Kanwil DJP Jakarta Barat Berhasil Lelang Barang Sitaan Rp532.675.000

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat bekerja sama dengan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta III menggelar lelang eksekusi benda sitaan pajak secara serentak. Lelang ini melibatkan delapan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Barat dan bertujuan untuk mengoptimalkan penerimaan melalui tindakan penagihan serta meningkatkan sinergi antar instansi.

Pada lelang ini, terdapat 14 aset sitaan yang terdiri dari 11 kendaraan bermotor (mobil, truk, dan microbus) serta 3 barang tidak bergerak berupa kios dan ruko. Hingga batas waktu penetapan pemenang lelang yang berakhir pukul 11.50 WIB, tujuh aset berhasil terlelang dengan total nilai mencapai Rp532.675.000. Seluruh aset yang laku terjual adalah kendaraan bermotor.

Kegiatan lelang ini memiliki beberapa tujuan strategis, antara lain untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, menciptakan deterrent effect, serta memberikan pemahaman yang seragam mengenai prosedur pelaksanaan lelang dalam rangka penagihan pajak. Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat Farid Bachtiar, menegaskan bahwa pelaksanaan lelang bukan bertujuan untuk menakut-nakuti wajib pajak, melainkan untuk mendorong peningkatan kepatuhan mereka.

“Ini merupakan bagian dari tiga arah strategis kita, yaitu peningkatan kepatuhan, produktivitas SDM, dan perluasan basis pajak,” ujar Farid.

Ia juga menjelaskan bahwa pelaksanaan lelang secara serentak ini bertujuan untuk menekan biaya operasional dan memberikan variasi barang yang lebih menarik bagi peserta lelang, sehingga diharapkan dapat meningkatkan antusiasme mereka.

Dengan dilaksanakannya lelang eksekusi ini, Kanwil DJP Jakarta Barat berharap dapat terus meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dan memperkuat kerja sama dengan instansi terkait. (alf)

Ini Sektor yang di Sasar Pemerintah untuk Pencapaian Targetkan Penerimaan Pajak Rp2.490,9 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun untuk tahun anggaran 2025. Target ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025, yang ditandatangani Presiden Prabowo pada 30 November 2024.

Sekadar informasi, penerimaan pajak untuk 2025 akan berasal dari berbagai sumber, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), cukai, serta pajak perdagangan internasional. Namun, dua sumber utama yang diperkirakan memberikan kontribusi terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pendapatan dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan mencapai Rp1.209,3 triliun, dengan rincian yang mencakup PPh Migas sebesar Rp62,8 triliun dan PPh Non-Migas sebesar Rp1.146,4 triliun. PPh Non-Migas terdiri dari beberapa jenis, antara lain PPh Pasal 21 yang diperkirakan mencapai Rp313,5 triliun, PPh Pasal 22 sebesar Rp36,8 triliun, dan PPh Pasal 22 Impor Rp75,2 triliun. Selain itu, PPh Pasal 23 diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar Rp69,6 triliun, dan PPh Pasal 25/29 untuk orang pribadi dan badan masing-masing diperkirakan mencapai Rp15,1 triliun dan Rp369,9 triliun.

Dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp945,1 triliun. Rinciannya, PPN Dalam Negeri diproyeksikan sebesar Rp609,0 triliun dan PPN Impor sebesar Rp308,7 triliun. Selain itu, PPnBM dalam negeri dan impor masing-masing diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar Rp10,8 triliun dan Rp5,8 triliun.

Sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditargetkan memberikan penerimaan sebesar Rp27,1 triliun pada 2025. Pendapatan ini akan berasal dari berbagai subsektor, termasuk PBB perkebunan sebesar Rp3,04 triliun, PBB perhutanan sebesar Rp702,7 miliar, dan PBB pertambangan sebesar Rp7,33 triliun. PBB migas diperkirakan mencapai Rp15,04 triliun, sementara PBB panas bumi dan PBB lainnya masing-masing diproyeksikan menyumbang Rp895 miliar dan Rp95,6 miliar.

Pendapatan dari sektor cukai juga menjadi salah satu sumber utama, dengan target penerimaan sebesar Rp244,1 triliun. Sebagian besar pendapatan cukai ini akan berasal dari cukai hasil tembakau yang diperkirakan mencapai Rp230,09 triliun. Sementara itu, pendapatan cukai lainnya, seperti dari cukai ethyl alkohol dan minuman mengandung ethyl alkohol, masing-masing diperkirakan akan mencapai Rp118,5 miliar dan Rp10,18 triliun.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan penerimaan pajak dari perdagangan internasional sebesar Rp57,4 triliun. Dari sektor ini, bea masuk diperkirakan akan menyumbang Rp52,9 triliun, sementara bea keluar diperkirakan mencapai Rp4,47 triliun.

Dengan total penerimaan pajak yang mencapai lebih dari Rp2.490 triliun, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan pendapatan negara untuk mendukung pembangunan nasional dan berbagai program prioritas dalam APBN 2025. (alf)

DPR-Kemenkeu Rapat Penerapan PPN 12% untuk Barang Mewah

IKPI, Jakarta: Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) menggelar rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Jumat (6/12/2024) untuk membahas penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan berlaku pada 2025. Dalam pertemuan tersebut, dibahas mengenai jenis barang mewah yang akan dikenakan PPN serta komponen-komponen lain yang akan dikecualikan dari kenaikan PPN tersebut.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa ada beberapa barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN baru, sementara komponen lainnya tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11% atau bahkan dikecualikan sama sekali.

“Jadi ada yang kena PPN barang mewah, ada yang tetap 11% dan ada komponen yang tadi barusan kita sampaikan yang tidak kena PPN sama sekali,” ujar Dasco di kepada media.

Komponen-komponen yang tidak akan dikenakan PPN antara lain adalah bahan makanan, sektor UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, serta penyediaan listrik dan air bersih. Meskipun demikian, Dasco menegaskan bahwa pemerintah masih akan merilis secara resmi daftar barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN 12% dan 11% pada 1 Januari 2025.

Dia juga mengungkapkan bahwa dalam rapat tersebut, DPR dan Kemenkeu membahas target penerimaan pajak yang harus dipenuhi. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa kenaikan tarif PPN harus disesuaikan dengan situasi ekonomi saat ini.

“Ini kan kita coba simulasikan dulu di tahun ini. Karena menurut ketentuan undang-undang memang harus naik, tetapi dalam situasi ekonomi dan kondisi pada saat ini kita tentunya tahu bahwa tidak mungkin kita menaikkan semua ke 12%,” kata Dasco.

Ia juga mengungkapkan bahwa DPR dan Presiden Prabowo Subianto memiliki pandangan yang sejalan terkait rencana kenaikan tarif PPN ini. Keduanya sepakat bahwa meski kenaikan tarif sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun perlu dicari solusi yang terbaik untuk rakyat.

Rapat ini merupakan bagian dari upaya untuk mempersiapkan penerapan kebijakan PPN pada 2025 yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, sekaligus menjaga kestabilan ekonomi masyarakat. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat segera merumuskan kebijakan yang lebih rinci sebelum penerapan tarif baru tersebut. (alf)

PPL IKPI Kabupaten Tangerang: Ketum Vaudy Tekankan Penting Kontrak Kerja dan Perlindungan Hukum Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, membuka acara Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) IKPI Cabang Kabupaten Tangerang dengan tema “Kupas Tuntas Penyusunan Kontrak Kerja Konsultan Pajak dengan Klien dan Perlindungan Hukum Terhadap Konsultan Pajak”. Acara yang berlangsung di Kabupaten Tangerang, Sabtu (7/12/2024) ini dihadiri oleh puluhan anggota IKPI, baik itu dari Cabang Kabupaten Tangerang maupun cabang IKPI di wilayah Jabodetabek.

Dalam sambutannya, Vaudy menyampaikan bahwa topik yang diangkat dalam PPL ini sangat relevan dengan kebutuhan anggota IKPI. Menurutnya, penyusunan kontrak kerja yang baik antara konsultan pajak dan klien merupakan salah satu hal yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh setiap konsultan pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Kabupaten Tangerang)

“Sebagai konsultan pajak, kita harus memiliki landasan yang jelas dalam bekerja dengan klien, dan kontrak adalah instrumen yang dapat mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak,” ujar Vaudy.

Ia juga menekankan pentingnya kontrak dalam membatasi risiko yang mungkin timbul dalam hubungan kerja antara konsultan pajak dan klien. Selain itu, Vaudy menambahkan bahwa kontrak yang disusun dengan baik juga dapat mengatur langkah-langkah penyelesaian sengketa, jika terjadi perselisihan di kemudian hari.

“Kontrak yang jelas tidak hanya melindungi klien, tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi konsultan pajak,” ujarnya.

Lebih lanjut Vaudy mengingatkan, bahwa anggota IKPI sangat perlu untuk terus memperbaharui pengetahuan dan keterampilan mereka dalam hal penyusunan kontrak, mengingat dinamika dunia perpajakan yang terus berkembang.

Ia berharap acara PPL ini dapat menjadi sarana untuk memperkuat kompetensi dan profesionalisme para anggota IKPI, khususnya dalam hal perjanjian kerja yang melibatkan klien.

Dengan dilaksanakannya acara ini, Vaudy berharap seluruh anggota IKPI dapat semakin profesional dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka, serta memperoleh pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya perlindungan hukum dalam dunia konsultasi pajak. (bl)

FGD RUU Konsultan Pajak: Menyemangati dan Mendorong Upaya Pengawalan RUU KP

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Suwardi Hasan memberikan pandangannya terkait penyelenggaraan FGD Rancangan Undang-Undang Konsultan Pajak (RUU KP), pada Kamis (5/12/2024).

Suwardi menegaskan bahwa acara ini merupakan langkah awal yang penting untuk menyemangati serta mendorong kembali upaya aktif yang dilakukan oleh Tim Task Force RUU Konsultan Pajak untuk terus memperjuangkan dalam mewujudkan lahirnya UU Konsultan Pajak.

Dikatakan Suwardi, RUU KP sudah 8 tahun sejak dibahas di DPR dan pernah masuk Prolegnas prioritas di Tahun 2018, namun tak sempat dibahas dengan Pemerintah. Nah di dalam FGD ini, kami berharap nantinya bermunculan ide-ide segar yang bisa mendorong dan memberikan masukan jika kiranya ada hal-hal baru yang perlu diupdate/dimutahirkan dalam RUU Konsultan Pajak termasuk naskah akademisnya, sehingga RUU KP masuk kembali kedalam Prolegnas Prioritas DPR dan segera dibahas,” ujarnya, di Jakarta, Jumat (6/2024).

Secara garis besar lanjut Suwardi, penyelenggaraan FGD ini bertujuan untuk mengumpulkan dan kompilasi pemikiran, masukan, dan kontribusi yang konstruktif dari seluruh anggota IKPI dan pemangku kepentingan, khususnya yang terlibat dalam Tim Task Force. “FGD ini menjadi wadah yang tepat untuk saling bertukar ide dan pandangan mengenai RUU Konsultan Pajak, serta memberikan dukungan kepada Tim Task Force yang bekerja keras mengawal proses legislasi tersebut,” ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, penyelenggaraan FGD ini juga memiliki peran strategis dalam memastikan agar RUU Konsultan Pajak dapat memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan profesi konsultan pajak di Indonesia. Dalam hal ini, FGD bertujuan untuk menyusun rekomendasi yang akan disampaikan kepada Tim Task Force guna memperkaya substansi RUU tersebut dengan perspektif praktis dan mendalam dari para pelaku di lapangan.

Dalam FGD tersebut terjadi tukar menukar pandangan mengenai hal-hal yang sebaiknya dimasukkan dan yang tidak dalam RUU KP, termasuk usulan dari Doni Budiono mengenai lulusan universitas dari jurusan tertentu (Akuntansi, FIA, Hukum) yang mendapatkan waiver / pengecualian tanpa mengikuti ujian sertifikasi, namun usulan tersebut juga mendapat tantangan dari Lani Dharmasetya bahwa bagaimana menentukan kualitas dari lulusan tersebut, karena begitu banyak universitas yang mempunyai kualitas yang berbeda-beda mulai dari universitas ternama sampai dengan universitas yang tidak jelas nama dan statusnya, sedangkan melihat ke belakang mengenai kebijakan pemberian gelar akuntan oleh beberapa universitas negeri tertentu, sekarang kebijakan tersebut telah dihapuskan oleh Pemerintah, bukankah pemberian fasilitas / waiver untuk lulusan universitas seperti set back / langkah mundur.

Selain juga terjadi perbedaan pandangan bagaimana strategi yang akan digunakan untuk meng-gol-kan RUU KP, apakah melewati jalur Pemerintah atau melalui jalur DPR, karena apapun jalur yang akan dipilih, semua memiliki plus minus nya sendiri-sendiri.

Adapun I Kadek Sumadi dan Heru R Hadi menyampaikan bahwa jangan sampai UU Konsultan Pajak yang diperjuangkan justru akan membelenggu kemandirian organisasi dan anggota. Diingatkan oleh Pino Siddharta bahwa impian seluruh Konsultan Pajak khususnya anggota IKPI, tentunya memiliki UU seperti UU Advokat, namun profesi KP tidak sama dengan Advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum, sehingga semua anggota IKPI harus mengetahui mengenai hak dan kewajiban, serta tanggung jawab yang harus dipikul seorang KP jika UU KP terealisasi, karena Pemerintah tidak mungkin memberikan cek kosong sebuah undang-undang, jika Pemerintah tidak mendapatkan manfaat dari keberadaan UU tersebut.

Tentunya perbedaan pandangan antar para narasumber dan juga pertanyaan dari beberapa anggota, memberikan banyak wawasan dan pemikiran, karena UU adalah produk politik maka pasti akan terjadi tawar menawar, sehingga take and give pasti akan terjadi tidak mungkin hanya win-win saja, termasuk juga fakta saat ini terdapat asosiasi konsultan pajak lebih dari satu. Yang diharapkan dalam diskusi ini, agar pihak yang jika usulannya tidak / belum terakomodir, maka tidak menjatuhkan atau menggagalkan cita-cita semua KP untuk memiliki UU KP secara mandiri dan profesional dengan dukungan penuh stakeholders.

“Sebagai bagian dari upaya mendukung Tim Task Force, FGD ini diharapkan dapat memberikan dukungan moral dan intelektual yang kuat agar proses legislasi RUU Konsultan Pajak berjalan dengan baik dan menghasilkan regulasi yang memberikan manfaat nyata bagi profesi konsultan pajak dan dunia perpajakan secara keseluruhan,” kata Suwardi.

Kedepannya, FGD RUU Konsultan Pajak akan terus diadakan dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan profesional di bidang perpajakan seperti Pemerintah, DPR, Kadin, Apindo, dan dunia pendidikan/akademisi, serta KP dari asosiasi lainnya, semoga proses ini diharapkan mampu memperkuat kolaborasi antara IKPI, pemerintah, serta berbagai pihak terkait dalam mengawal pengesahan RUU ini menjadi undang-undang yang dapat memberikan kerangka hukum yang jelas dan mendukung tidak hanya perkembangan profesi konsultan pajak di Indonesia, namun tujuan utamanya agar dapat membantu Pemerintah untuk meningkatkan Tax Rasio, dan menjaga kepentingan hukum perpajakan wajib pajak.

Sekadar informasi, FGD RUU Konsultan Pajak ini dihadiri oleh sedikitnya 1.084 anggota IKPI. Hadir sebagai narasumber utama adalah:

1. Ketua Tim Task Force RUU Konsultan Pajak, Associate Prof. Dr. Edy Gunawan

2. Ketua Pengkaji Tim Task Force, Sistomo

3. Ketua Pengawas IKPI, Dr. Prianto Budi Saptono

4. Anggota Dewan Pembina IKPI, Dr. Heru. R. Hadi

5. Anggota Dewan Kehormatan IKPI, I. Kadek Sumadi

6. Ketua Departemen Litbang IKPI, Pino Siddharta

7. Ketua Departemen Pengembangan Organisasi, Dr. Nuryadin Rahman

8. Ketua Departemen Litbang dan FGD periode 2019-2024, Dr. Lani Dharmasetya

9. Anggota Tim Task Force RUU KP Dr. Doni Budiono

(bl)

Daftar Barang Mewah Kena Pajak 12% Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang direncanakan berlaku pada 2025, hanya dikenakan pada barang-barang mewah. Usulan ini telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto oleh pimpinan DPR dalam pertemuan yang berlangsung pada Kamis (5/12/2024).

Menurut Ketua Komisi XI DPR  Mukhamad Misbakhun, usulan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa PPN 12% hanya diterapkan pada barang-barang yang selama ini telah dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). “Yang dimaksud dengan itu memang selektif. Artinya selektif kepada barang yang selama ini sudah kena PPnBM hanya mereka yang dikenakan PPN 12%,” kata Misbakhun.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan lebih lanjut bahwa barang-barang yang termasuk dalam kategori barang mewah yang diusulkan untuk dikenakan PPN 12% adalah seperti mobil mewah, apartemen mewah, dan rumah mewah.

Barang-barang yang selama ini dikenakan PPnBM adalah barang yang tergolong mewah dan tidak termasuk dalam kategori kebutuhan pokok masyarakat. Adapun barang yang dikenakan PPnBM meliputi:

1. Kelompok kendaraan bermotor mewah,

2. Kelompok hunian mewah (seperti rumah mewah, apartemen, dan kondominium),

3. Kelompok Pesawat udara (kecuali untuk kepentingan negara),

4. Kelompok Balon udara,

5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali keperluan negara,

6. Kelompok kapal pesiar mewah yang tidak digunakan untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Dasco berharap usulan DPR ini dapat memberikan kejelasan dan keadilan dalam penerapan pajak, serta mendukung pengendalian konsumsi barang mewah di kalangan masyarakat.

Sekadar informasi, berdasarkan keterangan dari laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dijelaskan bahwa PPnBM juga dikenakan pada barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau untuk menunjukkan status sosial. Namun, pajak ini hanya dikenakan satu kali, yakni hanya pada saat penyerahan barang dari produsen dan bertujuan untuk mengatur konsumsi barang-barang mewah yang tidak esensial. (alf)

Menkeu Sebut APBN Bantu Pemulihan Perekonomian di Bali

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat meninjau Kantor Kementerian Keuangan Wilayah Bali menyatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah membantu pemulihan ekonomi di wilayah Pulau Dewata.

“Ekonomi Bali dan sektor pariwisata mulai pulih. APBN dan transfer ke daerah (TKD) ikut mendukung pemulihan ekonomi daerah,” kata Sri Mulyani dalam akun Instagram @smindrawati di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (5/12/2024).

Dalam kunjungannya itu, Sri Mulyani menerima laporan performa empat direktorat jenderal, di antaranya Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb), dan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Menjelang akhir tahun anggaran, seluruh Kanwil Kemenkeu sibuk menjalankan tugas, baik dari sisi penerimaan, belanja, dan pengelolaan kekayaan negara dan lelang,” tutur dia.

APBN per Oktober 2024 mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau 1,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Defisit ini masih lebih kecil dari yang ditetapkan bersama DPR pada UU APBN, yakni sebesar 2,29 persen.

Defisit diperoleh lantaran belanja negara lebih tinggi daripada pendapatan negara. Belanja negara tercatat sebesar Rp2.556,7 triliun atau 76,9 persen dari pagu, tumbuh 14,1 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara pendapatan negara tercatat sebesar Rp2.247,5 triliun atau 80,2 persen dari target, tumbuh 0,3 persen yoy.

Secara rinci, realisasi belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) sebesar Rp1.834,5 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp722,2 triliun.

Realisasi BPP setara 74,3 persen dari target APBN Rp2.467,5 triliun, tumbuh 16,7 persen. Sementara realisasi TKD setara 84,2 persen APBN Rp857,6 triliun, tumbuh 8 persen.

 

Ketua IKPI Pengda Jatim Sebut Pelatihan Coretax Langkah Penting Tingkatkan Kompetensi Anggota

IKPI, Jakarta: Bertempat di Aula Lantai 8 Kanwil DJP Jatim 1, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Jawa Timur bersama Pengurus IKPI Cabang Surabaya, Sidoarjo dan Malang mengikuti pelatihan Coretax yang dilaksanakan Kanwil DJP Jatim 1, Kamis (5/12/2024). Acara ini dihadiri oleh sekitar 20 konsultan pajak yang terdiri dari 15 peserta dari Cabang Surabaya, 3 Cabang Sidoarjo, dan 2 lainnya dari Cabang Malang.

Ketua IKPI Pengda Jawa Timur Zeti Arina, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan langkah penting dalam upaya meningkatkan kompetensi anggota IKPI di Jawa Timur, khususnya untuk menyambut implementasi Coretax pada tahun 2025.

Selain itu kata Zeti, menjalin kemitraan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah prioritas utama IKPI Jatim yang memang merupakan mitra strategis. “Kami sangat menghargai kolaborasi yang terjalin antara IKPI dan DJP. Hal ini terbukti dengan diberikan prioritas kepada IKPI Jatim untuk mengikuti uji praktik CoreTax versi yang hampir final,” ujar Zeti, Jumat (6/12/2024).

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Menurutnya, pelatihan Coretax ini bukan hanya sebuah kegiatan rutin, tetapi juga merupakan bagian dari komitmen DJP untuk memastikan bahwa para konsultan pajak memiliki pengetahuan yang paling mutakhir mengenai sistem pajak terbaru.

Bahkan, Zeti juga menyampaikan bahwa Kanwil DJP Jatim 1 all out mendukung dengan mendatangkan trainner langsung dari kantor pusat DJP untuk penyelenggaraan pelatihan Coretax. “Langkah ini jelas menunjukkan komitmen DJP yakni Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) untuk memberikan pelatihan yang lebih mendalam dan relevan bagi para konsultan pajak di daerah. Dengan adanya pelatihan ini, kami berharap dapat memperkuat pengetahuan dan keterampilan para konsultan pajak untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada wajib pajak,” ujarnya.

Zeti juga mengungkapkan bahwa dalam menghadapi era digital dan perubahan kebijakan pajak yang semakin kompleks, para konsultan pajak harus terus mengembangkan diri. “Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai sistem Coretax, kami berharap konsultan pajak di Jawa Timur bisa lebih siap menghadapi tantangan baru dalam dunia perpajakan,” katanya.

(Foto: DOK. IKPI Pengda Jawa Timur)

Menurutnya, pelatihan Coretax kali ini menjadi bukti nyata upaya IKPI di wilayah Jatim untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di sektor perpajakan. Diharapkan, setelah mengikuti pelatihan ini, para anggota IKPI tidak hanya akan memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang sistem pajak terkini, tetapi juga akan siap untuk memberikan solusi yang lebih efektif dan efisien bagi wajib pajak di wilayah Jawa Timur. (bl)

Berbagai Kalangan Tanggapi Kenaikan PPN 12% Selektif

IKPI, Jakarta: Kontroversi rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2024, melahirkan wacana kenaikan pajak hanya untuk barang mewah sedangkan sembako dan layanan publik tetap dikenakan pajak 11 persen.

Ketentuan PPN 12% itu diperintahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini, PPN naik dari 10% menjadi 11 % per 1 April 2022 dan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

Namun banyak elemen masyarakat minta Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan kenaikan karena kondisi ekonomi sedang tidak baik.

Munculnya wacana PPN 12% tetap berlaku mulai 1 Januari 2025 namun hanya untuk barang mewah, ketika pimpinan DPR menemui Presiden Prabowo di Istana, Kamis, 5 Desember 2024. Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, dalam pertemuan itu DPR mengusulkan PPN 12% diterapkan secara selektif dan menyasar pembeli barang-barang mewah.

Sementara untuk kebutuhan pokok dan pelayanan publik seperti jasa kesehatan, jasa perbankan dan jasa pendidikan dipastikan tidak diberikan pajak 12% dan dikenakan pajak yang saat ini sudah berjalan yaitu 11%.

Usulan ini ditanggapi beragam. Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengenaan tarif PPN secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan.

“Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12% untuk barang mewah dan PPN 11% untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah,” kata Bhima seperti dikutip dari ANTARA, Jumat, 6 Desember 2024.

Maka, pengenaan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan banyak pihak, terutama bagi pelaku usaha dan konsumen. Seperti misalnya bila satu toko ritel menjual objek pajak yang terkena tarif PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), maka penjual perlu menghitung tarif yang berbeda terhadap barang-barang yang dijual.

Ketika mengurus administrasi perpajakan pun, kemungkinannya, faktur pajak akan menjadi lebih kompleks.

“Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12% per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) soal PPN 12%. Itu solusi paling baik,” ujar dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN sama sekali untuk komoditas bahan pokok dan penting seperti fasilitas transportasi publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Ketentuan barang yang bebas PPN itu tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Menurut Airlangga, pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang di dalamnya membahas soal PPN dan ditargetkan bisa rampung dalam waktu satu pekan ke depan.

Kaji Secara Komprehensif

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Herman Khaeron menyebut pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif sebelum menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025 guna mengetahui dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

“Ini pilihan pemerintah, kemudian kaji secara komprehensif, dipertimbangkan apa keuntungan dan kerugiannya bagi masyarakat,” kata Herman, Kamis.

Sebab, menurut dia, meski penerapan kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun pemerintah dapat mengambil pilihan ataupun pengaturan agar kebijakan itu tidak membebani masyarakat.

“Tadi mendengar apa yang disampaikan oleh pimpinan DPR bahwa pemberlakuan 12% itu adalah untuk pajak barang mewah, dan ya tentu kalau diberlakukan pada pajak barang mewah terus kompensasinya bagaimana untuk kalangan menengah ke bawah misalkan, karena bagaimanapun dampak ini pasti ada,” katanya.

Dia mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12%, mulai dari dampaknya terhadap prospek ekonomi ke depan hingga daya beli masyarakat.

“Apakah dengan menaikkan pajak ini akan memberikan dampak positif atau tidak kepada masyarakat,” ujarnya.

Dia menyebut pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu memberikan penjelasan secara gamblang dan komprehensif kepada publik mengenai pertimbangan yang diambil pemerintah apabila nantinya PPN tetap dinaikkan menjadi 12% per 1 Januari 2025.

“Sepanjang bahwa bisa menggaransi terhadap menjaga daya beli masyarakat, menjaga masyarakat bisa survive dalam kehidupannya, menurut saya ya harus dijelaskan,” ucapnya.

Sebaliknya, dia meminta pemerintah tak memaksakan untuk menerapkan kebijakan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 sekiranya hasil kajian menunjukkan kenaikan tersebut membebani rakyat.

DJP Luncurkan Simulator Coretax untuk Edukasi Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi meluncurkan sistem uji coba interaktif (Simulator Coretax) yang dapat diakses oleh masyarakat sejak September 2024 melalui situs resmi pajak.go.id.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa simulator ini bertujuan untuk mengenalkan berbagai fitur aplikasi Coretax kepada wajib pajak secara lebih mudah dan interaktif.

“Simulator Coretax dapat diakses dari mana saja dan kapan saja menggunakan internet, sehingga lebih banyak wajib pajak dapat memanfaatkan sistem ini,” ujar Dwi Astuti pada Rabu (25/9/2024).

Untuk mengakses simulator ini kata Dwi, wajib pajak diwajibkan melakukan pendaftaran melalui akun DJP Online. Setelah pendaftaran berhasil, sistem akan mengirimkan notifikasi melalui email yang berisi tautan, nama pengguna, dan kata sandi untuk mengakses simulator, paling lambat tiga hari kerja setelah pendaftaran.

Ia juga menekankan bahwa wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai keamanan data pribadi, karena data yang digunakan dalam simulator ini bersifat khusus untuk tujuan edukasi dan bukan merupakan data pribadi wajib pajak yang sesungguhnya.

Sekadar informasi, selain menyediakan simulator, DJP juga mengadakan sesi edukasi langsung dengan metode hands-on di seluruh unit kerja untuk memberikan pemahaman lebih mendalam kepada wajib pajak prioritas. DJP juga menyediakan sarana belajar mandiri berupa video tutorial dan handbook.

Menurut Dwi, saat ini ada 55 video tutorial dan 19 handbook telah diproduksi dan dapat diakses oleh wajib pajak.

“Video tutorial dapat ditemukan di kanal YouTube @DitjenpajakRI, sementara handbook tersedia di tautan https://pajak.go.id/reformdjp/coretax/,” ujarnya.

Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari upaya DJP untuk memberikan kemudahan dalam penggunaan aplikasi Coretax dan mempercepat proses edukasi kepada wajib pajak di seluruh Indonesia. (alf)

en_US