Komwasjak Larang Fiskus Miliki Usaha Konsultan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) Amien Sunaryadi, mengatakan seharusnya para pegawai pajak atau fiskus tidak diperkenankan memiliki usaha konsultan pajak baik secara langsung ataupun tidak langsung.

Menurut Amien, hal tersebut sudah masuk kategori conflict of interest atau konflik kepentingan, dan sangat berbahaya bagi perpajakan Indonesia.

“Conflict of interest harus dijaga supaya jangan sampai terjadi. Jangan sampai ada conflict of interest di mana fiskus memiliki langsung ataupun tidak langsung usaha konsultan pajak,” ujar Amien, seperti dikutip dari Beritasatu.com, Rabu (12/4/2023).

Diketahui, kasus pegawai pajak memiliki konsultan pajak menjadi perbincangan hangat usai kasus Rafael Alun Trisambodo yang telah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Kementerian Keuangan itu diduga menerima gratifikasi sebesar US$ 90.000 atau sekitar Rp1,3 miliar melalui perusahaan konsultan pajak miliknya, PT Artha Mega Ekadhana (AME).

Menurut Amien, conflict of interest merupakan masalah besar dalam perpajakan Indonesia. Hal tersebut bisa menjadi peluang terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme atau KKN.

“Itu conflict of interest, itu yang enggak boleh. Kalau ada pelanggaran ya disikat,” tandas Amien.

Lebih lanjut, Amien mengatakan Komwasjak masih terus mengumpulkan masukan, saran dan ide-ide dari para wajib pajak untuk diformulasikan menjadi saran strategis kepada Menteri Keuangan. Tujuannya adalah melakukan perbaikan sistem perpajakan di Indonesia.

“Belum, belum sampai ke situ (saran perbaikan sistem), kan sekarang baru mengumpulkan masukan mengenai problem yang dirasakan wajib pajak apa sih. Masukan yang menurut wajib pajak apa, usulannya, pemikirannya apa, ini kan baru dikumpulin,” ungkap Amien.

Dalam paparannya, Amien menerangkan fungsi dan tugas dari Komwasjak. Menurut dia, Komwasjak merupakan komite non struktural yang bersifat independen dalam melakukan fungsi pengawasan aspek strategis bidang perpajakan. Komite ini berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.

“Berdasarkan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) Nomor 2/PMK.09/2023 jadi PMK-nya ini baru. Komwasjak yang sebelum-sebelumnya ini sebagian tugasnya berbeda, karena PMK-nya beda. Jadi mulai 2023 rumusan-rumusan tugas, fungsi dan wewenang sebagian baru atau sebagian berubah,” tutur Amien.

Tugas Komwasjak, kata Amien adalah membantu Menteri Keuangan dalam melakukan pengawasan dan memberikan rekomendasi yang bersifat strategis. Namun, rekomendasi yang diberikan bukan per kasus atau case by case.

“Karena kalau masalah perpajakan case by case itu sudah ada jalurnya. Ada jalur keberatan atau kalau terkait dengan operation dari petugas pajak dan bea cukai itu ada pengaduannya. Kami juga akan mempelajari itu tapi rekomendasinya nanti bersifat strategis bukan case by case,” jelas Amien.

Kecuali terdapat kasus yang sifatnya prioritas. Kemudian, Komwasjak juga memberikan rekomendasi strategis terhadap kebijakan dan administrasi perpajakan pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).(bl)

Penerimaan Pajak Hotel Hingga Parkir di Kota Bandung Capai Rp744 Miliar

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Bandung menyampaikan bahwa pendapatan daerah Kota Bandung khususnya dari pajak hotel, restoran, hiburan, dan pajak parkir pada tahun 2022 tercatat mencapai Rp744 miliar atau 35 persen dari PAD Kota Bandung.

Angka tersebut meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Realisasi pada tahun 2020 terhimpun sebesar Rp416 miliar atau sebesar 25 persen dari PAD Kota Bandung. Sementara, tahun 2021 sebesar Rp405 miliar atau 24 persen dari PAD Kota Bandung.

Pemerintah Kota Bandung pun diklaim terus mengoptimalkan pendapatan daerah dari sektor perpajakan daerah.

Kepala Bapenda Kota Bandung, Iskandar Zulkarnain menyampaikan, salah satu upaya itu dilakukan dengan program pemasangan Electronic Fiscal Device (EFD) di 1.000 titik. Pemasangan yang dilakukan secara bertahap mulai sejak 30 Januari 2023 sampai saat ini disebut telah terpasang sebanyak 363 titik.

“Terdiri dari 27 titik di wajib pajak (WP) hotel, 4 titik di WP parkir, 314 titik di WP restoran, dan 18 titik di WP hiburan,” kata Iskandar seperti dikutip dari Liptan6.com, Selasa (11/4/2023).

Pemasangan alat rekam transaksi online pajak daerah inipun bertujuan untuk mendapatkan data potensi pajak secara real time, sehingga dapat dipantau dan digunakan sebagaimana mestinya.

“Ini juga bisa meningkatkan kepatuhan para wajib pajak (WP). WP daerah merupakan pelaku utama dalam pencapaian target pajak daerah,” jelasnya.

Ia membutuhkan data yang valid dari para WP. Dengan begitu, monitoring transaksi wajib pajak merupakan langkah intensifikasi dalam optimalisasi pendapatan daerah dari sektor perpajakan daerah.

“Kami melakukan langkah intensifikasi dengan memasang alat perekam transaksi online pajak daerah yang secara bertahap. Pada tahun 2023 menggunakan skema baru dengan maintenance oleh pihak penyedia jasa,” ungkapnya.

Menurutnya, kendala yang dihadapi dalam sosialisasi dan pemasangan EFD adalah masih ada WP yang kurang kooperatif dan menolak untuk dipasang alat tersebut. Selain itu, pemilik atau manager tidak hadir.

“Padahal WP tidak perlu khawatir akan kerahasiaan pajak. Jaminan kerahasiaan pajak ini sesuai dengan amanat UU nomor 1 tahun 2022,” dia menandaskan. (bl)

Komwasjak Tegaskan Tak Akan Pisahkan DJP dari Kemenkeu

IKP, Jakarta: Isu mengenai pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Kementerian Keuangan memang tengah naik daun. Bahkan Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendukung pemisahan tersebut.

Merespons hal tersebut, Ketua Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) Amien Sunaryadi menegaskan, DJP tidak akan dipisahkan dari Kemenkeu. Sebab, akan terjadi bencana besar bila keduanya dipisahkan.

“Saya pribadi tiga atau empat tahun yang lalu ikut diskusi dengan teman-teman DJP dengan konsultannya. Kesimpulan saya enggak ada cerita DJP keluar dari Kemenkeu,” kata Amien seperti dikutip dari Kumparan.com, Rabu (12/4).

“Karena risikonya sangat tinggi. Kalau keluar dari Kemenkeu, DJP enggak ada yang melindungi, habis sudah. Dihabisi yang punya power,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Amien menilai hingga saat ini DJP dalam kondisi yang aman. Tidak terjadi kisruh baik di internal maupun eksternal DJP.

IKPI, Jakarta: Sebelumnya, Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendukung rencana pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Sebagai penggantinya, akan dibentuk suatu badan pengelola pajak otonom (Badan Penerimaan Negara) yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.

“Ide pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dengan Kementerian Keuangan sebenarnya bukan hal baru. Ini merupakan salah satu visi-misi kampanye Presiden Joko Widodo di tahun 2014. Ketika saya menjabat sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019 pun, telah dibahas masalah ini. Namun, hingga kini belum terealisasi,” ujar Bamsoet dalam keterangan tertulis, Sabtu (18/3/2023).

Bamsoet menjelaskan, kebijakan pemisahan DJP dengan Kemenkeu sebenarnya sudah masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dibuat pemerintah pada tahun 2015. Di pasal 95, disebutkan bahwa penyelenggaraan tugas pemerintahan di bidang perpajakan dilaksanakan oleh lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Nantinya DJP akan dibentuk dalam satu badan bernama Badan Penerimaan Negara (BPN) yang bersifat otonom. Pemisahan DJP sebagai lembaga mandiri yang bersifat independen bertujuan agar institusi tersebut lebih kuat dan efektif. Sama halnya ketika pembentukan badan baru seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia,” kata Bamsoet.

Menurutnya, jika badan khusus yang mengurusi perpajakan dibentuk, maka otoritas pajak akan lebih leluasa dan fleksibel menentukan kebijakan, rekrutmen pegawai hingga penataan regulasi perpajakan. Termasuk meningkatkan penerimaan negara.

Terlebih, saat ini penerimaan pajak Indonesia mencapai lebih dari 75 persen dari pendapatan negara. Pemerintah sendiri dalam APBN 2023 telah menargetkan penerimaan negara mencapai Rp 2.463 triliun, di mana pendapatan dari pajak sebesar Rp 2.021,2 triliun atau sekitar 82 persen dari total penerimaan negara. (bl)

DJP Keluarkan Larangan Pegawainya Terima Hadiah Lebaran

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan pengumuman penting terkait Lebaran. Pengumuman nomor Peng-10/PJ.09/2023 itu tentang larangan gratifikasi menjelang hari raya Idulfitri 1444H di Direktorat Jenderal Pajak.

Pengumuman yang ditandatangani Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti itu memuat 2 poin penting yang harus dipatuhi seluruh pegawai DJP. Berikut isi pengumuman tersebut:

Menjelang Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah dan sehubungan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 227/PMK.09/2021 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan, disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Seluruh layanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersifat gratis dan tanpa biaya. Untuk itu, dimohon kepada seluruh pemangku kepentingan DJP untuk tidak memberikan gratifikasi berupa barang/uang/fasilitas apa pun kepada seluruh pegawai DJP yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;

2. Apabila dalam pelaksanaan tugas, terdapat pegawai DJP yang meminta dan/atau menerima barang/uang/fasilitas apa pun dari wajib pajak agar dilaporkan melalui Kring Pajak 1500200, (021) 52970777, surel pengaduan@pajak.go.id, laman pengaduan.pajak.go.id, atau laman wise.kemenkeu.go.id.

Sebagai tambahan informasi, sebelumnya KPK mewanti-wanti potensi korupsi pegawai pajak. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan pegawai pajak punya hubungan erat dengan wajib pajak. Hubungan itu saja sudah sangat berisiko menimbulkan potensi korupsi.

Risiko korupsi yang paling mungkin terjadi adalah berupa tindak gratifikasi dan suap yang dilakukan wajib pajak ke pegawai pajak untuk menurunkan kewajiban membayar pajak.

“Muncul risiko ketika ketemu, risiko itu yang kita bilang kita cari korupsinya. Itu yang paling mungkin dari hubungan mereka paling mungkin adalah gratifikasi dan suap. Per definisi kan penerimaan terkait jabatan dan wewenang,” kata Pahala seperti dikutip dari Detik Finance, Rabu (12/4/2023). (bl)

Hingga April 2023, Penerimaan Pajak di Kanwil DJP Jatim I Capai 28,82 Persen

IKPI, Jakarta: Kesadaran masyarakat mengenai aspek pajak tampaknya tak terganggu dengan isu-isu miring yang menerpa Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Itu terlihat dalam kinerja DJP Jawa Timur (Jatim) I tahun ini.

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) DJP Jatim I Sigit Danang Joyo mengakui, lembaganya tidak baik-baik saja. Saat ini banyak isu yang membuat instansi penerimaan negara itu harus terus berbenah. Namun, hal tersebut tak menekan kinerja pajak.

“Kita bisa lihat dari realisasi penerimaan pajak nasional tahun lalu yang 15 persen lebih tinggi dari target. Sedangkan, capaian penerimaan pajak Kanwil DJP Jatim I melampaui 12 persen dari proyeksi,” ujarnya seperti dikutip dari Jawapos.com, Selasa (11/4/2023).

Sedangkan pada 2023, dari target Rp 45,7 triliun, DJP Jatim 1 sudah merealisasikan penerimaan sebesar 28,82 persen per 11 April. Hal tersebut terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), Rp 7,7 triliun. Angka itu 28,15 persen dari total target yang mencapai Rp 27,4 triliun.

Sementara itu, kontributor kedua adalah pajak penghasilan (PPh) yang mencapai Rp 5,4 triliun. Realisasi pajak tersebut sudah mencapai 29,87 persen dari target tahun ini Rp 18 triliun. Untuk pajak lainnya, sudah terealisasi Rp 50,2 miliar alias 24,6 persen dari total target Rp 204 miliar. (bl)

Ini Saran Staf Menkeu Agar Tak Dikejar Petugas Pajak Seperti Soimah

IKPI, Jakarta: Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo memberikan saran kepada wajib pajak agar tak dikejar-kejar pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) seperti yang dialami pesinden Soimah yang viral akhir pekan lalu.

Menurutnya, ini berlaku bagi semua wajib pajak, terutama yang sangat sibuk seperti Soimah sehingga susah untuk melakukan kewajiban perpajakannya.

“Sebenarnya kan memang ada kuasa yang bisa mewakili yang ditunjuk oleh wajib pajak,” ujarnya seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (10/4/2023).

Yustinus mengatakan menggunakan kuasa hukum adalah langkah yang paling tepat. Apalagi dalam kasus Soimah yang terjadi adalah masalah telat membayar pajak.

Soimah juga sulit dihubungi dan ditemui. Lebih lanjut, Yustinus mengatakan kedatangan petugas DJP menemui wajib pajak tidak pernah untuk menagih kewajiban yang bersangkutan. Namun, lebih pada sosialisasi dan mengingatkan untuk membayar pajaknya.

“Apalagi kedatangan orang pajak tidak pernah untuk menagih pajak,” imbuhnya.

Karenanya, terkait pengakuan Soimah yang mengatakan didatangi oleh petugas DJP dan membawa debt collector dan gebrak meja, Yustinus menyarankan akan mendalami langsung dengan sang artis.

“Ini perlu diperjelas lagi ke Soimah,” pungkasnya.

Sebelumnya, Soimah berkeluh kesah dalam siniar Blakasuta bersama Puthut EA dan Butet Kertaradjasa. Soimah mengaku kediamannya pernah didatangi petugas pajak bersama dua debt collector.

Mereka disebut datang untuk menagih pajak karena Soimah dituding menghindari petugas pajak. Soimah merasa kerap diperlakukan kurang baik oleh petugas pajak.

“Kan, posisi saya,kan, sering di Jakarta. Nah, yang di rumah alamat KTP, kan, di tempat mertua saya,” ujar Soimah. (bl)

 

 

 

 

Menteri Bappenas Sebut Rasio Pajak Indonesia Salah Satu yang Terendah di Asean

IKPI, Jakarta: Rasio pajak di Indonesia menjadi salah satu yang terendah di kawasan Asia Tenggara atau Asean dan tertinggal dari Thailand dan Malaysia. Hal itu disampaikan oleh Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa pada pekan lalu.

Hal ini mengacu pada rasio pajak Indonesia yang bertengger di level 10,4 persen pada 2022. Perolehan tersebut naik dari tahun 2021 yang mencapai 9,12 persen dan tahun 2020 sebesar 8,33 persen.

Akan tetapi, capaian rasio pajak itu belum cukup ideal bagi suatu negara. Adapun rasio pajak seharusnya dapat mencapai 15 persen.

“Rasio perpajakan dan Indonesia termasuk yang terendah di kawasan. Rata-rata rasio pajak di dunia 13,5 persen,” ujar Suharso seperti dikutip dari Bisnis.com, Senin (10/4/2023).

Berdasarkan data Bappenas, posisi rasio perpajakan Indonesia berada di level 8,3 persen pada tahun 2020. Posisi ini jauh tertinggal dari Thailand yang membukukan rasio sebesar 14,5 persen, lalu Singapura 12,9 persen, dan Malaysia mencapai 10,9 persen.

Terkait hal tersebut, Pakar Pajak DDTC Darussalam menyebutkan realisasi penerimaan pajak sepanjang tahun lalu yang mencapai Rp1.716,8 triliun baru mencerminkan 60 persen dari total potensi pajak yang dimiliki Indonesia.

Berlandaskan kajian Asian Development Bank (ADB), dia menyatakan kondisi tersebut mencerminkan upaya negara dalam menggali potensi pajak atau tax effort hanya 0,6 persen.

Hal itu pun membuat rasio pajak atau tax ratio Indonesia masih jauh dari kata ideal, meskipun pada tahun lalu, rasio pajak telah mencapai level digit ganda yakni 10,4 persen.

Darussalam menyampaikan rasio pajak yang ideal bagi suatu negara berkisar di rentang 17 – 18 persen. Artinya, jika rasio pajak negara tidak mencapai angka tersebut, maka negara dinilai tidak mampu melaksanakan pembangunan sesuai dengan program yang telah dicanangkan.

“Apakah angka 10,4 bisa digunakan untuk banyak agenda yang kita perlukan, terutama di tahun ini dan 2024? Misalnya, untuk pembiayaan tahun politik dan sebagainya,” tutur Darussalam.

Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa ada tiga sektor potensial untuk mendorong penerimaan pajak Indonesia ke depan. Tiga sektor ini adalah konstruksi, pertambangan, dan pertanian.

Menurutnya, ketiga sektor ini memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tetapi minim bagi penerimaan pajak negara. Sektor konstruksi, misalnya, memiliki kontribusi terhadap PDB sebesar 9,8 persen.

Namun, kontribusi bagi penerimaan pajak hanya mencapai 4,5 persen. Hal ini dikarenakan sektor konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final.

Sementara itu, sektor pertambangan berkontribusi sebesar 12,2 persen terhadap PDB. Namun, kontribusi pajaknya hanya menyumbang 8,3 persen.

Adapun, sektor pertanian menyumbang 12,4 persen kepada PDB, namun sumbangsih terhadap pajak sebesar 1,4 persen. Darussalam menilai postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada 2023-2024 diharapkan dapat memenuhi ekspektasi, pemerintah perlu melihat sektor-sektor yang memiliki kontribusi tinggi terhadap PDB, tetapi minim bagi penerimaan pajak. (bl)

Ini Penjelasan Pegawai Pajak Tentang Tudingan Debt Collector Datangai Soimah

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara soal keluhan pesinden Soimah yang didatangi debt collector untuk menagih pajaknya. DJP meminta maaf kepada Soimah dan memastikan belum ada pegawai pajak yang bertemu Soimah secara langsung hingga saat ini.

“Pertama-tama, kami memohon maaf kepada Ibu Soimah jika merasakan tidak nyaman dan memiliki pengalaman yang tidak enak dengan pegawai kami,” ujar pegawai pajak dalam postingan Instagram @ditjenpajakri dikutip Minggu (9/4/2023).

Menurut DJP, ada tiga penjelasan terkait kesalahpahaman dengan Soimah tersebut. Pertama, mereka menceritakan pembelian rumah oleh Soimah pada 2015 lalu.

Mengikuti kesaksian Soimah di notaris, tutur mereka, patut diduga yang berinteraksi adalah instansi di luar kantor pajak yang berkaitan dengan jual-beli aset berupa rumah.

Kalaupun ada interaksi yang dilakukan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bantul, mereka menjelaskan itu hanya sebatas kegiatan validasi nilai transaksi rumah.

“Validasi dilakukan di kantor pajak kepada penjual bukan kepada pembeli untuk memastikan nilai transaksi yang dilaporkan memang sesuai dengan ketentuan,” ujar pegawai pajak dalam postingan Instagram dimaksud.

Kedua, mereka menyoroti debt collector. Menurut Undang-undang, kantor pajak mempunyai debt collector yang diberi nama Juru Sita Pajak Negara (JSPN). JSPN bekerja dengan dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas jika ada tindakan pajak.

“Ibu Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tidak ada utang pajak. Lalu, buat apa didatangi sambil membawa debt collector? Apa benar itu pegawai pajak?” imbuhnya.

Apabila benar pegawai pajak, kemungkinan besar itu petugas penilai pajak yang meneliti pembangunan pendopo Soimah. Lebih lanjut, petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena.

“Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp4,7 miliar bukan Rp50 miliar seperti yang diklaim Ibu Soimah. Penting dicatat kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut,” kata petugas pajak masih dalam postingan Instagram dimaksud.

Poin ketiga merupakan klarifikasi atas tudingan pegawai pajak yang tidak manusiawi dalam mengingatkan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak.

Ditjen Pajak memastikan petugasnya hanya mengingatkan Soimah untuk melapor SPT dan menawarkan bantuan apabila ada kendala dalam pengisian. Hal itu dilakukan agar Soimah tidak terlambat karena batas pelaporan adalah akhir Maret 2023.

“Kami telah menelusuri chat dan rekaman komunikasi melalui telepon dan WhatsApp dan mendapati dari awal hingga akhir petugas kami sangat santun dalam menyampaikan,” ucap petugas pajak.

“Hingga detik ini pun meski Ibu Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan surat teguran resmi melainkan melakukan pendekatan persuasif,” pungkasnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo mengatakan hal ini bermula pada pembelian rumah Soimah pada 2015 lalu. Ia menduga, orang yang disebut berinteraksi dengan Soimah adalah petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.

“Mengikuti kesaksiannya di notaris, patut diduga yang berinteraksi (dengan Soimah) adalah petugas BPN dan Pemda, yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang merupakan domain Pemda,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/4).

Menurutnya, jika kejadian itu melibatkan petugas pajak, biasanya anggota di lapangan hanya memvalidasi.

“Jika pun ada kegiatan lapangan, itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan, yaitu harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Tentu ini perlu dikonfirmasi ke pengalaman Soimah sendiri,” ucapnya.

Ia juga sedikit berguyon menanggapi pernyataan Soimah terkait aksi ‘gebrak meja’ dari petugas pajak saat ke kediamannya.

“Jika ada yang gebrak meja, jangan-jangan ini pemilik Soto Gebrak Madura yang kita sangka sedang marah, padahal ramah,” kata Yustinus.

Terkait dengan kedatangan petugas pajak yang mengukur pendopo rumahnya, hal itu adalah pengecekan detail bangunan. Baginya, itu adalah kegiatan normal berlandaskan pada surat tugas yang jelas.

“Memang membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 m2 terutang PPN 2 persen dari total pengeluaran. UU mengatur ini justru untuk memenuhi rasa keadilan dengan konstruksi yang terutang PPN. Petugas pajak bahkan melibatkan penilai profesional agar tak semena-mena,” kata dia.

Dengan begitu, tak heran jika kemudian pengerjaannya terbilang lama dan mendetail.

“Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp4,7 M, bukan Rp50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri, Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp5 M,” ucapnya lagi.

Ia juga menegaskan bahwa kesimpulan dan rekomendasi petugas pajak tersebut bahkan belum dilakukan tindak lanjut. Artinya, PPN terutang 2 persen dari Rp4,7 miliar itu sama sekali belum ditagihkan. Yustinus malah merasa bingung terkait tudingan keterlibatan debt collector di kediaman Soimah.

Menurutnya, kantor pajak sendiri memiliki ‘debt collector’ sendiri yang disebut Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Mereka bekerja dengan dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas, yakni ada utang pajak yang tertunggak.

“Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak. Lalu, buat apa didatangi sambil membawa debt collector?” katanya. (bl)

Dewi Kam Jadi Orang Terkaya ke-7 RI, Hartanya Rp73,5 Triliun

IKPI, Jakarta: Lonjakan harta Dewi Kam mengantarkan ia ke posisi ke-7 orang terkaya di Tanah Air dari sebelumnya ranking 12 pada tahun lalu. Hartanya naik 100 persen dibandingkan 2022.

Berdasarkan data Forbes Real Time Billionaire per Senin (10/4/2023) ini, kekayaannya mencapai US$4,9 miliar atau setara Rp73,5 triliun (asumsi kurs Rp15 ribu per dolar AS).

Nilai kekayaan tersebut membuat Dewi Kam melesat ke urutan ke-7 orang paling tajir di Indonesia, menggeser posisi taipan pemilik CT Corp, Chairul Tanjung, yang kini berada di urutan ke-8.

Padahal tahun lalu, wanita berusia 72 tahun ini masih berada di peringkat ke-12 dalam daftar 50 konglomerat Indonesia versi Forbes. Kala itu, hartanya senilai US$21 miliar atau setara Rp31,5 triliun.

Karenanya, ia dinobatkan sebagai wanita terkaya RI, sekaligus pendatang baru dalam daftar orang paling tajir di Indonesia versi Forbes 2022.

Sumber Harta Dewi Kam

Dewi Kam mendapatkan sebagian besar pundi-pundi uang dari saham di perusahaan tambang batu bara PT Bayan Resources Tbk. Ia merupakan pemilik saham minoritas sebesar 10 persen di emiten berkode BYAN itu.

Selain Bayan, Dewi Kam juga eksis di sektor pembangunan dan pengoperasian pembangkit listrik. Ia merupakan pemilik PT Sumbergas Sakti Prima (SSP) yang bermitra dengan PT Bosowa Energi dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeneponto di Desa Punagaya, Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut proyek PLTU Cilacap dikembangkan oleh PT Sumber Segara Primadaya (S2P). Adapun saham perusahaan tersebut dimiliki oleh PT SSP dengan porsi 51 persen dan PT Pembangkit Jawa-Bali (PJB) sebesar 49 persen.

PLTU ini nantinya makin memperkuat sistem kelistrikan Jawa-Bali. Lokasi Proyek Ekspansi ini terletak di tiga desa, yaitu Karangkandri, Menganti dan Slarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dan dibangun di atas tanah seluas 26 hektar persegi.

Selain itu, Dewi Kam terdaftar sebagai pemegang saham Birken Universal Corporation Virgin Islands Inggris. (bl)

Ini Alasan Pemisahan DJP dari Kemenkeu Batal

IKPI, Jakarta: Komisi XI DPR mengungkapkan, pihaknya sudah pernah melakukan kajian pemisahan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan dan menyampaikan langsung kajian tersebut kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Lantas, apakah Sri Mulyani menyepakati kajian yang dilakukan oleh Komisi XI DPR tersebut?

Anggota Komisi XI DPR Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menjelaskan, dalam suatu kesempatan Komisi XI DPR, pada periode 2014-2019 pernah menyampaikan hasil kajian pemisahan Ditjen Pajak dari Kemenkeu, dengan berbagai pertimbangan.

Pertimbangan itu, kata Hendrawan, antara lain termuat dalam program penjabaran nawacita. Yakni bagaimana pembagian fungsi antara instansi penerima dan instansi yang mengurus belanja.

Hal tersebut, kata Hendrawan untuk mengoptimalkan rentang kendali Kementerian Keuangan yang dinilai sudah berlebih, serta untuk memaksimalkan pendapatan dengan menekan hambatan atau kendala pada aspek birokrasi.

“Namun setelah dilakukan kajian awal, muncul masalah koordinasi yang dalam konteks Indonesia, sering sulit diatasi. Spesialisasi selalu menimbulkan masalah komunikasi, koordinasi dan penciptaan sinergi, itu dialami di banyak bidang,” jelas Hendrawan seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (5/4/2023).

Adapun acuan yang yang digunakan oleh Komisi XI DPR kala itu, kata Hendrawan pemisahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian Indonesia dan Kejaksaan.

Juga yang jadi acuan Komisi XI DPR untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu yakni Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dengan Kementerian Agama.

Kendati demikian, saat itu Sri Mulyani memandang tatanan dan tata kelola yang ada saat itu masih bisa dipertahankan.

“Akhirnya dengan pendekatan ‘substance over form’, SMI (Sri Mulyani Indrawati) menilai tatanan dan tata kelola yang ada saat ini masih bisa dipertahankan,” jelas Hendrawan.

“Itu jawaban SMI, jawaban tersebut dapat ditafsirkan ‘menolak secara halus’, setidaknya belum dilihat sebagai hal yang mendesak (urgent) untuk dilakukan,” kata Hendrawan lagi.(bl)

 

 

 

id_ID