Karyawan di IKN Tidak Dipungut PPh 21

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyiapkan sejumlah insentif bagi masyarakat yang bersedia tinggal dan bekerja di wilayah Ibu Kota Nusantara (IKN).

Salah satu insentif yang disiapkan adalah terkait pembebasan pajak penghasil (PPh) pasal 21.

Staf Ahli Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan berbagai insentif fiskal untuk menarik minat partisipasi pembangunan IKN.

Ketentuan “pemanis” itu sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, Dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha Di Ibu Kota Nusantara.

“Yang antara lain kalau terkait dengan fiskal memberikan aturan terkait PPh, PPN, dan kepabeanan,” kata dia, dalam diskusi virtual, seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (4/12/2023).

Lebih lanjut Yon menyebutkan, salah satu insentif perpajakan yang disiapkan ialah PPh pasal 21 ditanggung pemerintah.

 

Dengan demikian, karyawan yang bekerja di IKN dapat menerima gaji penuh tanpa potongan PPh.

“Kita usahakan mendatangkan keramaian atau crowd, makanya salah satu fasilitas yang kita berikan di antaranya adalah PPh pasal 21 yang ditanggung pemerintah,” ujarnya.

Insentif PPh pasal 21 ditanggung pemerintah itu akan diberikan untuk semua golongan karyawan. Yon bilang, semua golongan tingkat pendapatan akan mendapatkan insentif tersebut.

“Jadi intinya yang pindah ke sana bekerja di sana berdomisili di sana karyawannya pphnya ditanggung pemerintah,” katanya.

Dalam pelaksanaannya, ketentuan mengenai insentif PPh 21 akan dievaluasi secara berkala. Hal itu dilakukan untuk memastikan keberlanjutan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagai informasi, PPh pasal 21 merupakan pajak pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada orang pribadi.

Adapun besaran potongan PPh pasal 21 ditentukan berdasarkan lapisan pendapatan orang pribadi, yakni mulai dari 5 persen untuk pendapatan di bawah Rp 60 juta per tahun hingga 35 persen untuk pendapatan di atas Rp 5 miliar per tahun. (bl)

 

 

Investor di IKN Dapat Keringanan Pajak hingga 30 Tahun

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan sejumlah fasilitas perpajakan kepada investor Ibu Kota Nusantara (IKN). Salah satunya adalah pemberian tax holiday atau insentif pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti menuturkan tax holiday tersebut akan diberikan kepada investor yang menanamkan modalnya di IKN paling sedikit Rp 10 miliar. Sementara batas waktu paling lama dalam pemberian keringanan itu adalah maksimal 30 tahun.

“Tax holiday dengan batasan investasi Rp10 miliar untuk jangka waktu paling lama 30 tahun,” kata Dwi lewat keterangan tertulis, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (4/11/2023).

Dwi mengatakan keringanan perpajakan itu diberikan untuk sejumlah sektor yang memenuhi syarat. Aturan tersebut, kata dia, juga disesuaikan dengan kebutuhan IKN. “Atas beberapa sektor eligible dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan pengembangan dan pembangunan IKN,” tambahnya.

Secara lebih rinci, aturan mengenai tax holiday diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 Tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal Bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara.

Paragraf 2 PP itu dijelaskan dalam Paragraf 2 mengenai Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri. Pasal 28 menjelaskan mengenai 3 sektor yang bisa mendapatkan fasilitas ini, yakni infrastruktur dan layanan umum; bangkitan ekonomi; dan bidang usaha lainnya.

Sektor infrastruktur dan layanan umum mencakup pembangkit listrik. pembangunan dan pengoperasian Jalan tol, bandar udara, hingga fasilitas kesehatan dan lainnya.

Sementara sektor bangkitan ekonomi yang bakal mendapatkan tax holiday di antaranya pembangunan dan pengoperasian pusat perbelanjaan alias mall; penyediaan sarana wisata dan jasa akomodasi atau hotel berbintang; fasilitas meeting, incentive, convention dan exhibition; serta penyediaan SPBU atau pengisian daya baterai kendaraan listrik.

Terakhir, sektor usaha lainnya yang akan mendapatkan fasilitas tax holiday adalah budidaya pertanian dan perikanan perkotaan; industri bernilai tambah; industri perangkat keras dan perangkat lunak; jasa perdagangan dan lain sebagainya.

Pasal 29 Ayat (1) menjelaskan lebih lanjut bahwa Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan sebesar lOO% dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.

Dalam Pasal 29 juga dijelaskan bahwa sektor infrastruktur dan layanan umum bisa mendapatkan pengurangan pajak penghasilan badan selama 30 tahun apabila mulai berinvestasi pada periode 2023-2030; selama 25 tahun pajak untuk penanaman modal pada 2031-2035; dan 20 tahun pajak untuk penanaman modal 2036-2045.

Ketentuan serupa berlaku untuk bidang usaha bangkitan ekonomi, yakni 20 tahun untuk penanaman modal pada 2023-2030; 15 tahun untuk penanaman modal 2031-2035; dan 10 tahun untuk 2036-2045. Sementara pengurangan pajak untuk bidang usaha lainnya adalah 10 tahun untuk penanaman modal pada 2023-2030 dan 10 tahun pula untuk investasi pada 2031-2045.

Aturan tax holiday ini juga diterapkan kepada mereka yang melakukan penanaman modal di Financial Center IKN dengan sejumlah ketentuan dan syarat. Selain itu, tax holiday juga disediakan kepada perusahaan luar negeri yang bersedia memindahkan kantor pusat maupun kantor regionalnya ke Kalimantan Timur.

Meski menggiurkan, namun dalam PP tersebut pemerintah juga mengatur pencabutan terhadap pemberian tax holiday apabila para investor tak bisa memenuhi persyaratan, misalnya realisasi penanaman modal paling lambat 2 tahun setelah disetujui. (bl)

 

 

Pemajakan Dividen Tak Cerminkan Prinsip Kesetaraan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai pemajakan atas distribution of profit to shareholder (dividen) di Indonesia bukanlah objek pajak yang bersifat final (general principle). Alasannya, dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 UU Pajak Penghasilan dengan tarif 15 persen.

“Mengingat aturan yang demikian, pajak penghasilan Pasal 23 UU PPh atas dividen sebesar 15 persen tersebut merupakan ‘prepaid tax’ sehingga pada akhirnya pajak tersebut dapat dikreditkan dengan kewajiban pajak yang dihitung pada akhir tahun,” kata Arsono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2023).

Menurutnya, penerapan general principle atas penghasilan dividen sebagaimana yang demikian akan menciptakan “economic double taxations”.

Pertama, pengenaan pajak atas taxable profit pada level corporate. Kedua pengenaan pajak saat profit after taxes tersebut dibagikan sebagai dividen, dikenakan kembali pada level shareholders.

Untuk meminimalkan double taxes tersebut; maka dalam hal dividen tersebut dibagikan kepada badan (corporate) yang kemudian dikenal intercompany dividen, maka dividen tersebut diklasifikasi sebagai bukan objek pajak (lihat Pasal 4 ayat 3) huruf f UU Pajak Penghasilan)

Namun demikian, kata Arsono, dalam hal penghasilan berupa dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri (kemudian diperluas kepada koperasi sebagai wujud keberpihakan negara kepada koperasi), BUMN, BUMD. “Perseroan terbatas diperluas kepada BUMN dan BUMD dengan syarat shareholding pada perusahaan yang membayarkan dividen paling rendah 25% dari jumlah yang disetor, dan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa kemudian dengan pertimbangan kemudahan administrasi, atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (dalam negeri) merupakan objek pajak sebesar 10 persen, itulah pajak yang bersifat final.

Dalam situasi demikian kata Arsono, nantinya akan berujung pada hasil akhir yang berbeda. Artinya dalam hal penerima merupakan wajib pajak pribadi dalam negeri.

Dengan demikian terjadinya economic double taxation tidak bisa dihindarkan. (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

“Situasi dan pengaturan yang demikian merupakan perlakuan belum menggambarkan prinsip kesetaraan ‘unequal treatment’ meskipun penerima penghasilan dividen sangat bisa jadi berada pada situasi yang setara ‘comparable circumstance’ sehingga saya mengartikan pengaturan yang demikian belum memberikan kebebasan dalam berinvestasi ‘free movement of capital’ bagi business operator),” katanya.

Dia menegaskan, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pengaturan Pasal 4 ayat 3) huruf f) semakin diperluas yakni

dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;

dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak; atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kita mesti mengakui upaya meminimalkan terjadinya double taxation terus diupayakan sehingga system pemajakan atas distribution of profit to shareholder menjadi lebih efisien. Sesuatu yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, Arsono mengimbau bahwa pengaturan tersebut masih perlu lebih disempurnakan. Tujuannya, agar free movement of capital dapat terjamin sehingga cita cita ASEAN sebagai Epicentrum of Growth bisa terwujud. (bl)

Pemajakan Dividen Tak Cerminkan Prinsip Kesetaraan

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Hubungan Luar Negeri Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menilai pemajakan atas distribution of profit to shareholder (dividen) di Indonesia bukanlah objek pajak yang bersifat final (general principle). Alasannya, dividen merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 UU Pajak Penghasilan dengan tarif 15 persen.

“Mengingat aturan yang demikian, pajak penghasilan Pasal 23 UU PPh atas dividen sebesar 15 persen tersebut merupakan ‘prepaid tax’ sehingga pada akhirnya pajak tersebut dapat dikreditkan dengan kewajiban pajak yang dihitung pada akhir tahun,” kata Arsono dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/12/2023).

Menurutnya, penerapan general principle atas penghasilan dividen sebagaimana yang demikian akan menciptakan “economic double taxations”.

Pertama, pengenaan pajak atas taxable profit pada level corporate. Kedua pengenaan pajak saat profit after taxes tersebut dibagikan sebagai dividen, dikenakan kembali pada level shareholders.

Untuk meminimalkan double taxes tersebut; maka dalam hal dividen tersebut dibagikan kepada badan (corporate) yang kemudian dikenal intercompany dividen, maka dividen tersebut diklasifikasi sebagai bukan objek pajak (lihat Pasal 4 ayat 3) huruf f UU Pajak Penghasilan)

Namun demikian, kata Arsono, dalam hal penghasilan berupa dividen yang diterima oleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri (kemudian diperluas kepada koperasi sebagai wujud keberpihakan negara kepada koperasi), BUMN, BUMD. “Perseroan terbatas diperluas kepada BUMN dan BUMD dengan syarat shareholding pada perusahaan yang membayarkan dividen paling rendah 25% dari jumlah yang disetor, dan dividen tersebut bukan merupakan objek pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengungkapkan, bahwa kemudian dengan pertimbangan kemudahan administrasi, atas dividen yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi (dalam negeri) merupakan objek pajak sebesar 10 persen, itulah pajak yang bersifat final.

Dalam situasi demikian kata Arsono, nantinya akan berujung pada hasil akhir yang berbeda. Artinya dalam hal penerima merupakan wajib pajak pribadi dalam negeri.

Dengan demikian terjadinya economic double taxation tidak bisa dihindarkan. (lihat Peraturan Pemerintah Nomor 19/2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen Yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri).

“Situasi dan pengaturan yang demikian merupakan perlakuan belum menggambarkan prinsip kesetaraan ‘unequal treatment’ meskipun penerima penghasilan dividen sangat bisa jadi berada pada situasi yang setara ‘comparable circumstance’ sehingga saya mengartikan pengaturan yang demikian belum memberikan kebebasan dalam berinvestasi ‘free movement of capital’ bagi business operator),” katanya.

Dia menegaskan, di dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 pengaturan Pasal 4 ayat 3) huruf f) semakin diperluas yakni

dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b) badan dalam negeri;

dividen yang berasal dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari suatu bentuk usaha tetap di luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan dalam negeri atau Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu, dan memenuhi persyaratan berikut a) dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan tersebut paling sedikit sebesar 30 persen dari laba setelah pajak; atau b) dividen yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek diinvestasikan di Indonesia sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen tersebut sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kita mesti mengakui upaya meminimalkan terjadinya double taxation terus diupayakan sehingga system pemajakan atas distribution of profit to shareholder menjadi lebih efisien. Sesuatu yang patut diapresiasi,” ujarnya.

Namun demikian, Arsono mengimbau bahwa pengaturan tersebut masih perlu lebih disempurnakan. Tujuannya, agar free movement of capital dapat terjamin sehingga cita cita ASEAN sebagai Epicentrum of Growth bisa terwujud. (bl)

 

Pengusaha Bioskop Sebut UU HKPD Sudah Cukup Mengatur Batas Pungutan Pajak

IKPI, Jakarta: Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) mengaku heran dengan wacana aturan baru standardisasi pajak bioskop. Pasalnya, aturan yang ada saat ini sudah baik.

Ketua GPBSI Djonny Syafruddin merujuk pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), yang baru disahkan Presiden Joko Widodo tahun lalu. Menurutnya, beleid tersebut sudah menjawab tuntutan pengusaha terkait pajak bioskop.

“Menurut saya yang sudah berlaku (UU HKPD), sudah bagus, mau apalagi? Iya, sudah pakai itu saja. Nanti jadi bingung (kalau ada aturan baru lagi),” kata Djonny seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (30/11/2023).

“Itu kan setinggi-tingginya 10 persen (pungutan pajak bioskop di UU HKPD). Semuanya kan nanti melalui peraturan daerah (aturan teknisnya). Karena uangnya buat (pemerintah) daerah, bukan pusat,” sambungnya.

Di UU HKPD, bioskop digolongkan sebagai aktivitas hiburan dan dikenakan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Pada Pasal 58 ayat (1) beleid tersebut, pajak PBJT ditetapkan paling tinggi 10 persen.

Sedangkan tarif PBJT dikenakan 40 persen hingga 75 persen untuk klasifikasi hiburan lain, seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Terlepas dari kebingungan pengusaha, Djonny menceritakan awal mula mengapa muncul angka maksimal 10 persen. Menurutnya, itu adalah salah satu perjuangan GPBSI yang didengar Jokowi.

Sebelum ada UU HKPD, pajak bioskop diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Bioskop atau tontonan film masuk dalam pajak hiburan. Pasal 45 ayat (1) UU PDRD mengatur besaran tarif pajak maksimal 35 persen.

“Beberapa tahun lalu saya memang pernah ngomongnya agak keras, kira-kira 2 atau 3 tahun lalu. Saya bilang ke Pak Jokowi ‘NKRI harga mati’, saya gituin. Kalau betul NKRI, berarti semuanya (pajak bioskop) harus sama,” tuturnya.

“Saya kan pernah tinggal di negara federal, di Jerman Barat dulu 1970-an. Itu pajak dari Hamburg sampai ke Muenchen sama, jenisnya, subjek, dan objeknya. Di Indonesia enggak. Medan 30 persen, Palembang 20 persen, beda-beda lah. Jakarta 10 persen, itu saya yang berjuang waktu itu,” ungkapnya.

“Jadi beda-beda, saya bilang kenapa enggak disamakan? Objek dan subjeknya sama, film, ya sama dong. Keluarlah itu (UU HKPD), setinggi-tingginya 10 persen,” jelas Djonny.

Kalaupun pada akhirnya akan ada standardisasi pajak bioskop baru melalui peraturan presiden, Djonny berharap angkanya turun dari yang berlaku di UU HKPD. Meski ia ragu akan ada aturan baru soal besaran tarif pajak bioskop, karena UU HKPD pun baru efektif berlaku 2024.

Sebelumnya, rencana standardisasi pajak bioskop ini dibocorkan Menteri BUMN Erick Thohir. Ia menyampaikan dalam rapat yang dihadiri perwakilan Kemenko Marves, Kemendagri, Kemenparekraf, PT Produksi Film Negara (PFN), hingga aktor Indonesia.

Ucapan Erick tidak dalam kesatuan utuh. Ia hanya mengatakan Presiden Jokowi akan mengumumkan aturan yang pro-industri film nasional.

Setelah itu, video unggahan Instagram @erickthohir beralih kepada klip baru. Bagian inilah yang menyinggung soal standardisasi pajak bioskop di seluruh daerah Indonesia.

“Bahwa seluruh pungutan pajak, karcis bioskop itu sama di semua daerah. Nanti akan ditaruh satu fund untuk khusus film nasional,” kata Erick via akun Instagram resminya, Senin (27/11).

“Bahwa kemungkinan harus ada perpres yang bisa memayungi seluruh ekosistem yang kita bisa lakukan, baik dari segi perpajakan, perizinan, lalu juga pendanaan. Sehingga juga kita titik akhirnya bagaimana proses keuangan mesti clear and clean,” tandasnya. (bl)

Tersangka Pengemplang Pajak Rp 1,3 Miliar Diserahkan ke Kejaksaan

IKPI, Jakarta: Tim Penyidik Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat melakukan penyerahan tersangka dan barang bukti tindak pidana perpajakan kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Dia berinisial SLW melalui PT MSE.

SLW telah disangka dengan sengaja tidak menyampaikan surat pemberitahuan (SPT) dan/atau tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut masa pajak Desember 2018 sampai Agustus 2019. Perbuatannya dinilai menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara lebih dari Rp 1,3 miliar.

“Atas perbuatan tersangka dalam kurun waktu Desember 2018 sampai Agustus 2019 menimbulkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp 1.359.380.881,” kata Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Jakarta Pusat, Agustinus Dicky Haryadi, seperti dikutip dari Detik Finance, Jumat (31/11/2023).

Modus yang dilakukan SLW melalui PT MSE adalah melakukan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada para pelanggan. Atas transaksi tersebut, telah diterbitkan faktur pajak dan dilakukan pemungutan PPN-nya, namun PT MSE tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan tidak melaporkan SPT Masa PPN dan/atau tidak menyetor PPN yang seharusnya dibayar ke kas negara.

Terhadap tersangka dapat dipersangkakan melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf c jo. Pasal 39 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun, serta denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Berkat kerja sama antara Penegak Hukum Kanwil DJP Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya, dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, berkas perkara atas tersangka SLW sudah dinyatakan lengkap oleh Jaksa Peneliti (P-21) dan dilakukan penyerahan tersangka serta barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

“Keberhasilan Kanwil DJP Jakarta Pusat dalam menangani tindak pidana di bidang perpajakan merupakan wujud koordinasi yang baik antar aparat penegak hukum yang telah dilakukan oleh Kanwil DJP Jakarta Pusat, Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta,” tutur Agustinus.

Keberhasilan ini sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam melakukan penegakan hukum di bidang perpajakan yang akan memberikan peringatan bagi para pelaku lainnya. Dengan demikian penerimaan negara dapat diamankan demi tercapainya pemenuhan pembiayaan negara dalam APBN. (bl)

 

DJP Catat 82 Persen NIK Sudah Terintegrasi dengan NPWP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 20 November 2023 sudah terdata 59,38 juta pemilik nomor induk Kependudukan (NIK) yang terintegrasi dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Angka tersebut mencapai realisasi 82,44 persen dari total 72,04 juta Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.

Menurutnya, sejauh ini dari DJP senantiasa melakukan edukasi dan mengimbau kepada WP Orang Pribadi Dalam Negeri untuk memadankan NIK sebagai NPWP melalui situs pajak.go.id, agar lebih mudah dalam mengakses layanan perpajakan pada saat dilakukan diimplementasikan penuh nantinya.

Selain itu, pihaknya juga terus berkoordinasi dengan berbagai pihak yang akan memiliki interopabilitas dengan sistem informasi milik DJP, di antaranya adalah perbankan serta berbagai Kementerian dan Lembaga.

“Masing-masing pihak saat ini sedang melakukan penyesuaian sistem informasi yang mereka miliki, sehingga lebih mudah saat implementasi core tax dilaksanakan,” ujarnya.

Cara Validasi NIK Jadi NPWP

Simak cara validasi NIK melalui sistem DJP online:

Masuk ke laman DJP Online di https://djponline.pajak.go. id/account/login.

Lalu login ke laman DJP Online tersebut dengan memasukkan NPWP, beserta kata sandi, dan kode keamanan (captcha) yang tersedia.

Setelah berhasil login, masuk ke menu utama “Profil”.

Nanti dalam laman Profil tersebut akan menunjukkan status validitas data utama yang Anda miliki, apakah anda ‘Perlu Dimutakhirkan’ atau ‘Perlu Dikonfirmasi’. Status ini menandakan, bahwa Anda perlu melakukan validasi NIK.

Dalam halaman menu ‘Profil’ akan terdapat ‘Data Utama’ dan akan menemukan kolom NIK/NPWP (16 digit). Di dalam kolom tersebut, Anda harus memasukkan NIK yang berjumlah 16 digit.

Apabila sudah selesai klik ‘Validasi’.

Selanjutnya sistem akan mencoba melakukan validasi data dengan yang tercatat di Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Jika data valid, maka sistem akan menampilkan notifikasi informasi bahwa data telah ditemukan. Lalu, klik ‘Ok’ pada notifikasi itu.

Kemudian tekan tombol “Ubah Profil”.

Terkahir, Anda juga bisa melengkapi bagian data KLU dan anggota keluarga. Apabila telah selesai dan tervalidasi, maka Anda sudah dapat menggunakan NIK untuk melakukan login ke DJP Online.

Apabila tidak berhasil berikut caranya:

1.Masuk ke laman www.pajak.go.id

2.Klik login atau akses langsung ke djponline.pajak.go.id

3.Masukkan 15 digit NPWP

4.Gunakan kata sandi akun pajak yang dimiliki

5.Masukkan kode keamanan yang sesuai

6.Klik ikon baris tiga

7.Masuk menu profil dan pilih data profil

8.Masukkan 16 digit NIK sesuai KTP

9.Cek validitas data dengan klik tombol validasi

10.Klik ubah profil

11.Apabila berhasil, silakan keluar dan ulangi proses login menggunakan NIK

Jika data NIK sudah berhasil diinput, pengguna juga dapat memasukkan data diri antara lain nama lengkap, alamat, nomor ponsel yang masih aktif untuk urusan pajak dan lainnya. (bl)

Cek Tarif Pajak UMKM 2024

IKPI, Jakarta: Pajak UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah) mendapatkan tarif cukup murah sejak diberlakukan pada 2018. Pelaku UMKM dibebankan tarif Pajak Penghasilan (PPh) 15 persen untuk omset tidak lebih dari Rp4,8 miliar.

Penerapan tarif ini hanya selama 7 tahun saja dan setelah itu diterapkan tarif normal. UMKM adalah usaha produktif yang dimiliki perorangan atau badan usaha yang sudah memenuhi kriteria sebagai usaha mikro.

Kriteria tersebut yakni memiliki kekayaan bersih hingga Rp50 juta dan tidak termasuk bangunan atau pun tempat usaha. Selain itu, hasil penjualan yang berhasil dibukukan UMKM paling banyak Rp300 juta per tahun.

UMKM menjadi salah satu penopang hidup bagi sebagian masyarakat Indonesia. Jenis usaha yang banyak memiliki UMKM di antaranya bidang kuliner, fesyen, dan agribisnis. Apa itu Pajak UMKM? UMKM tidak lepas dari kewajiban membayar PPh semenjak keluarnya PP Nomor 23 Tahun 2018.

Tarif pajak UMKM diberlakukan sebesar 0,5 persen dari setiap penghasilan. Sebelumnya, besaran pajak UMKM adalah 1 persen dari penghasilan bruto berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013. Adanya penurunan tarif pajak UMKM kala itu agar selisih tarif dapat membantu para pelaku usaha dalam modal kerja. Pemberlakukan tarif PPh 0,5 persen berlaku sejak 1 Juli 2018.

Dalam PP Nomor 23 Tahun 2018 disebutkan, pengusaha dengan peredaran bruto tertentu (UMKM) dengan omset tidak melebihi Rp4,8 miliar per tahun dikenakan tarif 0,5 persen. Peruntukannya yaitu pelaku UMKM orang pribadi dan badan (koperasi, CV, firma, dan PT).

Apakah Pajak UMKM 2024 Naik? Pajak UMKM akan segera dinaikkan, tapi tidak di 2024. Wajib pajak dari pelaku UMKM masih akan memperoleh pajak penghasilan (PPh) dengan tarif 0,5 persen sepanjang tahun depan.

Setelah 2024 berakhir, pemerintah tidak memberlakukan perpanjangan atas tarif tersebut. Penghitungan tarif pajak UMKM tersebut berdasar pada PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.

Pemberlakukan tarif PPh untuk UMKM berjalan untuk periode waktu khusus. “Memang betul dalam peraturan pemerintah tersebut jangka waktu untuk habituasi bagi wajib pajak orang pribadi yang sudah mulai tahun 2018 akan berhenti setelah tahun ke-7 yaitu di tahun 2024,” kata Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo seperti dikutip Tirto.id, Kamis (30/11/2023).

Selama ini tarif PPh 0,5 persen diberlakukan untuk wajib pajak dengan peredaran bruto (omset) tidak lebih dari Rp4,8 miliar. Mulai 2025 nanti, skema perhitungan menggunakan Norma Penghitungan atau memakai tarif normal, serta menyelenggarakan pembukuan apabila omset di atas Rp4,8 miliar. (bl)

DJP Sebut Tanggungan PPN DTP Rumah di Bawah Rp5 Miliar untuk Bantu Masyarakat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan menyebutkan kebijakan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian rumah maksimal Rp5 miliar bertujuan untuk membantu masyarakat memiliki rumah.

Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan kebijakan tersebut berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dalam dinamika perekonomian global melalui peningkatan daya beli properti oleh masyarakat.

“Pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional sektor properti dan sektor-sektor pendukungnya,” kata Dwi seperti dikutip dari Antara News, Rabu (30/11/2023).

Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120 Tahun 2023 yang mulai berlaku tanggal 21 November 2023.

PPN DTP diberikan atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) maksimal Rp2 miliar yang merupakan bagian dari harga jual paling banyak Rp5 miliar.

Pembelian rumah seharga Rp6 miliar tidak dapat memanfaatkan insentif PPN DTP karena harga jual rumah melebihi Rp5 miliar. Sementara pembelian rumah seharga Rp5 miliar bisa mendapatkan insentif PPN DTP, tetapi hanya atas DPP sebesar Rp2 miliar, yaitu sebesar 11 persen persen dikali Rp2 miliar atau sebesar 220 juta rupiah,” jelas Dwi.

PPN DTP yang diberikan terbagi atas dua periode. Untuk penyerahan rumah periode 1 November 2023 sampai dengan 30 Juni 2024, PPN yang ditanggung pemerintah sebesar 100 persen dari DPP. Sementara untuk penyerahan periode 1 Juli 2024 sampai dengan 31 Desember 2024, PPN ditanggung pemerintah sebesar 50 persen dari DPP.

Kebijakan tersebut hanya dapat dimanfaatkan satu kali oleh satu Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Selain itu, insentif ini hanya diberikan atas penyerahan rumah tapak baru atau satuan rumah susun baru yang telah mendapatkan kode identitas rumah dari aplikasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan/atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat.

Dwi juga menyampaikan kebijakan ini tetap dapat dimanfaatkan atas penyerahan dengan skema cicilan. Bahkan, insentif tetap dapat dimanfaatkan walaupun pembayaran uang muka atau cicilan pertama telah dilakukan sebelum berlakunya PMK ini asal tidak lebih lama dari pada tanggal 1 September 2023.

Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah rumah tapak atau satuan rumah susun tersebut tidak boleh dipindahtangankan dalam jangka waktu satu tahun sejak penyerahan. (bl)

Pertamina Usul Penunggak Pajak Kendaraan Tak Boleh Isi BBM Subsidi

IKPI, Jakarta: PT Pertamina (Persero) mengusulkan kepada pemerintah daerah agar penunggak pajak kendaraan bermotor dilarang membeli BBM bersubsidi.

Usulan disampaikan ke Pemerintah Daerah Bali.

“Harapannya meningkatkan serapan pajak dan mengurangi potensi penyerapan BBM subsidi yang digunakan pihak yang tidak berhak,” kata Manajer Komunikasi dan CSR Pertamina Patra Niaga Wilayah Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Ahad Rahedi, Selasa (28/11/2023) seperti dikutip dari Antara.

Ia mengatakan mekanisme pelarangan beli bisa dilakukan saat penunggak pajak mendatangi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) untuk membeli BBM. Saat itu, mereka tidak diperkenankan mengisi BBM subsidi.

Setelah itu katanya, para penunggak pajak itu diarahkan ke antrean BBM nonsubsidi. Ia mengakui untuk menerapkan kebijakan itu perlu pengawasan oleh petugas khusus pemantauan secara manual.

Petugas berperan mencatat nomor kendaraan dan mengecek data sistem pajak daerah.

Ia mengungkapkan di SPBU juga memungkinkan dibuat layanan pembayaran pajak kendaraan bagi wajib pajak yang belum melunasi pajak kendaraan bermotornya.

Saat ini, lanjut dia, sistem serupa mulai diterapkan di Lampung dan Jawa Barat. Selain dengan Pemda Bali, ia mengatakan pihaknya juga akan melakukan penjajakan kepada pemerintah daerah di Jawa Timur.

“Dengan Pemprov Jawa Timur sedang kami jajaki melalui Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah). Bali pun juga harapannya dalam waktu dekat karena ini inisiasi itu tidak bisa datang dari kami saja. Kami siap berkolaborasi,” katanya.

Ia menampik upaya itu dilakukan untuk menambah keuntungan pembelian BBM nonsubsidi.

Ahad menjelaskan upaya itu dilakukan untuk kepentingan bersama termasuk mendongkrak kepatuhan pembayaran pajak daerah dan memastikan penyaluran BBM subsidi tepat sasaran.

“Saat masyarakat mampu beralih ke nonsubsidi. Maka subsidi tepat sasaran. Bukan berarti untuk keuntungan Pertamina bertambah, bukan itu. Jadi Pertamina menjalankan amanah dan tepat sasaran,” katanya.

Berdasarkan data Jasa Raharja, sampai Desember 2021 terdapat 40 juta kendaraan belum melunasi pajak.

Jumlah itu mencapai 39 persen dari total 103 juta kendaraan yang tercatat di kantor bersama Samsat. (bl)

 

en_US