Pemerintah Patok Target APBN 2023 Rp 2.463 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah mematok target pendapatan negara sebesar Rp2.463 triliun pada tahun depan. Hal tersebut disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menghadiri Penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran dan Buku Daftar Alokasi Transfer ke Daerah Tahun Anggaran 2023, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (1/12/2022).

Sri Mulyani mengatakan target APBN 2023 mencerminkan kehati-hatian dalam mengantisipasi ketidakpastian harga-harga komoditas, dan kecenderungan pelemahan ekonomi global dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia.

“Target pendapatan negara adalah Rp2.463 triliun, ini adalah sebuah target yang mencerminkan kehati-hatian,” kata Sri Mulyani seperti dikutip dari Bisnis.com, Kamis (1/12/2022).

Adapun, target Rp2.463,0 triliun tersebut akan dicapai melalui berbagai reformasi perpajakan dan pelaksanaan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Ini dilakukan untuk memperkuat fondasi perpajakan yang lebih adil dan efektif serta mendukung pendanaan secara sehat dan berkelanjutan.

Sementara itu, belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.061,2 triliun pada 2023 mendatang. Ini terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.246,5 triliun dan Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp814,7 triliun.

Sri Mulyani menuturkan APBN 2023 sendiri dirancang untuk tetap menjaga optimisme sekaligus pemulihan ekonomi dan pada saat yang sama, meningkatkan kewaspadaan dalam merespon gejolak global yang diperkirakan terus berlangsung pada 2023 mendatang.

Untuk itu, dia menilai perlu adanya sinergi antara pemerintah pusat dan pemda, terutama terkait belanja.

“Ini akan terus kami dukung dengan sistem penganggaran yang terintegrasi untuk mempercepat dan menyamakan langkah seluruh pemangku kepentingan dalam rangka mencapai sasaran pembangunan nasional serta menghindarkan terjadinya tumpang tindih dan duplikasi program,” katanya. (bl)

Jumlah Wajib Pajak Baru Bertambah, Tapi yang Bayar Menurun

IKPI, Jakarta: Jumlah wajib pajak baru terus mencatatkan pertumbuhan setiap tahunnya, hingga 3,85 juta orang pada tahun ini. Namun, wajib pajak baru yang membayar pajak justru mengalami penurunan.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mencatat bahwa pada Januari—September 2022, terdapat penambahan 3,85 juta wajib pajak baru.

Jumlahnya meningkat dari capaian sepanjang 2021 yakni 3,47 juta wajib pajak baru, atau tumbuh 10,8 persen (year-on-year/YoY).

Meskipun begitu, jumlah wajib pajak baru yang melakukan pembayaran pajak ternyata malah berkurang. Sepanjang Januari—September 2022, hanya 385.624 wajib pajak baru yang membayar pajak atau 10,01 persen dari total wajib pajak baru, dengan pembayaran Rp3,2 miliar.

Sepanjang 2021, sebanyak 816.908 wajib pajak baru tercatat membayar pajak, setara dengan 23,5 persen dari total wajib pajak baru. Total pembayaran para wajib pajak baru ini pun jauh lebih tinggi, mencapai Rp7,7 triliun.

Penambahan wajib pajak hasil ekstensifikasi pun menunjukkan kondisi serupa. Pada Januari—September 2022 terdapat 35.934 wajib pajak baru hasil ekstensifikasi, tetapi hanya 4.184 atau 11,6 persen di antara mereka yang membayar pajak, total senilai Rp48,97 miliar.

Seperti dikutip dari Bisnis.com, Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak Aim Nursalim Saleh menjelaskan bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah berdasarkan penilaian sendiri (self assessment).

Mereka melakukan penilaian dan pembayaran sendiri, sedangkan Ditjen Pajak bertugas mengawasi seluruh proses itu. Wajib pajak yang merasa belum memenuhi kriteria, misalnya karena pendapatannya berada di bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP), maka dia tidak membayar pajak.

Berkurangnya pembayar pajak dari total wajib pajak baru diduga berkaitan dengan hal itu. Aim pun menyebut bahwa terdapat kemungkinan sejumlah wajib pajak baru merupakan pencari kerja atau mereka yang baru memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Banyaknya pemegang NPWP baru berarti meningkatkan basis data jumlah wajib pajak baru. Menurut Aim, terdapat kemungkinan mereka belum memperoleh kerja sehingga sudah tercatat sebagai wajib pajak tetapi belum membayar pajak.

Terdapat kemungkinan pula mereka terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga belum terjadi pembayaran pajak. “Bisa jadi [membuat NPWP sebagai] syarat untuk bekerja, tetapi kerja belum beres sudah PHK. Bisa jadi. Ada on and off, akan kami teliti terus,” ujar Aim dalam media briefing Ditjen Pajak, Selasa (29/11/2022) di Batam.

Kasubdit Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti pun menilai bahwa ketentuan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa turut memengaruhi kondisi itu.

UU HPP mengamanatkan UMKM dengan peredaran bruto atau omzet hingga Rp500 juta per tahun tidak perlu membayar pajak penghasilan (PPh).

Perluasan basis data membuat jumlah UMKM terdaftar semakin banyak, tetapi mereka yang beromzet di bawah Rp500 juta tidak membayar pajak “Mungkin salah satu penyebabnya adalah wajib pajak UMKM, dia terdaftar tetapi kalau omzetnya tidak sampai Rp500 juta jadi tidak perlu bayar [pajak] kan,” ujar Dwi dalam media briefing Ditjen Pajak.

Ditjen Pajak sendiri meyakini bahwa penambahan jumlah wajib pajak akan meningkatkan pembayaran pajak pada masa depan. Peningkatan dapat terjadi baik dari wajib pajak baru yang nantinya memiliki tambahan penghasilan maupun dari proses perluasan basis data yang terus berjalan.(bl)

Penerimaan Pajak Tahun 2023, Kemenkeu Optimalkan UU HPP

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan menghadapi target penerimaan pajak yang cukup tinggi pada tahun depan, yakni Rp 1.718 triliun atau naik Rp 2,9 triliun dari usulan awal Rp 1.715 triliun.
Sri Mulyani percaya diri bahwa kenaikan target ini akan disokong oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi Rp 743 triliun dari usulan awal Rp 740,1 triliun.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, kenaikan target PPN, kata Sri Mulyani juga tidak terlepas dari berubahnya asumsi makro yang ditetapkan pemerintah di tahun depan.

Sementara target pajak sektor lainnya tidak berubah di tahun depan. Yakni PPh Migas Rp 61,4 triliun, PPh Nonmigas Rp 873,6 triliun, Pajak Bumi dan Bangunan Rp 31,3 triliun, dan pajak lainnya Rp 8,7 triliun.

Namun hal ini tidak mudah, karena tidak ada lagi program Program Pengungkapan Sukarela (PPS) tahun depan. Kemudian, perekonomian telah kembali normal.

Harga komoditas dipastikan akan melandai dari rekor tahun ini. Harga gas dan minyak mentah yang sebelumnya tinggi, mulai turun. Hal ini sejalan dengan perlambatan ekonomi dunia.

“Bicara target pajak, dari awal sudah sampaikan kita bersihkan dari unsur komoditas dan PPS (Program Pengungkapan Sukarela) kemarin. Sehingga itu meng-capture unsur dari perekonomian yang lebih relatif stabil,” jelas Sri Mulyani.

“Kenaikan (penerimaan pajak) tadi lebih karena dilihat PPN karena size ekonomi dan pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),” kata Sri Mulyani lagi.

Untuk mengejar target pajak di tahun depan, Kemenkeu memastikan akan mengoptimalkan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), disertai dengan peningkatan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan perpajakan.

Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan masih percaya diri bahwa target penerimaan pajak 2022 senilai Rp 1.485 triliun dapat tercapai.

Demikian disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Neilmadrin Noor dalam media gathering di Batam, Kepulauan Riau, Selasa (29/11/2022).

“Kita lihat 31 Oktober kita sudah menuju 97,5%, sudah disampaikan di konferensi pers APBN kemarin. Ibu menteri (Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati) menyampaikan bahwa masih optimis walaupun tetap harus waspada,” tegas Neil.

“Atas dasar itu, kalau kita lihat ini masih ada satu bulan, dikatakan 97,5%, kita bisa berharap kita bisa punya optimisme bahwa nanti angka Rp 1.485 triliun ini bisa tercapai,” lanjutnya.

Sebagai catatan, kinerja positif penerimaan pajak ini didorong oleh tren peningkatan harga komoditas, pertumbuhan ekonomi yang ekspansif, basis rendah di tahun 2021, serta hasil implementasi Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP). Sayangnya, efek ‘durian runtuh’ ini sulit terulang tahun depan. (bl)

Dalam Setahun Jumlah Wajib Pajak Bertambah 7,2 Juta

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak menyebut jumlah wajib pajak bertambah 7,2 juta sejak 2021 lalu.
Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak Aim Nursalim Saleh merinci, penambahan tersebut terjadi untuk 2021 sebanyak 3,4 juta dan 3,8 juta lainnya terjadi pada tahun ini sampai kuartal III.

Meski bertambah banyak, ia mengatakan jumlah wajib pajak baru yang terdaftar membayar pajak masih kecil. Pada 2021 saja misalnya, dari jumlah total wajib pajak baru sebanyak 3,4 juta, yang terdaftar membayar pajak baru 816 ribu.
“Jumlah pembayaran pajaknya Rp7,7 triliun,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (29/11/2022).

Hal sama juga terjadi pada 2022. Meski sampai kuartal III, jumlah wajib pajak bertambah 3,8 juta, tapi yang membayar pajak baru 385 ribuan dengan total pembayaran Rp3,2 triliun.

“Secara jumlah memang naik dari tahun sebelumnya. Tapi jumlah wajib pajak yang bayar dan pajaknya justru turun. Kami akan gali apakah penambahan wajib pajak itu bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan penerimaan pajak,” katanya.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor mengatakan selain langkah itu, pihaknya juga akan menjalankan beberapa strategi untuk menggenjot penerimaan pajak. Pada tahun depan, pihaknya sudah menyiapkan beberapa strategi.

Pertama, adalah penguatan ekstensifikasi perpajakan. Nah, pada strategi pertama ini, ia mengatakan akan melakukan prioritas pengawasan terhadap wajib pajak orang kaya raya alias crazy rich (high individual person) beserta grup dan digital ekonomi. Namun, ia belum mau menjelaskan siapa saja orang kaya yang akan dimasukkan ke dalam prioritas pengawasan ini.

“Kita sudah punya sekarang wajib pajak yang terdaftar di Large Tax Office (LTO). Itu kan masuk dulunya high wealth individual, Tapi apakah nanti akan ada kriteria baru untuk kategori high wealth individual yang akan jadi prioritas, ini yang belum bisa kami sampaikan,” katanya di Batam, Selasa (29/11/2022) malam.

Ia menambahkan peningkatan prioritas pengawasan ini merupakan respons dari Ditjen Pajak atas keluhan dan masukan dari sejumlah wajib pajak yang selama ini sudah bayar pajak, tapi melihat ada orang yang belum menjalankan kewajibannya kepada negara secara benar.

“Ini demi asas fairness saja. Meski jadi prioritas pengawasan juga tidak ada pajak khusus bagi mereka. High wealth individual ini sebelumnya mereka sudah bayar, bahkan ada yang lebih patuh daripada yang bukan high wealth individual,” katanya.

“Cuma, ini kan untuk mencermati kemungkinan mereka punya aset, penghasilan yang belum terlaporkan. Ini yang akan jadi bahan analisis,” tambahnya.

Selain alasan itu, fokus juga dibuat demi menghadapi ancaman resesi ekonomi global pada 2023 mendatang.

“Tahun depan akan menantang bagi DJP karena itu perlu strategi solid untuk mengoptimalkan penerimaan pajak,” katanya.

Strategi kedua, optimalisasi perluasan basis perpajakan. Berkaitan dengan strategi ini, Ditjen Pajak akan memanfaatkan hasil Program Pengampunan Pajak Jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Ia menambahkan berdasarkan data terakhir yang masuk sampai dengan 15 November pukul 14.55, sudah ada 52,9 juta NIK yang terintegrasi dengan NPWP.

“Sudah mencapai lebih dari 75 persen yang terintegrasi,” katanya.

Strategi ketiga, mempercepat reformasi sumber daya manusia, organisasi, proses bisnis dan regulasi di bidang perpajakan, memperluas kanal pembayaran pajak, meningkatkan penegakan hukum yang berkeadilan dengan pemanfaatan digital forensik

“Digital forensik ini tidak hanya yang berkaitan dengan kejahatan perpajakan, ini berlaku secara umum,” katanya.

Sedangkan strategi keempat, memberikan insentif fiskal yang terarah dan terukur demi mendorong pertumbuhan dan memberikan kemudahan investasi. (bl)

Elon Musk Tunda Kebijakan Akun Centang Biru Berbayar

IKPI, Jakarta: Peluncuran akun centang biru berbayar atau langganan Twitter Blue dikabarkan ditunda menyusul pernyataan perang’ Elon Musk dengan Apple.

Twitter Blue sempat mengalami tarik-ulur peluncuran sejak awal bulan ini. Sejumlah pengguna sempat bisa berlangganan melalui aplikasi Twitter di iOS. Namun, Musk menundanya karena sejumlah pertimbangan. Salah satunya diduga akibat masalah akun peniru.

CEO Twitter itu lantas mengungkapkan fitur Blue Verified bakal diluncurkan ulang pada 29 November usai diperbaiki terlebih dahulu.

Elon Musk meluncurkan Ulang Twitter Blue 29 November “Punting relaunch of Blue Verified to November 29th to make sure that it is rock solid,” kicau Musk di akun Twiternya, Rabu (16/11/2022).

Namun, dikutip dari CNN Indonesia dan Platformer, kebijakan ini kemungkinan tidak tersedia dalam aplikasi Twitter di iOS, sistem operasi di awai-gawai Apple, demi menghindari potongan 30 persen pembelian di App Store.

Diketahui, Apple memungut bayaran 30 persen dari tiap transaksi via App Store, termasuk kepada Twitter.

Menurut The Verge, informasi penundaan tersebut juga didapat dari seseorang yang mengetahui langsung masalah tersebut.

Karyawan Twitter telah diberi tahu bahwa akan ada perubahan lain pada centang biru ini, termasuk kenaikan harga satu sen dari US$7,99 menjadi US$8 (Rp125 ribuan) dan memerlukan verifikasi nomor telepon.

Belakangan, Musk meningkatkan intensitas serangannya terhadap Apple. Pada 18 November, dia mengkritik pemotongan App Store dengan menyebutnya sebagai “pajak 30% tersembunyi di Internet”.

Pada Senin (28/11), CEO Tesla itu juga mengklaim Apple “sebagian besar” telah menghentikan iklan di medsosnya dan “mengancam untuk menahan Twitter dari App Store-nya, tetapi tak akan memberi tahu kami soal alasannya.” Apple belum secara terbuka mengonfirmasi kicauan Musk itu. (bl)

Pemerintah Masih Pertimbangkan Tunjuk E-Commerce Sebagai Pemungut Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah menyatakan tidak akan terburu-buru merilis ketentuan yang menunjuk platform e-commerce sebagai pemotong atau pemungut pajak. Hal itu disampaikan Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bonarsius Sipayung seperti dikutip dari wartaekonomi.com.

Ia mengatakan, masih banyak aspek yang perlu dipertimbangkan pemerintah dalam merilis aturan tersebut. “Belum kita terapkan ya. Artinya, kita masih pertimbangkan juga arahan dari pimpinan, bagaimana cara kita nantinya (memungut pajak), ya tugas kita hanya memfasilitasi tadi,” kata Bonarsius.

Bonarsius juga menjelaskan, pertimbangan pertama adalah kondisi ekonomi yang masih dalam proses pemulihan dari pandemi COVID-19. Pertimbangan kedua merupakan kesiapan infrastruktur, dan yang terakhir terkait tarif dan administrasi yang mudah.

Selain itu, DJP juga akan melakukan komunikasi dengan sejumlah pihak untuk menyampaikan keinginan pemerintah, yaitu membuat negara lebih maju dengan memformalkan UMKM. “Ya berpartisipasilah kepada negara, bergotong royong. Tapi dengan tarif tentunya kecil, administrasi yang mudah,” ucap Bonarsius.

Bonarsius mengakui, isu terbesar UMKM dalam pembayaran pajak adalah minimnya kemampuan mereka dalam hal administrasi. Karena itu, DJP akan memikirkan proses administrasi yang mudah dan sederhana.

Selain itu, Bonarsius juga menambahkan bahwa pemerintah ingin UMKM lebih maju. Karena itu, pemerintah memiliki tugas untuk memfasilitasi UMKM agar mereka terus tumbuh. Meski demikian, sosialisasi pajak UMKM online ini dinilai masih di lingkup internal pemerintah atau belum menyasar ke pengusaha. Menurutnya, ketentuan tersebut saat ini juga masih sekadar wacana.

Tantangan lainnya, menurut Bonarsius, lokasi tempat penjual yang tak menentu dalam menjual barang dagangannya melalui e-commerce juga menjadi tantangan dalam memungut pajak. “Karena bagaimana kita memajaki orang yang kita tidak pernah lihat ada usahanya, umpanya seperti itu,” kata Bonarsius.

Di sisi lain, riset yang dilakukan oleh DDTC FRA berjudul “Policy Notes, Tinjauan dan Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM” menemukan bahwa sebanyak 49,35 persen pelaku UMKM tidak setuju jika marketplace menjadi pemotong dan pemungut pajak. Selain itu, DDTC FRA juga menemukan bahwa penunjukkan platform e-commerce sebagai pemungut pajak UMKM online dapat menurunkan partisipasi UMKM berjualan online sebanyak 26 persen.

Hal itu disebabkan oleh adanya kecenderungan pelaku UMKM bermigrasi ke platform penjualan lainnya, seperti media sosial dan toko fisik. Ini juga dapat membuat UMKM kembali ke dalam ekosistem shadow economy atau ekonomi informal. Jika demikian, basis pajak UMKM justru akan menurun.

Untuk itu DDTC FRA menilai, pertama-tama DJP harus mempertimbangkan pelaksanaan penyerahan rekapitulasi data transaksi UMKM oleh marketplace. Selain itu, sehubungan dengan rencana pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), DJP juga dinilai perlu meminta persetujuan (consent) kepada pelaku UMKM untuk merekapitulasi data tersebut dan menyerahkannya kepada DJP serta mitranya, dalam hal ini platform e-commerce.

Selanjutnya, DJP juga perlu melakukan evaluasi pelaksanaan hasil rekapitulasi data, termasuk merumuskan aturan teknis, sinkronisasi data, dan lain-lain. Terakhir, pemerintah dapat memulai sosialisasi dan implementasi sistem pemotongan dan pemungutan pajak. Dalam perhitungan DDTC FRA, tiga tahapan ini minimal membutuhkan waktu sekitar dua hingga tiga tahun. (bl)

Ini 4 Tips Mudah UMKM Membuat Pelaporan Pajak

IKPI, Jakarta: Setiap akhir tahun, beragam bisnis disibukkan oleh persiapan pelaporan pajak yang jatuh pada Januari hingga April di tahun berikutnya. Bahkan, periode persiapan ini identik dengan lembur bagi karyawan yang harus mengumpulkan, memeriksa, dan merapikan segala dokumen.

Usaha kecil dan menengah (UKM) juga turut disibukkan dengan persiapan pelaporan pajak sebab berdasarkan kebijakan per April 2022, bisnis dengan penghasilan melampaui Rp 500 juta setiap tahun harus membayar pajak sebesar 0,5%.

Dikutip dari suara.com, Chief Operating Officer (COO) Mekari Anthony Kosasih, mengatakan bahwa saat mempersiapkan segala dokumen dan langkah-langkah untuk pelaporan pajak, UKM kerap menghadapi kendala akibat berbagai faktor, seperti terbatasnya sumber daya manusia (SDM) untuk menjalankan proses dengan seksama.

“Keterbatasan sumber daya semakin tajam dirasakan oleh UKM yang baru, termasuk bisnis-bisnis kecil yang lahir saat pandemi dan pasca pandemi. Untungnya, di jaman serba teknologi, aplikasi pajak berbasis online hadir untuk mengotomatisasi pelaporan pajak sehingga prosesnya menjadi mudah dan cepat,” kata Anthony.

Mekari adalah perusahaan teknologi yang menyediakan rangkaian solusi digital untuk UKM dan perusahaan besar. Salah satu solusinya adalah Mekari Klikpajak, penyedia jasa aplikasi pajak (PJAP) yang resmi terhubung ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Anthony kemudian membagikan tips bagaimana UKM bisa menggunakan aplikasi pajak untuk memperlancar proses persiapan pelaporan pajak.

1. Buka akun dan rekap dokumen

Untuk menggunakan aplikasi pajak, UKM harus membuka akun terlebih dulu. Proses registrasi tergolong mudah karena UKM cukup memasukkan data seperti nama perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Electronic Filing Identification Number (EFIN). Setelah akun tersedia, UKM bisa mulai mengunggah dokumen-dokumen pajak yang lama, seperti faktur pajak dan bukti potong. Merekap dokumen pajak tahunan di satu tempat mendorong kerapihan administrasi agar kedepannya, UKM tidak perlu lagi membuang waktu dan tenaga untuk mencari dimana letak dokumen.

2. Manfaatkan dasbor untuk pantau bisnis

Salah satu keunggulan aplikasi pajak adalah halaman dasbor yang merangkum informasi pajak yang penting, seperti kuota nomor seri faktur pajak (NSFP). Bukan saja itu, ada dasbor yang memungkinkan UKM untuk menyatukan data keuangan perusahaan kedalamnya. Integrasi data perpajakan dan keuangan di satu tempat akan memudahkan pemantauan dan pengelolaan bisnis, yang sangat bermanfaat saat akhir tahun ketika UKM ingin menelaah performa bisnis selama setahun terakhir.

3. Otomasi pelaporan untuk tingkatkan akurasi

Aplikasi pajak mengotomasi proses pelaporan, dengan demikian menekan human error yang kerap membayangi pelaporan manual. Aplikasi pajak bisa secara otomatis memvalidasi NPWP yang tertera di formulir pelaporan pajak lewat fitur API Documentation, serta menarik bukti potong (bupot) dari bulan-bulan sebelumnya dari server DJP lewat fitur Prepopulated e-Bupot. Bahkan, UKM bisa mengirimkan faktur pajak digital langsung ke pelanggan via WhatsApp lewat fitur Share Faktur.

4. Siapkan laporan secara kolaboratif

Keunggulan lainnya dari aplikasi pajak adalah fitur multi-user, dimana pemilik UKM atau administrator akun dapat memberikan akses terbatas ke karyawan lain untuk mengunggah dan menghapus data yang tersimpan di aplikasi. Dengan demikian, proses pelaporan pajak dapat dilakukan secara kolaboratif. Ditambah lagi, karena aplikasi pajak terhubung secara online, para karyawan dapat melakukan proses pelaporan kapanpun dan dimanapun. Hal ini cocok bagi UKM yang memiliki karyawan di cabang-cabang terpisah, serta yang menerapkan work from anywhere (WFA).

Anthony menambahkan bahwa otomatisasi pembayaran dan pelaporan yang dihadirkan oleh aplikasi pajak mendorong UKM untuk semakin taat memenuhi kewajiban sebagai badan usaha.

“Kepatuhan membayar pajak tidak saja baik bagi pemulihan ekonomi dan pembangunan Indonesia, namun juga UKM itu sendiri. UKM yang taat memenuhi kewajiban pajaknya akan terbebas dari sanksi di kemudian hari, sehingga UKM bisa menjalankan dan menumbuhkan bisnis bebas dari hambatan,” ujar Anthony.

Mekari memiliki komitmen terhadap Power Your Growth, yaitu membantu bisnis bertumbuh melalui solusi digital yang mendukung compliance, atau kepatuhan, pada peraturan yang berlaku. Selain Mekari Klikpajak, Mekari juga menghadirkan Mekari Jurnal sebagai sistem akuntansi online.(bl)

 

Filipina Hapus Tarif Pajak Kendaraan Listrik

IKPI, Jakarta: Panel antar-lembaga Filipina yang diketuai Presiden Ferdinand Marcos Jr pada Kamis (24/11/2022) menyetujui menghapus tarif pajak kendaraan listrik buat memicu perkembangannya di dalam negeri saat harga bahan bakar di negara itu sedang naik tinggi.

Marcos bakal mengeluarkan perintah eksekutif yang memotong hingga 0 persen tarif pajak buat kendaraan listrik seperti mobil penumpang, bus, van, truk, sepeda motor, sepeda dan suku cadangnya selama lima tahun.

Bea masuk buat kendaraan listrik di Filipina saat ini antara 5 persen hingga 30 persen.

“Perintah eksekutif tersebut bertujuan memperluas sumber pasar dan mendorong konsumen untuk mempertimbangkan membeli kendaraan listrik, meningkatkan keamanan energi dengan mengurangi ketergantungan ekosistem industri kendaraan listrik domesik,” kata Economic Planning Secretary Arsenio Balisacan, dikutip dari CNN Indonesia dan Reuters.

Pemangkasan pajak ini hanya berlaku buat kendaraan listrik murni, sementara kendaraan hybrid tak berubah.

Pembeli kendaraan di Filipina sekarang perlu mengeluarkan dana US$21 ribu (sekitar Rp329 juta) hingga US$49 ribu (sekitar Rp768 juta) untuk memboyong kendaraan listrik.

Banderol itu lebih mahal ketimbang kendaraan konvensional antara US$19 ribu (sekitar Rp298 juta) sampai US$26 ribu (sekitar Rp408 juta).

Gaikindo Respons Target 15 Juta Kendaraan Listrik di Indonesia 2023
Menurut data International Trade Administration milik Amerika Serikat, hanya ada 9 ribu kendaraan listrik dari total lebih dari 5 juta kendaraan yang terdaftar di Filipina. Kebanyakan kendaraan listrik itu merupakan jenis penumpang.

Kendaraan listrik cuma mewakili 1 persen pasar otomotif dan kebanyakan hanya dimiliki orang kaya.(bl)

 

Pemerintah Sulit Kumpulkan dari Pajak Pekerja Lepas

IKPI, Jakarta: Jajaran Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan yang berada di bawah pimpinan Menteri Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan hal yang mengejutkan.

Setelah mengumpulkan penerimaan pajak Rp 1.448,2 triliun atau 97,5% dari target per Oktober, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengaku masih memiliki kesulitan.

Dia mengungkapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beserta jajarannya merasa kesulitan untuk mengumpulkan pajak dari para pekerja lepas atau freelancer di Indonesia.

Berdasarkan laporan tahunan DJP 2021, rasio kepatuhan wajib pajak orang pribadi karyawan pada 2021 mencapai 98,73%. Sementara itu, rasio kepatuhan orang pribadi non-karyawan hanya sebesar 45,53%.

Berdasarkan laporan DJP 2021 tersebut juga disebutkan, dari sebanyak 4,07 juta wajib pajak orang pribadi non karyawan yang telah terdaftar dan wajib SPT, tercatat hanya 1,85 juta wajib pajak orang pribadi non karyawan yang menyampaikan SPT pada 2021.

Adapun, berdasarkan kepatuhan penyampaian SPT orang pribadi karyawan pada 2021 yang mencapai 98% karena pemotongan pemungutan pajak dilakukan oleh pemberi kerja.

“Pengawasannya kami bekerja sama dengan pemberi kerja, sehingga kepatuhan SPT tinggi dan format penyampaian SPT sederhana,” jelas Suryo dalam konferensi APBN Kita, dikutip dari CNCB Indonesia, Senin (28/11/2022).

Untuk penyampaian SPT non-karyawan, Suryo juga mengakui bahwa DJP masih sulit untuk memformulasikan agar format penyampaian pelaporannya bisa sederhana.

Pun para wajib pajak non-karyawan ini membutuhkan effort atau usaha ekstra karena harus menghitung dan melaporkannya sendiri.

“Karena non karyawan ini menyampaikan format self assessment, menghitung sendiri, melapor sendiri dan kita mengawasi SPT yang bersangkutan,” jelas Suryo.

“Ini PR (Pekerjaan Rumah) untuk meningkatkan basis bagi wajib pajak yang memang karyawan mandiri bukan pemberi kerja,” kata Suryo lagi. (bl)

Gelaran AOTCA Bali Berjalan Sukses, Peserta Apresiasi Pelayanan IKPI

IKPI, Jakarta: Gelaran Asia Oceania Tax Consultants Association (AOTCA) General Meeting di The Westin Resort, Nusa Dua, Bali, Kamis (24/11/2022) sukses digelar. Acara yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (lKPI) tersebut mendapatkan apresiasi dari para anggota AOTCA dari berbagai negara.

Diketahui, acara AOTCA General Meeting ditutup dengan Gala dinner spektakuler yang menampilkan pertunjukan kesenian dari negara-negara peserta AOTCA, diawali dengan tari khas dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Aceh, Bali, Jawa Barat, dan Padang, Jakarta ditampilkan dalam gelaran tersebut.

Peserta AOTCA General Meeting dari Mongolia. (Foto: Bayu Legianto)

Selain itu, peserta dari Mongolia, Vietnam, Jepang, Korea, dan berbagai negara lainnya juga unjuk kebolehan dimalam itu. Mereka menyanyi hingga menampilkan tarian tradisional negara masing-masing. Tepuk tangan, sorak yang gemuruh dan joget peserta gala dinner, menunjukan kalau mereka sangat menikmati acara tersebut.

Ketua Panitia AOTCA Bali 2022 T Arsono mengatakan, sebagai tuan rumah acara AOTCA ini adalah sangat tepat bagi para Konsultan Pajak Profesional untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi melalui pertukaran informasi perpajakan antar negara anggota AOTCA, pertukaran tersebut disampaikan melalui forum International Tax Conference, dan tentu saja akan terjalin komunikasi antar sesama peserta yang memungkinkan lahirnya kerjasama antar konsultan pajak antara negara ditingkat Asia Oceania, Eropa dan Afrika, ujarnya dalam closing statement pada acara gala dinner.

Arsono mengatakan, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi finansial untuk acara AOTCA Bali 2022.

Panitia AOTCA Bali 2011. (Foto: Bayu Legianto)

“Saya sangat menghargai teman-teman di IKPI yang telah menginvestasikan begitu banyak waktu dan tenaga yang berharga untuk kesuksesan acara ini,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Presiden AOTCA Euney Marie J Mata Perez. Menurutnya, gelaran pertemuan AOTCA Bali ini sangat sukses dan ratusan peserta dari berbagai negara mengakui itu, pelayanan yang ramah, acara yang terorganisir dan meriah, kata Euney menjadi catatan yang sangat diapresiasi oleh para anggota AOTCA kepada dirinya, bahkan menurutnya peserta AOTCA Bali 2022 adalah peserta terbesar dalam acara AOTCA selama ini.

“AOTCA Bali sukses besar, dan IKPI sebagai tuan rumah sangat hebat. Terima kasih Ruston Tambunan (Ketum) T Arsono (Ketua Panitia) dan seluruh peserta AOTCA yang telah mensukseskan acara ini,” ujar Euney dalam kata sambutannya pada acara Gala Dinner.

Panitia AOTCA Bali 2022. (Foto: Bayu Legianto)

Sementara itu, Ketua Departemen Humas IKPI Henri PD Silalahi yang juga tercatat sebagai Panitia Koordinator bidang Publikasi dan Dokumentasi mengatakan, Pelaksanaan AOTCA Bali 2022 ini dilaksanakan sendiri oleh pengurus dan anggota IKPI yang dipercaya menjadi panitia.

Itulah sebabnya Ketua Panitia T Arsono dan Ketua Umum IKPI Ruston Tambunan dalam kata sambutannya pada gala dinner menyatakan terima kasih kepada seluruh panitia yang telah menginvestasikan waktu dan tenaga bahkan materi.

“Perlu dicatat juga, untuk kesuksesan acara ini disamping mendapatkan dukungan dari sponsor, panitia juga menggalang dana gotong royong dari panitia sendiri. Dana gotong royong terkumpul dalam jumlah cukup banyak. Jadi IKPI tidak menggunakan event organiser, murni dari IKPI oleh IKPI untuk IKPI dan masyarakat Indonesia,” katanya. (bl)

 

id_ID