanya peningkatan tarif PPN, IKPI berkomitmen untuk mendampingi pemerintah dalam proses transisi ini, serta terus berperan aktif dalam memastikan bahwa kebijakan perpajakan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan transparansi.

Kenaikan PPN yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 ini diharapkan dapat menjadi tonggak baru dalam memperkuat fondasi ekonomi Indonesia, mengingat potensi peningkatan penerimaan negara yang lebih besar.

IKPI sebagai organisasi yang memiliki jaringan luas di kalangan konsultan pajak, akan tetap mendukung penuh implementasi kebijakan ini dengan memberikan konsultasi dan edukasi yang diperlukan kepada masyarakat dan dunia usaha. (bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

Wimboh Santoso Soroti Pentingnya Peningkatan Jumlah Pekerja untuk Meningkatkan Rasio Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengingatkan bahwa ambisi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) tidak akan tercapai tanpa adanya peningkatan jumlah pekerja di negara ini. Dalam acara Economic and Financial Report 2014-2024 yang digelar di Jakarta, Wimboh menekankan pentingnya peran pekerja dalam mendorong pendapatan negara melalui pajak.

Menurut Wimboh, pajak yang diterima negara sebagian besar berasal dari mereka yang bekerja. Semakin banyak pekerja, semakin tinggi pula kontribusi pajak yang dapat diperoleh negara. “Orang bekerja itu bayar pajak, demand menjadi tinggi,” ungkapnya.

Namun, Wimboh juga menegaskan bahwa rasio pajak yang lebih tinggi sulit tercapai jika angka pengangguran tetap stagnan atau bahkan meningkat. “Kalau kita mengatakan tax ratio, tax ratio, kalau penganggurannya stagnan atau naik, emang mungkin? Enggak mungkin,” tegasnya.

Pentingnya penciptaan lapangan kerja juga berkaitan erat dengan daya beli masyarakat. Menurutnya, tanpa peningkatan jumlah pekerja, daya beli akan tetap rendah, yang pada gilirannya mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk penjualan barang dan jasa.

“Orang kalau enggak (bekerja), belanjanya enggak akan nambah. Orang jual barang-barang, enggak laku,” jelasnya.

Wimboh menambahkan bahwa pembangunan ekonomi harus memperhatikan dampak berganda atau multiplier effect, yang salah satunya adalah penciptaan lapangan kerja. “Apapun yang kita lakukan itu, multiplier, penciptaan tenaga kerja, ada enggak? Itu yang harus selalu dicek, apapun,” katanya.

Dengan demikian, bagi Indonesia untuk meningkatkan rasio pajak dan memperkuat daya beli masyarakat, penciptaan lapangan kerja yang signifikan menjadi kunci utama dalam upaya memperbaiki kondisi ekonomi negara. (alf)

PPN Atas Jasa Kesehatan Kelas VIP dan Sekolah Internasional Apakah  Tepat?

Akhirnya Pemerintah mengumumkan efektif 1 Januari 2025 Tarif PPN tetap dinaikkan menjadi 12% sesuai dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 7 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Perdebatan yang keras di tengah masyarakat tentang penolakan kenaikan tarif PPN tersebut belum cukup mengubah pendirian Pemerintah agar membatalkan kenaikan tersebut.

Saat pengumuman kenaikan PPN tersebut, Pemerintah juga meluncurkan beberapa fasilitas perpajakan seperti : PPh 21 Ditanggung Pemerintah untuk industri padat karya khususnya bagi karyawan yang menerima penghasilan tidak lebih dari 10 juta / bulan, perpanjangan jangka waktu 1 tahun bagi UMKM dalam menghitung kewajiban perpajakannya, sedangkan untuk barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging ras ayam, daging sapi, dsbnya tetap dibebaskan PPN.

Adapun fasilitas non perpajakan seperti diskon 50% untuk tarif listrik dengan daya 2.200 kwh, serta bantuan beras untuk masyarakat miskin, namun perlu diketahui bahwa fasilitas tersebut dibatasi oleh waktu tertentu.

Untuk barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan minyakita Pemerintah memberikan fasilitas PPN DTP sebesar 1%, sehingga atas barang-barang tersebut PPN nya tetap menggunakan tarif lama yaitu 11%.

Semua fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah khususnya bantuan beras bersifat jangka pendek, sedangkan efek kenaikan tarif PPN tersebut yang berbarengan dengan kenaikan UMR sebesar 6,5% tentunya akan mendorong kenaikan harga-harga barang (inflasi) sehingga akan meningkatkan biaya belanja / pengeluaran bagi semua lapisan masyarakat, disinyalir warga kelas bawah dan menengah akan paling terdampak atas kenaikan biaya belanja tersebut.

Banyak pihak berpendapat kenaikan PPN tersebut tidak akan berkontribusi banyak terhadap kenaikan pendapatan pajak, sebab kenaikan harga tersebut akan menggerus daya beli masyarakat, sehingga tingkat konsumsi menurun dan berefek kepada omzet perusahaan sehingga jika omzet perusahaan menurun dikuatirkan para pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran semakin tinggi dan kemiskinan akan meningkat.

Dalam pengumuman tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga sedang mempertimbangkan untuk mengenakan PPN 12% terhadap barang dan jasa yang termasuk barang mewah. Isu yang sekarang mencuat ialah, apakah rencana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien rumah sakit kelas VIP ke atas) adalah langkah yang tepat dan menunjukkan prinsip keadilan ?

Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengajarkan dalam memungut pajak ada 4 hal yang harus diperhatikan (The Four Maxims), yang pertama Equality (sesuai dengan kemampuannya), certainty (harus pasti), convenience of payment (waktu yang tepat untuk membayar pajak, prinsip ini diterapkan dalam mekanismes witholding tax / pajak dipungut saat seseorang menerima penghasilan), economy in collection (asas efisiensi).

Kemudian Richard Musgrave dan Peggy Musgrave menyatakan sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sehingga setiap orang yang mempunyai pendapatan yang sama membayar jumlah pajak yang sama (keadilan horisontal), dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak yang lebih besar (keadilan vertical), ini yang menjadi dasar kenapa tarif pajak penghasilan dikenakan secara progresif, di Indonesia sendiri tarif PPh untuk orang pribadi dikenakan mengikuti besarnya penghasilan, dari tarif terendah sebesar 5%, sampai tarif tertinggi sebesar 35%.

Kembali terkait wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien kelas vip ke atas), sejatinya PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat netral, artinya netral maka pengenaan PPN dikenakan kepada siapa saja yang mengkonsumsi, tidak melihat si kaya maupun si miskin, siapapun yang menggunakan konsumsi maka akan dikenakan pajak yang sama.

Hal ini berbeda jauh dengan pajak penghasilan, pada saat seseorang berobat untuk menyembuhkan penyakitnya / keluarganya, dan dirawat di kelas vip atau vvip apakah benar pasien tersebut sedang mengkonsumsi barang/jasa mewah ??? kadang dilapangan saat seseorang memilih kamar vip atau vvip terdesak/terpaksa karena terbatasnya kelas dibawahnya bukan karena ingin mendapatkan sesuatu yang mewah, bisa juga motivasi pasien memilih kamar vip agar mempunyai waktu untuk beristirahat dengan tenang sehingga segera sembuh, sehingga timbul perdebatan apakah benar kamar vip or vvip merupakan barang/jasa mewah yang perlu dikenakan PPN ?

Sudah banyak kita dengar banyak pasien dari Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke luar negeri utamanya singapore dan malaysia, selain karena faktor kepercayaan atas pelayanan kesehatan di Indonesia, juga karena faktor mahalnya biaya berobat di Indonesia, sehingga jika nanti dikenakan PPN sebesar 12% maka semakin mendorong orang Indonesia berobat ke luar negeri, efek jangka panjangnya rumah sakit / fasilitas kesehatan di Indonesia akan makin ditinggalkan dan kosong.

Kemudian terkait dengan wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan, khususnya jasa pendidikan sekolah / kelas internasional juga menjadi pertanyaan, apakah tepat kebijakan tersebut ? motivasi para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional karena mereka tidak yakin / tidak percaya atas kualitas pendidikan umumnya, sehingga mereka berinisiatif menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional dengan harapan anak-anaknya mempunyai pendidikan yang baik, khususnya dalam bidang bahasa.

Sangat ironi jika anak-anak yang merupakan cikal bakal penerus bangsa ini harus dibatasi pendidikannya dengan pengenaan PPN, bukankah jika anak-anak ini nantinya menjadi pemimpin yang unggul baik dalam keilmuan maupun bahasanya, akan menguntungkan bagi negara ini. Tidak mungkin anak-anak kita akan mampu bersaing dengan anak-anak dari negara lain tanpa mempunyai kemampuan bahasa internasional yang baik.

Adalah tanggung jawab Pemerintah untuk bisa memberikan pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tercipta generasi muda yang mempunyai pendidikan tinggi, dan kemampuan berbahasa asing yang juga baik. Jika Pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dengan menyediakan sekolah berstandar internasional di seluruh pelosok Indonesia, maka tidak mungkin ada orang tua yang mau menyekolahkah anaknya di sekolah internasional dengan biaya mahal. Sehingga ide pengenaan PPN atas jasa pendidikan kelas internasional sepertinya kurang tepat dan mengada-ada, walaupun dengan dalih adalah wajar orang kaya harus membayar mahal pajaknya, bukankah atas kekayaan yang dimilikinya juga telah membayar pajak penghasilan dengan tarif yang lebih tinggi.

Di luar negeri banyak sekali tawaran beasiswa kepada para murid dari seluruh negara untuk memperoleh pendidikan secara gratis, namun di Indonesia bukannya mendukung pendidikan berkualitas internasional malah mengkerdilkan potensi anak-anaknya dengan wacana membenani PPN 12%. Semoga saja ide untuk mengenakan PPN atas jasa kesehatan (kelas VIP ke atas) dan jasa Pendidikan (kelas internasional) dipertimbangkan secara matang karena ide tersebut sangat kontra produktif.

Penulis  Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal – Ikatan Konsultan Pajak Indonesi

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

Pemerintah Rencanakan Penurunan Ambang Batas UMKM untuk Perluas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah menurunkan ambang batas (threshold) Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dan memperluas basis pajak yang lebih adil di tanah air.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, membenarkan rencana penurunan ambang batas tersebut. Menurutnya, kebijakan ini juga merupakan salah satu rekomendasi dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Susiwijono menjelaskan bahwa penurunan ambang batas bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dalam sistem pajak, serta menyelaraskan praktik pajak Indonesia dengan negara-negara lain.

“Penurunan ini memang sudah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menko Airlangga Hartarto dalam beberapa kesempatan. Rekomendasi dari OECD juga menjadi dasar pertimbangan pemerintah,” ujar Susiwijono di Jakarta, Selasa (17/12/2024).

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kebijakan ini akan memperluas basis pajak secara lebih adil dan memastikan bahwa sistem pajak lebih inklusif. “Ini supaya threshold-nya disesuaikan dengan best practice di beberapa negara. Ini juga untuk masalah keadilan dan perluasan tax base-nya,” katanya.

Meski demikian, Susiwijono menekankan bahwa fokus utama pemerintah saat ini adalah menyiapkan kebijakan terkait perpanjangan skema PPh Final 0,5% yang berlaku hingga 2025. Setelah itu, pembahasan mengenai penurunan ambang batas UMKM akan dilanjutkan.

Jika disepakati, perubahan ambang batas UMKM ini akan dituangkan dalam regulasi baru yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). “Pembahasan masih berlangsung, namun jika kebijakan ini disepakati, perubahan ambang batas akan dituangkan dalam regulasi yang perlu diubah,” katanya. (alf)

PT Indonesia Morowali Industrial Park Setor Pajak 1,16 Miliar Dolar AS di 2023, Investasi Tembus 34,3 Miliar Dolar AS

IKPI, Jakarta: PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang terletak di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, mencatatkan kontribusi signifikan terhadap negara dengan menyetorkan pajak dan royalti sebesar 1,16 miliar dolar AS atau setara dengan Rp18,68 triliun pada tahun 2023. Direktur Komunikasi PT IMIP, Emilia Bassar, mengungkapkan pencapaian ini dalam jumpa pers yang digelar di Jakarta pada Rabu, 18 Desember 2024.

Angka tersebut meskipun menurun dibandingkan dengan tahun 2022 yang tercatat sebesar 1,32 miliar dolar AS, namun tetap mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya mencapai 655 juta dolar AS. “Kami terus berkomitmen untuk memberikan kontribusi yang besar kepada negara melalui pembayaran pajak,” ujar Emilia.

Lebih lanjut, Emilia juga mengungkapkan bahwa PT IMIP telah mencatatkan total investasi sebesar 34,3 miliar dolar AS selama periode 2015 hingga 2024. Nilai investasi ini setara dengan Rp552,23 triliun, berdasarkan kurs dolar AS sebesar Rp16.100. Investasi ini mencakup berbagai sektor, tidak hanya ekonomi, tetapi juga dalam aspek sosial dan lingkungan.

“Sejak 2013, kami terus meningkatkan nilai investasi, yang sebelumnya tercatat sebesar 29,6 miliar dolar AS pada periode 2015-2022 dan mencapai 30,14 miliar dolar AS pada tahun 2023,” jelas Emilia.

Selain itu, PT IMIP juga tercatat menyumbang devisa ekspor sebesar 14,45 miliar dolar AS atau setara dengan Rp232,65 triliun hingga November 2024. Meskipun angka ini turun dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 15,03 miliar dolar AS, kontribusi ekspor perusahaan terhadap perekonomian Indonesia tetap signifikan.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, PT IMIP terus memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal dengan mempekerjakan 84.859 tenaga kerja hingga tahun 2024.

Dengan pencapaian ini, PT IMIP membuktikan komitmennya dalam mendukung perekonomian Indonesia melalui kontribusi pajak, investasi, devisa ekspor, serta penyerapan tenaga kerja yang signifikan. (alf)

IKPI Meyakini Kebijakan Pemerintah Menaikkan PPN 12% untuk Jaga Ekonomi dan Keadilan Sosial

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menjelaskan tentang perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang akan berlaku mulai tahun 2025. Ia menyebutkan bahwa kenaikan tarif PPN ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disahkan melalui Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Ia menambahkan bahwa keputusan ini didasarkan pada berbagai faktor, termasuk kebutuhan APBN serta tujuan untuk meningkatkan keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi negara.

“Kebijakan menaikkan PPN ini dipilih karena dianggap paling rendah dampaknya terhadap perekonomian, karena hanya menyentuh konsumen akhir. PPN juga memiliki peran penting dalam penyumbang penerimaan negara, yang selama ini menjadi instrumen utama dalam alokasi anggaran negara,” kata Vaudy saat menjadi narasumber di acara Diskusi kolaborasi antara IKPI dan Universitas Pelita Harapan (UPH), di Kampus UPH Semanggi, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2024).

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Lebih lanjut, Vaudy menjelaskan bahwa kenaikan tarif PPN ini juga bertujuan untuk memperbaiki distribusi ekonomi, terutama dalam meningkatkan stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan jangka panjang.

Menurut data Kementerian Keuangan, kata Vaudy, dengan menaikkan tarif PPN diharapkan kontribusi pajak terhadap GDP akan meningkat, meskipun ia mengakui bahwa masih terdapat tantangan besar terkait ekonomi bawah tanah yang belum sepenuhnya tercatat dalam sistem perpajakan.

Dalam kesempatan tersebut, ahli Kepabeanan dan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak ini juga menyoroti pentingnya reformasi perpajakan yang mencakup penerapan sistem administrasi perpajakan baru (Coretax) yang dijalankan pada 1 Januari 2025. Hal itu diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mempersempit celah dalam ekonomi informal.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Reformasi ini diharapkan dapat mempermudah pengawasan dan memastikan bahwa lebih banyak wajib pajak yang tercatat, sekaligus mengurangi tingkat pelanggaran pajak di Indonesia,” katanya.

Meskipun ada tantangan, Vaudy optimis bahwa perubahan kebijakan ini akan memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang, dengan meningkatkan penerimaan negara dan mendukung keberlanjutan fiskal negara. (bl)

UPH bersama IKPI Kolaborasi Gelar Diskusi Akademik Tentang Kenaikkan PPN 12% 

IKPI, Jakarta: Universitas Pelita Harapan (UPH) bersama Ikatan Konsultan Pajak Indonesia berkolaborasi menggelar Silaturahmi Old 24 dan New 25 dengan tema “Meet Old Tax Law Greet New PPN 12%” di Kampus UPH, Semanggi, Jakarta Selatan, Rabu (18/12/2024).

Diskusi yang menghadirkan narasumber Dirjen Pajak 2001-2006 Hadi Poernomo, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, Dr. Gus Hagis sebagai moderator, praktisi perpajakan yang juga merupakan anggota IKPI, serta mahasiswa Doktoral Ilmu hukum UPH .

Kaprodi Doktoral Ilmu Hukum UPH, Prof Dr. Henry Sulistyo Budi, dalam sambutannya, mengungkapkan pentingnya membahas kebijakan-kebijakan yang sering kali kontroversial dan penuh perdebatan, terutama yang terkait dengan masalah perpajakan di Indonesia.

Ia berharap diskusi ini dapat memberikan pencerahan mengenai berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang akan diberlakukan pemerintah pada tahun 2025.

Menurutnya, diskusi bisa dilakukan baik dari sisi akademik maupun kebijakan publik. Ia juga menyampaikan harapannya agar para peserta, khususnya mahasiswa Doktoral Ilmu Hukum, dapat memahami lebih dalam tentang dampak kebijakan PPN 12%, bukan hanya dari sisi angka persentasenya, tetapi juga dari perspektif yang lebih luas mengenai dampak sosial dan ekonomi.

Selain itu, diskusi kata Prof. Henry, meskipun forum ini tidak besar, namun acara ini memiliki dimensi yang sangat penting untuk memberikan gambaran yang jelas tentang berbagai masalah yang mungkin terlewatkan dalam penyusunan kebijakan.

“Saya berharap para peserta dapat melihat permasalahan kebijakan tersebut tanpa terjebak dalam perdebatan politik yang tidak produktif, melainkan lebih pada upaya bersama untuk mencari solusi yang terbaik,” ujarnya.

Menurutnya, seminar ini menjadi momentum penting bagi mahasiswa dan praktisi hukum serta pajak untuk memahami lebih jauh tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi banyak sektor di Indonesia. (bl)

en_US