Empat Ketum Asosiasi Konsultan Pajak Konsolidasi Bahas Lahirnya UU KP

IKPI, Jakarta: Pada Kamis, 21 November 2024 siang, di Hotel Le Meridien, Jakarta, empat Ketua Umum (Ketum) dari asosiasi konsultan pajak, yaitu Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, Ketum  Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) Suherman Saleh dan Ketum Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (PERKOPPI) Gilbert Rely, dan Ketum Perkumpulan Praktisi dan Profesi Konsultan Pajak Indonesia (P3KPI) Susi Suryani, melakukan konsolidasi untuk membahas lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP) dan isu hangat perpajakan lainnya.

Salah satu hal yang menjadi fokus utama dalam pertemuan ini adalah rencana untuk mengadakan kegiatan bersama berupa Focus Group Discussion (FGD), yang membahas lebih mendalam mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Konsultan Pajak dan RUU Pengampunan Pajak.

“Untuk RUU Pengampunan Pajak, saat ini sedang hangat diperbincangkan di kalangan praktisi perpajakan dan pemerintah. Para ketua umum sepakat bahwa FGD ini akan menjadi sarana yang efektif untuk memperoleh masukan dari berbagai pihak terkait guna memperbaiki dan menyempurnakan RUU tersebut sebelum diterapkan,” kata Vaudy di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Selain itu lanjut Vaudy, pertemuan tersebut juga menghasilkan kesepakatan untuk bersama-sama mendorong lahirnya Undang-Undang Konsultan Pajak (UU KP). Dalam hal ini, para ketua umum sepakat bahwa keberadaan UU KP sangat penting untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan profesionalisme para konsultan pajak di Indonesia.

Mereka menilai keberadaan UU ini diharapkan dapat memfasilitasi perkembangan profesi konsultan pajak, mengatur standar etika dan praktik kerja, serta memperkuat posisi konsultan pajak dalam membantu pemerintah dan wajib pajak.

Sekadar informasi, pertemuan ini diinisiasi oleh IKPI sebagai langkah konkret untuk memperkuat komunikasi dan koordinasi antara asosiasi profesi konsultan pajak serta para pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya yang bergerak di sektor keuangan dan perpajakan.

Para Ketum asosiasi ini berharap kolaborasi ini dapat menjadikan sektor perpajakan Indonesia terus berkembang dengan lebih transparan, efisien, dan adil bagi semua pihak.

Lebih lanjut Vaudy mengungkapkan, dengan adanya kesepakatan ini diharapkan dapat tercipta sinergi yang kuat antara profesi konsultan pajak, pemerintah, serta asosiasi profesi keuangan lainnya, dalam mewujudkan sistem perpajakan yang lebih baik dan mendukung perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

“Untuk pembahasan lebih mendalam, keempat asosiasi Konsultan Pajak sepakat akan mengundang Sekjen Kementerian Keuangan Heru Pambudi; Kepala Pusat Pembinaan Profesi Keuangan (P2PK), Sekretariat Jenderal, Kementerian Keuangan Erawati; dan para ketua umum asosiasi di sektor keuangan,” kata Vaudy. (bl)

Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tak Adil Bagi Masyarakat Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tahun depan akan tetap dilaksanakan. Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan pajak ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sebelumnya telah disusun oleh DPR bersama dengan pemerintah.

Kenaikan PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 ini dinilai oleh banyak kalangan merugikan rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi saat ini masyarakat telah tertekan dari segala sisi. Kenaikan PPN hanya akan memperburuk keadaan.

“Kalau tarif (PPN) naik terlalu tinggi, imbasnya justru konsumsi menurun, mempengaruhi pemasukan pajak lainnya. Secara agregat rasio pajaknya turun, bukan naik,” kata Bhima seperti dikutip dari Tempo.co, Jumat (22/11/2024).

Bhima menilai, kenaikan PPN ini sangat tidak adil bagi masyarakat kelas menengah. Ia bahkan menyebutkan, masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 10 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025.

Kesepuluh pungutan tersebut yang pertama adalah kenaikan PPN 12 persen. Kemudian berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga akan ada wacana pemberlakuan harga tiket KRL yang disesuaikan dengan NIK.

Kemudian, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta yang terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis.

“Ditekan atas bawah dan kanan kiri. Berat jadi kelas menengah di republik ini,” ucap Bhima.

Di sisi lain , DPR malah merumuskan regulasi baru terkait pengampunan pajak atau tax amnesty. DPR baru saja memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bila jadi diberlakukan, maka ini akan menjadi tax amnesty ketiga kalinya yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini juga belum ditambah dengan wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22 persen ke 20 persen serta beragam bebas pajak (tax holiday) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan.

“Kelas atas dapat banyak preferensi. Tarif PPh badan bakal turun jadi 20 persen, tax amnesty berkali-kali, sampai perusahaannya dapat tax holiday. Ini tidak fair,” ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh ekonom Segara Institute, Piter Abdullah. Ia menyoroti kontrasnya perlakuan pemerintah terhadap kelompok masyarakat ekonomi atas, dengan kelompok masyarakat ekonomi menengah. Ia bahkan menyebut tax amnesty merupakan bukti pemerintah sudah kehabisan akal untuk menambah pendapatan negara.

“Kelompok menengah ini bantuan sosial? Nggak. Dibantu pajaknya? Nggak. Dibebani pajak? Iya. Jadi, di satu sisi memberikan (kelas atas) kelonggaran pajak, di sisi lainnya menambah beban pajak (kelas menengah),” ujar Piter ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.

DPR Sebut Pemerintah akan Kehilangan Potensi Penerimaan Rp50 Triliun jika PPN 12% Dibatalkan

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum berencana untuk mengubah kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 seperti yang tertera pada Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Wakil Ketua Komisi XI Dolfie AFP menjelaskan, apabila pemerintah mengubah kebijakan tersebut maka konsekuensinya akan terlihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PPN 12% masuk dalam potensi penerimaan negara.

“Karena kalau itu diturunkan menjadi 11% aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira,” jelasnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (21/11/2024).

Menurut Dolfie, hal ini sudah sempat dibahas ketika rapat dengan pemerintah mengenai RAPBN 2025. Komisi XI sudah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu berpandangan, keputusan PPn harus menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden.

Berganti pemerintah, menurut Dolfie belum ada tanda-tanda perubahan aturan. Padahal tidak perlu ada perubahan UU.

“Undang-undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” ujarnya.

Fauzi Amro, Wakil Ketua Komisi XI tidak menutup mata atas protes publik mengenai pemberlakuan PPN 12% pada 2025 mendatang. Apabila tetap diberlakukan pada 2025 maka diharapkan sektor yang berhubungan publik tetap tidak dikenakan.

“Cuma catatannya yang berhubungan dengan publik nggak boleh dinaikkan. Tadi saya sampaikan apa itu Kesehatan, pendidikan, sembako transportasi. Ini berhubungan dengan publik langsung dan masyarakat langsung,” ungkap Fauzi.

 

Ini Daftar Barang yang Dikenakan Pajak 12 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan dilakukan dengan dalih melaksanakan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam beleid itu, pemerintah dan DPR memang menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.

Melansir situs Kementerian Keuangan, secara umum umum pengenaan PPN dikenakan atas objek berikut:

– Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Misalnya barang elektronik yang dibeli di pusat perbelanjaan.

-Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.

– Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP

– Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Misalnya, PPN atas bangunan.

– Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Adapun Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN yang kini diubah dengan n UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pengaturan cakupan BKP bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.

Kenaikan PPN akan membuat barang dan jasa yang biasa dikonsumsi publik sehari-hari menjadi semakin mahal. Barang-barang itu dikenakan pajak selama penjual berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Beberapa contoh barang yang terkena PPN antara lain pakaian, tas, sepatu, pulsa telekomunikasi, sabun, alat elektronik, barang otomotif, perkakas, hingga kosmetik.

Selain itu, jasa layanan streaming film dan musik yang biasa kita pakai seperti Netflix dan Spotify juga memungut PPN.

Ekonom Kritisi Revisi UU Pengampunan Pajak

IKPI, Jakarta: Kalangan ekonom mengkritisi langkah DPR yang mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 mengenai pengampunan pajak atau tax amnesty. Mereka berpendapat pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan hanya akan membuat orang kaya pengemplang pajak semakin banyak.

“Tax amnesty merupakan kebijakan blunder untuk menaikkan penerimaan pajak,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (20/11/2024).

Bhima menilai pengampunan pajak yang terlalu sering akan membuat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap turun. Para pengemplang itu, kata dia, akan berpikir pemerintah akan terus melakukan tax amnesty.

“Pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali,” ujar dia.

Sebelumnya, DPR RI resmi menyetujui masuknya revisi UU Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Artinya, revisi ini akan dikebut untuk disahkan pada tahun depan. DPR bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk mendorong agar program itu bisa dilaksanakan di tahun 2025.

Apabila rencana itu berjalan, maka program pengampunan pajak tahun 2025 akan menjadi tax amnesty jilid III yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya, pemerintah telah melaksanakan tax amnesty pada 2016-2017 dan 2022.

Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo berpendapat tax amnesty seharusnya dilaksanakan untuk meningkatkan kepatuhan melalui mekanisme pengampunan. Tapi, apabila dilakukan terus-menerus, akan menjadi preseden buruk bagi sistem pajak.

“Kalau pengampunan dilakukan secara berulang, berarti ada sistem yang salah dan tidak kredibel. Karena pembayar pajak yang ngemplang harusnya diadili secara hukum, bukan diampuni secara periodik,” ujar dia.

Ditjen Pajak Tanggapi Seruan Boikot PPN 12%

IKPI, Jakarta: Sejumlah netizen ramai-ramai menyuarakan boikot pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di media sosial X. Hal itu sejalan dengan pemerintah yang akan mengerek PPN menjadi 12% pada Januari 2025.

Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menyampaikan bahwa setiap kebijakan tentunya sudah dipersiapkan dengan proses kajian yang mendalam dan menyeluruh.

Kenaikan Tarif PPN menjadi 12% dibarengi dengan kebijakan pendahulu yang ditujukan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta memperhatikan pemenuhan kebutuhan barang konsumsi primer untuk orang banyak.

Misalnya Dwi menyebutkan adanya fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu di antaranya atas barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran, dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat.

“Demikian pula pembebasan di bidang jasa yang meliputi jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan,” ungkap Dwi seperti dikutip dari Kontan, Rabu (20/11/2024).

Seiring dengan pemberlakuan kenaikan tarif PPN 1% ini, pemerintah juga telah menyiapkan serangkaian program yang dapat mempertahankan daya beli masyarakat agar konsumsi tetap terjaga. Di antaranya, pelebaran lapisan tarif PPh OP 5% dari Rp 50 juta hingga Rp 60 juta dan  pembebasan pajak atas omset UMKM OP 500 juta, dan sebagainya.

Selain itu, untuk mendorong perkembangan industri otomotif dan industri perumahan dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, saat ini pemerintah menetapkan kebijakan berupa pemberian PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan unit rumah susun dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) kendaraan Bermotor Listrik (KBL).

Pemberian fasilitas tersebut diharapkan akan memberikan multiplier effect bagi perkembangan industri pendukung kedua industri tersebut di atas.

“Pada gilirannya perkembangan kedua industri tersebut akan menyerap tenaga kerja sehingga akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Dwi menambahkan, DJP juga akan terus senantiasa memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi.

Apa itu Tax Amnesty? Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah dan DPR berencana menggelar Program Pengampunan Pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) kembali. Hal itu terungkap dari hasil Rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 yang dilaksanakan oleh Badan Legislasi DPR pada Senin (18/11/2024) kemarin.

Dalam Hasil Raker Prolegnas Prioritas RUU 2025 dan Prolegnas 2025, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar draf usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.

Jika itu terealisasi, maka ini menjadi amnesti pajak jilid III sejak 2016 lalu. Sebagai pengingat, pemerintah melaksanakan program tax amnesty jilid I pada 2016-2017. Program tersebut diikuti oleh 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun.

Dari pengungkapan harta tersebut, negara menerima uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun atau setara dengan 69 persen dari target Rp165 triliun.

Kemudian, tax amnesty jilid II digelar selama 6 bulan pada 1 Januari 2022-30 Juni 2022. Program ini diikuti oleh 247.918 wajib pajak dengan total harta yang diungkap mencapai Rp594,82 triliun. Adapun total pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara mencapai Rp60,01 triliun.

Lantas apa yang dimaksud dengan tax amnesty?

Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Langkah ini bisa menjadi opsi pemerintah untuk menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak.

Sejumlah negara sudah menerapkan pengampunan pajak di antaranya Australia, Belgia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Portugal, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia, pemerintah mengatur ketentuan amnesti pajak dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak.

Terdapat sejumlah manfaat dari tax amnesty yang menyasar orang-orang kaya. Pertama, wajib pajak terhindar dari sanksi pajak 200 persen apabila Ditjen Pajak menemukan harta yang belum diungkap di kemudian hari.

Kedua, penerimaan negara meningkat dari pembayaran uang tebusan atas harta yang sebelumnya belum diungkap.

Ketiga, mendorong repatriasi modal dan aset wajib pajak dari luar negeri ke dalam negeri. Keempat, meningkatkan kepatuhan membayar pajak.

Pada pelaksanaan amnesti pajak sebelumnya, wajib pajak cukup melaporkan hartanya yang belum diungkap ke kantor pajak terdekat maupun secara online. Pelaporan dilakukan dengan menyerahkan surat pernyataan aset.

Berikutnya, wajib pajak harus membayar uang tebus sesuai nilai harta yang diungkap. Jika sudah membayar, Ditjen Pajak akan memproses pemberian fasilitas pemberian pajak, termasuk pembebasan dari sanksi pidana dan juga administrasi.

RUU Pengampunan Pajak Masuk Prolegnas Prioritas 2025

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Rapat Kerja Badan Legislasi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025.

Dalam Rapat Kerja tersebut, disepakati bahwa RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty menjadi usulan Komisi XI DPR RI. Ini berbeda dengan rapat sebelumnya yang menyebutkan bahwa RUU Pengampunan Pajak merupakan usulan dari Baleg.

“Terkait tadi ada usulan Komisi XI, saya jelaskan kembali bahwa Komisi XI bersepakat dalam surat tersebut men-drop usulan RUU yang diajukan sebelumnya menjadi RUU usulan prioritas judulnya adalah RUU Pengampunan Pajak,” ujar Ketua Baleg DPR Bob Hasan, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Selasa (19/11/2024).

Padahal, sebelumnya ada 4 RUU yang diajukan oleh Komisi XI DPR, yakni RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan, RUU tentang Penghapusan Piutang Negara, dan RUU tentang Ekonomi Syariah.

Merujuk pada UU 11/2016, pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.

Pemerintah menyebut, program ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.

Kedua, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.

Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Sebagai pengingat, program tax amnesty pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2016 melalui penerapan UU 11/2016.

Melihat hasil yang positif, pemerintah kemudian memutuskan untuk membuka program tax amnesty jilid II atau dikenal juga Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Mei 2021.

Hingga akhir pelaksanaan PPS pada 30 Juni 2022, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa harta yang diungkap Wajib Pajak (WP) sebanyak Rp 594,82 triliun, dengan jumlah pembayaran kewajiban dari harta yang diungkap tersebut dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp 61,01 triliun.

Pemda DKI Jakarta Pajaki Parkir Valet

IKPI, Jakarta: Layanan memarkirkan kendaraan atau parkir valet di Jakarta masuk sebagai objek pajak. Hal itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024, tindak lanjut terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 yang mengubah istilah ‘pajak parkir’ menjadi ‘Pajak Barang Dan Jasa Tertentu Atas Jasa Parkir’.

Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Bapenda Jakarta Morris Danny mengatakan ketentuan tersebut bertujuan untuk mengatur sekaligus menata sistem perpajakan di lingkup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan begitu sistem perpajakan di daerah bisa dimaksimalkan.

“Jasa parkir termasuk dalam jenis pajak barang dan jasa tertentu, yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir,” kata Morris, seperti dikutip dari Detik Finance, Selasa (19/11/2024).

Berdasarkan pasal 48 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta No 1 Tahun 2024, parkir valet termasuk dalam objek PBJT Jasa Parkir. Dengan begitu, pengendara yang menggunakan layanan parkir valet dikenakan pajak.

Aturan ini berlaku tidak hanya bagi pusat perbelanjaan, hotel, atau tempat umum yang menyediakan valet, tetapi juga bagi tempat parkir swasta yang menawarkan layanan tersebut. Pengguna layanan parkir valet diwajibkan membayar pajak yang secara otomatis ditambahkan ke biaya layanan valet yang disediakan.

Besaran Tarif Pajak Parkir Valet

Tarif pajak untuk jasa parkir valet diatur dalam Pasal 53 ayat (1) Perda Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024. Di dalamnya disebutkan bahwa tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian serta hiburan ditetapkan sebesar 10%.

Ini berarti bahwa setiap pengguna jasa parkir valet di Jakarta akan dikenakan pajak sebesar 10% dari biaya parkir valet yang harus dibayar karena termasuk objek PBJT Jasa Parkir.

“Bagi masyarakat yang sering menggunakan layanan valet di Jakarta, pastikan untuk memahami perhitungan ini. Selanjutnya mendukung implementasi pajak agar pembangunan daerah yang dijalankan pemerintah berjalan lancar,” ujar Morris.

 

 

Pelantikan Pengurus IKPI Pengda Sumbagut, Cabang Medan dan Cabang Pematangsiantar: Wujudkan Kolaborasi dan Inovasi Perpajakan

IKPI, Jakarta: Acara pelantikan pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Sumbagut, Pengcab Medan, dan Cabang Pematangsiantar yang diselenggarakan di City Hall Medan pada Jumat (15/11/2024), berlangsung penuh semangat dan antusiasme. Acara ini dimulai dengan nyanyian lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dipimpin oleh Dirigen Mayawaty, yang menciptakan suasana khidmat dan mempertegas semangat nasionalisme di kalangan peserta.

Pada kesempatan itu, Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, dalam pidatonya mengingatkan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam menghadapi tantangan perpajakan di masa depan.

“Pak Ketum Vaudy menekankan bahwa Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) harus lebih inklusif, tidak hanya bagi anggota IKPI tetapi juga untuk masyarakat umum, sebagai bagian dari upaya edukasi perpajakan di Indonesia,” kata Wakil Ketua Pengda Sumbagut Hery, Minggu (17/11/2024).

Dikatakan Hery, acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh penting, baik dari tingkat pusat hingga cabang. Hal ini menunjukkan komitmen bersama dalam pengembangan IKPI.

Pada kesempatan tersebut hadir Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld, Wakil Ketua Umum IKPI Jetty, Ketua Dewan Kehormatan IKPI Christian Binsar Marpaung, Sekretaris Umum IKPI Edy Gunawan, Ketua Departemen Pengembangan Organisasi Nuryadin Rahman, Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika IKPI Robert Hutapea, pengurus Pengda IKPI Sumbagut, serta perwakilan dari Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatera Utara I dan II.

Dari Pengurus Cabang IKPI Hadir Juga Ketua Cabang Medan Ebenezer Simamora dan Ketua Cabang Pematangsiantar Christine Loist, serta jajaran pengurus cabang lainnya.

“Kehadiran berbagai pihak, termasuk praktisi pajak dan akademisi, menandakan sinergi yang erat antara IKPI dan instansi perpajakan dalam meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia,” ujarnya.

Hery menyampaikan harapannya terhadap cabang-cabang di bawah koordinasi Pengda Sumbagut. “Saya berharap setiap cabang dapat memperkuat kolaborasi internal dan eksternal, terutama dengan instansi perpajakan setempat, serta terus meningkatkan kompetensi anggotanya melalui program PPL yang berkualitas. Selain itu, pengembangan organisasi juga penting untuk memperluas jaringan dan memberikan pelayanan lebih merata,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya menegakkan kode etik dan profesionalisme, serta mengingatkan agar Dewan Kehormatan di setiap cabang bekerja untuk menjaga integritas anggota IKPI dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu, Ia juga berharap agar seluruh anggota terus beradaptasi dengan perkembangan teknologi, seperti implementasi aplikasi Coretax, yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan. “Kami juga ingin meningkatkan literasi pajak masyarakat melalui edukasi perpajakan yang lebih luas,” ujarnya. (bl)

 

 

 

 

id_ID