Menkeu Perkirakan Tahun Depan Ekonomi RI Melambat

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan perekonomian Indonesia di tahun depan akan melambat menjadi 4,7%. Hal tersebut akan menjadi tantangan bagi pemerintah khususnya Kementerian Keuangan dalam mengumpulkan penerimaan negara.

Seperti yang diketahui, pemerintah mematok target penerimaan pajak di tahun depan sebesar Rp 1.718 triliun. Angka ini tumbuh 15,72% dari target dalam Peraturan Presiden (Perpres) 98 Tahun 2022 yang sebesar Rp 1.485 triliun.

Mengulik ke belakang, penerimaan pajak hingga 14 Desember 2022 sudah mencapai Rp 1.634,36 triliun, atau 110,06% dari target yang sebesar Rp 1.485 triliun.
Meski penerimaan pajak tahun ini menunjukkan pencapaian yang positif, Sri Mulyani tetap mewaspadai adanya risiko perlambatan ekonomi di tahun depan yang berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Terlebih lagi, pertumbuhan ekonomi di tahun depan diperkirakan tidak akan menyentuh di atas 5%.

“Tahun depan, target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.718 triliun, target yang dihitung dengan sangat berhati-hati dan mempertimbangkan koreksi harga komoditas dan perlambatan pertumbuhan ekonomi di angka 4,7%,” tulis Sri Mulyani seperti dikutip Kontan.co dari unggahan di instagram pribadinya @smindrawati, dikutip Senin (26/12/2022).

Oleh karena itu, Sri Mulyani bilang, sebagai salah satu garda terdepan dalam mengelola keuangan negara, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus senantiasa beradaptasi dan berinovasi dalam mengikuti dinamika zaman.

“Ini sebuah tantangan bagi DJP. Saya harap seluruh insan DJP akan terus walk the talk (melakukan apa yang dikatakan) dalam menjalankan tugasnya dan terus mensinkronisasi dengan kondisi dan dinamika yang terus bergerak,” tulisnya. (bl)

Pengamat Sebut Capaian Penerimaan Pajak Tahun 2022 Luar Biasa

IKPI, Jakarta: Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) memproyeksikan penerimaan pajak tahun ini tembus di kisaran Rp 1.823,6 triliun atau 122,80% dari target penerimaan dalam Perpres 98/2022.

Pengamat Pajak CITA, Fajry Akbar mengatakan penerimaan pajak tahun ini luar biasa baik karena pertumbuhan penerimaan pajak diproyeksikan sebesar 42,64% atau tertinggi dalam dua dekade terakhir.

“Sampai akhir tahun, kami memproyeksikan akan ada tambahan penerimaan pajak sebesar Rp 215,45 triliun dari outlook dalam Nota Keuangan APBN,” ucapnya seperti dikutip dari Berita Satu, Selasa (27/12/2022).

Ia menjelaskan bahwa, angka riil penerimaan pajak tahun ini akan bergantung pada besaran restitusi dalam beberapa minggu terakhir. Pertama, Penerimaan PPh Badan menjadi mesin pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2022 yang begitu tinggi.

“Kontribusi penerimaan PPh Badan juga meningkat dibandingkan tahun lalu. Namun demikian, penerimaan PPN masih menjadi tumpuan dari penerimaan pajak sebab kontribusinya mencapai sebesar 37,1% dari seluruh total penerimaan,” ucapnya.

Dengan demikian, secara sektoral, industri pertambangan menjadi mesin pertumbuhan penerimaan pajak 2022. Oleh karena itu, untuk sektor industri pengolahan dan perdagangan yang menjadi penopang. Kontribusi keduanya tercatat mencapai 52,9%.

Menurut Fajry ada banyak faktor yang menyebabkan perbaikan kinerja penerimaan pajak tahun ini.

“Pemulihan ekonomi yang kuat menjadi salah satu alasan utamanya. Pada kuartal III- 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72% yoy,” ujarnya.

Faktor kedua, yakni implementasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) juga menjadi pendorong kinerja penerimaan tahun ini. Contohnya adalah Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang berhasil mengakomodasi penerimaan sebesar Rp 60,1 triliun.

Sedangkan kenaikan tarif PPN sebesar 1% telah berkontribusi sebesar Rp 53,4 triliun sampai 14 desember 2022. Hal
ini jauh lebih tinggi dari proyeksi CITA yang hanya sebesar Rp 42 triliun.

“Kenaikan harga komoditas tentu juga menjadi pendorong utama yang dapat dilihat dari pertumbuhan penerimaan pajak sektor pertambangan sebesar 135%,” jelasnya.

Sementara itu, kinerja penerimaan cukai juga meningkat signifikan. Sehingga diproyeksikan penerimaan cukai tahun ini sebesar Rp 220,02 triliun atau sesuai dengan target Perpres 98/2022.

Kinerja ini patut diapresiasi karena penerimaan cukai mampu sesuai target di tengah turunnya produksi produk hasil tembakau. Kenaikan penerimaan juga lebih tinggi dibandingkan kenaikan tarif tertimbang, dengan begitu efektivitas tarif cukai
dalam menghasilkan penerimaan yang saat ini melebihi 1%.

“Artinya, kenaikan tarif cukai rokok sebesar 1% mampu mendorong penerimaan CHT (Cukai Hasil Tembakau) lebih dari 1%. Ini hal yang sangat baik,” tegasnya.

Sementara itu, penerimaan kepabeanan juga tumbuh signifikan. Penerimaan bea masuk diperkirakan sebesar Rp 52,35 triliun sedangkan penerimaan bea keluar sebesar Rp 42,09 triliun. Kenaikan ini dampak dari kenaikan beberapa harga komoditas seperti crude petroleum oil (CPO) dan batu bara. (bl)

Pengamat Sebut UU HPP Masih Terkendala Aturan Turunan

IKPI, Jakarta: Implementasi Undang-undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) mendapatkan sorotan dari Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA. Peneliti Perpajakan CITA Fajry Akbar mengatakan UU HPP mampu mendorong penerimaan pajak pada tahun ini. Kendati demikian, masih ada sejumlah pekerjaan rumah dalam mengimplementasikan aturan tersebut.

“Belum adanya aturan turunan dari UU HPP menjadi salah satu penyebab belum optimalnya penggalian potensi penerimaan pajak melalui UU HPP,” ujar Fajry dalam keterangan resmi, seperti dikutip dari Bisnis.com, Selasa (27/12/2022).

Fajry mengakui tak mudah untuk merumuskan aturan UU HPP. Apalagi, dalam merumuskan aturan baru, dia menilai pemerintah membutuhkan waktu yang tak sebentar. Pemerintah sendiri sebelumnya telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan aturan turunan dari UU HPP.

Namun, dia menilai sebagian besar ketentuan dalam PP tersebut masih memerlukan aturan setingkat Menteri (Peraturan Menteri Keuangan) dan teknis, terutama untuk menggali potensi penerimaannya. Salah satunya dalam PP Nomor 50/2022.

Fajry menuturkan masih banyak ketentuan teknis yang belum diatur, meskipun dalam aturan tersebut telah dirinci terkait ketentuan pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak yang berkewajiban membayar pajak karbon.

Sebagai informasi, mekanisme carbon trading baru saja disahkan melalui UU P2SK dan diatur kembali melalui peraturan ESDM.

Namun menurut dia, pemerintah sudah seharusnya lebih cepat menerbitkan aturan turunan UU HPP guna menjawab tantangan penerimaan pajak pada 2023 mendatang.

“Apalagi mengingat aturan turunan UU HPP sendiri sudah di luar timeline semula. Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak,” kata dia.(bl)

Ini Aturan dan Perhitungan Pajak Nataru

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi mengubah perhitungan pajak penghasilan karyawan (PPh) 21 lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh) merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Secara umum PP 55/2022 mengatur beberapa ketentuan pajak, salah satunya yaitu perlakukan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan. Hal ini diatur di dalam Bab VI.

Pada Pasal 29 dijelaskan bahwa penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dinilai dengan beberapa ketentuan.

Ketentuan penilaian natura dan/atau kenikmatan yang dimaksud yakni untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk natura, yaitu berdasarkan nilai pasar.

Serta, untuk penggantian atau imbalan dalam bentuk kenikmatan, yaitu berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi.

“Pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” tulis Pasal 30 PP 55/2022, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (26/12/2022).

Adapun ketentuan mengenai tata cara penilaian dan perhitungan penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri.

Dalam Pasal 24 PP 55/2022, pemerintah telah mengatur penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan alias tidak dipungut pajak.
Terdapat lima jenis natura yang dikecualikan dari PPh dalam PP 55/2022 tersebut. Di antaranya:

– Makanan, bahan makanan, bahan minuman atau minuman bagi seluruh pegawai.

Ini meliputi makanan yang disediakan pemberi kerja di tempat kerja, kupon makanan bagi pekerja mobile, dan bahan makanan bagi seluruh pegawai dengan batasan nilai tertentu.

– Natura yang disediakan di daerah tertentu.

Bentuk natura daerah tertentu ini, meliputi fasilitas tempat tinggal rumah bagi pekerja dan keluarganya, pelayanan kesehatan , pendidikan, peribadatan, pengangkutan dan olahraga tertentu.

Namun, pembebasan PPh atas natura ini hanya berlaku di daerah tertentu, yakni daerah yang secara ekonomis memiliki potensi, tetapi prasarana ekonominya belum memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.

– Natura yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam rangka keamanan, kesehatan dan keselamatan pekerja.

Ini meliputi pakaian seragam. peralatan untuk keselamatan kerja, sarana antar jemput pegawai, penginapan awak kapal dan perlengkapan penanganan endemi, pandemi atau bencana nasional.

– Natura yang bersumber atau dibiayai dari APBN, APBD atau anggaran desa. Sama seperti aturan sebelumnya, semua yang berasal dari dana negara tidak dikenakan pajak.

– Natura dengan jenis dan/atau batasan tertentu. Dalam hal ini, pemerintah tidak memberikan kepastian dalam PP ini mengenai berapa nilai batasan yang bakal dikenakan atau dikecualikan dari objek PPh.

Tak seperti karyawan swasta, penghasilan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diterima oleh pegawai negeri sipil (PNS) dari anggaran pemerintah bebas dari pajak penghasilan (PPh) alias tidak potong pajak.
Hal tersebut tertuang di dalam Bab 6 pada Pasal 24 mengenai bentuk natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan bagi pihak penerima.

Dikecualikan dari objek pajak penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud meliputi:

“Natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APDB), dan/atau anggaran pendapatan dan belanja desa,” tulis Pasal 24 huruf d.

Apabila, PNS menerima imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang tidak bersumber dari APBN, APBD, atau APBDes, maka natura atau kenikmatan tersebut menjadi objek PPh sebagaimana yang berlaku bagi pegawai swasta.

Adapun PPh Pada PP 80 Tahun 2010, diatur PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, ditanggung oleh pemerintah.

Atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dalam bentuk apapun yang menjadi beban APBN atau APBD, bendahara pemerintah wajib memotong PPh Pasal 21 final dengan tarif 0% – 15%.

Tarif PPh Pasal 21 final 0% berlaku bagi PNS golongan I dan II, anggota TNI dan Polri berpangkat tamtama dan bintara serta pensiunannya.

Tarif PPh 21 final 5% berlaku untuk PNS golongan III, anggota TNI dan Polri berpangkat perwira pertama dan pensiunannya.

Adapun tarif PPh 21 final sebesar 15% berlaku bagi pejabat, PNS golongan IV, anggota TNI dan Polri berpangkat perwira menengah dan tinggi, serta pensiunannya.

Berdasarkan Pasal 30 PP 55/2022, dijelaskan bahwa pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Kemudian pada Pasal 73, ketentuan mengenai perlakuan perpajakan atas penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud berlaku sebagai berikut:

– Bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022 dimulai sebelum 1 Januari 2022, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022.

– Bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang menyelenggarakan pembukuan tahun buku 2022, dimulai tanggal 1 Januari 2022 atau setelahnya, mulai berlaku pada saat tahun buku 2022 dimaksud dimulai.

Kemudian pada Pasal 73 ayat (2) diatur mengenai ketentuan pemotongan pajak penghasilan bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan dan pelaporan dalam SPT, ketentuannya sebagai berikut:

– Kewajiban melakukan pemotongan pajak penghasilan seperti yang dimaksud Pasal 30, bagi pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023.

– Atas penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak:

a. Tanggal 1 Januari 2022 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan.

b. Awal tahun buku 2-22 sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, dari pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan.

Namun, atas penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang belum dilakukan pemotongan, maka wajib pajak harus menghitung dan membayar sendiri dalam SPT 2022.

“Yang belum dilakukan pemotongan pajak penghasilan oleh pemberi kerja atau pemberi penggantian atau imbalan sebagaimana dimaksud, atas pajak penghasilan yang terutang wajib dihitung dan dibayar sendiri, serta dilaporkan oleh penerima dalam Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022,” tulis Bunyi Pasal 73 ayat (2) huruf b. (bl)

 

 

Jokowi Rilis Kebijakan Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan

IKPI, Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya merilis keputusan presiden terkait dengan penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Titah Presiden ini dituangkan dalam Keputusan Presiden (Kepres) No.25 Tahun 2022. Kepres ini diteken pada 23 Desember 2022. Ada empat hal yang ditetapkan Jokowi. Pertama, pengenaan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Kedua, pengenaan tarif pemotongan pajak penghasilan (PPh) pasal 21 atas penghasilan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang menjadi beban negara, dalam APBN dan APBD.

Ketiga, pemberlakukan dan penerapan tarif efektif pemotongan pajak PPh pasal 21. Terakhir, pencabutan PP No.80 tahun 2010 tentang tarif pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang menjadi beban APBN dan APBD.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengumumkan bahwa pemerintah telah menyesuaikan pengaturan di bidang Pajak Penghasilan (PPh) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam satu Peraturan Pemerintah (PP) yang komprehensif dan konsolidatif.

“Dalam beleid ini, beberapa ketentuan bersifat meneruskan amanah Pasal 32C UU HPP untuk selanjutnya diatur di Peraturan Menteri Keuangan, seperti Bab II tentang Objek PPh, Bab III tentang Pengecualian dari Objek PPh, dan Bab IV tentang Biaya yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (26/12/2022).

Sementara itu ketentuan lainnya, untuk penyusutan harta berwujud berupa bangunan permanen dan/atau amortisasi harta tak berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 20 tahun, Wajib Pajak dapat memilih menggunakan masa manfaat 20 tahun berdasarkan UU PPh atau masa
manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan syarat taat asas.

“Khusus untuk harta yang dimiliki sebelum tahun pajak 2022 dan telah disusutkan/diamortisasi sesuai masa manfaat dalam UU PPh, Wajib Pajak masih dapat memilih menggunakan masa manfaat sebenarnya sesuai pembukuan Wajib Pajak dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak,” paparnya.

Untuk ketentuan pemberian natura dan/atau kenikmatan, yang mana sebelumnya bukan merupakan objek pajak bagi pihak penerima dan tidak dapat dibebankan bagi pihak pemberi, saat ini menjadi objek pajak bagi pihak penerima dan dapat dibebankan bagi pihak pemberi
(taxable and deductable).

Dikecualikan dari pengenaan pajak (nontaxable) adalah natura dan/atau kenikmatan yang meliputi:

1) makanan, bahan makanan, bahan minuman, dan/atau minuman bagi seluruh pegawai;
2) natura dan/atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu;
3) natura dan/atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan
pekerjaan;
4) natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai APBN/APBD/APBDesa; atau
5) natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Ketentuan ini berlaku sejak tahun pajak 2022. Namun, kewajiban pemotongan PPh atas natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2023. Natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, makan PPh atas penghasilan tersebut wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2022 oleh penerimanya.(bl)

Kemenkeu Terbitkan Laporan Belanja Perpajakan 2021

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali menerbitkan Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) tahun 2021 yang menginventarisasi berbagai insentif perpajakan, baik dalam rangka penanggulangan pandemi Covid-19, percepatan pemulihan ekonomi, maupun insentif perpajakan lain yang telah disediakan pemerintah untuk mendukung kinerja ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, peran insentif perpajakan cukup efektif dalam mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional. Pada tahun 2021, perekonomian Indonesia mampu tumbuh positif dan bahkan sudah 1,6% lebih tinggi dibandingkan dengan level pra pandemi (2019).

Dukungan insentif fiskal baik yang berlaku secara umum maupun yang ditawarkan melalui sektor-sektor strategis mampu berperan sebagai stimulus bagi percepatan pemulihan ekonomi nasional, baik dari sisi produksi maupun konsumsi.

Termasuk kebijakan Pajak Penjualan Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) untuk pembelian kendaraan bermotor dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN DTP) atas pembelian rumah yang mampu mencapai tujuannya untuk menggerakkan sektor riil.

“Melihat perekonomian tahun 2020 terkontraksi dalam, pemerintah memberikan insentif perpajakan yang lebih besar di tahun 2021 untuk mendorong pemulihan. Kebijakan insentif ini dilakukan dengan lebih terarah dan terukur untuk merespons kondisi pandemi yang dinamis serta mendukung upaya akselerasi transformasi ekonomi,” ujar Febrio dalam keterangan resminya, Senin (26/12/2022).

Seiring dengan peningkatan pemanfaatan fasilitas akibat semakin pulihnya perekonomian dan penambahan insentif dalam rangka penanggulangan dampak covid-19 yang baru berlaku pada tahun 2021, belanja perpajakan tahun 2021 mencapai R p299,1 triliun atau sebesar 1,76% dari PDB.
Nilai tersebut meningkat 23,8% dibandingkan belanja perpajakan tahun 2020 yang nilainya sebesar Rp 241,6 triliun atau 1,56% dari PDB.

Berdasarkan jenis pajaknya, belanja perpajakan terbesar untuk tahun 2021 adalah PPN dan PPnBM, yang mencapai Rp175 triliun atau 58,5% dari total estimasi belanja perpajakan.

Jumlah ini meningkat 24,2% dibandingkan belanja perpajakan tahun 2020, seiring dengan pemanfaatan insentif dalam rangka penanggulangan dampak pandemi Covid-19 seperti fasilitas PPN dan Bea Masuk untuk kegiatan penanganan Covid-19 termasuk impor pengadaan vaksin.

Selain itu, Febrio bilang, semakin pulihnya perekonomian nasional mendorong peningkatan kegiatan produksi dan konsumsi, sehingga pemanfaatan insentif perpajakan yang mendukung kegiatan tersebut juga semakin tinggi.

Febrio mengatakan, Penyusunan Laporan Belanja Perpajakan terus disempurnakan, salah satu bentuknya adalah penyajian estimasi belanja perpajakan untuk satu tahun ke depan. Selain itu, untuk menjaga tata kelola yang baik (good governance), pemerintah secara berkesinambungan melakukan pengawasan dan evaluasi atas suatu fasilitas perpajakan.

Insentif perpajakan merupakan salah satu kebijakan fiskal yang melengkapi instrumen APBN, bekerja dari sisi belanja negara sehingga penyusunan Laporan Belanja Perpajakan adalah bagian yang sangat penting dari APBN karena mencatat semua instrumen yang tidak tertera dalam komponen belanja.

“Laporan ini adalah bentuk akuntabilitas dari penghitungan kebijakan insentif perpajakan dan akan terus disempurnakan,” jelas Febrio.

Di tahun 2022 dan ke depan, tantangan pembangunan ekonomi nasional mengalami pergeseran dari semula pandemi covid-19 menjadi gejolak perekonomian global yang diperparah oleh perang di Ukraina dan meningkatnya tensi geopolitik.

Untuk itu, Febrio menegaskan, kebijakan insentif perpajakan di 2022 dan ke depan tentunya dapat diarahkan untuk menjawab berbagai tantangan baru tersebut.
Penguatan daya saing perekonomian juga mutlak dilakukan untuk terus memperkuat daya tahan perekonomian nasional dalam menghadapi tekanan eksternal.

Selain itu, kebijakan insentif perpajakan juga akan dioptimalkan untuk mendukung akselerasi transformasi perekonomian dalam rangka meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. (bl)

Jerat Penjahat Perpajakan, Sri Mulyani Keluarkan PMK 177/2022

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan punya senjata baru untuk menelusuri kejahatan terkait perpajakan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Aturan tersebut mulai berlaku 60 hari sejak tanggal diundangkan atau 5 Desember 2022 yaitu 3 Februari 2023.

Seperti dikutip dari Bisnis.com, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor menjelaskan, PMK Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan perlu diganti untuk melaksanakan pasal 43A Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diubah dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) guna lebih berkepastian hukum.

“Di dalam peraturan tersebut, beberapa ketentuan bersifat menambah ketentuan yang sudah ada,” kata Neil dalam siaran pers, dikutip Jumat (23/12/2022).

Setidaknya terdapat lima poin yang ditambahkan dalam PMK Nomor 177/PMK.03/2022. Pertama, ketentuan pemberitahuan hasil pemeriksaan bukper (bukti permulaan) disampaikan paling lama satu bulan sebelum jangka waktu pemeriksaan bukper berakhir. “Ketentuan ini sebelumnya tidak ada,” ujarnya.

Kedua, dalam rangka upaya ultimum remedium untuk memulihkan kerugian negara, meskipun telah terbit Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, wajib pajak tetap bisa mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan syarat mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum, dan terhadap pengungkapan tersebut diterbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut pemeriksaan bukper.

Ketiga, menambahkan pada ketentuan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang harus melampirkan Surat Setoran Pajak atau sarana lain, keterangan saksi berupa denda sesuai pasal 8 ayat 3 UU KUP, yaitu 100 persen dari jumlah pajak kurang dibayar atau lebih kecil dari aturan sebelumnya yaitu 150 persen dari pajak kurang dibayar.

Selanjutnya, menegaskan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) dianggap tidak disampaikan, jika SPT yang dilaporkan dan/atau dibetulkan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukper disampaikan.

Terakhir, menegaskan pendelegasian wewenang dari Direktur Jenderal Pajak kepada Unit Pelaksana Penegakan Hukum atau Pejabat Administrator untuk beberapa hal, seperti menerbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan, dan lain-lain.

Lebih lanjut Neil menyampaikan, terdapat pula aturan yang sifatnya mengubah atau menyesuaikan ketentuan yang ada. Pertama, untuk efisiensi waktu, jangka waktu perpanjangan pemeriksaan bukper diubah menjadi paling lama 12 bulan, yang mana sebelumnya 24 bulan.

Kedua, menyesuaikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dapat dilakukan atas pasal 38 atau 39 ayat 1 huruf c atau d UU KUP, baik yang berdiri sendiri, atau berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan. Ini seperti pasal 39 ayat 1 kecuali huruf c dan d, pasal 39 ayat 3, pasal 39A, dan pasal 43 UU KUP serta pasal 24 dan pasal 25 UU Pajak Bumi dan Bangunan (UU PBB).

Ketiga, pemeriksaan bukper dapat dilakukan berdasarkan pengembangan dan analisis melalui kegiatan lain, yakni kegiatan pengawasan, pemeriksaan, pengembangan Pemeriksaan Bukper, atau pengembangan penyidikan, dengan hasil berupa laporan yang memuat usulan Pemeriksaan Bukper.

“Keempat, pemberitahuan Pemeriksaan Bukper dan pemberitahuan terkait lainnya harus disampaikan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan pemeriksaan bukper, bukan kuasa,” jelasnya.

Kelima, pembayaran atas pengungkapan ketidakbenaran yang tidak sesuai keadaan sebenarnya diperhitungkan sebagai pengurang nilai kerugian pada saat penyidikam sebesar setengah bagian dari jumlah pembayaran. Ini dilakukan untuk menyesuaikan perubahan sanksi administrasi pengungkapan ketidakbenaran menjadi 100 persen. Adapun di aturan sebelumnya diatur dua per lima bagian. (bl)

Pemerintah Hapus PPh untuk Parsel dan Hampers

IKPI, Jakarta: Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan ‘kado’ manis di perayaan Hari Natal tahun ini. Kepala Negara akhirnya merilis daftar fasilitas natura atau imbalan yang diberikan kantor, yang dikecualikan dari pajak penghasilan (PPh) alias tidak dipungut pajak.

Relaksasi ini bak hadiah Natal di akhir tahun. Pasalnya, hal ini dapat mendorong penjualan dan pembelian kado, antaran, parsel dan hampers Natal.

Seperti dikutip dari CNBC Indonesia, aturan soal fasilitas natura ini tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang ditandatangani sejak 20 Desember 2022.

Artinya, masyarakat tak perlu khawatir, karena bingkisan seperti hampers saat perayaan hari keagamaan seperti Hari Raya dan Natal dikecualikan dari pajak penghasilan (PPh).

“Dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagaimana dimaksud,” tulis Pasal 24 PP ini yang dikutip Minggu (25/12/2022).

Terdapat lima jenis natura yang dikecualikan dari PPh dalam PP 55/2022 tersebut. Di antaranya:

– Makanan, bahan makanan, bahan minuman atau minuman bagi seluruh pegawai.

Ini meliputi makanan yang disediakan pemberi kerja di tempat kerja, kupon makanan bagi pekerja mobile, dan bahan makanan bagi seluruh pegawai dengan batasan nilai tertentu.

– Natura yang disediakan di daerah tertentu.

Bentuk natura daerah tertentu ini, meliputi fasilitas tempat tinggal rumah bagi pekerja dan keluarganya, pelayanan kesehatan , pendidikan, peribadatan, pengangkutan dan olahraga tertentu.

Namun, pembebasan PPh atas natura ini hanya berlaku di daerah tertentu, yakni daerah yang secara ekonomis memiliki potensi tetapi prasarana ekonominya belum memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.

– Natura yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam rangka keamanan, kesehatan dan keselamatan pekerja.

Ini meliputi pakaian seragam. peralatan untuk keselamatan kerja, sarana antar jemput pegawai, penginapan awak kapal dan perlengkapan penanganan endemi, pandemi atau bencana nasional.

– Natura yang bersumber atau dibiayai dari APBN, APBD atau anggaran desa. Sama seperti aturan sebelumnya, semua yang berasal dari dana negara tidak dikenakan pajak.

– Natura dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Bingkisan atau hampers dalam rangka hari raya atau fasilitas peribadatan di lokasi kerja yang dimanfaatkan oleh semua pegawai, termasuk dalam kategori jenis dan/atau batasan tertentu yang dikecualikan dari PPh.

Kendati demikian, pemerintah tidak memberikan kepastian dalam PP ini mengenai berapa nilai batasan yang akan dikenakan atau dikecualikan dari objek PPh. (bl)

Parlemen Siapkan UU Pajak Tinggi Terhadap Warga Negara yang Tinggalkan Rusia

IKPI, Jakarta: Majelis rendah parlemen Rusia, alias Duma, sedang menyiapkan undang-undang berupa pajak yang lebih tinggi bagi orang-orang yang meninggalkan Rusia.

Hal tersebut disampaikan Juru Bicara Duma Vyacheslav Volodin melalui aplikasi perpesanan Telegram, sebagaimana dilansir Reuters, Minggu (25/12/2022).

“Adalah benar untuk membatalkan preferensi bagi mereka yang telah meninggalkan Federasi Rusia dan memperkenalkan tarif pajak yang lebih tinggi untuk mereka,” tulis Volodin di Telegram.

“Kami sedang mengerjakan perubahan yang sesuai dengan undang-undang,” sambung Volodin.

Ada banyak orang Rusia yang meninggalkan negara tersebut sejak Moskwa melancarkan invasinya ke Ukraina.

Akan tetapi, tidak jelas berapa banyak jumlah orang Rusia yang pergi dari negara tersebut sejak awal perang.

Seperti dikutip dari Kompas.com, pada awal Oktober, beberapa media lokal telah melaporkan bahwa sebanyak 700.000 orang telah melarikan diri setelah pengumuman mobilisasi parsial pada September.

Mobilisasi parsial bertujuan merekrut 300.000 orang Rusia yang masuk kategori wajib militer untuk berperang.

Pemerintah Rusia menolak angka tersebut. Rusia sejauh ini memberlakukan pajak penghasilan bagi orang yang tinggal di dalam negeri sebesar 13 persen yang langsung dipotong secara otomatis dari gaji.

Sementara orang Rusia yang bekerja di luar negeri yang merupakan wajib pajak Rusia harus membayar pajak secara mandiri, menurut Layanan Pajak Federal Rusia. Baca berita tanpa iklan.

“Sangat bisa dimengerti mengapa mereka melarikan diri,” kata Volodin.

“Mereka yang menyadari bahwa mereka telah melakukan kesalahan telah kembali. Selebihnya harus mengerti: sebagian besar masyarakat tidak mendukung tindakan mereka dan percaya bahwa mereka mengkhianati negara, kerabat, dan teman mereka,” tutur Volodin.(bl)

Menkeu Keluarkan Aturan Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memberikan kepastian hukum terkait pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Peraturan ini mulai berlaku 60 hari sejak tanggal diundangkan atau 5 Desember 2022, yakni 3 Februari 2022.

“Untuk melaksanakan Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) agar lebih berkepastian hukum, perlu dilakukan penggantian atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Neilmaldrin Noor, seperti dikutip dari Liputa6.com, Jumat (23/12/2022).

Neil menjelaskan di dalam peraturan tersebut, beberapa ketentuan bersifat menambahkan ketentuan yang sudah ada.

Ketentuan tersebut antara lain, pertama, ketentuan pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Bukper disampaikan paling lama satu bulan sebelum jangka waktu Pemeriksaan Bukper berakhir. Ketentuan ini sebelumnya tidak ada.

Kedua, dalam rangka upaya ultimum remedium untuk memulihkan kerugian negara, meskipun telah terbit Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan, wajib pajak tetap dapat mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya dengan syarat mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum, dan terhadap pengungkapan tersebut diterbitkan pemberitahuan perubahan tindak lanjut Pemeriksaan Bukper.

Ketiga, menambahkan pada ketentuan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang harus melampirkan Surat Setoran Pajak atau sarana lain, keterangan sanksi berupa denda sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP, yakni 100 persen dari jumlah pajak kurang dibayar atau lebih kecil dari aturan sebelumnya, yaitu 150 persen dari pajak kurang dibayar.

Keempat, menegaskan bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang dilaporkan dan/atau dibetulkan setelah surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukper disampaikan, SPT tersebut dianggap tidak disampaikan.

Kelima, menegaskan pendelegasian wewenang dari Direktur Jenderal Pajak kepada Unit Pelaksana Penegakan Hukum atau Pejabat Administrator untuk beberapa hal, seperti menerbitkan surat pemberitahuan pemeriksaan, pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pemeriksaan, dan lain lain.(bl)

 

id_ID