Laksanakan Amanat Kongres Malang, IKPI Buka Rekrutmen Direktur Eksekutif

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) membuka rekrutmen Direktur Eksekutif untuk ditempatkan di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan. Rukrutmen ini merupakan bagian pelaksanaan dari amanat Kongres XI IKPI di Batu, Malang Jawa Timur pada tahun 2019.

Wakil Sekretaris Umum IKPI Toto mengatakan, dalam pelaksanaannya direktur eksekutif nantinya akan menjalankan tugas-tugas teknis organisasi seperti administrasi, kesekretariatan, serta menjaga harmonisasi kerja antar departemen di kepengurusan pusat IKPI.

“Tentu direktur eksekutif nantinya akan berada di bawah koordinasi ketua umum dan pengurus pusat,” kata Toto melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (18/3/2024).

Toto meyakini, dengan adanya direktur eksekutif di kantor pusat IKPI nantinya akan lebih memudahkan organisasi dalam mengorkestrasi manajemen baik itu dari sisi sumber daya manusia (SDM), administrasi maupun segala bentuk kegiatan dan kerja sama IKPI dengan pihak luar.

“Jadi nantinya pengurus pusat, baik itu ketua umum maupun ketua departemen hanya memberikan arahan dan eksekusinya ada di direktur eksekutif,” kata Toto.

Sekadar informasi, saat ini seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan administrasi/kesekretariatan kantor pusat IKPI berada di bawah komando langsung Sekretaris Umum melaksanakan arahan Ketua Umum dan mengkoordinasi kerja lintas departemen baik untuk internal organisasi maupun eksternal.  (bl)

(Flayer: Sekretariat PP-IKPI)

 

Kemenkeu Catat Penerimaan Pajak Digital Rp22,179 Triliun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang dipimpin Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp22,179 triliun hingga 29 Februari 2024.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan jumlah tersebut berasal dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp18,15 triliun, pajak kripto sebesar Rp 539,72 miliar, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp1,82 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp1,67 triliun.

Sementara itu, sampai dengan Februari 2024 pemerintah telah menunjuk 167 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Jumlah tersebut termasuk empat penunjukan pemungut PPN PMSE dan satu pembetulan atau perubahan data pemungut PPN PMSE.

“Penunjukan di bulan Februari 2024 yaitu Tencent Cloud International Pte. Ltd., Blacklane GmbH, Razer Online Pte Ltd, dan Social Online Payments Limited. Pembetulan di bulan Februari 2024 yaitu Coda Payments Pte. Ltd,” ungkapnya dalam laporan resmi DJP, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (18/3/2024).

Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 153 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp18,15 triliun.

“Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp1,24 triliun setoran tahun 2024,” kata Dwi.

Dwi mengatakan penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp539,72 miliar sampai Februari 2024. Penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp72,44 miliar penerimaan 2024. Penerimaan pajak kripto tersebut terdiri dari Rp254,53 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp285,19 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

Kemudian, DJP juga mencatat pajak fintech (P2P lending) juga telah menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp1,82 triliun sampai Februari 2024. Penerimaan dari pajak fintech berasal dari Rp446,40 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp259,35 miliar penerimaan tahun 2024.

“Pajak fintech tersebut terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima WPDN dan BUT sebesar Rp596,1 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima WPLN sebesar Rp219,72 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp999,5 miliar,” ungkap Dwi.

Lebih lanjut, penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP. Hingga Februari 2024, penerimaan dari pajak SIPP sebesar Rp1,67 triliun. Penerimaan dari pajak SIPP tersebut berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,1 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp151,27 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp113,85 miliar dan PPN sebesar Rp1,56 triliun.

Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, Dwi menegaskan pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah. (bl)

Ini Dampak Kenaikan PPN Menurut Guru Besar UI

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty memperkirakan belanja atau konsumsi masyarakat akan semakin tertekan pada 2025, imbas kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di tengah naiknya pajak-pajak di daerah.

Telisa mengatakan, kenaikan tarif PPN dari yang saat ini sebesar 11% menjadi 12% memang terlihat kecil, karena hanya naik 1%. Namun, ketika kenaikan tarif itu dikonversikan dalam bentuk harga, maka akan terasa peningkatannya, terutama untuk barang-barang bernilai tinggi seperti durable goods.

“Artinya ketika masyarakat merasakan kenaikan harga akibat kenaikan PPN mereka kemudian mengurangi pembelian terhadap barang tersebut, konsumsi jadi turun,” ucap Telisa seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (18/3/2024).

“Terutama ke produk-produk yang sifatnya durabel ya, karena produk-produk durabel itu biasanya nilanya cukup besar, jadi semakin besar nilainya semakin terasa kenaikan harganya,” tegasnya.

Telisa mengatakan, kenaikan PPN itu tentu akan semakin menaikkan harga-harga barang di Indonesia, karena komponen pembentuk harga lainnya seperti bahan bakar minyak atau BBM juga tahun ini telah naik akibat kenaikan pajak BBM di daerah imbas dari ketentuan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun tak menampik dampak dari naiknya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) DKI Jakarta menjadi 10% bisa berdampak pada naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya BBM non subsidi.

Misalnya Pertamax, pada saat kondisi Februari 2024, harga untuk tarif PBBKB yang mulanya sebesar 5% seperti di DKI Jakarta adalah Rp13.556 per liter, maka dengan PBBKB sebesar 10% sesuai Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, harganya akan menjadi Rp14.130.

“Jadi misalnya pajak hiburan juga naik, karena ketentuan pajak daerah itu kan, terus pajak-pajak lain juga naik bukan hanya PPN, ada juga pajak BBM sendiri, itu semua akan diterapkan 2025 semuanya naik. Lalu tarif listrik, tarif tol bagaimana,” tutur Talisa.

“Kalau itu semua bersamaan dampaknya akan lebih cepat. Jadi harus dilihat timing dan harmonisasinya,” ungkap Talisa.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti sebelumnya menduga, kenaikan berbagai tarif pajak tahun depan itu akan dilakukan pemerintah seiring dengan upaya untuk merealisasikan program yang akan memakan banyak anggaran. Salah satunya Program makan siang gratis milik calon presiden Prabowo Subianto.

“Nah ke depan tentunya pembiayaanya dari mana? Ya satu-satunya cara itu adalah meningkatkan fiskal space kita,” ucap Esther selepas Detikcom Leaders Forum, Sopo Del Tower, Kamis (14/3/2024).

Untuk meningkatkan ruang fiskal, dia mengatakan pemerintahan selanjutnya akan menggenjot penerimaan pajak. Sebab, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disokong oleh penerimaan pajak.

“Apalagi pemerintah salah satu calon itu kan akan menargetkan tax ratio 23%, sehingga tendensinya ke peningkatan pajak,” kata Ester.

Keputusan terkait akan dinaikkannya PPN tahun depan itu sendiri sebelumnya disampaikan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia memastikan kebijakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% sesuai amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2025 tidak akan ada penundaan.

Airlangga mengatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut pada 2025 karena juga sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo.

“Pertama tentu masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan-pilihannya adalah keberlanjutan, tentu kalau keberlanjutan program yang dicanangkan pemerintah dilanjutkan termasuk kebijakan PPN,” tegas Airlangga di kantornya, Jakarta, Jumat (8/3/2024).

Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN. (bl)

THR PNS Pajak Mencapai Rp123.748.000.

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan mulai membagikan Tunjangan Hari Raya atau THR pada H-10 Lebaran tahun ini. Hal ini telah ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 14 Tahun 2024 yang resmi diundangkan pada 13 Maret 2024.

THR dan gaji ketiga belas Tahun 2024 akan diberikan kepada Aparatur Negara, Pensiunan, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan sebagai wujud penghargaan atas pengabdian kepada bangsa dan negara dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara,

Adapun, ASN yang menerima THR ini a.l. PNS dan Calon PNS, PPPK, Prajurit TNI, Anggota Polri dan Pejabat Negara. Presiden, Wakil Presiden, Menteri dan Wakil Menteri termasuk ke dalam daftar ASN yang akan menerima THR.

THR ASN pemerintah pusat bersumber dari APBN, sementara THR ASN pemerintah daerah akan diambil dari APBD. THR ini meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan atau tunjangan umum; dan tunjangan kinerja sesuai pangkat, jabatan, peringkat jabatan, atau kelas jabatannya.

Gaji pokok PNS saat ini tertuang dalam PP Nomor 5 Tahun 2024 tentang Perubahan Kesembilan Belas atas Peraturan pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Gaji terendah masuk pada golongan 1a sebesar Rp1.685.700-Rp2.522.600 per bulan dan tertinggi golongan IVe Rp3.880.400-Rp6.373.200 per bulan.

Sementara untuk tunjangan kinerja, perhitungannya berbeda antara PNS satu kementerian atau instansi dengan yang lainnya. Karena perbedaan ini, ada PNS yang bisa menerima THR hingga ratusan juta.

Contohnya, PNS Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. THR PNS pajak ini sangat terbantu dengan besarnya tunjangan kinerja mereka. Berdasarkan Perpres 37 Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak berkisar antara Rp5,3 juta sampai dengan Rp117 juta.

Tunjangan kinerja PNS pajak ini terbilang besar dibanding jajaran pegawai di direktorat jenderal lainnya.

Dengan demikian, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak, Kemenkeu, yang merupakan pejabat eselon 1 dengan pangkat tertinggi di DJP, bisa mendapatkan besaran THR sekitar Rp 121.225.400 sampai Rp 123.748.000.

Nilai THR ini belum termasuk komponen tunjangan melekat yang diterima para PNS seperti tunjangan suami/istri sebesar sebesar 5% dari gaji pokoknya, serta tunjangan anak dengan batasan hanya berlaku untuk tiga orang, dan lainnya. Dirjen Pajak bisa menerima THR lebih besar dari angka di atas.

Berikut ini daftar tunjangan kinerja PNS Pajak:

Pejabat struktural (Eselon I)

Peringkat jabatan 27 Rp 117.375.000

Peringkat jabatan 26 Rp 99.720.000

Peringkat jabatan 25 Rp 95.602.000

Peringkat jabatan 24 Rp 84.604.000

Pejabat struktural (Eselon II)

Peringkat jabatan 23 Rp 81.940.000

Peringkat jabatan 22 Rp 72.522.000

Peringkat jabatan 21 Rp 64.192.000

Peringkat jabatan 20 Rp 56.780.000

Pejabat struktural (Eselon II) ke bawah

Peringkat jabatan 19 Rp 46.478.000

Peringkat jabatan 18 Rp 28.914.875-Rp 42.058.000

Peringkat jabatan 17 Rp 27.914.800-Rp 37.219.800

Peringkat jabatan 16 Rp 21.567.900-Rp 25.162.550

Peringkat jabatan 15 Rp 19.058.000-Rp 25.411.600

Peringkat jabatan 14 Rp 21.586.600-Rp 22.935.762

Peringkat jabatan 13 Rp 15.110.025-Rp 17.268.600

Peringkat jabatan 12 Rp 11.306.487-Rp 15.417.937

Peringkat jabatan 11 Rp 10.768.862-Rp 14.684.812

Peringkat jabatan 10 Rp 10.256.950-Rp 13.986.750

Peringkat jabatan 9 Rp 9.768.412-Rp 13.320.562

Peringkat jabatan 8 Rp 8.457.500-Rp 12.686.250

Peringkat jabatan 7 Rp 8.211.000-Rp 12.316.500

Peringkat jabatan 6 Rp 7.673.375

Peringkat jabatan 5 Rp 7.171.875

Peringkat jabatan 4 Rp 5.361.800

Bappebti bersama Stakeholder Lanjut Bahas Evaluasi Pajak Kripto

IKPI, Jakarta: Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melanjutkan pembahasan evaluasi pajak kripto dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo).

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan pembahasan secara internal akan dilakukan setelah adanya tanggapan dari pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terkait evaluasi pajak kripto.

“Ada (pembahasan), kita nanti (membahas) dengan Pak Robby, Ketua Aspakrindo nanti supaya satu suara. Kemarin juga kan sudah dibicarakan di berita, Ditjen Pajak sudah menanggapi ya, kemarin mereka siap untuk bicara. Kalau begini kan, mereka sudah (memberikan) lampu hijau, kita juga enak ya masuknya seperti itu,” kata Tirta seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (15/3/2024)

Tirta menilai, pengenaan pajak terhadap aset kripto perlu dievaluasi ulang mengingat industri kripto di Indonesia saat ini masih tergolong baru. Industri yang masih baru tersebut seharusnya diberi ruang untuk bertumbuh.

Dalam pembahasan nanti, rencananya Bappebti akan mempertimbangkan untuk mengusulkan nilai pajak setengah dari pajak kripto yang berlaku saat ini.

“Sebelum ditetapkan itu (pajak kripto) kan, dulu usulan dari kita sebenarnya setengahnya ya, mungkin ada yang pernah mencatat usulan itu, jadi itu setengahnya. Jadi 0,05 (persen) dan 0,055 (persen),” ujar Tirta.

Pemerintah resmi menetapkan pajak untuk aset kripto melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 yang berlaku sejak 1 Mei 2022.

PMK tersebut mengatur tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi perdagangan aset kripto.

PPh untuk penjual aset kripto tercatat sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, dan PPN yang dikenakan sebesar 0,11 persen dari nilai transaksi.

Sementara itu, bagi yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2 persen dan PPN sebesar 0,22 persen.

Tirta juga menyampaikan bahwa pajak yang dikenakan dalam industri kripto di Indonesia akan turut berdampak terhadap nilai transaksi kripto di dalam negeri.

Pasalnya, dengan penetapan PPn dan PPh terhadap transaksi kripto mengakibatkan banyak para nasabah yang bertransaksi kripto di luar negeri.

“Kalau dikenakan (pajak) langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” kata Tirta dalam Talk Show tentang Ekosistem Kripto oleh Indodax, Selasa (27/2/2024).

Untuk itu, bertepatan dengan proses peralihan pengawasan aset kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka diharapkan juga menjadi momentum evaluasi untuk aturan pajak aset kripto. (bl)

DJP Himpun Rp 22,18 Triliun Penerimaan Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp22,18 triliun dari sektor usaha ekonomi digital per 29 Februari 2024.

“Hingga 29 Februari 2024, pemerintah mencatat penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital sebesar Rp22,179 triliun,” kata Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti seperti dikutip dari AntaraNews.com, Jumat (15/3/2024).

Nilai tersebut terdiri atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar Rp18,15 triliun, Pajak Kripto Rp539,72 miliar, Pajak Fintech (P2P Lending) Rp1,82 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) Rp1,67 triliun.

Sementara itu, sampai dengan Februari 2024 pemerintah telah menunjuk 167 pelaku usaha PMSE menjadi pemungut PPN. Jumlah tersebut termasuk empat penunjukan pemungut PPN PMSE dan satu pembetulan atau perubahan data pemungut PPN PMSE.

Penunjukan di bulan Februari 2024 yaitu Tencent Cloud International Pte. Ltd., Blacklane GmbH, Razer Online Pte Ltd, dan Social Online Payments Limited. Adapun pembetulan di bulan Februari 2024 yaitu Coda Payments Pte. Ltd.

Dari keseluruhan pemungut yang telah ditunjuk, 153 PMSE telah melakukan pemungutan dan penyetoran PPN PMSE sebesar Rp18,15 triliun.

Jumlah tersebut berasal dari Rp731,4 miliar setoran tahun 2020, Rp3,90 triliun setoran tahun 2021, Rp5,51 triliun setoran tahun 2022, Rp6,76 triliun setoran tahun 2023, dan Rp1,24 triliun setoran tahun 2024.

Sedangkan penerimaan Pajak Kripto senilai Rp539,72 miliar tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, dan Rp72,44 miliar penerimaan 2024.

Penerimaan itu terdiri atas Rp254,53 miliar penerimaan PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan Rp285,19 miliar penerimaan PPN DN atas transaksi pembelian kripto di exchanger.

Kemudian, sumber penerimaan pajak fintech (P2P lending) berasal dari Rp446,40 miliar penerimaan tahun 2022, Rp1,11 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp259,35 miliar penerimaan tahun 2024.

Pajak Fintech terdiri atas PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak dalam negeri (WPDN) dan bentuk usaha tetap (BUT) sebesar Rp596,1 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima wajib pajak luar negeri (WPLN) sebesar Rp219,72 miliar, dan PPN DN atas setoran masa sebesar Rp999,5 miliar.

Penerimaan pajak atas usaha ekonomi digital lainnya berasal dari penerimaan pajak SIPP, yang berasal dari Rp402,38 miliar penerimaan tahun 2022, sebesar Rp1,1 triliun penerimaan tahun 2023, dan Rp151,27 miliar penerimaan tahun 2024. Penerimaan pajak SIPP terdiri dari PPh sebesar Rp113,85 miliar dan PPN sebesar Rp1,56 triliun.

Dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi pelaku usaha baik konvensional maupun digital, pemerintah masih akan terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, pemerintah akan menggali potensi penerimaan pajak usaha ekonomi digital lainnya seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah. (bl)

Tolak Kenaikan PPN, Apindo: Pemerintah Harusnya Memperluas Cakupan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Para pengusaha meminta pemerintah untuk mengurus perusahaan informal yang belum membayar pajak, ketimbang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada 2025 sebesar 12%.

“Jadi sebetulnya target yang sebenarnya pemerintah harus lakukan ekstensifikasi, itu menambah jumlah base pembayar pajak,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (15/3/2024).

Shinta mengatakan, kebijakan ekstensifikasi atau perluasan cakupan wajib pajak harus dilakukan saat ini karena perusahaan informal masih sangat banyak. Akibatnya, mereka tak tercakup ke dalam perusahaan yang harus membayar pajak.

Apalagi, ia melanjutkan, dengan arah kebijakan PPN yang sebetulnya menyasar konsumsi masyarakat, malah bisa menekan daya beli. Dengan begitu, akan berimplikasi pada semakin menurunnya penjualan produk-produk industri, karena pembelinya makin sedikit.

“Dengan besarnya kelompok informal di Indonesia, ini yang agak sulit. Maka, bagaimana caranya mereka bisa masuk ke formal supaya bayar pajak, sebetulnya kuncinya di situ, karena kenaikan PPN ini cuma pengalihan ke konsumen,” ucapnya.

Meski begitu, Shinta mengakui, kenaikan PPN itu sudah menjadi amanat Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah menjadi 11% mulai berlaku pada 1 April 2022. Lalu, kembali dinaikkan menjadi sebesar 12% paling lambat pada 1 Januari 2025.

Kendati begitu, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan maksimal 15% melalui penerbitan peraturan pemerintah atau PP setelah dilakukan pembahasan dengan DPR, sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

“Cuma dengan kondisi sekarang ini memang pasti akan berdampak ke daya beli, karena itu kan basic-nya nanti kenaikan PPN kan, ini kan ke konsumen, jadi akan pengaruh ke daya beli konsumen,” ungkap Shinta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sudah mengakui sulit menaikkan angka rasio pajak di Indonesia yang tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Filipina. Sebab, 47% sektor ekonomi tak masuk sebagai wajib pajak, termasuk industri informal.

Rasio pajak pu tercatat turun ke posisi 10,21% dari PDB pada 2023. Sebelumnya, rasio pajak tercatat mencapai 10,39% pada 2022. Angka tersebut naik 9,12% pada 2021.

“Kita tahu Indonesia masih kesulitan untuk meningkatkan tax ratio (rasio pajak),” ungkap Sri Mulyani dalam Mandiri Investment Forum 2024 di Hotel Fairmont, Jakarta, dikutip Rabu (6/3/2024).

Oleh sebab itu, ia menekankan letak permasalahan peningkatan tax ratio di Indonesia ada pada basis perpajakan. Sebanyak 47% perekonomian di Indonesia yang tidak masuk dalam basis perpajakan di Indonesia. Alhasil, Indonesia hanya mengandalkan 53% dari basis pajak.

“Intinya dari pengumpulan atau penagihan pajak, kita hanya mengandalkan 53 persen. Ini terjadi bukan saja karena banyak ekonomi informal di Indonesia, tapi juga banyak pengecualian perpajakan di mana kegiatan-kegiatan ekonomi masih belum dikenakan pajak, yang diatur dalam kebijakan dan regulasi. Ini juga terjadi karena kami memberikan sejumlah insentif,” paparnya. (bl)

DJP Catat 7,48 Juta Wajib Pajak Sudah Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Jumlah wajib pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan terus meningkat.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa sudah 7,48 juta wajib pajak yang melaporkan SPT Tahunan hingga 12 Maret 2024. Jumlah tersebut terdiri dari 226,67 ribu SPT Tahunan PPh Badan dan 7,25 juta SPT Tahunan PPh Orang Pribadi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti mengatakan, jumlah tersebut meningkat 1,83% secara tahunan (yoy).

Dwi pun mengimbau para wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan mereka melalui berbagai kanal yang telah disediakan. Karena penyampaian laporan SPT lebih awal, akan membuat wajib pajak lebih nyaman.

“Kami telah menyediakan sejumlah opsi untuk melaporkan SPT secara elektronik, seperti melalui e-filling maupun e-form,” kata Dwi seperti dikutip dari Antara, Kamis (14/3/2024).

Kendati demikian, Ditjen Pajak tetap menerima laporan SPT yang dilakukan secara manual. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan jumlah wajib pajak yang menyampaikan laporan SPT Tahunan. (bl)

 

Pengusaha Karaoke Perbaiki Permohonan Uji Ketentuan Pajak Hiburan

IKPI, Jakarta: Sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945 kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (13/3/2024) dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga. Dalam hal ini, Pemohon menguji ketentuan Pasal 58 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 58 UU HKPD.

Sebagaimana diketahui, Pemerintah resmi menetapkan tarif efektif pajak penghasilan Pasal 21 (PPh 21) yang berlaku mulai 1 Januari 2024. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Pasal 58 ayat (2) UU HKPD menyatakan, “Khusus tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)”.

Seperti dikutip dari website resmi MK, dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, Pemohon yang diwakili oleh Annee William Siadari menyampaikan telah melakukan penyempurnaan terkait surat kuasa khusus mengenai tanda tangan kuasa pemberi kuasa telah diperbaiki dan diganti. “Terhadap alat bukti kami juga menambahkan taxpayer pemohon yang meliputi NPWP pemohon, surat setoran pajak dan bukti pembayaran PBJT,” terangnya.

Kemudian, kuasa hukum Pemohon lainnya, Adong menyebut terdapat pada bagian kedudukan hukum. Dalam perbaikan, Pemohon telah menguraikan dasar yang berdasarkan fakta. Sedangkan alasan permohonan, ruang lingkup ketentuan hukum yang diuji masih seperti semula.

Sebelumnya, Pemohon mendalilkan pasal a quo inkonstitusional. Pemohon menilai sebelumnya dalam UU HKPD terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif. Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40% dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan. Menurut Pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi.

Untuk itu, Pemohon meminta MK menambah kata/frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) yang berbunyi “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen)” dan Pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (bl)

THR 2024 Kena Potongan TER Bulanan PPh 21

IKPI, Jakarta: Guyuran uang Tunjangan Hari Raya (THR) pada tahun ini tampaknya belum akan mendorong konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2024 secara signifikan.

Pasalnya, karyawan dengan status pegawai tetap harus bersiap untuk menerima potongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang lebih besar pada bulan ini.

Apabila pegawai tetap menerima THR pada Maret 2024, maka akan dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, besaran PPh Pasal 21 dihitung dengan mengalikan tarif efektif bulanan PP 58/2023 dengan jumlah penghasilan bruto yang diterima pegawai tetap dalam satu masa pajak.

Nah, penghasilan teratur dan penghasilan tidak teratur yang diterima karyawan tidak dapat dipisahkan dalam penghitungan pajak, sehingga kedua jenis penghasilan tersebut dijumlahkan dan dikenai pemotongan sebesar tarif efektif rata-rata (TER).

Artinya, jika pegawai tetap menerima penghasilan tidak teratur seperti THR dan bonus dalam suatu masa pajak, maka penghasilan tersebut digabungkan ke dalam penghasilan bruto kemudian dikalikan dengan TER bulanan sesuai status PTKP dari pegawai tetap yang menerima penghasilan.

Misalnya, seorang pegawai tetap bernama Tuan X (TK/0) menerima penghasilan bruto dari pemberi kerja senilai Rp 8 juta sebulan pada masa pajak Februari 2024. Atas penghasilan bruto tersebut, maka Tuan X dikenai PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan kategori A sebesar 1,5%.

Kemudian, pada masa pajak Maret 2024, Tuan X menerima THR satu kali gaji sehingga penghasilan bruto yang diterima Tuan X menjadi Rp 16 juta. Oleh karena itu terdapat perubahan tarif, di mana tarif efektif bulanan kategori A atas penghasilan bruto senilai Rp 16 juta adalah 7%.

Namun perlu diingat, penerapan tarif efektif ini tidak menimbulkan perbedaan beban pajak dalam satu tahun untuk seluruh tingkat penghasilan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya.

Meski begitu, banyak para karyawan yang mengeluh di media sosial X (twitter) mengenai besarnya potongan pajak pada bulan Maret 2024 lantaran adanya THR.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar sependapat bahwa potongan PPh Pasal 21 pada saat menerima THR akan lebih besar, sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah uang atau penghasilan yang diterima oleh karyawan.

“Bergantung seberapa besar dampaknya. Kalau kemudian TER ini berpengaruh besar terhadap jumlah uang yang diterima nanti, saya kira perlu sosialisasi bersama,” ujar Fajry seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (14/3/2024).

Dia melihat, ada kenaikan beban pajak secara signifikan sehingga hal ini akan berpengaruh pula terhadap belanja dari THR tersebut.

“Ada kenaikan beban pajak secara signifikan meski dalam satu tahun tetap sama. Kenaikan ini akan mempengaruhi jumlah bersih yang diterima pegawai. Dengan begitu spending-nya akan berkurang. Meski tidak semua pegawai dampaknya akan sama,” kata dia.

Padahal, kata Fajry, momen Lebaran memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Namun dengan penghasilan yang diterima setelah dipotong pajak akan berkurang, maka belanja dari uang THR juga tidak akan signifikan mendorong perekonomian.

“Tentu kita semua ingin merayakan hari raya dari THR yang didapatkan, terlebih lagi hari raya punya dampak ekonomi yang signifikan, waktunya orang spending,” imbuh Fajry.

Senada, Konsultan Pajak di PT Botax Consulting Indonesia Raden Agus Suparman menyampaikan bahwa melalui skema TER maka potongan pajak pada Maret 2024 akan lebih besar jika dibandingkan bulan sebelumnya lantaran adanya pemberian THR.

“Jadi dengan nominal yang sama dengan tahun lalu, THR yang diterima pegawai kemungkinan sekarang lebih besar,” ujar Raden.

Apalagi dengan kondisi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok saat ini, potongan pajak tersebut akan sangat dirasakan oleh karyawan.

“Apalagi sekarang diiringi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok akibat siklus musim yang bergeser, pasti akan dirasakan oleh pegawai lebih besar,” kata Raden.

Meski begitu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menjelaskan, pemberian THR, bonus maupun penambah penghasilan bruto lainnya yang termasuk ke dalam objek pajak pada komponen penghasilan pegawai akan mengakibatkan bertambahnya jumlah pajak yang dipotong pada masa atau tahun pajak tersebut.

Namun, Dwi menegaskan, PMK 168/2023 pada dasarnya sudah mengantisipasi agar jumlah pajak yang dipotong setiap bulan mendekati jumlah pajak terutang selama setahun dengan catatan pihak pemberi kerja menerapkan aturan perhitungan secara konsisten.

Artinya, apabila terjadi perubahan besarnya penghasilan pada bulan tertentu, pihak pemberi kerja harus segera melakukan penyesuaian penghitungan.

“Namun, apabila memang terjadi kelebihan pemotongan pajak yang terutang, maka dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (12/3).

Dwi menyebut, penerapan TER tidak akan mengakibatkan adanya tambahan beban pajak baru. Penerapan tarif efektif bulanan bagi pegawai tetap hanya digunakan untuk melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain masa pajak terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di masa pajak terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.

Nah, pada masa pajak terakhir akan dilakukan penghitungan dengan tarif Pasal 17 ayat (1) UU PPh yang akan menghasilkan jumlah PPh terutang selama setahun menjadi sama apabila dihitung tanpa penerapan tarif efektif.

“Artinya sepanjang tidak ada perubahan Penghasilan Kena Pajak (PKP), maka PPh terutang dalam setahun totalnya akan sama dengan PPh terutang sebelum diterapkannya tarif efektif,” kata Dwi. (bl)

id_ID