Kemenkeu Tegaskan Dana Mengendap di BI Bersifat Dinamis, Purbaya Ubah Strategi Jadi Penggerak Ekonomi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan bahwa besaran dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia (BI) tidak memiliki angka baku. Jumlahnya bersifat dinamis, bergantung pada kebutuhan dan volatilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, menjelaskan bahwa penempatan dana pemerintah di BI dihitung berdasarkan siklus pengeluaran dan kebutuhan kas negara.

“Kalau ditanya berapa dana yang paling pas untuk disimpan, ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi,” ujar Astera kepada media di Jakarta, baru-baru ini.

Menurutnya, pemerintah selalu melakukan perhitungan secara hati-hati agar saldo yang disimpan di BI cukup sebagai bantalan (buffer) keuangan negara, namun tidak berlebihan hingga menahan perputaran uang di sektor produktif.

“Kita hitung rata-rata kebutuhan bulanan APBN, lalu tentukan berapa triliun yang aman untuk disiapkan. Dari situ baru bisa diputuskan berapa dana yang ideal disimpan di bank agar tidak terlalu mengendap, tapi juga tidak kekurangan saat dibutuhkan,” jelasnya.

Astera mencontohkan, pada masa pandemi Covid-19 pemerintah menahan dana dalam jumlah besar demi menjaga kelancaran pembayaran berbagai kewajiban secara cepat.

“Saat itu kita harus bayar banyak sekaligus, jadi dana cadangan diperbesar agar bisa langsung digunakan ketika dibutuhkan,” katanya.

Berdasarkan catatan Kemenkeu, Saldo Anggaran Lebih (SAL) atau dana mengendap pemerintah di BI terus mengalami fluktuasi: Rp 212,6 triliun (2019), Rp 388,1 triliun (2020), Rp 337,7 triliun (2021), Rp 478,9 triliun (2022), Rp 459,5 triliun (2023), dan Rp 457,5 triliun (2024).

Kebijakan pengelolaan SAL juga turut berubah seiring pergantian kepemimpinan di Kemenkeu. Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati, mempertahankan saldo dalam jumlah besar sebagai penyangga fiskal menghadapi risiko dan ketidakpastian global.

Namun kini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memilih langkah berbeda. Ia memutuskan memanfaatkan sebagian SAL untuk menggerakkan ekonomi nasional. Sebanyak Rp 200 triliun dana pemerintah ditarik dari BI dan ditempatkan di lima bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Kebijakan ini diharapkan meningkatkan likuiditas perbankan dan menurunkan cost of fund, sehingga mendorong ekspansi kredit, konsumsi rumah tangga, investasi, serta menciptakan efek berantai (multiplier effect) bagi perekonomian.

Dengan pendekatan baru ini, pemerintah tidak hanya menjaga stabilitas fiskal, tetapi juga menjadikan kas negara sebagai motor penggerak ekonomi yang lebih aktif dan produktif. (alf)

Misbakhun Ingatkan Menkeu Fokus Benahi Tata Kelola Pembayaran Subsidi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengingatkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar tidak larut dalam perdebatan teknis soal subsidi energi, melainkan fokus memperbaiki tata kelola pembayaran subsidi dan kompensasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Realisasi pembayarannya kerap terlambat, membebani arus kas, bahkan berpotensi mengganggu pelayanan publik. Ini yang seharusnya segera diperbaiki Menteri Keuangan,” ujar Misbakhun, Jumat (3/10/2025).

Legislator Partai Golkar itu menilai akar persoalan subsidi selama bertahun-tahun masih sama: keterlambatan pembayaran dan lemahnya koordinasi lintas kementerian. Menurutnya, tugas utama Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara adalah memastikan pembayaran subsidi berjalan tepat waktu, transparan, dan akuntabel.

“Aspek teknis seperti penetapan harga maupun distribusi subsidi itu ranah Kementerian ESDM dan Kementerian Sosial. Jangan sampai Menkeu keluar dari wilayahnya, karena bisa mengganggu koordinasi antar kementerian,” tegasnya.

Misbakhun juga menekankan bahwa hakikat subsidi adalah menjaga daya beli rakyat kecil dan memastikan kelompok rentan tetap memiliki akses energi dengan harga terjangkau. Ia menilai, perdebatan terbuka antar pejabat justru mengaburkan tujuan utama kebijakan subsidi.

“Kalau distribusi subsidi elpiji 3 kilogram atau subsidi energi lain tidak tepat sasaran, yang paling dirugikan adalah masyarakat kelas bawah. Solusinya bukan saling koreksi di ruang publik, tapi memperbaiki basis data penerima manfaat dan mengintegrasikan sistem digital antar kementerian,” katanya.

Politikus asal Probolinggo itu mengungkapkan, data penerima manfaat subsidi energi nantinya akan dihimpun dalam Data Terpadu Subsidi Energi Nasional (DTSEN) hasil kerja sama Kementerian ESDM dan BPS. Karena itu, kata dia, langkah paling krusial saat ini adalah memperkuat koordinasi dan memastikan pemutakhiran data dilakukan secara konsisten.

Misbakhun juga mengingatkan bahwa belanja subsidi dan kompensasi energi dalam APBN 2026 diproyeksikan meningkat seiring ketidakpastian harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar rupiah.

“Komisi XI DPR mendukung subsidi untuk rakyat, tetapi disiplin fiskal dan tata kelola yang baik tetap menjadi syarat utama. Kredibilitas APBN dan kepercayaan publik bergantung pada hal itu,” ucapnya.

Ia menegaskan, Menteri Keuangan harus menjawab tantangan tersebut dengan mekanisme pembayaran subsidi yang tepat waktu dan akuntabel, bukan dengan pernyataan yang justru memicu polemik.

Sebelumnya, Menkeu Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI pada Selasa (30/9) menyebut harga asli elpiji 3 kilogram mencapai Rp42.750 per tabung, dengan subsidi pemerintah sekitar Rp30.000 sehingga masyarakat hanya membayar Rp12.750.

Namun, Menteri ESDM Bahlil menilai Purbaya salah membaca data dan menyebut sang Menkeu masih perlu waktu untuk beradaptasi.

“Itu mungkin Menkeu-nya salah baca data. Ya mungkin butuh penyesuaian,” ujar Bahlil di Gedung BPH Migas, Jakarta, Kamis (2/10/2025). (alf)

UMKM dan Pekerja Bebas Wajib Lapor NPPN Lewat Coretax!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Riau mengingatkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pekerja bebas agar tidak lupa melaporkan Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) melalui sistem Coretax. Pasalnya, meski NPPN memberi kemudahan dalam menghitung penghasilan neto, penggunaannya wajib diberitahukan secara resmi kepada DJP.

Kepala Kanwil DJP Riau Ardiyanto Basuki (Ardi) menegaskan, pelaporan melalui Coretax kini jauh lebih mudah, cepat, dan aman, tanpa perlu datang ke kantor pajak.

“Kami mengajak Wajib Pajak untuk memanfaatkan layanan digital Coretax dalam menyampaikan pemberitahuan NPPN. Prosesnya sederhana, bukti elektronik langsung diterbitkan, dan Wajib Pajak tidak perlu antre di KPP,” ujar Ardi dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/10/2025).

Ia menjelaskan, dasar hukum penggunaan NPPN tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh). Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa Wajib Pajak dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8 miliar setahun dapat menggunakan norma penghitungan neto sepanjang telah mengajukan pemberitahuan. Bila tidak, maka dianggap memilih melakukan pembukuan atau pencatatan sesuai Pasal 14 ayat (4) UU PPh.

Untuk mempermudah, DJP Riau membagikan langkah-langkah praktis melapor lewat Coretax:

1. Login ke Coretax menggunakan NIK atau NPWP 16 digit.

2. Pilih menu “Layanan Wajib Pajak” → “Layanan Administrasi”.

3. Klik “Permohonan Layanan Administrasi”.

4. Pilih kategori LA.04 dan sub-layanan AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan NPPN.

5. Isi data tahun pajak, peredaran bruto, dan lokasi usaha.

6. Setelah sistem memvalidasi otomatis, klik “Create PDF”, tanda tangani secara elektronik, lalu kirim.

7. Bukti Penerimaan Elektronik (BPE) akan langsung diterbitkan dan tersimpan di menu “Daftar Fasilitas Saya”.

Selain via Coretax, Wajib Pajak tetap bisa menyampaikan pemberitahuan melalui KPP terdekat, pos, atau Kring Pajak 1500200.

Ardi mengungkapkan, hingga kini masih terdapat 99.308 Wajib Pajak di wilayah Riau yang belum menyampaikan pemberitahuan penggunaan NPPN, padahal sudah memakai skema tersebut dalam pelaporan SPT Tahunan.

“Jumlah ini menunjukkan masih banyak Wajib Pajak yang perlu diedukasi agar tidak kehilangan haknya dan bisa memenuhi kewajiban pajak dengan benar,” tegasnya.

Melalui digitalisasi administrasi perpajakan seperti Coretax, DJP Riau berharap kepatuhan sukarela meningkat tanpa menambah beban pelaku usaha kecil.

“Prinsipnya, kami tidak ingin mempersulit. Justru dengan Coretax, semuanya bisa selesai dalam hitungan menit,” tutup Ardi. (alf)

Lonjakan Restitusi Rp304 Triliun Tekan Penerimaan Pajak 2025

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa penurunan penerimaan pajak hingga 31 Agustus 2025 disebabkan oleh melonjaknya restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, restitusi mencapai Rp304,3 triliun hingga akhir Agustus tahun ini naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu.

“Restitusi mengalami peningkatan disebabkan oleh volatilitas harga komoditas. Harga komoditas yang tinggi di tahun sebelumnya kini termoderasi, sehingga kredit pajak yang dibayar Wajib Pajak lebih besar dari pajak yang terutang,” ujar Direktur P2Humas DJP Rosmauli, Sabtu (4/10/2025).

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pelayanan restitusi dan stabilitas penerimaan negara.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memastikan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus untuk mengantisipasi lonjakan restitusi sepanjang tahun berjalan.

“Mitigasi lonjakan restitusi ini prinsipnya sederhana: knowing your taxpayer. Saya sudah minta seluruh KPP menganalisis secara cermat setiap permohonan restitusi, mulai dari lokasi usaha hingga validitas kegiatan bisnisnya,” tegas Bimo dalam Media Briefing DJP di Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Namun, ia tidak menampik adanya tantangan baru dari tren bisnis berbasis virtual office yang kian marak digunakan oleh Wajib Pajak. Hal ini membuat analisis lokasi usaha semakin kompleks.

“Sekarang semua unit vertikal sudah dibekali data konkret dan sistem analisis yang kuat. Kami juga melakukan matching antara pajak masukan dan keluaran, serta membandingkan struktur biaya dengan industri sejenis untuk memastikan kewajaran,” ungkapnya.

Pemerintah sendiri baru saja mempercepat proses pemeriksaan dan restitusi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025, yang berlaku sejak 14 Februari 2025. Aturan ini mempersingkat durasi pemeriksaan menjadi hanya 1 bulan untuk pemeriksaan spesifik, 3 bulan untuk terfokus, dan 5 bulan untuk komprehensif.

Langkah itu diperkuat dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2025, yang memperluas cakupan Wajib Pajak berisiko rendah hingga mencakup Special Purpose Company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK).

Dengan berbagai kebijakan percepatan tersebut, DJP dihadapkan pada tantangan ganda: menjaga kredibilitas pelayanan restitusi sekaligus menahan tekanan terhadap penerimaan negara.

“Intinya, kecepatan layanan tidak boleh mengorbankan kehati-hatian. Transparansi dan analisis yang tajam tetap jadi kunci,” tutup Bimo. (alf)

Bersih-bersih DJP: Bimo Wijayanto Pecat 26 Pegawai, 13 Lainnya Tunggu Giliran!

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan semakin tegas menegakkan disiplin dan integritas internal. Sejak menjabat pada akhir Mei 2025, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto telah memecat 26 pegawai, dan kini 13 pegawai lain sedang menunggu giliran diproses karena diduga terlibat pelanggaran etik dan integritas.

“Dengan sangat menyesal kami sudah memecat 26 karyawan. Hari ini di meja saya ada tambahan 13 yang sedang kami proses,” ujar Bimo saat peluncuran Piagam Wajib Pajak di Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta, Jumat (3/10/2025).

Bimo menegaskan, langkah tegas tersebut diambil untuk menjaga kehormatan institusi dan membangun kembali kepercayaan publik terhadap otoritas pajak.

“Seratus rupiah saja ada fraud yang dilakukan oleh anggota kami, akan saya pecat. Handphone saya terbuka untuk whistleblower dari masyarakat, dan saya jamin keamanannya,” tegasnya.

Menurut Bimo, kepercayaan wajib pajak merupakan modal sosial paling berharga dalam sistem perpajakan modern. Tanpa kepercayaan, kepatuhan sukarela akan sulit terwujud dan berdampak langsung terhadap efektivitas penerimaan negara.

“Kami terus berbenah, memperbaiki diri, dan membersihkan institusi agar kepercayaan wajib pajak tetap terjaga,” ujarnya.

Piagam Wajib Pajak

Pada kesempatan yang sama, DJP juga meluncurkan Piagam Wajib Pajak (Taxpayer’s Charter) yang memuat delapan hak dan delapan kewajiban wajib pajak. Dokumen ini disarikan dari sepuluh undang-undang perpajakan dan Pasal 23A UUD 1945, serta menjadi simbol keterbukaan dan tanggung jawab bersama.

“Piagam ini mencerminkan nilai etika, keadilan, dan tanggung jawab bersama untuk membangun sistem perpajakan yang lebih terbuka dan berpihak kepada kepentingan masyarakat luas,” jelas Bimo.

Penyusunan piagam dilakukan secara inklusif dengan melibatkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), akademisi, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama, sebagai wujud sinergi lintas sektor.

Dengan dua langkah besar bersih-bersih internal dan peluncuran Piagam Wajib Pajak , Bimo Wijayanto menegaskan arah baru DJP: lembaga yang bersih, transparan, dan berintegritas tinggi demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional. (alf)

“Ngotak” IKPI Jakarta Pusat Bongkar Cara Cerdas Hadapi SP2DK

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

IKPI, Jakarta: Acara Ngobrol Tentang Pajak (Ngotak) yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat baru-baru ini kembali menghadirkan diskusi tajam dan aplikatif seputar dinamika perpajakan. Dalam edisi kali ini, pembahasan difokuskan pada strategi cerdas menghadapi SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Narasumber acara, Michael dari IKPI Cabang Tangerang Selatan, menegaskan bahwa SP2DK seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan sebagai kesempatan untuk menjelaskan posisi pajak secara objektif.

“SP2DK bukan surat teguran, tapi surat cinta dari DJP yang perlu dijawab dengan data yang benar dan sikap kooperatif,” ujar Michael.

Menurutnya, SP2DK merupakan bagian dari proses pembinaan yang dilakukan DJP agar wajib pajak dapat memberikan klarifikasi atas data yang tidak sinkron dengan laporan SPT. “Langkah pertama yang harus dilakukan wajib pajak adalah memahami asal data yang digunakan DJP. Setelah itu baru kita siapkan jawaban berdasarkan bukti konkret,” jelasnya.

Michael menambahkan bahwa SP2DK hanya dapat diterbitkan dalam jangka waktu lima tahun sejak masa pajak terkait, sesuai batas daluwarsa penetapan. Karena itu, wajib pajak disarankan untuk menata administrasi dan pembukuan sejak awal agar tidak kesulitan saat diminta klarifikasi.

Ia juga menyoroti kesalahan umum wajib pajak yang menunda tanggapan terhadap SP2DK, terutama karena tanggal surat sering kali berbeda dari waktu penerimaan.

“Kadang suratnya baru diterima seminggu setelah diterbitkan, tapi jangan dijadikan alasan untuk diam. Justru penting untuk proaktif menjawab supaya DJP melihat niat baik kita,” imbuhnya.

Dalam pandangan Michael, konsultan pajak memiliki peran penting sebagai jembatan komunikasi antara wajib pajak dan otoritas pajak.

“Konsultan bukan pesulap yang bisa menyulap masalah hilang. Tugas kita mendampingi dengan profesional dan etis, membantu wajib pajak memahami hak dan kewajibannya,” tegasnya.

Michael juga menekankan bahwa kepatuhan pajak seharusnya lahir dari kesadaran, bukan ketakutan.

“Jangan takut dengan SP2DK. Takutlah kalau tidak paham laporan keuangan sendiri. Karena inti pajak itu bukan sekadar angka, tapi niat baik dan keterbukaan,” pungkasnya.

Diskusi Ngotak ini diikuti 148 anggota IKPI dari berbagai daerah dan berlangsung interaktif, dengan beragam pertanyaan seputar praktik terbaik menjawab SP2DK serta penguatan administrasi perpajakan. (bl)

IKPI se-DIY Terima Piagam Wajib Pajak dari DJP, Lukas Mulyono: Ini Bukti Kepercayaan dan Kolaborasi!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan Piagam Wajib Pajak atau Taxpayers’ Charter kepada Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi dan kepatuhan dalam membangun sistem perpajakan yang sehat dan transparan.

Penyerahan piagam dilakukan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, dalam acara peluncuran Taxpayers’ Charter di Kanwil DJP DIY, Jumat (3/10:2025). Adapun IKPI yang menerima penghargaan meliputi IKPI Pengda DIY, IKPI Cabang Yogyakarta, IKPI Cabang Bantul, dan IKPI Cabang Sleman.

Wakil Ketua IKPI Cabang Yogyakarta, Lukas Mulyono, menyebut penghargaan ini sebagai pengakuan atas sinergi yang telah terjalin erat antara konsultan pajak dan otoritas pajak.

“Piagam ini bukan sekadar simbol kehormatan, tapi wujud nyata dari kepercayaan dan kerja sama yang produktif. Konsultan pajak dan DJP adalah dua mitra yang punya tujuan sama: menumbuhkan kepatuhan dan menjaga keberlanjutan penerimaan negara,” ujar Lukas.

Ia menambahkan, hubungan antara DJP dan konsultan pajak harus terus dijaga dengan komunikasi terbuka dan profesionalisme yang tinggi.

“Kita ingin kepatuhan pajak tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan. Dengan kepercayaan, sistem pajak akan lebih kuat dan berkeadilan,” tambahnya.

Sementara itu, Dirjen Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa Taxpayers’ Charter menjadi salah satu pilar hubungan harmonis antara wajib pajak dan otoritas.

“Pajak adalah urusan bersama. DJP tidak bisa berjalan sendiri tanpa dukungan para konsultan pajak dan masyarakat wajib pajak,” tegasnya.

Acara ini turut dihadiri pejabat eselon I dan II DJP, pengurus IKPI se-DIY, serta perwakilan dunia usaha dan akademisi di Yogyakarta. (bl)

Di Podcast IKPI, Donny Danardono Sebut SP2DK Untungkan Wajib Pajak

(Foto: Tangkapan Layar YouTube IKPI)

IKPI, Jakarta: Konsultan pajak sekaligus pengurus pusat Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Donny Danardono, menyampaikan pandangan berbeda terkait Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK). Alih-alih menakutkan, ia menilai SP2DK justru bisa membawa keuntungan bagi wajib pajak.

Dalam Podcast IKPI baru-baru ini, yang membahas strategi menghadapi SP2DK, Donny menegaskan surat tersebut sebaiknya dipandang sebagai sarana komunikasi, bukan vonis bersalah.

“Saya malah suka SP2DK. Dengan adanya surat itu, wajib pajak bisa berkomunikasi langsung dengan Account Representative (AR) di kantor pajak. Jadi kalau ada kesalahan, cepat diketahui, bukan setelah dua atau tiga tahun,” ujar Donny.

Ia menggambarkan posisi DJP yang hanya memegang laporan SPT tahunan dari wajib pajak, ibarat menatap sebuah black box. Menurutnya, SP2DK hadir sebagai jembatan untuk mengonfirmasi data dan memastikan laporan benar adanya.

Lebih jauh, Donny menyebut SP2DK bisa menjadi nilai tambah, terutama bagi perusahaan yang tengah menyiapkan diri untuk melantai di bursa.

“SP2DK justru membuat laporan pajak perusahaan lebih firm. Investor bisa lebih yakin bahwa data keuangan dan perpajakannya sudah valid. Jadi, ini bukan hambatan, malah menguntungkan,” tegasnya.

Meski begitu, ia menyadari banyak wajib pajak yang masih panik saat menerima SP2DK. Padahal menurutnya, surat itu sekadar konfirmasi, bukan indikasi pelanggaran.

“SP2DK itu bukan momok. Jangan langsung stres. Itu kesempatan untuk memastikan data kita benar,” jelas Donny.

Ia pun mendorong wajib pajak agar merespons SP2DK secara tenang dan cermat, didampingi konsultan bila perlu, sehingga komunikasi dengan DJP dapat berjalan konstruktif dan mengurangi risiko sengketa. (bl)

Trump Berlakukan Tarif Impor Produk Kayu Hingga 50% Mulai 14 Oktober

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengobarkan perang dagang global. Mulai 14 Oktober 2025, Gedung Putih resmi memberlakukan tarif impor baru untuk produk kayu dan turunannya, dengan beban pajak yang bisa melonjak hingga 50%.

Dalam aturan yang dirilis, tarif dibagi dalam tiga kategori. Pertama, 10% untuk kayu lunak. Kedua, 25% untuk furnitur berlapis kain, yang akan meningkat menjadi 30% per 1 Januari 2026. Ketiga, 25% untuk lemari dapur dan meja rias, dengan lonjakan tajam hingga 50% di awal tahun depan.

Meski berlaku secara global, sejumlah negara diperlakukan lebih ringan. Inggris, Uni Eropa, dan Jepang disebut mendapat keringanan tarif karena adanya perjanjian perdagangan khusus dengan AS.

“Negara-negara tersebut menikmati ketentuan yang lebih menguntungkan sesuai perjanjian dagang mereka dengan Amerika Serikat,” bunyi pengumuman Gedung Putih, dikutip, Senin (29/9/2025).

Kebijakan Trump ini langsung menuai protes. Di dalam negeri, langkah tersebut dipersoalkan hingga ke Mahkamah Agung AS. Sidang uji legalitas tarif global dijadwalkan berlangsung 5 November mendatang.

Trump berkilah, tarif impor kayu diperlukan untuk menjaga keamanan nasional. Gedung Putih menegaskan bahwa kayu memainkan peran vital, baik dalam sektor konstruksi sipil maupun infrastruktur militer. “Ketergantungan pada pasokan asing menimbulkan kerentanan yang berbahaya,” tegas pernyataan itu.

Kebijakan ini bukan yang pertama. Pada 1 Oktober lalu, Trump juga mengumumkan tarif 100% untuk farmasi dan 25% untuk truk besar. Rangkaian kebijakan proteksionis ini diyakini akan mengguncang rantai pasok global, sekaligus menimbulkan risiko retaliasi dari mitra dagang utama AS. (alf)

Ruang Fiskal Makin Terkunci, APBN 2026 Kehilangan Daya Dorong Ekonomi

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ikatan Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Iluni FEB UI) bersama Fraksi Partai NasDem DPR RI menyoroti semakin sempitnya ruang fiskal dalam rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Diskusi yang berlangsung di Jakarta, Kamis (2/10/2025), menegaskan perlunya pembenahan agar APBN tidak kehilangan fungsi produktifnya bagi perekonomian nasional.

Ketua Umum Iluni FEB UI, Ubaidillah Nugraha, menekankan bahwa APBN bukan sekadar angka, melainkan instrumen yang membawa tanggung jawab moral. “Kebijakan fiskal harus disusun demi kepentingan jangka panjang bangsa, bukan hanya menjawab kepentingan sesaat,” ujarnya.

Kepala Public Policy Unit Iluni FEB UI, Rizki Nauli Siregar, menjelaskan bahwa APBN merupakan amanah rakyat yang wajib dikelola dengan adil, memberdayakan kelompok rentan, serta menjaga stabilitas menghadapi tekanan global. Namun ia menyoroti kecenderungan alokasi anggaran yang semakin terpusat di pemerintah pusat, sehingga peran daerah dalam mendorong pembangunan berkeadilan semakin tereduksi.

Sementara itu, Tim Kajian Strategis Iluni FEB UI, Teuku Riefky, memaparkan bahwa ruang fiskal Indonesia kian terkunci akibat dominasi belanja wajib. Data menunjukkan, pada 2024 belanja fleksibel (discretionary spending) hanya tersisa 11,5 persen dari total belanja negara. Selain itu, hampir 37 persen APBN 2026 diproyeksikan terserap untuk program populis.

“Kondisi ini membuat APBN kehilangan daya sebagai instrumen stabilisasi dan distribusi. Alih-alih memperluas basis penerimaan, strategi pertumbuhan berbasis utang justru mengunci ruang fiskal dan melemahkan daya dorong ekonomi,” tegas Riefky.

Iluni FEB UI mendorong agar perumusan APBN 2026 mengutamakan fungsi produktif, seperti memperkuat institusi, membuka lapangan kerja, serta mengurangi ketimpangan sosial. Kolaborasi lintas pemangku kepentingan—baik politik, akademisi, maupun masyarakat sipil—diyakini dapat melahirkan desain kebijakan fiskal yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan. (alf)

en_US