Menko Luhut Minta Kenaikan Pajak Hiburan Ditunda

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta kenaikan pajak barang jasa tertentu atau pajak hiburan bisa ditunda dan dievaluasi agar tidak merugikan masyarakat dan pelaku usaha kecil.

“Jadi kita mau tunda saja dulu pelaksanaannya karena itu dari Komisi XI kan sebenarnya, bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu. Sehingga kemarin kita putuskan ditunda, kita evaluasi,” katanya dalam unggahan video di akun Instagram pribadinya dikutip dari Antara, Kamis (18/1/2024).

Luhut menyebutkan bahwa dia mendengar polemik terkait pajak hiburan saat dirinya tengah melakukan kunjungan kerja ke Bali beberapa waktu lalu. Ia pun langsung mengumpulkan pemangku kepentingan terkait, termasuk Gubernur Bali dan jajarannya.

Luhut menambahkan, uji materi atau judicial review yang diajukan sejumlah pihak juga nantinya akan jadi bahan pertimbangan pemerintah dalam penerapan pajak hiburan.  “Ada judicial review ke Mahkamah Konstitusi, saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan kita ke rakyat kecil karena itu banyak menyangkut pada pedagang-pedagang kecil juga,” imbuhnya.

Luhut pun menegaskan bahwa dirinya sangat mendukung pengembangan pariwisata di daerah. Oleh karena itu, ia tak ingin kenaikan pajak membebani pelaku usaha, terlebih mereka yang terlibat dan merasakan dampaknya.

“Jadi hiburan itu jangan hanya dilihat diskotek. Bukan, ini banyak, sekali lagi impact (dampak) pada yang lain, orang yang menyiapkan makanan, jualan dan yang lain sebagainya. Saya kira, saya sangat pro dengan itu dan saya tidak melihat alasan untuk kita menaikkan pajak dari situ,” ujar Luhut.

Dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen. Ke-11 jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu.

Misalnya saja pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana, kontes kecantikan, kontes binaraga, pameran, serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap. Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor, permainan ketangkasan, olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan, serta perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran.

Lalu, rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.

Adapun untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha. (bl)

Pengusaha Tawarkan Dua Solusi untuk Tingkatkan Penerimaan Pajak Kripto RI

IKPI, Jakarta: Asosiasi Blockchain & Pedagang Aset Kripto Indonesia (A-B-I & Aspakrindo) menilai kebijakan pemerintah menarik pajak atas transaksi kripto mulai dari Bitcoin hingga ethereum berdampak positif bagi perekonomian.

Seperti diketahui, sejak Mei 2022, setiap transaksi kripto di Indonesia dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11% dari nilai transaksi pada exchanges yang terdaftar di Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Pungutan ini juga ditambah Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,1%. Ketua Asosiasi Blockchain & Pedagang Aset Kripto Indonesia (A-B-I & Aspakrindo) Robby mengatakan  penerapan pajak terhadap aset kripto memiliki dampak positif karena berkontribusi penting terhadap perekonomian Indonesia.

“Selain itu, penerapan pajak juga menciptakan transparansi, dan mendukung keberlanjutan industri di tingkat nasional. Dengan penerapan pajak yang lebih kompetitif dan kooperatif, diharapkan dapat menghasilkan peningkatan transaksi,” seperti dikutip dari Antara, Selasa (16/1/2024).

Meski demikian, dia menyebutkan pasar aset kripto tengah mengalami penurunan signifikan sepanjang 2023. Menurut A-B-I & Aspakrindo, ada sejumlah faktor yang mempengaruhi penurunan aset kripto. Mulai dari kejatuhan FTX Trading Ltd pada tahun 2022, tuntutan hukum dari U.S. Securities & Exchange Commission (SEC) terhadap Binance dan Coinbase, penghentian sementara withdraw Bitcoin dari Binance, hingga pemindahan 15 ribu Ethereum (ETH) ke Gate.io oleh Ethereum Foundation.

Berbagai faktor tersebut dianggap sebagai pemicu penurunan minat pelanggan secara global, sehingga berdampak langsung terhadap kemerosotan minat transaksi aset kripto di Indonesia. Di samping itu, pajak yang tinggi juga dinilai menjadi salah satu penyebab di balik penurunan volume transaksi aset kripto.

Pasalnya dibandingkan biaya transaksi aset kripto pada exchanges yang telah terdaftar dan tidak terdaftar di Bappebti, terdapat perbedaan signifikan total biaya yang ditanggung investor. Biaya transaksi  bitcoin pada exchanges yang terdaftar cenderung lebih tinggi.

Karena itu, dalam merancang kebijakan pajak untuk aset kripto, A-B-I & Aspakrindo menilai penting untuk mempertimbangkan dampak secara menyeluruh terhadap pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia. Penyesuaian tarif pajak yang tidak memberatkan para pengguna agar mereka dapat bertransaksi lebih leluasa dianggap dapat memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan pajak.

Hal ini disebabkan pengguna akan cenderung melakukan lebih banyak transaksi di platform industri aset kripto yang resmi terdaftar di Indonesia. Selain penyesuaian tarif pajak, A-B-I & Aspakrindo mengharapkan bisa berdiskusi dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) guna menyampaikan paparan dan mencari solusi saling menguntungkan untuk memastikan pertumbuhan industri kripto di Indonesia dan penerimaan pajak yang optimal.

CEO Tokocrypto Yudhono Rawis memberikan dua contoh solusi konkret yang bisa diimplementasikan. Pertama, penyesuaian tarif pajak aset kripto agar biaya transaksi kripto untuk pelanggan exchange terdaftar menjadi lebih kompetitif. Kedua, implementasi program tax amnesty untuk subyek pajak yang masih memiliki aset kripto di luar negeri, sehingga pendapatan pajak kripto di Indonesia dapat meningkat.

Direktur Eksekutif A-B-I & Aspakrindo Asih Karnengsih juga memberikan solusi lain guna menumbuhkan industri kripto di Indonesia dan mengoptimalkan penerimaan pajak dari aset kripto. Pertama, aset kripto sebagai aset keuangan digital dapat dibebaskan dari pemungutan PPN. Solusi ini dinilai sejalan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 (UU PPN).

“(Di dalam UU HPP dan UU PPN), jasa keuangan merupakan salah satu sektor yang dibebaskan dari pemungutan PPN. (Adapun) penegakan tarif pajak bagi exchanges yang belum terdaftar di Indonesia (telah) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 dengan tarif PPN sebesar 0,22 persen dan PPh sebesar 0,2 persen, sehingga pelanggan dalam negeri akan lebih memilih bertransaksi pada exchanges yang telah terdaftar,” ucap Asih. (bl)

Kenaikan Pajak Hiburan Bisa Buat Pengusaha Gulung Tikar

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaikkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) untuk kategori hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa menjadi 40%. Terkait hal itu, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi menilai aturan tersebut akan membuat para pengusaha hiburan gulung tikar.

“Kalau tarif pajak pajak hiburan jadi 40 persen, mati orang. (Tempat hiburan) pada tutup, PHK. Kalau semua pengusaha dihajar 40 persen, ya bubar (bisnisnya),” kata Prasetyo, seperti dikutip dari Detik.com, Rabu (17/1/2024).

Sementara itu, ia menegaskan bahwa peraturan daerah (perda) yang mengatur pajak tersebut dapat dikaji ulang. Menurutnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta harus menyesuaikan pajak tersebut.

“Ya saya sih pemikirannya gini loh, di Perda 1 tahun 2022 itu memang mengatur sekarang kan naik sampai ke 40 persen. Pertanyaannya saya, pemerintah juga harus melihat, kan beda-beda Jakarta, Jawa Barat, Surabaya. Kan harus dikaji ulang,” ungkapnya.

Di sisi lain, Prasetyo menilai Pemprov DKI Jakarta harus mempertimbangkan segala kemungkinan dalam membuat atau memutuskan suatu kebijakan di suatu daerah. Hal itu, kata dia, bertujuan mengantisipasi kerugian yang berdampak pada masyarakat.

“Jangan melakukan semena-mena, dia menaikkan begitu akhirnya tempat-tempat atau pengusaha-pengusaha juga kita nggak mau membela tempat hiburan juga, karena saya sebagai pimpinan dewan di sini bijaklah pemerintah daerah memutuskan itu, dilihat dulu demografinya kayak apa. Makanya itu kan bisa dikoreksi,” pungkasnya.

Seperti diketahui, dikutip detikfinance, sejumlah pengusaha mengajukan judicial review atau uji materi terhadap aturan pajak hiburan minimal 40 persen dan maksimal 75 persen di Mahkamah Konstitusi (MK). Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno meminta para pejabat daerah menunggu dalam membuat kebijakan.

Sandiaga dibombardir pertanyaan dan keberatan soal kenaikan pajak hiburan, termasuk spa di Bali, hingga 40 persen. Bahkan, sejumlah pengusaha melakukan pengajuan judicial review.

“Jadi saya diberikan brief dari tim hukum, bahwa karena ada proses judicial review mari kita menunggu hasil proses itu,” kata Sandiaga dalam temu wartawan, Senin (15/1/2024).

“Dan saya sampaikan kepada rekan-rekan di pemerintah daerah yang akan menerapkan, karena harus dilakukan perda dan lain sebagainya disusun untuk menunggu secara detail apa yang nanti akan menjadi keputusan MK,” ujar dia.

Sandiaga menyebut proses peninjauan materi di MK baru dilakukan pada awal tahun ini. Ia lalu mengajak semua elemen masyarakat berdiskusi mencari solusi yang baik bagi bersama agar semua berjalan usahanya.

“Proses ini baru dari tanggal 3 Januari dimasukkan dan sedang dipersiapkan jadwal pembahasan. Jadi mohon kita bersabar dan di saat yang sama mari kita gunakan kesempatan ini untuk berdiskusi untuk mencari sebuah solusi yang memajukan industri parekraf, juga bisa membantu memperkuat keuangan negara,” kata dia.

“Jadi tidak ada yang dirugikan tidak ada yang dimatikan,” sambungnya. (bl)

Riau Hingga Jambi Tetapkan 75 Persen Tarif Pajak Hiburan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat tujuh daerah menetapkan pajak hiburan tertentu sebesar 75 persen atau batas tertinggi pungutan sektor tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) ditetapkan besaran pajak hiburan sektor tertentu seperti diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa minimal 40 persen dan maksimal 75 persen.

Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DJPK Lydia Kurniawati mengatakan ketujuh daerah itu sudah menetapkan pungutan tinggi sejak UU lama yakni UU Nomor 28 Tahun 2009.

“Ini sama pada saat mereka mengimplementasikan UU 28, itu memang mereka sudah memberikan tarif 75 persen,” ujarnya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (17/1/2024).

Adapun daerah tersebut adalah Kabupaten Siak (Riau), Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kabupaten Ogan Komering Ulu (Sumatera Selatan), serta Kabupaten Belitung Timur (Kepulauan Bangka Belitung).

Selanjutnya, ada juga Kabupaten Lebak (Banten), Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah), serta Kota Tual (Maluku).

Lydia menekankan, tapi tidak semua sektor hiburan pajaknya di atas 40 persen. Sektor hiburan lainnya seperti bioskop, pagelaran musik, sirkus, pacuan kuda, wahana air atau kolam renang, peragaan busana dan lainnya justru turun dari 35 persen menjadi maksimal 10 persen.

“Ada penurunan tarif yang ditetapkan UU yang semula jasa kesenian dan hiburan umum itu sampai dengan 35 persen dengan UU ini menjadi sampai dengan 10 persen,” pungkasnya. (bl)

 

Kemenkeu Sebut Tak Semua Tarif Pajak Hiburan Naik

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan menyatakan tak semua tarif pajak barang jasa tertentu (PBJT) jasa kesenian dan hiburan atau pajak hiburan naik menjadi 40 persen hingga 75 persen.

“Ada 12 jenis pajak hiburan yang diatur. Poin 1-11 yang semula 35 persen, diturunkan pemerintah menjadi paling tinggi 10 persen. Kalau poin 12, pajaknya batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Jadi, jangan digeneralisasi,” kata Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Lydia Kurniawati Christyana, seperti dikutip dari AntaraNews.com, Rabu (17/1/2024).

Menurut Lydia, ketentuan tersebut bukan merupakan kebijakan baru. PBJT hiburan atau pajak hiburan sudah lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Namun, dalam UU tersebut, ketentuan yang ditetapkan yaitu tarif pajak daerah paling tinggi sebesar 35 persen. Sementara pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif pajak hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75 persen.

Aturan tersebut kemudian diperbarui dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Dalam UU tersebut, pajak hiburan terhadap 11 jenis pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen. Kesebelas jenis pajak itu, berdasarkan Pasal 55 UU 1/2022, di antaranya tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu; pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; kontes kecantikan; kontes binaraga; pameran; serta pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap.

Kemudian, pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; permainan ketangkasan; olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang; serta panti pijat dan pijat refleksi.

Adapun untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah memperbarui kebijakan dengan menetapkan batas bawah 40 persen dan batas atas 75 persen. Hal itu mempertimbangkan jenis hiburan tersebut hanya dinikmati oleh golongan masyarakat tertentu, sehingga pemerintah menetapkan batas bawah guna mencegah perlombaan penetapan tarif pajak rendah demi meningkatkan omzet usaha.

Lydia menambahkan bahwa PBJT Jasa Kesenian dan Hiburan adalah pajak daerah. UU HKPD memberi ruang kepada pemerintah daerah, dengan memberikan kewenangan/diskresi untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif PDRD sesuai dengan kondisi perekonomian di wilayah masing-masing, termasuk di dalamnya dalam menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu dalam rentang tarif 40 persen hingga 75 persen.

“Ini adalah dukungan agar daerah semakin mandiri, semakin ketemu keseimbangan fiskalnya. Maka, kita perlu berpikir agar assignment-nya tidak hanya memberikan transfer ke daerah, tapi bagaimana mendukung daerah meningkatkan pendapatan mereka dengan kondisi tertentu yang perlu dilakukan pengendalian,” ujar Lydia. (bl)

 

Pemprov DKI Tetapkan Pajak Hiburan 40 Persen

IKPI, Jakarta: Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menetapkan pajak hiburan naik menjadi 40 persen. Tarif tersebut berlaku untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa.

Kebijakan itu tertuang pada Pasal 53 (2) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Beleid itu diteken Heru pada 5 Januari 2024.

“Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/ spa ditetapkan sebesar 40 persen,” tulis beleid tersebut, dikutip Selasa (16/1/2024).

Tarif pajak tersebut berlaku sejak diundangkan yakni 5 Januari 2024.

Sebagai pembanding, dalam aturan sebelumnya Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015, besaran tarif pajak diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, live music, music dengan DJ dan sejenisnya 25 persen.

Sementara, tarif pajak panti pijat, mandi uap, dan spa ditetapkan sebesar 35 persen.

Pengacara Hotman Paris Hutapea sebelumnya meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan pajak hiburan 40 hingga 75 persen.

Kebijakan kenaikan pajak hiburan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang menjadi dasar dari Perda DKI Jakarta 1/2024.

Hotman mengajak seluruh pelaku usaha yang terdampakkebijakan ini bergerak dan menyuarakan penolakan. Menurutnya, aksi penolakan ini harus bisa menarik perhatian Jokowi.

“Ya, you know Indonesia. Kalau semakin banyak postingan, semakin banyak di media, media mendukung, itu akan mendapat perhatian. Kamu harus dapat perhatian pemerintah sebelum 14 Februari, kamu perlu Perppu. Tapi kalau Perppu keluar itu sudah menang 60 persen,” ujar Hotman saat menggelar diskusi dan rapat dengan para pelaku usaha hiburan malam di Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali pada awal pekan ini.

Hotman tak sendiri, pedangdut dan pemilik usaha karaoke Inul Daratista juga melayangkan protes senada.

Melalui deretan unggahan di akun media sosial pribadinya, Inul memberikan pandangan terkait dampak kenaikan pajak yang ia klaim bakal membunuh bisnis para pengusaha hiburan.

“Pajak hiburan naik dari 25 persen ke 40-75 persen, yang bikin aturan mau bikin meninggal kah???” tulis Inul melalui akun X (dulu Twitter) pada Sabtu (13/1/2024). (bl)

DJP Jatim I Catat Penerimaan Pajak 2023 Rp50,350 Triliun

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jawa Timur I mencatat penerimaan pajak di tahun 2023 mampu meraih sebesar Rp50,350 triliun atau 102,94 persen. Dalam pencapaian ini DJP Jawa Timur I melebihi target yang ditetapkan, yakni sebesar Rp48,960 triliun.

Menurut Kepala Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I, Sigit Danang Joyo dalam pencapaian ini, juga diikuti seluruh Kantor Pelayanan Pajak yang berada di bawah koordinasi Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I berhasil melampaui target penerimaan pajak.

Adapun pencapaian penerimaan pajak terbesar kata Sigit, diperoleh dariPajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBm) yang mencatatkan porsi penerimaan tertinggi sebesar Rp 30,457 triliun atau 60,49 persen, diikuti dengan Pajak Penghasilan sebesar Rp19,709 triliun dan pajak lainnya.

“Capaian target penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak tahun 2023 kemarin merupakan bukti dari sinergi yang baik antara seluruh unsur Kantor Wilayah DJP Jawa Timur I, Kantor Pelayanan Pajak, wajib pajak, dan para pemangku kepentingan,” kata Sigit seperti dikutip dari WartaEkonomi, Selasa (16/1/2024).

Dalam hal pencapaian ini, Sigit mengungkapkan, pihaknya mengapresiasikan atas kontribusi seluruh wajib pajak yang telah patuh dalam melaporkan SPT Tahunan PPh dan menyetorkan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

“Harapan kami di tahun 2024 ini bisa lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya dalam hal penerimaan pajak. Kami pun berharap pencapaian juga bisa diikuti seluruh Kantor Pelayanan Pajak lainya di bawah koordinasi DJP Jawa Timur I. Semoga,” pungkas Sigit. (bl)

Pengusaha Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, Dampaknya Bisa Matikan Industri Pariwisata

IKPI, Jakarta: Tarif pajak hiburan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) mendapat protes. Mulai dari pelaku industri hingga pengacara kondang Hotman Paris dan penyanyi dangdut Inul Daratista, yang juga pemilik tempat karaoke Inul Vizta.

Inul protes karena menganggap tarif yang ditetapkan dalam UU HKPD minimal sebesar 40% dan paling tinggi 75% naik pesat dari yang selama ini ia ketahui sebesar 25%. Hotman juga menilai besaran tarif baru itu bisa mematikan industri di sektor pariwisata. Hotman diketahui pernah menjadi pemegang saham Hollywings.

“Pajak hiburan naik dari 25% ke 40-75% sing nggawe aturan mau ngajak modyar tah!!!!,” tulis Inul, dikutip dari akun X @daratista_inul, Senin (15/1/2024).

Lantas bagaimana ketetapan tarif pajak hiburan sebenarnya yang diatur dalam UU HKPD dan ketentuan sebelumnya?

Merujuk pada UU HKPD Nomor 1 Tahun 2022, pajak hiburan dikategorikan sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). Dalam Pasal 58 UU itu ditetapkan tarif PBJT paling tinggi 10%. Namun, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu. Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan. PBJT dalam UU itu dipungut oleh pemerintah kabupaten atau kota.

Dibanding ketentuan lama yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Nomor 28 Tahun 2009, pajak hiburan juga merupakan jenis pajak kabupaten/kota. Namun, tidak menggunakan istilah PBJT dalam pengelompokannya seperti di UU HKPD.

Pasal 45 UU PDRD hanya menyebutkan, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%. Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%, tanpa menyebutkan batas tarif minimal seperti di UU HKPD.

Penetapan batas tarif minimal pajak hiburan dalam UU HKPD inilah yang menurut Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA Fajry Akbar membuat berat pelaku usaha di sektor hiburan, dan membuat bingung daerah untuk menentukan tarif pajak hiburan yang sesuai dengan iklim industri dan kondisi perekonomian daerah pemungut.

“Karena ada ketentuan minimum 40% di UU HKPD jadi pada bingung semua, pengusaha teriak terlalu tinggi tapi Pemda-pun tak bisa berbuat banyak karena ditentukan dalam UU HKPD ditentukan minimum 40%,” ujar Fajry seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (16/1/2024).

Karena diatur oleh UU besaran tarifnya, Fajry menekankan maka juga membuat penyesuaian tarif minimal pajaknya menjadi sulit diubah. Opsi yang ada untuk perubahan hanya judicial review di Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah asosiasi yang terdampak aturan itu.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono menambahkan, opsi yang harus ditanggung daerah untuk menyesuaikan tarif sesuai kondisi perekonomian pun menjadi sangat minimum, bahkan hanya tersisa pembebasan pengenaan pajaknya sama sekali atau beban tarif 40%.

“Besaran tarif 40%-75% itu merupakan keputusan politis antara DPR dan Pemerintah pusat sesuai Pasal 23A UUD 1945,” tegas Prianto.

“Kalau pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak setuju, mereka tidak bisa menurunkan range tarif tersebut karena sudah ada pengaturannya di UU HKPD. Paling tidak, mereka (bupati/walikota dan DPRD) dapat sepakat untuk tidak menerapkan pajak hiburan,” ungkapnya.

Menurut Prianto, jika pemda tertekan untuk mengambil keputusan penerapan tarif minimal 40% maka mereka harus mencari substitusi untuk mengisi pendapatan asli daerah (PAD) di masing-masing kota/Kabupaten. Pertimbangannya hanya dua, pajak berfungsi budgetair untuk meningkatkan penerimaan APBN/APBD, dan/atau fungsi regulerlend untuk mengatur perilaku masyarakat.

“Memang tarif tersebut cukup tinggi sehingga berpotensi penurunan konsumsi masyarakat atas hiburan. Akan tetapi, tarif tersebut hanya berlaku untuk jasa hiburan berupa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa. Dengan kata lain, tarif pajak hiburan selain di atas masih tetap 10% paling tinggi,” tegasnya. (bl)

MK Kembali Sidangkan Uji Materi Pemisahan DJP

IKPI, Jakarta: Sangap Tua Ritonga yang merupakan konsultan pajak kembali mengikuti sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara) di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan yang diregistrasi MK dengan Nomor 155/PUU-XXI/2023 ini mempersoalkan Pasal 5 dan Pasal 15 UU Kementerian Negara yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.

Hadir langsung di Ruang Sidang Panel MK, ia menyebutkan beberapa yang diperbaiki pada permohonannya, yaitu kedudukan hukum yang telah disertai dengan uraiannya; kualifikasi kerugian konstitusional Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan; pokok-pokok permohonan tentang penempatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan.

“Hal ini tidak memenuhi syarat berupa asas kemanfaatan dan kedayagunaan. Selain itu, kami juga telah memperbaiki tentang pembentukan badan otoritas pajak. Pada hal ini penanganan pajak harus efektif dan terpadu dan ini kamu uraikan pada perbaikan ini,” kata Sangap dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman yang dikutip dari website resmi MK, Selasa (16/1/2024).

Dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (12/12/2023), Pemohon mengatakan Direktorat Jenderal Pajak menyosialisasikan slogan Kemenkeu “SATU” sejak 2022. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akibatnya terjadi pencampuradukan nomenklatur keuangan dan nomenklatur pajak. Menurut Pemohon hal ini wujud dari pencampuradukan nomenklatur yang berakibat pada tercampur segala aspek yaitu, organisasi, SDM, sistem Informasi Teknologi (IT) dan banyak lagi aspek operasional.

Bagi Pemohon, hal ini mempengaruhi interaksi Pemohon dalam melaksanakan pelayanan klien Pemohon. Semenstinya fungsi treasury dan fungsi pembuat kebijakan pajak dan administrasi pajak yang menjadi satu komando tentunya akan diwujudkan dalam APBN setiap tahunnya. Namun dalam kenyataannya, hal tersebut akan melahirkan adanya target pajak yang naik tanpa didasari oleh dasar perhitungan kenaikan yang didasarkan gap potensi pajak yang belum dilaporkan oleh wajib pajak.

Kondisi demikian akan membuat para wajib pajak menjadi sasaran untuk selalu harus menambah konstribusi pajaknya karena adanya kebutuhan APBN yang sangat meningkat. Padahal Pemohon selaku profesi konsultan yang mendapat kuasa dari klien sering mengedukasi klien untuk membayar pajak secara self assesment dengan jujur dan terbuka sesuai dengan gap potensi pajak yang terbuka dan riil.

Pemohon juga mendalilkan seharusnya ada pemisahan Direktorat Perpajakan dengan Kementerian Keuangan bertujuan agar secara umum tata kelola kelembagaan Ditjen Pajak sebagai lembaga otonom bisa mengurangi kewenangan berlebih Kementerian Keuangan karena terdapat pemisahan kewenangan penerimaan negara dan perbendaharaan negara.

Selain itu, pemisahan ini juga dapat meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan pengawasan, dan mengurangi potensi conflict of interest. Sehingga, pada petitum, ia mengharapkan MK menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara inkonstitusional sepanjang tidak mencantumkan kata “pajak” sebagai nomenklatur yang terpisah dari nomenklatur “keuangan”. Kemudian, dengan mendasarkan pada Pasal 17 ayat (3) UUD 1945 yang tidak secara tersurat membatasi jumlah kementerian, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 15 UU a quo. (bl)

Ketum IKPI Sebut Kenaikan Pajak Hiburan Seharusnya Bertahap

IKPI, Jakarta: Kebijakan kenaikan pajak hiburan 40-75% belakangan memang menjadi kekhawatiran bagi para pengusaha maupun UMKM di Indonesia.

Tarif Pajak Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) khusus untuk Jasa Kesenian dan Hiburan berupa diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa paling rendah 40% dan paling tinggi 75% adalah berdasarkan Pasal 58 UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mencabut UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD).

Dalam UU PDRD sebelumnya, tarif paling tinggi untuk Pajak Hiburan adalah 35% tapi khusus jenis hiburan tertentu seperti diskotik, karaoke, klab malam, mandi uap/spa ditetapkan paling tinggi 75%. Jadi untuk tarif tertingginya tidak ada perubahan dari sebelumnya.

Kewenangan pemungutan PBJT ada di Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk untuk tarif pajak daerah untuk diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, sehingga penetapan tarif juga berdasarkan Perda Kab/Kota. Pemkab/kota diberi oleh UU No. 1 Tahun 2022 kewenangan menentukan besaran tarif tetapi paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.

Yang menanggung pajak tersebut adalah konsumen atau pengguna jasa, tetapi yang diwajibkan memungut dan menyetorkan ke Kas Daerah adalah Pelaku Usaha / Penyedia Jasa hiburan. Jadi pajak ini sesungguhnya tidak membebani Pelaku Usaha tetapi menambah jumlah yang harus dibayar oleh Konsumen/Pengguna Jasa.

Namun demikian, kenaikan tarif menjadi minimum 40% dari sebelumnya misalnya 10%, 15% atau 25% tentu saja berdampak pada Pengusaha karena dapat mempengaruhi pasar industri hiburan. Keberatan Pengusaha disitu. Apalagi justru pariwisata Pasca Covid baru saja bangkit kembali Pasca Covid. Hiburan itu sendiri merupakan faktor penunjang utama pariwisata. Pelaku Usaha hiburan keberatan karena meyakini bahwa jika tarif Pajak Daerah atas hiburan akan mengurangi pengunjung / komsumen dan akan berdampak pada kelangsungan bisnis hiburan.

Menurut saya kenaikan pajak atas hiburan kontradiktif dengan tujuan untuk menarik pariwisata yang justru harusnya diberi insentif berupa pengurangan tarif, bukan sebaliknya menaikkan tarif.

Kebijakan menaikkan tarif malah dapat membatasi konsumsi wisatawan domestik maupun mancanegara karena harga yang mereka harus bayar menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, meskipun untuk kalangan konsumen tertentu kenaikan tarif pajak ini tidak mempengaruhi sama sekali demand nya atas hiburan.

Kebijakan menaikkan tarif sebaiknya dilakukan secara bertahap dengan mengkaji perkembangan industri hiburan, tidak semata-mata hanya menjadi cara singkat untuk meningkatan penerimaan pajak daerah. (bl)

 

en_US