Daftar Barang Golongan Mewah yang Terkena PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah secara resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Namun, kenaikan ini hanya berlaku untuk barang dan jasa yang tergolong mewah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/2023.

Kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara, khususnya dari sektor barang dan jasa mewah. Berikut adalah kategori barang dan jasa yang dikenai tarif PPN 12%:

1. Kelompok Hunian Mewah

Rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih.

2. Kelompok Balon Udara dan Pesawat Tanpa Tenaga Penggerak

Balon udara yang dikemudikan dan pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

3. Kelompok Senjata Api dan Peluru

Senjata artileri, revolver, pistol, senjata api yang dioperasikan dengan bahan peledak, serta peluru senjata api, kecuali untuk keperluan negara atau tidak termasuk peluru senapan angin.

4. Kelompok Pesawat Udara

Pesawat udara selain yang dikenai tarif PPN 40%, termasuk helikopter dan kendaraan udara lainnya, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan niaga.

5. Kelompok Kapal Pesiar Mewah

Kapal pesiar, kapal ekskursi, yacht, dan kapal lainnya yang digunakan untuk mengangkut orang, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum, atau usaha pariwisata.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kebijakan ini ditujukan untuk menjaga keseimbangan sosial-ekonomi. Barang dan jasa mewah dipandang memiliki kemampuan lebih untuk berkontribusi terhadap pembangunan negara.

Menteri Keuangan juga memastikan bahwa kenaikan tarif PPN tidak akan memengaruhi kebutuhan pokok masyarakat, mengingat barang-barang konsumsi sehari-hari tetap dikenakan tarif PPN yang sama.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus memperkuat keadilan fiskal. (alf)

CELIOS Usul Pemerintah Turunkan PPN jadi 8% dan Naikkan Pajak Orang Kaya

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memberlakukan kenaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% khusus untuk barang-barang mewah, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023. Barang-barang yang dikenakan tarif baru ini meliputi jet pribadi, yacht, rumah mewah dengan harga jual Rp 30 miliar ke atas, kendaraan bermotor tertentu, hingga senjata api non-negara.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, menyambut kebijakan ini sebagai langkah positif dalam menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah dan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Namun, ia menggarisbawahi bahwa dampak kenaikan PPN ini perlu diimbangi dengan kebijakan lainnya.

“Setelah membatalkan rencana kenaikan PPN ke 12% untuk barang dan jasa umum, pemerintah sebaiknya menurunkan tarif PPN secara menyeluruh menjadi 8%. Ini akan lebih membantu daya beli masyarakat,” ujar Bhima, Rabu (1/1/2025).

Usulan Pajak Kekayaan dan Pajak Karbon

Untuk menggantikan potensi penerimaan negara dari kenaikan PPN umum, Bhima mengusulkan penerapan pajak kekayaan sebesar 2% terhadap total harta orang super kaya. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghasilkan hingga Rp 81,6 triliun dalam sekali penerapan, sesuai dengan dorongan dari OECD dan G20.

Selain itu, Bhima mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan pajak karbon sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Pajak karbon ini bisa diterapkan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, yang hasilnya dapat digunakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru,” tambahnya.

Bhima juga menyarankan beberapa langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara, seperti:

1. Peningkatan pajak produksi batu bara di luar royalti.

2. Menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang.

3. Evaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, termasuk penghentian tax holiday bagi perusahaan besar yang sudah sangat menguntungkan, seperti smelter nikel.

Dengan diberlakukannya PPN 12% hanya untuk barang mewah, harga barang kebutuhan umum tetap tidak mengalami perubahan. Namun, Bhima mencatat bahwa keterlambatan penerbitan aturan teknis sempat memicu kenaikan harga di pasar.

Langkah-langkah yang diusulkan CELIOS diharapkan mampu mengimbangi penerimaan pajak negara, sekaligus menciptakan kebijakan fiskal yang lebih adil bagi seluruh lapisan masyarakat. (alf)

PMK 131/2024, Pemerintah Pertegas Perlakuan PPN atas BKP dan JKP

IKPI, Jakarta: Pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, khususnya di Pasal 5 huruf a dan b yang mengatur tentang perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas berbagai jenis transaksi yang melibatkan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Peraturan ini mencakup ketentuan tentang impor BKP, penyerahan BKP, penyerahan JKP, pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean, serta pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean.

Menurut PMK Nomor 131 Tahun 2024, terdapat ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur perlakuan PPN atas penyerahan BKP kepada konsumen akhir dan transaksi lainnya, yang penting untuk diketahui oleh setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP). Secara rinci, peraturan ini mengatur tata cara penghitungan PPN yang berlaku pada transaksi impor BKP, penyerahan BKP, penyerahan JKP, serta pemanfaatan barang dan jasa dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean.

Salah satu perubahan penting yang diatur dalam Pasal 5 PMK ini adalah penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan BKP kepada konsumen akhir. Ketentuan ini berlaku mulai tanggal 1 Januari 2025 hingga 31 Januari 2025. Pada periode tersebut, PPN yang terutang dihitung dengan tarif 12%, namun dengan dasar pengenaan pajak yang dihitung sebesar 11/12 dari harga jual barang.

Hal ini memberikan waktu bagi para pelaku usaha untuk beradaptasi dengan sistem perhitungan yang baru.

Penerapan Ketentuan Lebih Lanjut Mulai Februari 2025

Mulai Februari 2025, pemerintah akan menerapkan ketentuan yang lebih luas, seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) PMK, yang mengatur lebih lanjut cara penghitungan PPN dan aturan lainnya terkait transaksi yang terjadi di luar daerah pabean. Hal ini menunjukkan upaya pemerintah untuk memperbaharui dan menyesuaikan regulasi perpajakan agar lebih efisien, relevan, dan dapat mengikuti perkembangan ekonomi serta kebutuhan pasar.

Dengan berlakunya PMK ini, para Pengusaha Kena Pajak yang melakukan transaksi penyerahan BKP kepada konsumen akhir maupun transaksi lainnya yang melibatkan pemanfaatan barang dan jasa, baik di dalam maupun luar daerah pabean, diwajibkan untuk menyesuaikan prosedur dan perhitungan PPN mereka. Peraturan ini mengharuskan PKP untuk mencatat dan melaporkan transaksi yang melibatkan barang dan jasa dengan lebih teliti agar sesuai dengan kewajiban perpajakan yang berlaku.

Melalui penerapan PMK Nomor 131 Tahun 2024, pemerintah berharap dapat meningkatkan kepatuhan pajak, mengurangi potensi kebocoran pajak, dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan dan efisien. Peraturan ini juga diharapkan dapat membantu memperkuat sistem perekonomian Indonesia, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui kontribusi yang lebih optimal dari sektor pajak. (alf)

PMK 131/2024, Pemerintah Atur  BKP dan JKP Tak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani secara resmi menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024, khususnya di Pasal 1-4, yang mengatur perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang kena pajak (BKP), penyerahan BKP, jasa kena pajak (JKP), serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

PMK ini bertujuan untuk memberikan kejelasan dan kepastian hukum terkait perlakuan PPN. Beberapa poin utama dari peraturan ini meliputi:

1. Definisi PPN:

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN yang terakhir diubah melalui UU Nomor 6 Tahun 2023.

2. Tarif PPN:

Tarif PPN ditetapkan sebesar 12%, dihitung berdasarkan dasar pengenaan pajak, seperti harga jual atau nilai impor.

3. Objek Pajak:

Barang Kena Pajak (BKP): Barang berwujud dan tidak berwujud yang dikenai PPN.

Jasa Kena Pajak (JKP): Kegiatan pelayanan yang dikenai pajak sesuai ketentuan.

4. Pajak Masukan:

Pajak masukan atas pembelian BKP dan/atau JKP, baik dalam negeri maupun luar negeri, dapat dikreditkan sesuai ketentuan yang berlaku.

Ketentuan Khusus

Barang yang tergolong mewah, seperti kendaraan bermotor, tetap dikenakan tambahan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sesuai aturan yang berlaku.

PKP yang menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain atau besaran tertentu diberikan pengecualian dari beberapa ketentuan umum.

Landasan Hukum dan Harapan

Peraturan ini disahkan untuk mendukung penerapan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan efisien. Menteri Keuangan berharap PMK Nomor 131 Tahun 2024 dapat meningkatkan kepatuhan pajak serta memberikan kejelasan kepada pelaku usaha dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

Para pengusaha diimbau untuk mempelajari lebih lanjut isi peraturan ini guna memastikan kelancaran dalam implementasi di lapangan.

Dengan regulasi yang diperbarui, pemerintah optimistis penerimaan pajak dapat meningkat, mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. (alf)

PKS: Pembatasan Kenaikkan PPN 12% Bukti Pemerintah Beri Rasa Adil untuk Masyarakat

IKPI, Jakarta: Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu, memberikan apresiasi terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang membatasi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12% hanya untuk barang-barang mewah. Syaikhu menyebut langkah ini sebagai keputusan bijak yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Langkah ini sangat bijak. Dengan membatasi kenaikan PPN hanya pada barang-barang mewah, pemerintah tidak hanya melindungi daya beli masyarakat tetapi juga menjaga stabilitas perekonomian dan memberikan rasa keadilan untuk masyarakat bawah,” ujar Syaikhu dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (1/1/2025).

Ia juga mengapresiasi sikap pemerintah yang mendengar aspirasi masyarakat terkait kenaikan PPN tersebut. Menurutnya, program insentif seperti bantuan sosial, subsidi listrik, dan insentif pajak untuk pekerja serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) harus terus ditingkatkan untuk memastikan kesejahteraan rakyat.

“Program insentif seperti bantuan sosial, subsidi listrik, dan insentif pajak untuk pekerja dan UMKM harus terus dijalankan. Ini adalah kunci untuk memastikan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga,” katanya.

PKS, lanjut Syaikhu, akan terus mendukung kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan perpajakan yang adil. “Dengan demikian, upaya bersama ini diharapkan dapat mendorong pemerataan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat,” imbuhnya.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN 12% merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024), Prabowo menegaskan kenaikan PPN hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.

“Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan telah berkoordinasi dengan DPR RI, hari ini pemerintah memutuskan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Saya ulangi supaya jelas, kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” tegas Prabowo.

Langkah ini dinilai sebagai upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan negara akan penerimaan pajak dan perlindungan terhadap daya beli masyarakat, terutama di tengah tantangan ekonomi global. (alf)

Pemerintah Siapkan Stimulus Rp 38,6 Triliun untuk Masyarakat dan UMKM

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto mengumumkan paket stimulus ekonomi senilai Rp 38,6 triliun untuk mendukung masyarakat dan pelaku usaha menghadapi tantangan ekonomi. Dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024) Prabowo menjelaskan bahwa stimulus ini mencakup bantuan beras, diskon listrik, hingga insentif pajak.

“Pemerintah telah berkomitmen memberi paket stimulus senilai Rp 38,6 triliun,” kata Prabowo.

Stimulus tersebut meliputi:

1. Bantuan Beras: Sebanyak 10 kg per bulan untuk 16 juta penerima bantuan pangan dari pemerintah.

2. Diskon Listrik: Diskon tarif listrik sebesar 50 persen bagi pelanggan dengan daya maksimal 2.200 volt.

3. Insentif Pajak Penghasilan (PPh): Pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta per bulan akan mendapatkan insentif PPh Pasal 21.

Selain itu, pemerintah memberikan pembebasan pajak bagi UMKM beromzet di bawah Rp 500 juta per tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya beli masyarakat.

“Paket stimulus ini dirancang untuk mendukung kelompok rentan, memperkuat daya beli masyarakat, serta mendorong kelangsungan usaha, khususnya UMKM,” ujar Prabowo.

Kebijakan ini diharapkan mampu memberikan dampak positif pada perekonomian nasional, terutama di sektor padat karya dan usaha kecil. Pemerintah juga mengimbau masyarakat dan pelaku usaha untuk memanfaatkan program ini sebaik-baiknya. (alf)

Sri Mulyani Beri Rincian Barang Terkena PPN 12% dan Bebas PPN

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklarifikasi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Dalam pernyataannya, ia menegaskan bahwa kenaikan PPN tersebut hanya akan diterapkan untuk barang dan jasa kategori mewah.

“PPN 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini sudah dikenakan pajak penjualan barang mewah (PPn BM). Kategorinya sangat terbatas seperti private jet, kapal pesiar, rumah mewah, dan barang serupa lainnya,” ujar Sri Mulyani dalam keterangannya di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024).

Kebijakan ini, menurut Sri Mulyani, diambil atas arahan Presiden Prabowo Subianto yang mempertimbangkan kondisi masyarakat, perekonomian, serta daya beli. Barang-barang mewah yang akan dikenakan PPN 12% diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023.

Barang dan Jasa yang Terkena PPN 12%

Adapun barang-barang yang dikenakan tarif PPN 12% meliputi:

1. Hunian mewah seperti rumah, apartemen, atau kondominium dengan harga jual Rp30 miliar atau lebih.

2. Private jet, balon udara yang dapat dikemudikan, dan kendaraan udara lainnya.

3. Kapal pesiar dan kapal Yanch yang tidak digunakan untuk transportasi umum.

4. Senjata api dan peluru, kecuali untuk keperluan negara.

Barang dan Jasa Lainnya Tetap di Tarif 11% atau Bebas PPN

Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa lain yang selama ini dikenakan PPN 11% tetap tidak mengalami kenaikan tarif. Selain itu, barang dan jasa yang mendapatkan fasilitas PPN 0%, seperti bahan makanan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan transportasi umum, tetap bebas dari PPN.

“Jadi, mulai dari sampo, sabun, dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya tidak akan terkena kenaikan PPN,” tambahnya.

Kementerian Keuangan akan segera mengeluarkan peraturan teknis untuk mendukung implementasi kebijakan ini. Selain itu, berbagai stimulus ekonomi yang telah diumumkan pemerintah akan tetap berlaku untuk mendukung daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi nasional. (alf)

Presiden Prabowo Umumkan Kenaikkan PPN 12% Hanya Dikenakan pada Barang dan Jasa Kategori Mewah

IKPI, Jakarta: Presiden RI Prabowo Subianto, dalam pernyataan resmi di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024) sore, menyampaikan keputusan penting terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dalam pertemuannya dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, presiden mengumumkan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% hanya akan dikenakan pada barang dan jasa yang masuk kategori mewah.

Keputusan ini, menurut Prabowo merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan “Perpajakan Tahun 2021. Sebelumnya, PPN dinaikkan secara bertahap dari 10% menjadi 11% pada April 2022. Mulai 1 Januari 2025, kenaikan ke 12% akan diterapkan dengan cakupan terbatas,” ujarnya.

Prabowo menegaskan, kenaikkan ini hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah yang selama ini telah dikenakan PPN barang mewah. Contoh barang mewah yang dimaksud mencakup pesawat jet pribadi, kapal pesiar, serta properti mewah dengan nilai yang sangat tinggi.

Ia juga menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalkan dampak terhadap daya beli masyarakat umum, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi. “Komitmen pemerintah adalah melindungi rakyat kecil, mendorong pemerataan ekonomi, dan memastikan kesejahteraan rakyat tetap menjadi prioritas utama,” tambahnya.

Keputusan ini diambil setelah mempertimbangkan berbagai tantangan ekonomi global, termasuk ketidakpastian pasar dan tekanan pada harga komoditas. Prabowo optimistis kebijakan ini mencerminkan pengelolaan keuangan negara yang bijaksana dan berpihak pada kepentingan nasional.

Kebijakan ini diharapkan mampu menjaga stabilitas ekonomi domestik sembari memberikan kontribusi yang adil dari golongan masyarakat mampu. Pemerintah mengajak seluruh pihak untuk mendukung langkah ini sebagai bagian dari upaya mendorong pembangunan berkelanjutan di Indonesia. (alf)

Ketua Pengawas Sampaikan Harapan dan Strategi untuk Pengurus IKPI Menghadapi Tantangan Perpajakan 

IKPI, Jakarta: Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Prianto Budi Saptono, menyampaikan pandangannya mengenai harapan dan strategi terhadap kepengurusan IKPI periode 2024-2029 di bawah kepemimpinan Ketua Umum Vaudy Starworld.

Dalam pernyataannya, Prianto menyoroti berbagai aspek, mulai dari tantangan perpajakan yang semakin kompleks, langkah strategis untuk memperkuat organisasi, hingga pentingnya kolaborasi di tingkat pusat, daerah, dan cabang.

Harapan terhadap Pengurus Pusat

Prianto mengungkapkan bahwa kompleksitas dunia perpajakan dapat menimbulkan dua reaksi masyarakat: kebingungan (honest perplexity) dan kepatuhan kreatif (creative compliance). Oleh karena itu, kepengurusan pusat IKPI perlu fokus pada creative compliance berupa peningkatan kemampuan interpretasi aturan perpajakan.

“Pengurus pusat harus mampu mengajak anggota memilih creative compliance untuk menghadapi aturan yang terus berkembang,” kata Prianto di Jakarta, Selasa (31/12/2024) sore.

Selain itu, ia menekankan pentingnya IKPI menjadi organisasi pembelajar (learning organization) dengan membangun pola pikir berkembang (growth mindset). Langkah ini, menurutnya, akan membantu IKPI tetap adaptif terhadap dinamika perpajakan nasional dan global.

Peningkatan Profesionalisme

Selain itu, Prianto juga menyoroti pentingnya kepemimpinan (leadership) dalam meningkatkan profesionalisme konsultan pajak. Ia mengibaratkan struktur organisasi yang besar sebagai kapal pesiar yang memerlukan orkestra kepemimpinan yang harmonis. “IKPI harus lincah dan trengginas (agile) dalam merespon tantangan untuk meningkatkan mutu profesi konsultan pajak,” tambahnya.

Harapan untuk Pengurus Daerah dan Cabang

Untuk pengurus daerah, Prianto berharap mereka dapat mengoptimalkan pelayanan kepada anggota dan membangun kekompakan (chemistry) di wilayah masing-masing. Ia menekankan bahwa pengurus IKPI adalah relawan (volunteers) yang harus memiliki komitmen waktu dan dedikasi tinggi.

Sementara itu, pengurus cabang diharapkan mampu mempererat hubungan dengan anggota, wajib pajak, dan stakeholder perpajakan lainnya. “Pengurus cabang perlu membantu anggota memahami sengketa pajak melalui ketrampilan interpretasi (interpretation skill) dan komunikasi (communication skill) yang baik,” jelasnya.

Tantangan dan Solusi 2024-2029

Prianto memprediksi bahwa implementasi Core Tax Administration System (CTAS) pada 2025 akan menjadi tantangan utama bagi IKPI. Teknologi berbasis AI (Artificial Intelligence) tersebut memungkinkan pengawasan pajak yang lebih ketat, terutama melalui proses pencocokan data (data matching). Solusi yang ditawarkan adalah meningkatkan ketrampilan interpretasi dan komunikasi anggota IKPI untuk menghadapi dinamika perpajakan yang semakin kompleks.

Kolaborasi Antar Tingkatan

Prianto menegaskan pentingnya kolaborasi antara pengurus pusat, daerah, dan cabang dalam mencapai tujuan IKPI. Ia mengusulkan pendekatan “cascading” untuk menyelaraskan program kerja dengan tujuan organisasi yang telah diatur dalam Anggaran Dasar IKPI.

“Kolaborasi ini harus menggunakan pendekatan top-down dan bottom-up secara simultan, sehingga setiap tingkatan kepengurusan memiliki visi dan langkah yang sejalan,” tutupnya.

Dengan strategi yang terarah dan kolaborasi yang solid, IKPI diharapkan mampu menjadi organisasi yang berperan aktif dalam mendukung kebijakan perpajakan nasional dan meningkatkan kualitas profesi konsultan pajak di Indonesia. (bl)

Pelaku Industri Terima Kenaikan PPN 12%, Tapi Khawatir Dampak Relaksasi Impor

IKPI, Jakarta: Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan bahwa pelaku industri Indonesia tidak terlalu terbebani dengan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Bahkan, mereka menilai kebijakan tersebut masih dapat diterima.

Namun, hal yang lebih mengkhawatirkan bagi mereka adalah kebijakan relaksasi impor yang dapat mengancam daya saing produk lokal.

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief, dalam konferensi persnya di Jakarta, Senin (30/12/2024), menyatakan bahwa kenaikan PPN 12% dapat memengaruhi harga bahan baku dan pada akhirnya memengaruhi harga jual produk manufaktur. Meskipun demikian, ia menjelaskan bahwa pelaku industri lebih khawatir terhadap potensi banjirnya produk impor murah ke pasar domestik akibat kebijakan pembatasan impor yang longgar.

“Yang lebih ditakutkan industri adalah kebijakan relaksasi impor dan pembatasan impor yang mengakibatkan pasar domestik banjir barang impor murah. Ini lebih ditakutkan oleh industri dibandingkan dengan kenaikan PPN 12%,” ujar Febri.

Menurutnya, kenaikan PPN akan sedikit berdampak pada sektor industri, terutama yang memiliki utilisasi rendah, yakni sekitar 2-3%. Meskipun demikian, pemerintah telah mengantisipasi dampak negatif tersebut dengan sejumlah kebijakan ekonomi. Paket insentif yang dikeluarkan, seperti insentif PPh untuk industri padat karya dan insentif untuk mobil hybrid, diharapkan dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri.

“Pemerintah sudah menyiapkan berbagai insentif, di antaranya insentif PPh untuk industri padat karya dan program kebijakan lainnya. Kami harap ini bisa membantu industri untuk tetap bersaing dan menjaga asas keadilan,” kata Febri.

Dengan adanya berbagai kebijakan tersebut, diharapkan industri Indonesia dapat tetap menjaga daya saingnya meskipun menghadapi tantangan dari kebijakan kenaikan PPN dan relaksasi impor. (alf)

en_US