IKPI, Jakarta: Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kebijakan pemerintah memperluas insentif PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor pariwisata tidak akan memberi dampak besar terhadap perekonomian nasional. Ia menilai langkah tersebut terlalu sempit dan hanya dinikmati sebagian kecil pekerja.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya telah menetapkan kebijakan tersebut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025. Dalam aturan itu, pegawai sektor pariwisata seperti hotel, restoran, biro perjalanan, hingga taman rekreasi akan menikmati penghasilan penuh tanpa potongan PPh 21 mulai masa pajak Oktober hingga Desember 2025.
Namun Said Iqbal menilai kebijakan itu tak menyentuh akar persoalan daya beli buruh. “Sekarang gini, yang dimaksud pemotongan pajak itu hanya di sektor tertentu, jumlahnya kecil. Jadi saya bilang nggak signifikan,” ujarnya usai menghadiri sebuah acara di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (30/10/2025).
Menurutnya, dibandingkan memberikan insentif pajak terbatas, pemerintah seharusnya menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) menjadi Rp7,5 juta per bulan. Dengan begitu, kata Said, mayoritas buruh bergaji setara UMP atau UMK bisa bebas pajak dan memiliki daya beli lebih tinggi.
“Kalau PTKP dinaikkan ke Rp7,5 juta, seluruh buruh tidak terkena pajak. Artinya uang yang dipegang jadi lebih banyak. Kalau kita belanja, purchasing power naik, ekonomi ikut bergerak,” tegasnya.
Said menjelaskan, peningkatan PTKP akan berdampak langsung terhadap konsumsi rumah tangga komponen terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan penghasilan yang utuh tanpa potongan pajak, buruh dapat memperbesar pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga roda ekonomi berputar lebih cepat.
Selain itu, Said juga mendorong pemerintah menurunkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk memperkuat daya beli masyarakat dan mendukung industri dalam negeri. “Kalau PPN diturunin, harga barang jadi lebih murah. Orang beli lebih banyak. Pabrik jalan, pekerja direkrut lagi, dan pada akhirnya pajak penghasilan juga ikut naik,” jelasnya.
Ia menambahkan, kebijakan fiskal semestinya diarahkan pada pemerataan dampak ekonomi, bukan hanya pada kelompok tertentu yang beruntung. “Mengurangi beban pajak bagus, tapi jangan setengah hati. Kalau mau dorong ekonomi rakyat, mulai dari buruh dari mereka yang paling cepat membelanjakan uangnya,” pungkas Said Iqbal. (alf)
IKPI, Depok: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Depok terus memperkuat perannya dalam mendukung digitalisasi perpajakan nasional. Kamis (31/10/2025), IKPI Depok berkolaborasi dengan Kanwil DJP Jawa Barat III, KPP Pratama Depok Sawangan, dan KPP Pratama Depok Cimanggis menggelar kegiatan bertajuk “Sosialisasi dan Asistensi Aktivasi Akun & Kode Otorisasi/Sertifikat Digital Coretax Wajib Pajak (UMKM & Koperasi Kota Depok)” di D’Mall Depok, Kamis (31/10/2025).
Kegiatan ini turut menghadirkan tim penyuluh dari Kanwil DJP Jabar III, KPP Depok Sawangan, serta relawan pajak dari STIE MBI Kelapa Dua, Depok. Ratusan pelaku UMKM dan koperasi hadir langsung untuk mendapatkan edukasi sekaligus asistensi aktivasi akun Coretax pribadi.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
Ketua IKPI Cabang Depok, Hendra Damanik, mengatakan kegiatan ini merupakan bagian dari upaya bersama mendorong kesadaran pajak di kalangan pelaku usaha kecil dan koperasi di Kota Depok.
“Digitalisasi sistem perpajakan lewat Coretax adalah langkah besar pemerintah. Kami di IKPI Depok ingin memastikan pelaku UMKM tidak tertinggal dan justru bisa memanfaatkan teknologi ini untuk mempermudah kewajiban pajak mereka,” ujar Hendra.
Menurutnya, perpajakan kini tidak lagi sebatas kewajiban administratif, melainkan sudah masuk ke tahap transformasi digital yang menuntut literasi baru bagi para pelaku usaha.
(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)
“UMKM harus siap menghadapi era pajak digital. Jangan takut dengan sistem baru, karena justru Coretax ini akan membuat proses perpajakan lebih cepat, akurat, dan transparan,” jelasnya.
Hendra menilai sinergi antara IKPI, DJP, dan dunia pendidikan melalui relawan pajak menjadi kunci dalam mempercepat adaptasi pelaku usaha terhadap sistem digital.
“Kolaborasi ini bukan sekadar sosialisasi, tetapi gerakan bersama membangun budaya pajak yang modern dan inklusif,” tegasnya.
Ia juga mengapresiasi kehadiran para pelaku UMKM dan koperasi se-Kota Depok yang antusias mengikuti asistensi langsung di lokasi kegiatan.
“Antusiasme peserta hari ini luar biasa. Banyak yang langsung melakukan aktivasi akun Coretax di tempat. Ini menunjukkan kesadaran pajak di kalangan UMKM Depok semakin meningkat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hendra menegaskan komitmen IKPI Depok untuk terus hadir memberikan pendampingan dan edukasi bagi pelaku usaha di wilayahnya.
“Kami tidak berhenti di sini. IKPI Depok akan terus bergerak bersama DJP dan pemerintah daerah untuk memastikan setiap pelaku usaha bisa memahami dan memanfaatkan sistem pajak digital dengan baik,” pungkasnya. (bl)
IKPI, DIY: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld memberikan apresiasi tinggi kepada Pengurus Daerah (Pengda) IKPI Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) atas keberhasilannya menyelenggarakan seminar bertema Artificial Intelligence (AI) dan perpajakan yang berlangsung di Yogyakarta, Rabu (30/10/2025).
Menurut Vaudy, keberhasilan Pengda DIY ini tergolong luar biasa karena organisasi tersebut tergolong baru berdiri, namun sudah mampu menggelar kegiatan besar dengan antusiasme peserta yang tinggi. “Saya sangat bangga dengan Pengda DIY. Meskipun baru terbentuk, mereka bisa langsung menunjukkan eksistensinya melalui kegiatan yang berkualitas dan diminati banyak kalangan,” ujarnya.
Seminar ini diikuti lebih dari 70 peserta dari berbagai latar belakang. Menariknya, sekitar 50 peserta atau 70 persen di antaranya merupakan peserta umum yang berasal dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan praktisi non-IKPI. Sementara sisanya merupakan anggota IKPI dari berbagai daerah. Komposisi ini, menurut Vaudy, menjadi bukti bahwa topik AI dan perpajakan kini mendapat perhatian luas dari publik.
“Ini capaian yang luar biasa. Biasanya kegiatan seperti ini didominasi oleh anggota IKPI sendiri, namun di DIY justru masyarakat umum yang lebih banyak hadir. Artinya, kesadaran publik tentang pentingnya memahami perkembangan teknologi dalam dunia perpajakan semakin meningkat,” tambahnya.
Vaudy menilai, kemampuan Pengda DIY dalam menarik minat peserta umum mencerminkan semangat terbuka dan kolaboratif yang menjadi karakter khas Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Ia juga menyebut keberhasilan ini tidak lepas dari kerja keras panitia dan dukungan kampus yang menjadi mitra dalam penyelenggaraan acara tersebut.
“Yogyakarta dikenal sebagai kota akademik, dan saya rasa Pengda IKPI DIY sangat cerdas memanfaatkan potensi itu. Dengan menggandeng pihak kampus dan publik, mereka tidak hanya memperkenalkan organisasi, tetapi juga berkontribusi dalam meningkatkan literasi digital dan perpajakan,” ungkap Vaudy.
Dalam seminar tersebut, para pembicara membahas bagaimana Artificial Intelligence dapat mempercepat transformasi profesi perpajakan menuju era digital. Peserta diajak memahami peran AI dalam efisiensi administrasi pajak, analisis data fiskal, serta dampaknya terhadap pekerjaan konsultan pajak di masa depan.
Vaudy menegaskan bahwa langkah Pengda DIY patut menjadi contoh bagi pengurus daerah lainnya. Ia berharap semangat dan kreativitas serupa dapat menular ke seluruh cabang IKPI di Indonesia, agar organisasi ini semakin adaptif terhadap perubahan zaman. “Kegiatan seperti ini penting untuk menjaga relevansi profesi kita di tengah revolusi digital. Apa yang dilakukan Pengda DIY hari ini adalah bentuk nyata dari semangat itu,” pungkasnya. (bl)
“Keadilan fiskal tidak hanya diukur dari besarnya penerimaan negara, tetapi juga dari bagaimana negara memperlakukan warganya dalam proses perpajakan.” Prinsip Keadilan Fiskal
Latar Belakang
Dalam sistem perpajakan Indonesia yang menganut self-assessment system, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang menguji kepatuhan wajib pajak melalui pemeriksaan. Pada tahap ini, perbedaan pandangan antara fiskus dan wajib pajak sering kali tidak dapat dihindari. Jika wajib pajak tidak sependapat dengan hasil pemeriksaan, mereka memiliki hak untuk mengajukan keberatan kepada DJP.
Mekanisme keberatan pajak dirancang sebagai sarana koreksi administratif sebelum sengketa berlanjut ke Pengadilan Pajak. Dengan demikian, proses keberatan seharusnya menjadi instrumen penting untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Landasan hukumnya tercantum dalam Pasal 25 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Namun, dalam praktiknya, sebagian besar proses keberatan tidak berhenti di tingkat DJP. Data menunjukkan bahwa rasio keberatan yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya hanya berkisar antara 15% hingga 25% per tahun (Supriyadi, Beny Setiawan, dan Randy Matius Bintang, 2018). Sebaliknya, mayoritas wajib pajak melanjutkan ke proses banding di Pengadilan Pajak, di mana tingkat kemenangan wajib pajak bahkan mencapai lebih dari 63% pada periode 2020–2024.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: Apakah proses keberatan masih berfungsi sebagai sarana pencarian keadilan yang efektif, atau justru menambah biaya kepatuhan dan memperpanjang ketidakpastian hukum?
Masalah-Masalah dalam Proses Keberatan
1. Konflik Kepentingan Struktural
Secara organisasi, proses keberatan ditangani oleh unit di bawah Kantor Wilayah DJP. Meskipun berbeda level dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang menerbitkan surat ketetapan pajak, keduanya tetap berada dalam satu garis komando di bawah DJP. Dengan demikian, penelaah keberatan masih merupakan bagian dari lembaga yang sama dengan pembuat keputusan awal. Situasi ini menimbulkan potensi conflict of interest, karena pihak yang menilai keberatan merupakan bagian dari institusi yang memiliki kepentingan penerimaan pajak.
Beberapa penelitian menyoroti ketimpangan posisi antara fiskus dan wajib pajak. Fiskus berperan ganda sebagai pembuat keputusan sekaligus pihak yang menilai keberatan atas keputusannya sendiri. Ketimpangan waktu dan tujuan — di mana fiskus didorong untuk meningkatkan penerimaan negara membuat objektivitas menjadi sulitdijaga sepenuhnya.
2. Tekanan Psikologis dan Budaya Organisasi
Dalam praktiknya, penelaah keberatan kerap menghadapi tekanan psikologis. Mengabulkan keberatan dapat dipersepsikan sebagai tindakan yang ‘merugikan negara’, karena berpotensi mengurangi penerimaan pajak. Hal ini membuat sebagian penelaah cenderung bermain aman dengan menolak keberatan, meskipun secara substansi alasan wajib pajak cukup kuat. Audit lanjutan oleh lembaga internal seperti BPK, BPKP, atau Itjen terhadap keberatan yang dikabulkan juga menambah beban psikologis tersebut.
3. Faktor Senioritas
Penelaah keberatan sering kali memiliki jenjang karier dan pengalaman lebih muda daripada tim pemeriksa pajak yang keputusannya mereka nilai. Dalam lingkungan birokrasi yang masih kental dengan budaya senioritas, kondisi ini dapat menghambat independensi pengambilan keputusan.
Implikasi: Beban Banding dan Biaya Kepatuhan Meningkat
Kondisi di atas menyebabkan meningkatnya jumlah perkara di Pengadilan Pajak. Wajib pajak yang merasa tidak memperoleh keadilan dalam proses keberatan memilih menempuh jalur banding. Akibatnya, beban perkara meningkat, sementara kepastian hukum bagi wajib pajak semakin tertunda. Selain itu, lamanya proses keberatan (hingga 12 bulan) serta rendahnya rasio keberatan yang diterima menyebabkan biaya kepatuhan pajak meningkat. Bagi wajib pajak yang sudah patuh, hal ini bukan hanya soal nominal, tetapi juga menyangkut prinsip keadilan dan kepercayaan terhadap sistem.
Belajar dari Praktik Negara Lain
Beberapa negara telah menata mekanisme keberatan pajak agar lebih independen dan kredibel:
– Jepang: memiliki National Tax Tribunal (NTT), lembaga semi-independen di bawah National Tax Agency namun dengan personel dan sistem pemeriksaan terpisah.
– Amerika Serikat: melalui Independent Office of Appeals di bawah IRS, yang berfungsi sebagai unit penyelesaian sengketa internal yang benar-benar otonom.
– Australia: menggunakan Administrative Appeals Tribunal (AAT), lembaga independen yang memeriksa sengketa sebelum ke pengadilan.
– Korea Selatan: memiliki Tax Tribunal dengan anggota independen yang menilai ulang keputusan fiskus secara imparsial.
Model-model ini menunjukkan bahwa independensi kelembagaan merupakan kunci menjaga keadilan prosedural sekaligus memperkuat kepercayaan wajib pajak.
Arah Reformasi Lembaga Keberatan di Indonesia
Beberapa opsi reformasi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
1. Membentuk Direktorat Keberatan dan Sengketa di luar DJP. Lembaga ini berada di bawah Kementerian Keuangan namun terpisah secara struktural dari DJP. Personelnya dapat terdiri dari unsur Kemenkeu, akademisi, dan profesional pajak.
2. Mendirikan Komisi Keberatan Pajak (Tax Review Board). Komisi semi-independen ini bertugas menilai keberatan secara objektif dan transparan, serupa dengan mekanisme KPPU atau Ombudsman.
3. Mengintegrasikan proses keberatan ke tahap pra-banding di Pengadilan Pajak. Keberatan dapat digantikan oleh panel pra-banding yang menyelesaikan sengketa sederhana secara cepat, sehingga memperpendek rantai birokrasi dan meningkatkan efisiensi.
Opsi pertama dapat dilaksanakan dalam jangka pendek dengan penunjukan tim lintas-unit, sementara opsi kedua dan ketiga memerlukan perubahan undang-undang. Reformasi ini penting bukan hanya untuk efisiensi administrasi, tetapi juga untuk menjaga kredibilitas negara di mata masyarakat.
Penutup: Membangun Kepercayaan, Menegakkan Keadilan
Meningkatkan kepatuhan pajak tidak cukup hanya dengan teknologi dan penegakan hukum. Keadilan prosedural merupakan fondasi utama kepatuhan sukarela. Wajib pajak yang merasa didengar dan diperlakukan adil akan lebih patuh dalam jangka panjang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah meninjau kembali apakah Kanwil DJP masih tepat sebagai lembaga pemeriksa keberatan.
Reformasi lembaga keberatan menuju sistem yang independen, transparan, dan akuntabel merupakan langkah penting untuk memperkuat legitimasi administrasi perpajakan dan membangun kepercayaan publik terhadap otoritas fiskal Indonesia.
Daftar Pustaka
– Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. – Supriyadi, Beny Setiawan, dan Randy Matius Bintang (2018). Evaluasi Lembaga Keberatan dalam Penyelesaian Sengketa Pajak yang Adil di Direktorat Jenderal Pajak. Jurnal Pajak Indonesia, Vol. 2 No. 2. – Elam Sanurihim Ayatuna. Merancang Ulang Desain Lembaga Keberatan Pajak sebagai Kuasi Peradilan yang Independen. – Statistik Pengadilan Pajak, https://setpp.kemenkeu.go.id/statistik
– PMK 210/PMK.01/2017 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorar Jenderal Pajak
Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal
Pino Siddharta
Email: pinosiddharta@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis
IKPI, Jakarta: Senior Partner PKF Indonesia sekaligus anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Arief Setyadi, berbagi kisah inspiratif sekaligus realitas keras dunia konsultan pajak di hadapan puluhan anggota tetap baru IKPI dalam acara inaugurasi di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025).
Selama dua dekade berkecimpung di dunia perpajakan dan audit, Arief menegaskan bahwa menjadi konsultan pajak bukan sekadar memahami aturan, tetapi tentang membangun trust dan menjadi mitra strategis bagi klien.
“Kami selalu mulai sebagai ‘keset’-nya klien. Tapi tujuan akhirnya bukan itu. Kita harus tumbuh jadi business partner yang dipercaya klien,” ujarnya.
Lulusan Surabaya yang sempat meniti karier dan meraih sertifikasi CPA di Amerika Serikat ini memilih pulang ke tanah air dengan tekad mengabdi pada bangsa. Sejak bergabung dengan PKF Indonesia pada 2006, Arief membangun reputasi di bidang tax compliance atau layanan yang berfokus pada kepatuhan pajak berbasis laporan keuangan yang akurat.
“Semua pekerjaan kami selalu bersumber dari laporan keuangan. Bukan dari SPT. Karena kami percaya, dasar kepatuhan itu adalah data yang valid,” katanya.
Menurutnya, perubahan sistem perpajakan yang cepat mulai dari SPT non-elektronik hingga Coretax menuntut konsultan pajak untuk terus belajar dan beradaptasi. Namun ia menegaskan, belajar teori saja tidak cukup.
“Jadi konsultan pajak itu jangan cuma bisa ngomong. Coba juga jadi pengusaha kecil-kecilan. Supaya tahu rasanya bayar pajak. Dari situ baru kita bisa kasih nasihat yang nyambung dengan realita,” ucapnya.
Arief menilai kebijakan Sunset Policy 2008 menjadi momentum kebangkitan kesadaran pajak nasional. Program itu menciptakan peluang besar bagi profesi di sektor keuangan, termasuk akuntan publik dan konsultan pajak.
“Dulu wajib pajak masih seperti hidup di hutan rimba. Setelah Sunset Policy, mereka mulai sadar pentingnya kewajiban perpajakan. Dari situ lahir kebutuhan akan konsultan pajak yang kredibel,” kenangnya.
Ia juga menyoroti dampak positif dari Tax Amnesty 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun 2021-2022, yang mendorong semakin banyak individu untuk terbuka dan patuh terhadap aturan. “Orang pribadi mulai terbuka. Mungkin belum semuanya paham pajak, tapi setidaknya sudah mau patuh. Itu kemajuan besar,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Arief menegaskan pentingnya membangun tim yang solid dan bermental tahan banting.
“Profesi ini gila load kerjanya. Kalau kita recruitment 10 orang, sisa 1 aja dalam waktu 5 tahun kita sudah bersyukur. Tapi jangan juga sampai rekrut 10 sisa 10, nanti overhead buat gaji menjadi terlalu tinggi” katanya.
Ia menuturkan, profesi konsultan pajak menuntut jam kerja tak normal dan komitmen tinggi terhadap klien. Di kantornya, tim dibiarkan bekerja fleksibel tanpa paksaan lembur, namun dituntut untuk disiplin dan produktif.
“Mereka lembur bukan karena disuruh, tapi karena merasa pekerjaan harus selesai untuk hari berikutnya. Itu budaya yang saya bangun,” jelasnya.
Sebagai anggota IKPI, Arief menegaskan pentingnya kesetiaan pada satu asosiasi profesi. “Kami di PKF memiliki puluhan personel bersertifikat pajak dan semuanya adalah anggota satu asosiasi, yaitu IKPI. Kita tidak pindah-pindah asosiasi. Satu cukup, yang penting kita respect pada senior dan pegang etika dalam bekerja.”tegasnya.
Arief berpesan agar para anggota baru IKPI tidak terjebak pada rutinitas administratif semata, tetapi memaknai profesinya sebagai bentuk pelayanan publik yang bernilai.
“Kerja konsultan pajak itu bukan cuma isi SPT. Kita di tengah-tengah: harus bisa menenangkan klien yang panik, tapi juga bicara baik-baik dengan kantor pajak. Jadi kuncinya ada di serving your client,” pungkasnya.
Arief menegaskan satu hal penting, bahwa profesi konsultan pajak tidak bisa dijalani sendirian, melainkan membutuh tim, etika, dan empati agar bisa bertahan, dipercaya, dan tumbuh bersama klien. (bl)
IKPI, Yogyakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus mendorong literasi perpajakan digital di kalangan generasi muda. Kali ini, Rabu (30/10/2025), IKPI hadir di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) dalam program Podcast “Digitalisasi Perpajakan dengan Coretax: Langkah Menuju Perpajakan Modern” yang digelar pukul 10.30–11.30 WIB.
Podcast tersebut menghadirkan Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld, didampingi pengurus pusat IKPI yakni Ketua Departemen Humas Jemmi Sutiono dan Ketua Departemen Ketua Departemen Investasi dan Bisnis Argi Hughie dan dipandu Dr. Puspita Ghaniy Anggraini, S.E., dari UGM, yang membahas secara mendalam tentang transformasi sistem administrasi pajak Indonesia melalui Coretax System.
Dalam paparannya, Vaudy menjelaskan bahwa kehadiran Coretax menjadi tonggak penting dalam modernisasi perpajakan nasional. Sistem ini, kata dia, bukan sekadar pembaruan teknologi, tetapi juga representasi dari semangat transparansi, efisiensi, dan integrasi data perpajakan yang lebih baik.
“Coretax akan mengubah cara kita melihat dan menjalankan administrasi pajak. Dengan sistem ini, semua proses mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran akan lebih cepat, akurat, dan minim intervensi manual,” ujar Vaudy dalam sesi podcast tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, konsultan pajak, dan dunia akademik dalam mengawal implementasi sistem baru ini. Menurutnya, mahasiswa ekonomi dan akuntansi harus memahami Coretax sejak dini karena mereka akan menjadi pelaku utama di dunia perpajakan masa depan.
“Kampus adalah tempat terbaik untuk menumbuhkan kesadaran pajak berbasis digital. Mahasiswa UGM hari ini adalah calon konsultan, ekonom, dan pembuat kebijakan esok hari. Mereka perlu memahami teknologi perpajakan sejak sekarang,” tambah Vaudy.
Sementara itu, Jemmi dan Argi turut memaparkan berbagai aspek teknis terkait digitalisasi sistem pajak dan peluang karier di bidang perpajakan digital.
Lebih lanjut Vaudy mengungkapkan, podcast di FEB UGM diinisiasi oleh Ketua Pengcab Sleman Hersona Bangun. “Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya IKPI untuk mendekatkan profesi konsultan pajak dengan dunia akademik, sekaligus memperluas sosialisasi Coretax di kalangan generasi muda,” ujarnya.
Antusiasme mahasiswa terlihat tinggi sepanjang sesi berlangsung, ditandai dengan banyaknya pertanyaan seputar peluang profesi dan tantangan digitalisasi perpajakan di era kecerdasan buatan (AI).
Dengan semangat edukatif dan inspiratif, podcast ini menegaskan peran IKPI sebagai mitra strategis pemerintah dan kampus dalam membangun ekosistem perpajakan yang adaptif terhadap perkembangan teknologi. (bl)
IKPI, Jakarta: Membangun firma konsultan pajak bukan perkara mudah. Dibutuhkan mental baja, keberanian menantang ketidakpastian, dan ketekunan untuk bertahan di tengah tekanan. Pesan itu disampaikan Hidajat Hoesni, pendiri Falcon Strategic Consulting sekaligus Anggota Departemen Kerja Sama Organisasi, Asosiasi dan Bisnis – Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), saat berbicara di depan puluhan anggota tetap baru IKPI pada acara Inaugurasi Anggota Tetap Baru di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Senin (27/10/2025).
“Kalau kita takut gagal, jangan coba-coba buka konsultan pajak. Harus punya mental kuat, pantang menyerah, berani menanggung risiko dan disiplin waktu,” tegas Hidajat dalam sesi presentasi bertajuk “Tax Firm 360°: Create, Manage, Scale.”
Ia mengisahkan perjalanannya membangun Falcon Tax Consultant sejak 2011. Berawal dari kantor mungil seluas 48 meter persegi dengan modal terbatas, kini Falcon telah tumbuh menjadi firma kokoh berkapasitas besar.
“Dulu saya buka kantor sendirian, tanpa staf. Cashflow ketat, uang keluar lebih cepat dari uang masuk, dan sulit mencari karyawan berbakat (talent scarcity). Tapi pelan-pelan kami berkembang,” ujarnya.
Hidajat menuturkan, keputusan mendirikan firma sendiri bukan karena ambisi menyaingi siapa pun, tetapi karena passion dan keinginan untuk mandiri. Ia bahkan menolak tawaran jabatan tinggi di firma besar demi membangun impian dari nol.
“Saya keluar dengan baik-baik. Founder Partner saya bilang, ‘Kalau setahun nggak berhasil, jangan ragu-ragu untuk balik ke sini.’ Tapi bagi saya, itu tantangan,” kenangnya.
Selama membangun Falcon, Hidajat mengandalkan kolaborasi lintas profesi mulai dari pengacara, akuntan publik, hingga venture capital untuk memperluas pasar. Salah satu proyek besar yang ia tangani adalah Tax Amnesty Project bersama pemerintah dan asosiasi pengusaha.
“Kami ikut membantu merancang konsep tax amnesty ideal. Setelah undang-undangnya disahkan, permintaan layanan dan sosialisasi melonjak,” katanya.
Namun, Hidajat menegaskan bahwa profesi konsultan pajak kini menghadapi medan yang semakin menantang.
“Jumlah konsultan pajak di Indonesia lebih dari 7.000 orang, sementara wajib pajak lebih dari 80 juta. Tapi pesaing kita bukan hanya sesama konsultan, ada kantor hukum, akuntan publik, biro administrasi pajak, bahkan aplikasi dan AI,” jelasnya.
Ia mengingatkan pentingnya strategi dan diferensiasi agar firma bisa bertahan. Mengutip konsep Michael Porter’s Strategy, Hidajat menilai bahwa keunikan, efisiensi biaya, dan fokus pada pekerjaan menjadi kunci utama keberhasilan.
“Kalau kita punya diferensiasi, harga bukan masalah. Tapi kalau cuma ikut arus, kita akan tersisih,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan baru dari kemunculan teknologi AI yang mulai mengambil alih sebagian pekerjaan pajak. “Ancaman AI itu nyata, tapi bukan untuk ditakuti. AI banyak digunakan klien untuk mendapatkan first opinion tapi untuk final opinion, tetap dibutuhkan pendapat konsultan pajak ahli Justru harus kita manfaatkan untuk naik kelas,” ujarnya.
Ia juga memberikan dorongan moral kepada para anggota baru IKPI agar tidak terburu-buru membuka kantor sendiri. “Kalau belum siap, belajar dulu di firma lain supaya ada gambaran membentuk firma yang ideal. Setelah punya pengalaman, modal yang cukup dan mental kuat, baru buka sendiri. Karena di dunia konsultan pajak, sukses itu bukan soal mendapatkan untung cepat, tapi soal strategi, konsistensi dan punya visi jangka panjang,” pungkasnya. (bl)
IKPI, Yogyakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menegaskan bahwa dunia kerja, termasuk profesi konsultan pajak, kini tengah memasuki era baru yang ditandai oleh kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI). Menurutnya, perubahan ini bukan sekadar tren, tetapi merupakan keniscayaan yang akan membentuk ulang cara para profesional pajak bekerja, berpikir, dan berinteraksi dengan klien.
Hal itu disampaikan Vaudy dalam Seminar IKPI Pengda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang berlangsung di Yogyakarta Rabu, (30/10/2025) dan dihadiri oleh lebih dari 70 peserta, terdiri dari anggota IKPI dan kalangan umum.
Acara tersebut menjadi momentum penting bagi IKPI untuk memperkuat literasi teknologi dan membangun kesiapan anggota menghadapi transformasi digital di bidang perpajakan.
(Foto: Istimewa)
“Kita sedang menyaksikan perubahan besar dalam dunia kerja. AI bukan lagi sekadar wacana futuristik, tapi kebutuhan nyata untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan akurasi di bidang perpajakan, akuntansi, dan administrasi keuangan,” ujar Vaudy.
Menurutnya, kehadiran teknologi AI membawa tantangan sekaligus peluang besar bagi profesi konsultan pajak. Di satu sisi, AI menuntut kemampuan baru dalam memahami data dan sistem digital. Namun di sisi lain, AI membuka ruang bagi konsultan pajak untuk mempercepat proses analisis, memperkuat layanan konsultasi, dan membantu meningkatkan kepatuhan pajak secara nasional.
“AI bisa menjadi asisten terbaik bagi konsultan pajak. Dengan kecerdasan buatan, analisis data bisa dilakukan lebih cepat, laporan bisa lebih akurat, dan layanan kepada klien menjadi lebih bernilai,” tambahnya.
Sebagai organisasi profesi konsultan pajak terbesar di Indonesia, Vaudy menegaskan bahwa IKPI memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk menjadi pelopor transformasi digital. Ia menekankan pentingnya penguasaan teknologi sebagai bagian dari kompetensi dasar konsultan pajak masa kini.
“IKPI tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah revolusi digital. Kita harus memimpin perubahan, memastikan seluruh anggota siap beradaptasi, dan tetap relevan di era digital yang serba cepat,” tegasnya.
Sekadar informasi, seminar ini juga menghadirkan narasumber Muhammad Hanif, Founder AI for Productivity, yang memaparkan penerapan praktis kecerdasan buatan dalam meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Para peserta diajak memahami bagaimana AI dapat diterapkan untuk mengotomasi tugas-tugas administratif, menganalisis data pajak secara cerdas, hingga mendukung pengambilan keputusan strategis berbasis data.
Selain menjadi ajang pembelajaran, kegiatan ini juga memperlihatkan soliditas dan semangat kolaborasi antaranggota IKPI di wilayah Yogyakarta. Vaudy menyampaikan apresiasi khusus kepada Pengda IKPI DIY yang baru terbentuk namun telah menunjukkan kinerja luar biasa dalam menyelenggarakan kegiatan dengan antusiasme tinggi.
“Salut kepada Pengda DIY. Meski termasuk daerah yang baru terbentuk, semangat dan partisipasi yang ditunjukkan sungguh luar biasa. Kehadiran peserta umum yang mencapai 50 orang menunjukkan bahwa minat masyarakat terhadap dunia perpajakan dan teknologi semakin besar,” ujar Vaudy.
Turut hadir dalam acara tersebut sejumlah pengurus pusat IKPI, antara lain:
• Jemmi Sutiono, Ketua Departemen Hubungan Masyarakat
• Argi Evanfarid, Ketua Departemen Investasi dan Pengembangan Bisnis Organisasi
• Eddy Wahyudi, Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal
Hadir pula Albertus Santosa, Ketua Pengda IKPI DIY beserta jajarannya; Hersona Bangun (Ketua Pengcab Sleman); Maryanto (Ketua Pengcab Bantul); Matheas Prihargo Wahyandono (Ketua Pengcab Yogyakarta); serta Budi Aris Laksmana selaku Ketua Panitia.
Seminar ini menjadi wujud nyata komitmen IKPI untuk terus memperkuat capacity building dan literasi teknologi bagi para konsultan pajak di seluruh Indonesia.
“AI bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memberdayakan kemampuan manusia agar lebih cepat, tepat, dan berdampak. Dengan AI, konsultan pajak bisa naik kelas menjadi lebih strategis dan bernilai bagi klien serta negara,” kata Vaudy
Dengan semangat tersebut, IKPI berkomitmen menjadikan teknologi sebagai mitra dalam mewujudkan profesi konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan berdaya saing tinggi di era digital. (bl)
IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku masih berhitung matang sebelum mengeksekusi rencana penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ia menilai kebijakan itu tidak bisa diambil secara tergesa, mengingat dampaknya yang langsung terasa pada penerimaan negara.
“Begitu jadi menteri keuangan, setiap 1% turun saya kehilangan pendapatan Rp70 triliun. Wah, rugi juga nih,” ungkap Purbaya dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa (28/10/2025).
Purbaya mengaku, sebelum duduk di kursi Menkeu, dirinya sempat sangat percaya diri menurunkan tarif PPN demi merangsang daya beli masyarakat. Namun, setelah melihat langsung struktur keuangan negara, ia menyadari langkah tersebut memerlukan perhitungan yang jauh lebih hati-hati.
“Jadi kita pikir-pikir,” ujarnya tegas.
Menurutnya, penurunan tarif pajak baru bisa dilakukan bila sistem administrasi perpajakan dan kepabeanan sudah benar-benar efisien. Pemerintah saat ini tengah memantapkan pembenahan sistem tersebut agar kemampuan negara dalam memungut pajak dan cukai bisa diukur secara nyata.
“Saya perbaiki dulu sekarang sampai triwulan dua ke depan, nanti saya bisa ukur. Kalau sudah tahu kemampuan riil penerimaan, baru saya berani ambil keputusan besar seperti menurunkan tarif,” jelasnya.
Purbaya menambahkan, rencana penurunan tarif PPN sejatinya sudah menjadi bagian dari agendanya sejak awal menjabat sebagai Menteri Keuangan. Namun, ia enggan berspekulasi tanpa data kuat.
“Itu sudah di atas kertas, sudah direncanakan. Tapi saya harus hati-hati, karena saya baru dua bulan menjabat. Jadi saya hitung semua dulu,” ujarnya.
Dengan gaya blak-blakan khasnya, Purbaya menegaskan bahwa dirinya bukan tipe pengambil keputusan “koboi” dalam kebijakan fiskal.
“Walaupun saya kelihatannya sembarangan kayak koboi, tapi saya pelit dan hati-hati. Kalau jeblok nanti, defisit bisa tembus di atas 3%,” tutupnya. (alf)
IKPI, Jakarta: Pengamat kebijakan publik Muhammad Gumarang menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menertibkan dana pemerintah daerah yang disimpan dalam bentuk deposito di bank daerah merupakan kebijakan tepat dan berani. Menurutnya, kebijakan tersebut akan memperkuat disiplin fiskal sekaligus mendorong optimalisasi penyerapan anggaran di daerah.
“Kebijakan Menteri Keuangan sudah tepat. Penertiban ini akan memperkuat disiplin fiskal dan mendorong pemerintah daerah agar lebih optimal dalam penyerapan anggaran,” ujar Gumarang, Selasa (29/10/2025).
Ia menjelaskan, temuan dana mengendap di 15 daerah menunjukkan masih lemahnya tata kelola keuangan daerah. Banyak pemerintah daerah yang salah kaprah memandang Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) sebagai kelebihan dana, padahal justru menandakan rendahnya serapan anggaran dan potensi terhambatnya pertumbuhan ekonomi lokal.
Menurut Gumarang, praktik penyimpanan dana daerah di Bank Pembangunan Daerah (BPD) sudah lama menjadi kebiasaan karena dianggap aman dan mudah diawasi. Namun, kebiasaan itu justru menimbulkan konflik kepentingan dan rawan penyalahgunaan.
“Selama ini kepala daerah merasa nyaman menaruh uang di BPD karena bank itu milik mereka sendiri. Tapi itu harus dihentikan,” tegasnya.
Ia menambahkan, dengan penertiban dana mengendap ini, Kementerian Keuangan berupaya memastikan anggaran publik benar-benar tersalurkan untuk kegiatan produktif. Gumarang juga meyakini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dapat dengan mudah menelusuri praktik tersebut melalui mekanisme audit sesuai UU Nomor 17 Tahun 2003 dan PP Nomor 71 Tahun 2010.
“Langkah Kementerian Keuangan ini harus berlanjut. Daerah tidak boleh lagi menjadikan SiLPA sebagai budaya. Ini bukan keuntungan, tapi tanda ada yang tidak beres dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran,” pungkasnya. (alf)