Jakarta Serius Tagih Pajak! Surat Paksa Kini Dikirim Lewat Aplikasi

IKPI, Jakarta: Tak ada lagi ruang untuk sembunyi dari kewajiban pajak di Ibu Kota. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, lewat Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), kini memanfaatkan teknologi untuk menagih pajak dengan cara yang lebih cepat, transparan, dan tegas. Lewat fitur baru di aplikasi Pajak Daerah, penunggak kini bisa langsung menerima Surat Paksa bukan lewat pos, tapi secara elektronik!

Program ini diberi nama Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP), yang mulai aktif sejak Maret 2024 berdasarkan SK Kepala Bapenda No. 255 Tahun 2024. Tidak hanya lebih cepat, sistem ini memungkinkan seluruh proses tagih-menagih dari awal imbauan sampai tahap penyitaan dipantau secara real-time oleh pimpinan Bapenda. Tak ada celah untuk alasan “tidak tahu” lagi!

“Dengan digitalisasi, semua proses tercatat rapi dan bisa diawasi lintas divisi, mulai dari petugas UPPPD, kantor suku badan, hingga Juru Sita Pajak. Jadi lebih bersih dan profesional,” ujar pihak Bapenda dalam keterangan resminya, Kamis (24/4/2025).

Ada enam langkah dalam skema PPSP ini, mulai dari imbauan awal, pemasangan stiker penunggak, hingga pembacaan Surat Paksa dan penyitaan aset jika diperlukan. Hasilnya? Sejauh ini sudah 1.289 Surat Teguran yang diterbitkan dan lebih dari Rp384 miliar tunggakan berhasil dikumpulkan.

Tak hanya soal mengejar angka, sistem ini juga hadir membawa misi keadilan. Wajib Pajak yang taat jadi lebih dihargai, sementara yang menunggak mendapat perlakuan tegas dan setara. “Kami ingin ini jadi contoh nasional bahwa pajak bisa ditagih dengan cara modern, transparan, dan tetap berkeadilan,” tegas Bapenda.

Selain itu, literasi perpajakan pun jadi perhatian. Lewat pendekatan digital, Bapenda ingin masyarakat dan pelaku usaha makin paham hak dan kewajibannya. Dengan sistem yang tercatat secara otomatis, potensi manipulasi pun bisa ditekan. (alf)

 

Pemprov DKI Jakarta Pertimbangkan Hapus Pajak Progresif Kendaraan, Ini Alasannya

IKPI, Jakarta : Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah mempertimbangkan penghapusan pajak progresif kendaraan bermotor sebagai bagian dari upaya penertiban administrasi dan optimalisasi pelayanan Samsat. Wacana ini diungkapkan dalam pertemuan antara Pemprov DKI dengan pembinaan Samsat nasional, Kamis (24/4/2025), yang juga membahas berbagai kebijakan untuk meningkatkan kepatuhan pajak kendaraan bermotor.

Direktur Jenderal Keuangan Daerah, Agus Fatoni, menjelaskan bahwa penghapusan pajak progresif bertujuan untuk memastikan keakuratan data kepemilikan kendaraan. “Pajak progresif dalam rangka ketertiban, administrasi yang baik, kemudian penegakan hukum ini dipertimbangkan untuk dihapus sehingga pemilik kendaraan adalah benar-benar yang terdaftar,” ujarnya.

Saat ini, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024, tarif pajak kendaraan bermotor (PKB) bersifat progresif, dimulai dari 2% untuk kendaraan pertama hingga 6% untuk kendaraan kelima dan seterusnya.

Tarif ini dikenakan berdasarkan nama, NIK, dan/atau alamat yang sama, kecuali untuk kendaraan dengan jumlah roda berbeda, seperti satu motor dan satu mobil, yang dihitung sebagai kepemilikan pertama masing-masing.

Selain menghapus pajak progresif, Pemprov DKI juga menyiapkan kebijakan insentif bagi wajib pajak yang taat, sebagai bentuk apresiasi dan penerapan prinsip keadilan. “Insentif diberikan kepada yang benar-benar taat, tetapi tidak kepada yang melanggar,” tambah Agus. (alf)

 

 

SPT Tahunan Tembus 13 Juta, DJP Genjot Layanan Digital Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Antusiasme masyarakat untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan kian terasa. Hingga 24 April 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan sebanyak 13,46 juta wajib pajak telah menunaikan kewajibannya untuk tahun pajak 2024.

Dari jumlah itu, 12,89 juta merupakan wajib pajak orang pribadi dan 569 ribu sisanya adalah badan usaha. Data ini mencerminkan kesadaran pajak yang makin tumbuh di kalangan masyarakat.

Di balik peningkatan ini, DJP terus bergerak memperkuat infrastruktur digital melalui sistem Coretax. Perbaikan dan pembaruan sistem terus digencarkan demi menjamin kelancaran pelaporan serta pembayaran pajak secara daring.

“Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan perbaikan dan memastikan kelancaran pada sistem Coretax DJP,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Jumat (25/4/2025).

Menurutnya, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak agar mereka bisa membayar dan melaporkan pajak dengan lebih mudah.

Dwi juga menambahkan bahwa DJP aktif memberikan update seputar implementasi Coretax. Terbaru, pembaruan tersebut disampaikan melalui KT-12/2025 yang dirilis pada 23 April 2025. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Pastikan Tak Ada Kewajiban Laporan Bulanan untuk Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa tidak terdapat kewajiban bagi para konsultan pajak untuk menyampaikan laporan bulanan kepada pemerintah. Penegasan ini disampaikan langsung setelah IKPI bersama perwakilan dari tiga asosiasi konsultan pajak lainnya melakukan audiensi dengan Pusat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) di bawah Kementerian Keuangan.

Audiensi tersebut berlangsung pada Jumat, 25 April 2025 secara daring dan dipimpin oleh Kepala PPPK, Erawati.

Dalam pertemuan tersebut, IKPI menyampaikan berbagai aspirasi dan permintaan klarifikasi terkait aturan pelaporan konsultan pajak, khususnya seputar isu yang belakangan ramai dibicarakan mengenai kemungkinan adanya kewajiban pelaporan bulanan konsultan pajak.

“Kami ingin mengonfirmasi langsung agar tidak terjadi kesimpangsiuran informasi. Hasilnya, kami dapat memastikan bahwa tidak ada ketentuan pelaporan bulanan yang bersifat wajib untuk konsultan pajak,” ujar Vaudy usai pertemuan tersebut.

Vaudy, yang juga diketahui sebagai pemegang sertifikasi ahli kepabeanan dan kuasa hukum di Pengadilan Pajak, menjelaskan bahwa pelaporan dari konsultan pajak tetap mengacu pada sistem tahunan seperti yang selama ini berlaku. Meski demikian, konsultan pajak diberikan fasilitas untuk dapat mencicil informasi nama klien yang ditanganinya setiap bulan oleh konsultan pajak dengan tujuan meringankan beban pelaporan tahunan mereka.

Namun hal tersebut sepenuhnya bersifat tidak mengikat dan tanpa sanksi. “Pencicilan bulanan bisa dilakukan sebagai bagian dari pengelolaan administratif internal masing-masing konsultan atau kantor jasa pajak. Tapi harus dipahami bahwa tidak ada sanksi jika penyampaian ini l tidak dicicil secara bulanan. Yang penting adalah pelaporan tahunan tetap dilaksanakan dengan benar dan tepat waktu,” kata Vaudy.

Sekadar informasi, audiensi ini dihadiri oleh sejumlah pengurus pusat IKPI, yakni Wakil Sekretaris Umum Nova Tobing, Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Robert Hutapea, Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota Donny Rindorindo dan Direktur Eksekutif Asih Arianto.

Menurut Vaudy, pertemuan ini merupakan bentuk komunikasi aktif antara asosiasi profesi dan regulator untuk menjembatani setiap potensi ketidaksinkronan kebijakan. Ia menilai bahwa langkah proaktif seperti ini penting dalam menjaga integritas profesi dan memberikan kepastian hukum bagi ribuan konsultan pajak yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Sebagai organisasi profesi, IKPI memiliki tanggung jawab untuk melindungi anggotanya, sekaligus memastikan bahwa praktik konsultan pajak di Indonesia berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku. Maka dari itu, klarifikasi seperti ini menjadi sangat penting,” tuturnya.

Di sisi lain, PPPK melalui Kepala Erawati menyambut baik dialog terbuka tersebut dan menegaskan komitmennya untuk terus menjaga komunikasi yang baik dengan seluruh pemangku kepentingan di sektor keuangan dan perpajakan, termasuk asosiasi konsultan pajak.

Dengan adanya kepastian bahwa tidak ada laporan bulanan yang diwajibkan, para konsultan pajak kini dapat lebih fokus menjalankan tugas profesionalnya tanpa dihantui kekhawatiran terhadap potensi beban administrasi tambahan.

Vaudy berharap, IKPI ke depan semakin bersinergi antara asosiasi dan pemerintah dapat terus diperkuat guna menciptakan iklim perpajakan yang sehat, adil, dan berkelanjutan. (bl)

In memoriam Ibu Jetty Binti Sayuti Saman

Jejak Kasih, Keteladanan, dan Kedisiplinan Bunda Jetty untuk IKPI

Kepergian Ibu Jetty binti Sayuti Saman menyisakan duka mendalam bagi kami di IKPI, terutama bagi saya secara pribadi dan sebagai Ketua Departemen Humas.

Beliau bukan hanya Wakil Ketua Umum IKPI Periode 2024–2029. Lebih dari itu, beliau adalah sosok bunda pengayom, pembimbing, sekaligus sahabat yang selalu hadir dengan ketulusan.

Sebagai Humas, yang paling membekas bukan hanya arahannya, tetapi cara beliau menyampaikan lembut, penuh empati, dan tidak pernah meninggikan suara, bahkan belum pernah emosional, senantiasa tersenyum.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana beliau menjalankan peran organisasi dengan hati. Beliau tidak hanya memberikan masukan konstruktif untuk organisasi tapi benar-benar turun menyapa, mendengar, dan menyentuh hati serta berbincang dengan anggota tanpa jarak baik ditingkat pusat, daerah hingga cabang se-Indonesia.

Ibu Jetty tahu caranya membuat setiap orang merasa dihargai, sehingga kami di Humas merasa sangat kehilangan. Tidak akan mudah mencari sosok seperti beliau yang kuat tapi lembut, tegas namun penuh kasih.

Sosok yang membawa keteduhan, bahkan di tengah tekanan pekerjaan. Kami panjatkan doa terbaik untuk almarhumah. Semoga segala amal kebaikan beliau diterima oleh Tuhan Yang Maha Esa, dan keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan serta ketabahan.

Terima kasih, Bunda Jetty, untuk semua kasih, cinta, teladan, dan disiplin menjadi jejak yang Ibu tinggalkan dengan penuh makna.

Jejak itu akan terus hidup dalam setiap langkah kami di IKPI.

Salam,

Ketua Departemen Humas IKPI, Jemmi Sutiono

Pelunasan Pajak Kini Bisa Diperpanjang Hingga Dua Bulan, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Wajib Pajak di daerah tertentu kini dapat bernapas lebih lega. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan fasilitas baru berupa perpanjangan waktu pelunasan pajak hingga dua bulan.

Dalam Pasal 99 ayat (1) PMK 81/2024 dijelaskan, “Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.”

Kebijakan ini menjadi langkah strategis pemerintah untuk memberikan ruang gerak lebih besar kepada UMKM dalam mengelola arus kas mereka, khususnya dalam menghadapi tantangan ekonomi dan keterbatasan akses pembiayaan.

Adapun yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak usaha kecil adalah:

• Wajib Pajak Orang Pribadi yang “menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dan memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak (Pasal 99 ayat 3).

• Wajib Pajak Badan, dengan syarat “tidak termasuk bentuk usaha tetap dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) Tahun Pajak” (Pasal 99 ayat 4).

Untuk memperoleh fasilitas perpanjangan ini, Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut harus diajukan paling lambat 9 hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pelunasan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (5).

Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan atas permohonan tersebut dalam waktu 7 hari kerja sejak diterimanya surat permohonan. “Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa: a. menyetujui; atau b. menolak permohonan Wajib Pajak,” bunyi Pasal 99 ayat (7).

Menariknya, jika dalam waktu 7 hari kerja Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan apa pun, maka permohonan dianggap dikabulkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 99 ayat (10): “Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.”

Keputusan persetujuan atas permohonan yang dianggap diterima tersebut harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelahnya.(alf)

 

In Memoriam Ibu Jetty Binti Sayuti Saman

Humble dan Penuh Kasih: Warisan Tak Tertulis dari Ibu Jetty

Secara pribadi mewakili keluarga besar IKPI Cabang Jakarta Barat, turut berduka cita sedalam-dalamnya atas berpulangnya Ibu Jetty binti Sayuti Saman.

Yang saya kenal, beliau sosok yang humble, rendah hati, tidak pernah sombong. Kami di cabang cukup dekat dengan beliau. Sering ngobrol, sering bercanda, bahkan bersendau gurau dengan penuh kehangatan.

Terakhir kami bertemu kalau tidak salah di acara Halal Bihalal di Aston Katika, Grogol, Jakarta Barat dalam kegiatan Halalbihalal IKPI belum lama ini. Saat itu tidak ada tanda-tanda beliau sedang sakit. Kami masih sempat bersalaman, ngobrol sebentar seperti biasa. Hangat, seperti biasa.

Beliau meninggalkan kesan yang sangat baik, bukan hanya sebagai pengurus pusat, tapi sebagai pribadi yang benar-benar dekat dengan para anggota. Beliau dikenal banyak orang, dan disayangi banyak kalangan di IKPI. Sosok yang dekat, bisa diajak bicara, dan selalu membawa suasana positif di mana pun berada.

Kepergian beliau tentu meninggalkan duka yang mendalam. Tapi nama baik dan kebaikan beliau akan selalu kami kenang.

Selamat jalan, Bu Jetty. Terima kasih atas teladan dan kehangatan yang Ibu berikan selama ini.

Salam

Ketua IKPI Cabang Jakarta Barat, Teo Takismen

 

PMK 15/2025 Atur Ulang Kategori dan Waktu Pemeriksaan Pajak: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menegaskan komitmennya untuk menciptakan proses pemeriksaan pajak yang lebih efisien, akuntabel, dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Kewajiban Perpajakan.

Dalam aturan baru tersebut, pemerintah menetapkan pengelompokan pemeriksaan pajak menjadi tiga kategori utama, yakni Pemeriksaan Lengkap, Pemeriksaan Terfokus, dan Pemeriksaan Spesifik. Klasifikasi ini diikuti dengan penetapan batas waktu pelaksanaan yang tegas, guna menghindari ketidakpastian yang selama ini dikeluhkan oleh pelaku usaha.

Pasal 6 PMK 15/2025 merinci bahwa:

• Pemeriksaan Lengkap memiliki batas waktu maksimal 5 bulan;

• Pemeriksaan Terfokus dilakukan selama 3 bulan;

• Pemeriksaan Spesifik hanya memerlukan waktu 1 bulan.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak diterimanya surat pemberitahuan pemeriksaan oleh wajib pajak hingga penyampaian hasil pemeriksaan resmi. Selain itu, pemerintah memberikan waktu tambahan maksimal 30 hari kerja untuk penyelesaian pembahasan akhir dan pelaporan hasil pemeriksaan.

Untuk kategori Pemeriksaan Spesifik yang berkaitan dengan indikasi tertentu, prosesnya bahkan lebih ringkas, yakni masing-masing tahap pemeriksaan dan pelaporan diselesaikan dalam 10 hari kerja. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mempercepat pelayanan tanpa mengurangi kualitas pengawasan.

PMK ini juga memberikan ruang bagi perpanjangan waktu pemeriksaan, seperti dalam kasus pemeriksaan transfer pricing dalam grup usaha yang bisa diperpanjang hingga 4 bulan, dengan syarat pemberitahuan resmi harus disampaikan kepada wajib pajak.

Tidak hanya itu, PMK 15/2025 turut mengatur batas waktu pemeriksaan untuk keperluan khusus seperti permohonan pengembalian pajak, penghapusan NPWP, dan pencabutan PKP. Ketentuan tersebut tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Satu pengecualian penting dalam aturan ini adalah untuk pemeriksaan Pajak Penghasilan (PPh) dari sektor minyak dan gas bumi. Pemeriksaan pada sektor ini tetap tunduk pada peraturan menteri yang mengatur pelaksanaan kontrak kerja sama dengan skema cost recovery. (alf)

 

Pajak Global di Persimpangan Jalan: Mampukah Indonesia Bermain Cerdas?

Pada 27 Maret 2025, para pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi perpajakan internasional berkumpul di Brussels dalam acara CFE’s 2025 Forum yang mengangkat tema “Navigating Tax Transformation: From Compliance to Competitiveness”.

Forum ini bukan sekadar ajang diskusi teknis pajak, melainkan panggung bagi negosiasi kepentingan global yang berpotensi mengubah wajah sistem perpajakan dunia.

Dalam forum ini, penulis tampil sebagai pembicara kunci dan membahas dua isu strategis yang saat ini memecah arah kebijakan perpajakan global: potensi penarikan diri Amerika Serikat dari Two Pillars Solution yang dipelopori OECD/G20, serta masa depan UN Framework Convention on International Tax Cooperation yang digagas oleh PBB.

Penulis menggarisbawahi bahwa mundurnya AS dari Pilar 1 dan Pilar 2 bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal nyawa konsensus global. Pilar 1, yang berupaya mendistribusikan kembali hak pemajakan ke negara-negara pasar, bergantung pada partisipasi negara-negara tempat induk perusahaan multinasional bermarkas dan banyak di antaranya ada di AS. Tanpa mereka, kesepakatan ini bisa karam sebelum sempat berlayar.

Pilar 2, yang mengusung Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan multinasional, pun menghadapi tantangan serupa. Negara-negara mungkin memilih bersikap wait and see termasuk Indonesia. Jika diterapkan secara sepihak tanpa dukungan AS, bukan mustahil terjadi retaliasi dan konflik ekonomi. Perang tarif bisa kembali menghantui dunia.

Sebagai alternatif, PBB mendorong lahirnya UN Framework Convention on International Cooperation in Tax Matters. Ambisinya jelas: membangun sistem perpajakan global yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang. Indonesia, bersama China dan Vietnam, termasuk pendukung inisiatif ini.

Namun, jalan ini tidak mulus. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan menentangnya dengan alasan tumpang tindih kebijakan dan potensi ketidakpastian regulasi. Mekanisme pengambilan keputusan berbasis mayoritas yang diusung PBB juga ditolak, karena dianggap melemahkan prinsip konsensus yang selama ini dijunjung tinggi dalam OECD.

Satu hal yang menarik dan perlu ditelaah lebih dalam adalah sikap Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendukung OECD dan bahkan bercita-cita menjadi anggota penuh. Di sisi lain, Indonesia juga mendukung penuh kerangka kerja PBB, yang justru digagas sebagai tandingan OECD.

Apakah ini strategi jitu menjaga keseimbangan? Ataukah cerminan kegamangan dalam mengambil posisi? Yang jelas, Indonesia harus jeli membaca arah angin. Dunia sedang membentuk ulang aturan main perpajakan lintas negara.

Jika Indonesia tak menentukan posisi dengan cermat, bukan hanya kehilangan kesempatan memungut pajak dari ekonomi digital global, tetapi juga terjebak dalam sistem yang tidak menguntungkannya.

Saatnya Strategi, Bukan Sekadar Simpati

Forum di Brussels adalah pengingat bahwa pajak kini bukan hanya urusan fiskal, tetapi juga geopolitik. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara berkembang dan anggota G20, punya peluang untuk menjadi suara penengah yang menjembatani dua kutub kekuatan pajak global ini.

Namun untuk itu, dibutuhkan strategi yang tak hanya berbasis kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang: bagaimana memastikan sistem perpajakan global yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang yang layak bagi negara-negara seperti kita. Dunia sedang menyusun ulang peta pajak global Indonesia tidak boleh sekadar jadi penonton.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Sri Mulyani Bidik Kegiatan Usaha yang Luput Radar Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan terus memerangi sektor-sektor ilegal untuk mencegah kebocoran penerimaan negara. Kali ini, sang bendahara negara menyasar sektor yang selama ini bak “hantu” di perekonomian beroperasi secara ilegal, mengeruk keuntungan besar, namun luput dari radar pajak.

Dalam konferensi pers di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar secara virtual pada Kamis (24/4/2025), Sri Mulyani menegaskan bahwa strategi ekstensifikasi pajak menjadi senjata utama untuk mendongkrak rasio pajak yang stagnan di angka 10 persen selama lebih dari satu dekade.

“Langkah-langkah ekstensifikasi dilakukan dari sisi pemungutan yang berpotensi atau yang selama ini memang belum terkumpul secara memadai,” ujarnya.

Target utamanya, sektor-sektor yang selama ini bermain di bawah permukaan hukum seperti illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining. Ketiganya disebut Sri Mulyani sebagai ladang subur yang belum tergarap maksimal dalam sistem perpajakan nasional.

“Ini bukan kerja satu kementerian saja,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas kementerian dan lembaga—termasuk sektor perikanan dan energi menjadi kunci penguatan pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas-aktivitas ilegal tersebut.

Namun bukan hanya memburu yang “gelap-gelap”, Sri Mulyani juga mendorong penggunaan teknologi digital untuk menutup celah penghindaran pajak. Penerapan sistem core tax, digitalisasi pencatatan transaksi, hingga penyederhanaan proses restitusi pajak menjadi langkah konkret demi sistem perpajakan yang lebih modern dan akurat.

“Ini bagian dari upaya sistemik kita memperbaiki administrasi perpajakan, mempercepat pemeriksaan, dan memperkuat regulasi,” katanya.

Meski kondisi fiskal Indonesia dinilai sehat dengan tingkat utang terkendali, namun Sri Mulyani tak mau terlena. Rasio pajak terhadap PDB tercatat hanya 10,21% di tahun 2023 dan turun tipis menjadi 10,08% di tahun 2024. Angka yang menurutnya belum cukup kuat untuk menopang visi pembangunan jangka panjang Indonesia. (alf)

 

en_US