Flat Tax Vs Progressive Tax Mana Lebih Adil?

Dalam kunjungannya ke Indonesia baru-baru ini Arthur Laffer, seorang ekonom asal Amerika bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia terkenal dengan Kurva Laffer-nya di era tahun 1970-an yaitu konsep bahwa ada batas maksimal besaran tarif Pajak Penghasilan dalam upaya memperoleh penerimaan negara yang optimal. Laffer melontarkan usulan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan penerapan Flat Tax dalam kebijakan penetapan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi.

Kemudian pada saat acara Economy Update 2025 yang diselenggarakan oleh CNBC Indonesia, Laffer menyampaikan bahwa ia yakin Indonesia mampu mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Salah satu langkah penting yang dapat dilakukan dari sisi pajak adalah dengan menerapkan struktur pajak “Low Rate, Broad-Based, and Flat Tax”. Dengan struktur ini diharapkan bahwa tarif pajak rendah (low rate) akan memberi stimulus bagi individu serta badan usaha untuk lebih giat melakukan aktivitas ekonomi dan investasi.

Kemudian dengan basis pemajakan yang luas (broad based) yang dibarengi dengan pengurangan sejumlah pengecualian penghasilan yang tidak dikenakan pajak PPh, dan kebijakan lainnya yang mereduksi dasar pengenaan pajak, serta selektif dalam pemberian berbagai insentif pajak, maka pemerintah akan lebih leluasa menurunkan tarif pajak tanpa berdampak pada menurunnya penerimaan negara secara signifikan. Selain itu dengan tarif pajak tunggal (flat tax), perhitungan pajak akan lebih sederhana (simplicity).

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani yang dikutip oleh berbagai media menyatakan penolakannya dengan usulan Laffer untuk penerapan Flat Tax. Selain tidak selaras dengan kebutuhan dan kondisi di Indonesia, menurutnya Flat Tax kurang mencerminkan keadilan karena tidak memperhitungkan kemampuan membayar. Sistim tarif atau progresif untuk PPh Orang Pribadi dari 5% hingga 35% atas jenjang atau lapisan penghasilan kena pajak dinilai lebih adil.

Flat Tax Vs Progressive Tax

Secara singkat Flat Tax adalah tarif pajak tunggal yang dikenakan terhadap penghasilan tanpa memperhatikan jumlahnya. Misalnya dua orang masing-masing memperoleh penghasilan kena pajak setahun yaitu Ary sebesar Rp. 120 juta setahun dan Sony Rp.24 miliar. Apabila dikenakan misalnya dengan tarif tunggal 20% PPh untuk orang pribadi, maka Ary akan membayar PPh pajak sebesar Rp. 24 juta dan Sony membayar PPh Rp. 4.8 miliar. Saat ini tarif tunggal PPh diberlakukan di Indonesia hanya untuk Wajib Pajak Badan yaitu 22%, tidak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

Sementara itu Progressive Tax merupakan konsep tarif pajak yang memperhatikan besarnya penghasilan kena pajak. Tarifnya akan semakin tinggi seiring dengan jenjang lapisan penghasilan.

Contohnya, berdasarkan UU PPh yang berlaku saat ini di Indonesia, terdapat 5 (lima) lapisan tarif untuk PPh Orang Pribadi, yaitu mulai dari tarif terendah 5% untuk lapisan penghasilan kena pajak Rp. 0 sampai dengan Rp.60 juta, 15% untuk lapisan di atas Rp.60 juta sd Rp.250 juta, 25% untuk lapisan di atas Rp. 250 juta sd Rp. 500 juta, 30% untuk lapisan diatas Rp. 500 juta sd Rp. 5 miliar dan tarif tertinggi sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp. 5 miliar rupiah.

Dengan menerapkan tarif progresif tersebut, maka Ary akan membayar PPh sebesar Rp. 12 juta dan Sony membayar Rp. 8.094.000.000. Tarif pajak efektif yang dibayar oleh Ary adalah 10% (Rp.12 juta/ Rp.120 juta) sedangkan tarif pajak efektif yang dibayar oleh Sony adalah 33% (Rp.8.094.000.000/Rp.24 miliar).

Keadilan Dalam Pajak Penghasilan

Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave (1989) mengemukakan adanya 2 (dua) macam prinsip keadilan. Pertama, Benefit Principle yaitu setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Dalam praktiknya prinsip ini sulit diterapkan karena tidak mudah mengukur manfaat yang dinikmati seorang Wajib Pajak atas pelayanan publik. Prinsip ini lebih tepat untuk pemungutan retribusi (non pajak) yang manfaatnya dirasakan langsung oleh pembayarnya. Prinsip yang kedua adalah Ability to Pay Principle yang menekankan bahwa pembebanan pajak kepada para Wajib Pajak didasarkan pada kemampuan masing-masing dalam membayar pajak. Prinsip ini dikenal sebagai Teori Daya Pikul.

Selanjutnya Musgrave membedakan keadilan pemungutan pajak berdasarkan kemampuan membayar (ability to pay) menjadi dua, yaitu keadilan horizontal (horizontal equity) dan keadilan vertikal (vertical equity). Keadilan horizontal terpenuhi apabila orang-orang yang mempunyai penghasilan kena pajak yang sama dibebani pajak dalam jumlah yang sama, sedangkan keadilan vertikal mengandung makna bahwa besaran pajak yang akan dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sebanding dengan penghasilannya. Semakin besar penghasilan seseorang maka semakin besar pula pajak yang akan dibayar.

Mana Lebih Adil?

Merujuk kembali pada ilustrasi sebelumnya, dengan Flat Tax, Sony membayar PPh lebih besar dari Ary. Dengan asumsi tarif tunggal (flat tax rate) yang berlaku sama untuk Ary dan Sony, secara nominal jumlah PPh yang dibayar oleh Sony (Rp. 4.8 miliar) adalah 200 kali lipat lebih besar dari pajak yang dibayarkan oleh Ary (Rp. 24 juta). Beban pajak tersebut proporsional dengan penghasilan Sony (Rp. 24 miliar) yang jumlahnya juga 200 kali lebih besar dibandingkan dengan penghasilan Ary (Rp.120 juta).

Ditinjau dari prinsip keadilan dalam Pajak Penghasilan, penerapan Flat Tax memenuhi prinsip Vertical Equity karena orang yang memperoleh penghasilan lebih besar membayar pajak lebih besar. Namun demikian Vertical Equity dalam hal ini sifatnya proporsional karena tarifnya flat atau tunggal dan dampaknya terhadap kedua Wajib Pajak sangat berbeda.

Bagi Ary, membayar PPh sebesar Rp. 24 juta dari penghasilannya sejumlah Rp. 120 juta mungkin cukup terasa terbebani dan akan mengurangi kemampuannya untuk membiayai kebutuhan dasarnya, misalnya biaya sewa kontrakan atau cicilan rumah dan biaya sekolah anak.

Namun sebaliknya bagi Sony, membayar pajak sejumlah Rp. 4.8 miliar dari penghasilannya sebesar Rp. 24 miliar tidak berdampak pada kebutuhan dasarnya yang sudah jelas dapat terpenuhi, bahkan masih tersisa banyak.

Selanjutnya dengan Progressive Tax, mengambil contoh tarif progresif yang berlaku saat ini di Indonesia, Sony membayar PPh dengan tarif pajak efektif 33% yaitu 3.3 kali lipat lebih tinggi dari tarif pajak efektif 10% yang dibayarkan oleh Ary. Kondisi ini tampak lebih memenuhi prinsip Vertical Equity dan selaras dengan Ability to Pay Principle karena tarif PPh berjenjang naik sesuai dengan lapisan penghasilan kena pajak (brackets).

Progressive Tax menjadi pilihan bagi negara yang membutuhkan keadilan distributif dalam mengalokasikan beban pajak sebagaimana disampaikan oleh Sri Mulyani.

Sementara itu, meskipun dipandang kurang adil, Flat Tax (tarif tunggal) yang rendah akan menjadi insentif bagi orang atau perusahaan untuk lebih produktif berusaha dan ujungnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagaimana menurut Arthur Laffer. Jadi, ini sebuah pilihan, tergantung dari kondisi dan tujuan ekonomi, serta prioritas pemerintah suatu negara.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Email: ruston@citasco.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Jejak Tegas Mantan Direktur Pemeriksaan DJP yang Kini Menjembatani Fiskus dan Konsultan

IKPI, Jakarta: Dalam arsitektur perpajakan Indonesia, nama Dodik Samsu Hidayat tercatat sebagai salah satu tokoh yang telah mewarnai transformasi besar dalam proses pemeriksaan dan penagihan pajak. Selama menjabat sebagai Direktur Pemeriksaan dan Penagihan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), ia dikenal luas sebagai sosok yang konsisten memperjuangkan prinsip keadilan fiskal, integritas penegakan hukum, dan transformasi digital sistem pemeriksaan.

Kini, meskipun telah purna dari jabatannya di DJP, Dodik tetap berada di tengah denyut nadi perpajakan Indonesia. Ia baru saja diangkat sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), satu langkah simbolik sekaligus strategis yang menegaskan komitmennya untuk terus berkontribusi, khususnya dalam memperkuat sinergi antara otoritas pajak dan kalangan profesional perpajakan.

Perjalanan karier Dodik dimulai dari berbagai posisi teknis hingga strategis dalam struktur DJP. Ia pernah menjabat sebagai Kepala Subdirektorat Peraturan KUP & PPSP, kemudian sebagai Kepala Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara (Suluttenggomalut), sebelum akhirnya dipercaya menjadi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.

Selama menjabat di pusat, Dodik memimpin berbagai inisiatif reformasi, termasuk perancangan ulang indikator kinerja pemeriksa pajak, penguatan fungsi pengawasan berbasis risiko, dan pembenahan sistem penagihan piutang pajak negara. Di bawah kepemimpinannya, DJP mengintensifkan implementasi sistem Coretax serta mendorong pemanfaatan big data untuk profiling wajib pajak secara lebih cerdas dan akurat.

Menjadi Anggota Kehormatan IKPI

Setelah tidak lagi menjabat sebagai direktur, Dodik tidak lantas meninggalkan dunia perpajakan. Ia justru mengambil posisi strategis baru sebagai anggota kehormatan di Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi profesi yang selama ini menjadi mitra sekaligus pengkritik kebijakan fiskus.

Kehadiran Dodik di dalam IKPI membawa harapan akan terciptanya jembatan komunikasi yang lebih kuat antara otoritas dan konsultan. Sebagai mantan direktur yang pernah berada di “kursi regulator”, ia dinilai mampu menjadi suara penengah yang memahami tantangan dari dua sisi, pemerintah dan praktisi.

Fokus dan Gagasan untuk Masa Depan Pajak Indonesia

Di masa kini, Dodik terus menyuarakan pentingnya transformasi budaya fiskal, tidak hanya reformasi sistem. Ia percaya bahwa digitalisasi harus dibarengi dengan peningkatan literasi, transparansi proses, dan kesetaraan perlakuan bagi semua jenis wajib pajak.

Beberapa fokus pemikiran Dodik yang kini mulai digaungkan di kalangan profesional antara lain:

• Penguatan pemeriksaan berbasis risiko untuk menghindari pemeriksaan yang tidak efisien dan mengganggu iklim usaha.

• Penagihan berbasis pendekatan preventif, di mana edukasi lebih diutamakan sebelum sanksi diterapkan.

• Keadilan vertikal dan horizontal, yaitu memastikan wajib pajak besar dan kecil mendapat perlakuan proporsional sesuai kontribusinya.

• Kemitraan strategis antara otoritas dan profesi, untuk menjamin keberlangsungan sistem perpajakan yang adaptif dan inklusif.

Dari Regulasi ke Refleksi

Meski tak lagi menjabat dalam struktur birokrasi, Dodik Samsu Hidayat tetap menjadi salah satu sosok berpengaruh dalam lanskap perpajakan nasional. Pengalaman panjang, rekam jejak bersih, dan komitmennya terhadap integritas menjadikannya referensi bagi generasi baru aparatur pajak dan praktisi perpajakan.

Kini sebagai anggota kehormatan IKPI, Dodik tidak hanya memperluas kiprahnya, tapi juga memperdalam kontribusinya dari sekadar penegak kebijakan menjadi pemersatu visi antara fiskus dan konsultan. Ia adalah contoh bahwa reformasi perpajakan bukan hanya soal angka dan target, tetapi juga soal integritas, inklusivitas, dan kepercayaan. (bl)

Mantan Sesditjen Pajak yang Konsisten Dorong Legalitas Profesi Konsultan

IKPI, Jakarta: Nama Arfan bukanlah sosok asing dalam jagat perpajakan nasional. Mantan Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak (Sesditjen Pajak) Kementerian Keuangan RI periode 2015–2019 ini kini kembali mencatatkan kiprah penting. Ia baru saja dikukuhkan sebagai Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), sebuah pengakuan atas kontribusi dan kepeduliannya terhadap penguatan profesi konsultan pajak di Indonesia.

Pria kelahiran Jakarta, 26 Mei 1961 ini, dikenal luas sebagai birokrat senior yang reformis dan komunikatif. Dengan latar belakang pendidikan dari STAN dan gelar MBA dari Saint Mary’s University, Kanada, Arfan telah menduduki berbagai jabatan strategis di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari Kepala Kanwil hingga posisi puncak sebagai Sesditjen Pajak.

Dalam berbagai kesempatan, Arfan menegaskan pentingnya konsultan pajak sebagai salah satu pilar dalam sistem perpajakan nasional.

Menurutnya, konsultan pajak adalah elemen vital. Mereka tidak hanya membantu wajib pajak, tapi juga meringankan beban petugas pajak. Atas dasar itu, ia menegaskan sudah waktunya profesi ini memiliki landasan hukum yang kuat.

Dorong Undang-Undang Konsultan Pajak

Arfan mengingat kembali perjuangan bersama tokoh-tokoh senior IKPI, seperti Mochamad Soebakir dan Nono Hanafi, dalam mendorong lahirnya undang-undang khusus tentang konsultan pajak. Ia menyayangkan stagnasi legislasi di sektor ini, padahal peran konsultan kian dibutuhkan seiring kompleksitas sistem perpajakan modern.

Menurutnya, legalitas formal penting agar peran strategis konsultan bisa dijalankan secara aman dan profesional.

Dengan jumlah anggota IKPI yang kini menembus lebih dari 7.100, Arfan menilai momentum reformasi profesi konsultan harus dijaga dan ditingkatkan.

Ia bahkan menyarankan pembentukan Taxpayer Community, sebuah wadah kolaborasi wajib pajak, untuk melengkapi ekosistem perpajakan bersama DJP dan IKPI. Tiga pilar itu diyakini akan saling menguatkan, maka sistem perpajakan RI akan lebih sehat dan berkeadilan.

Visi Budaya & Aksi Kolektif

Tidak hanya berbicara soal regulasi, Arfan juga menekankan pentingnya pendekatan budaya dalam meningkatkan kesadaran pajak di masyarakat multietnis seperti Indonesia.

Kesadaran pajak akan sulit dibangun kalau hanya lewat aturan. Perlu pendekatan sosial budaya, melibatkan tokoh masyarakat dalam struktur kehormatan organisasi, agar lebih berwarna dan inklusif.

Dengan demikian, IKPI harus terus menjadi suara kolektif dalam isu-isu perpajakan nasional dan menyusun rencana aksi yang konkret. Untuk mewujudkan cita-cita itu, Arfan menyatakan siap membantu. IKPI juga harus lebih dikenal, lebih solid, dan lebih berpengaruh.

Karier & Integritas

Karier panjang Arfan di Kementerian Keuangan mencerminkan dedikasi dan integritas tinggi. Dari Kepala Kanwil DJP Sulawesi hingga Sesditjen Pajak. Ia konsisten mendorong pembaruan sistem perpajakan berbasis integritas dan kolaborasi.

Tak hanya dalam pekerjaan, Arfan juga dikenal memiliki gaya hidup sehat. Ia hobi bersepeda, jalan kaki, hingga catur. Aktivitas yang juga ia tularkan dalam budaya kerja DJP saat itu.

Dengan status baru sebagai Anggota Kehormatan IKPI, Arfan tak sekadar menjadi simbol kehormatan, tapi juga motor penggerak perubahan.

Sosoknya membuktikan bahwa reformasi perpajakan tidak hanya bisa lahir dari dalam institusi negara, tapi juga dari kemitraan yang sehat dengan para profesional pajak di luar pemerintahan. (bl)

 

 

Menyoal Legitimasi PMK dalam Kasus PKP Gagal Produksi

Pengaturan mengenai kewajiban Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk membayar kembali Pajak Masukan (PM) dalam hal gagal berproduksi telah menimbulkan perdebatan sejak pertama kali diatur dalam Undang-Undang PPN. Meskipun ketentuan pokoknya tercantum dalam Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Namun, implementasinya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) justru memunculkan persoalan hukum.

Salah satu isu utama adalah apakah ketentuan dalam PMK tersebut telah sesuai dengan prinsip hierarki peraturan perundang-undangan, khususnya dalam hal batasan waktu pengkreditan dan pengembalian PM yang tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang.

Artikel ini mengulas ketidaksesuaian tersebut serta menelusuri bagaimana perubahan melalui UU Cipta Kerja berupaya memperbaiki kekosongan dan potensi penyimpangan norma hukum di masa sebelumnya.

Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai”.

Pasal 9 ayat (6b) UU Nomor 42 Tahun 2009

“Ketentuan mengenai penentuan waktu, penghitungan, dan tata cara pembayaran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”

Peraturan pelaksana tidak sesuai dengan hirarki peraturan perundang-undangan.

Tanggal 1 April 2010 diberlakukan peraturan pelaksana Pasal 9 ayat (6b) UU No.42/2009 yaitu PMK No. 81/PMK.03/2010 tentang Saat Penghitugan Dan Tata Cara Pembayaran Kembali Pajak Masukan Yang Telah Dikreditkan Dan Telah Diberikan Pengembalian Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengalami Keadaan Gagal Berproduksi ,  kemudian dicabut dan digantikan PMK No.31/PMK.03/2014 mulai berlaku 10 Febuari 2014.

Bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 81/PMK.03/2010 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 2

  • Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi wajib membayar kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
    1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak,

yang berasal dari hasil produksinya sendiri

  1. Suatu keadaan dari Pengusaha Kena Pajak dengan kegiatan usaha utama Pengusaha Kena Pajak selain produsen sebagaimana dimaksud pada huruf a, apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:

1) penyerahan Barang Kena Pajak;

2) penyerahan Jasa Kena Pajak;

3) ekspor Barang Kena Pajak; dan/atau

4) ekspor Jasa Kena Pajak.

  • Besarnya Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat gagal berproduksi.
  • Saat gagal berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dalam jangka waktu:
    1. 3 (tiga) tahun untuk suatu keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
    2. 1 (satu) tahun untuk keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dengan mencantumkan keterangan “Pembayaran kembali Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian”.
  • Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaporkan pada Masa Pajak dilakukan pembayaran.

Sedangkan bunyi pasal-pasal dalam PMK No. 31/PMK.03/2014 terkait pokok (substansi) penetapan PKP gagal berproduksi sebagai berikut :

Pasal 4

Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu tertentu sejak masa pajak pengkreditan Pajak Masukan dimulai.

Pasal 5

Keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 adalah:

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak.

yang berasal dari hasil produksinya sendiri.

  1. Suatu keadaan bagi Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usaha utamanya selain sebagai produsen yang menghasilkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak pertama kali mengkreditkan Pajak Masukan tidak melakukan kegiatan:
  2. penyerahan Barang Kena Pajak;
  3. penyerahan Jasa Kena Pajak;
  4. ekspor Barang Kena Pajak; atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak,

Pasal 6

  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalami keadaan gagal berproduksi sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Pasal 7

  • Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor Barang Modal setelah batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, dapat dikreditkan.
  • Pajak Masukan yang dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian.
  • Apabila batas waktu keadaan gagal berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terlewati, atas Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan belum dimintakan pengembalian, dapat dikompensasikan atau dimintakan pengembalian pada masa pajak berikutnya.
  • Kompensasi atau permohonan pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya dapat dilakukan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun setelah masa pajak keadaan gagal produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a telah terlewati.
  • Kelebihan Pajak Masukan yang telah diberikan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), wajib dibayar kembali apabila sampai dengan batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri.
  • Kelebihan Pajak Masukan tidak dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya atau dimintakan pengembalian dalam hal:
    1. setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) masih terdapat kelebihan Pajak Masukan; dan
    2. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari hasil produksinya sendiri sampai batas waktu 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sebesar Pajak Masukan yang telah dikreditkan dan telah diberikan pengembalian.
  • Pajak Masukan yang wajib dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah keadaan gagal berproduksi.

Tampak jelas perbedaan sangat mencolok antara PMK 81 dengan PMK 31, dimana  salah satu dari peraturan pelaksana tersebut isi materi muatanya tidak diperintahkan Pasal 9 ayat (6a) UU PPN,  dirangkum dalam tabel dibawah ini :

Materi Pasal 7 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) PMK No.31/PMK.03/2014, diduga terdapat ketidaksesuaian  hierarki dimana materi muatan pasal tersebut tidak selaras dengan delegasi dari Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009, sehingga sesuai Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011 jo UU No.15 Tahun 2019 jo UU No.13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), pasal tersebut dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak sesuai hierarki, tidak diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

Perubahan pengaturan PKP gagal berproduksi di UU No.11 Tahun 2020 tentang Ciptaker  jo Perpu No.2 Tahun 2022 jo UU No.6 Tahun 2023

Kemudian Pasal 9 ayat (6a) UU No 42 Tahun 2009 diubah dan ditambakan beberapa ayat yaitu ayat(6a),(6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berbunyi sebagai berikut :

Pasal 9

(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2al Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

(6b) Dihapus.

(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.

(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.

(6e)  Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):

  1. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal PengusahaKena Pajak:
  2. telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
  3. telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau
  4. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.

(6f) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:

  1. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
  2. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
  3. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau

pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).

Selanjutnya di ikuti pencabutan peraturan pelaksana terdahulu PMK No.31/2014 melalui PMK No.18/PMK.03/2021 yang merupakan pelaksanaan Pasal-Pasal 111, 112, 113 UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang PPh, PPN dan PPnBM serta KUP . Pasal-pasal pengaturan PKP gagal berproduksi tersebut terdapat pada Bab III, bagian Kesatu, Pasal 54 sampai dengan Pasal 61 PMK No.18/PMK.03/2021.

Terdapat perubahan yang sangat signifikan terkhusus isi/materi pengaturan PKP gagal berproduksi antara Pasal 9 ayat (6a) UU Nomor 42 Tahun 2009 terdahulu dengan Pasal 9 ayat (6a) di Pasal 112 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Pasal demi pasal dalam UU No.11 Tahun 2020  secara terperinci menyebutkan jangka waktu pengkreditan PM bagi PKP yg mengalami keadaan gagal berproduksi, berbeda dgn pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 sebelumnya

Dapat ditemukan adanya kesesuaian hierarki/materi muatan pasal terkait di PMK No.18 Tahun 2021 dengan Pasal 9 ayat (6a), (6c), (6d), (6e), (6f) di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020

Dapat ditarik kesimpulan :

  1. Pengaturan materi PKP gagal berproduksi di Pasal 9 ayat (6a) UU No.42 Tahun 2009 memang cukup minim, di sisi lain peraturan pelaksananya di Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 telah menambahkan pembatasan jangka waktu pengkreditan PM dimana materi ini tidak diperintahkan Peraturan perundang-undagan yang lebih tinggi.
  2. Sedangkan pada perubahannya Pasal 9 ayat (6a) yang terdapat di Pasal 112 UU No.11 Tahun 2020, terdapat penambahan beberapa ayat yang sebelumnya cukup minim diatur selevel Undang-Undang sehingga perubahan ini telah lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum.

Penulis pernah mengajukan uji materi atas Pasal 7 ayat (4), (5), (6) PMK No.31/PMK.03/2014 dengan nomor register 11 P/HUM/2021 namun di saat proses pengujian menjelang dimulai,   PMK No.31 sudah keburu dicabut dan digantikan PMK No.18/PMK.03/2021 sebagai pelaksanaan dari UU No.11 Tahun 2020 , otomatis pemohon kehilangan obyek hukum yang akan di uji, selanjutnya  permohonan tidak diterima.

Apabila PKP mengalami gagal berproduksi untuk tahun pajak sebelum tahun 2020 (sebelum diberlakukannya UU No.11 Tahun 2020 Ciptakerja tangal 2 November 2020) maka dasar penepatan PPN terutang menggunakan  PMK No.31/PMK.03//2014 adalah cacat hukum.

Penulis adalah Anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Ken Dwijugiasteadi: Dari Birokrat Pajak hingga Anggota Kehormatan IKPI

IKPI, Jakarta: Nama Ken Dwijugiasteadi tentu tidak asing di kalangan profesional perpajakan Indonesia. Pria kelahiran 8 November 1957 ini merupakan sosok penting di balik sejumlah transformasi besar Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama saat menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak ke-16 pada periode 2015 hingga 30 November 2017.

Kini, Ken masih aktif berkiprah di dunia perpajakan, meski tak lagi menjabat di pemerintahan. Ia dipercaya sebagai anggota kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia.

Kehadiran Ken sebagai anggota kehormatan sekaligus menjadi simbol sinergi antara otoritas pajak dan komunitas profesional perpajakan.

Dari Pegawai Rendahan Hingga Pucuk Pimpinan

Karier Ken dimulai lebih dari empat dekade silam, tepatnya pada tahun 1983, saat ia bergabung sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan setelah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Brawijaya. Perjalanannya pun tak sebentar. Dari posisi staf di Sekretariat DJP, ia secara bertahap meniti tangga birokrasi, mulai dari Kepala Sub Bagian Kepegawaian (1989), Kepala Seksi Wajib Pajak Perseorangan (1992), hingga menjabat berbagai kepala kantor di lingkungan DJP.

Tahun 2003 menandai babak baru saat ia diangkat menjadi Direktur Informasi Perpajakan, yang kemudian diikuti dengan penugasan strategis sebagai Kepala Kantor Wilayah DJP Kalimantan Timur (2006–2008) dan wilayah Jawa Timur (2008–2015).

Tak hanya mengandalkan pengalaman lapangan, Ken juga memperkuat kapasitas akademiknya dengan meraih gelar Master of Science in Tax Auditing dari Opleidings Institute Financien, Den Haag, Belanda pada 1991.

Dirjen Pajak dan Pengampunan Pajak

Meski sempat tersisih dalam seleksi terbuka Direktur Jenderal Pajak pada 2015, takdir membawa Ken ke posisi itu juga. Ia ditunjuk menjadi Pelaksana Tugas Dirjen Pajak pada Desember 2015, menggantikan Sigit Priadi Pramudito yang mengundurkan diri. Hanya tiga bulan berselang, Ken dilantik secara resmi sebagai Dirjen Pajak pada 1 Maret 2016.

Salah satu warisan kebijakan paling bersejarah dari era kepemimpinan Ken adalah disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

Program ini membuka jalan bagi Wajib Pajak untuk mendeklarasikan dan merepatriasi harta yang belum dilaporkan dengan tarif tebusan ringan. Kebijakan ini tidak hanya berdampak pada penerimaan negara, tetapi juga meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang.

Melanjutkan Pengabdian

Selepas pensiun dari DJP, Ken tetap aktif memberikan kontribusi bagi dunia perpajakan nasional. Bergabung sebagai anggota kehormatan di IKPI menjadi wujud komitmennya untuk terus terlibat dalam pembangunan sistem perpajakan yang adil dan berintegritas. Kehadirannya di tengah komunitas konsultan pajak memberikan inspirasi sekaligus menjadi jembatan antara praktik birokrasi dan dunia profesional.

Ken Dwijugiasteadi adalah contoh nyata bahwa dedikasi dan integritas dalam pelayanan publik dapat meninggalkan jejak yang panjang, bahkan setelah masa jabatan berakhir. (bl)

Merekam Pertemuan Pajak: Hak Wajib Pajak atau Larangan Petugas?

Bolehkan Wajib Pajak merekam pertemuan dengan petugas pajak?, pertanyaan ini terus mengemuka, terutama ketika Wajib Pajak dihadapkan pada proses klarifikasi, tanggapan atas SP2DK, hingga pemeriksaan pajak. Beberapa petugas pajak secara spontan melarang perekaman, dengan dalih tidak ada aturan eksplisit yang membolehkan. Namun, benarkah tidak boleh?

Fakta hukum yang jarang disorot adalah: tidak ada satu pun ketentuan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara eksplisit melarang Wajib Pajak merekam audio atau video saat berinteraksi dengan petugas pajak. Justru, terdapat regulasi internal DJP yang mewajibkan petugas untuk melakukan perekaman dalam situasi-situasi tertentu sebuah sinyal bahwa perekaman dianggap penting dalam menjamin objektivitas dan akuntabilitas.

Regulasi internal DJP, seperti Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-12/PJ/2016, menyatakan secara eksplisit bahwa pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan:

• Petugas harus melakukan perekaman audio dan/atau visual,
• Petugas harus memberitahukan Wajib Pajak tentang adanya perekaman, dan
• Rekaman menjadi bagian tak terpisahkan dari berita acara pembahasan.

Selain itu, PER-07/PJ/2017 menegaskan bahwa pertemuan antara pemeriksa dan Wajib Pajak harus dilakukan di ruangan yang dilengkapi alat perekam suara dan gambar. Ini menegaskan bahwa dari sisi internal, DJP mengakui pentingnya dokumentasi untuk memastikan transparansi.

Meski peraturan internal jelas, masih banyak petugas yang melarang Wajib Pajak merekam pertemuan. Beberapa alasan yang sering dikemukakan antara lain:

• Kerahasiaan data – Pertemuan sering membahas informasi sensitif yang harus dilindungi, terutama pasca berlakunya UU Perlindungan Data Pribadi.
• Risiko penyalahgunaan – Rekaman dapat dipotong atau disebarkan di luar konteks, membuka potensi pemerasan atau pencemaran nama baik.
• Etika dan suasana diskusi – Perekaman dapat mengganggu kenyamanan dan membuat pihak yang direkam menjadi kaku atau tidak terbuka.
• Prosedur internal KPP – Beberapa KPP mengacu pada surat dinas seperti Nota Dinas Nomor ND-1/PJ/PJ.09/2024, meskipun ini bukan peraturan hukum yang mengikat publik.

Apakah Wajib Pajak Berhak Merekam?

Secara prinsip: Ya. Wajib Pajak boleh merekam, asalkan tidak mengganggu jalannya diskusi, tidak melanggar hukum, dan dilakukan dengan itikad baik. Tidak adanya larangan eksplisit dalam UU KUP adalah ruang hak yang patut dimanfaatkan.
Bahkan, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan lain, posisi hukum Wajib Pajak cukup kuat:

• UU KUP menegaskan hak Wajib Pajak untuk mendapatkan penjelasan dan mengajukan keberatan. Rekaman dapat menjadi alat bantu untuk mengingat, mendokumentasi, bahkan membela diri.
• UU KIP mengandung semangat keterbukaan, yang relevan dalam hubungan antara warga negara dan institusi publik.
• UU ITE (terbaru) menyatakan bahwa dokumen elektronik dan rekaman adalah alat bukti sah, selama diperoleh secara legal.
• Prinsip audi alteram partem dalam hukum acara mengharuskan adanya ruang pembuktian dan pendokumentasian dari semua pihak.

Jika dilakukan dengan izin dan cara yang tepat, rekaman pertemuan memiliki sejumlah manfaat penting:

  1. Akuntabilitas dua arah – Tidak hanya petugas yang terawasi, tapi juga Wajib Pajak.
  2. Membantu ingatan – Diskusi pajak sering teknis dan padat; rekaman membantu dokumentasi.
  3. Bukti jika sengketa – Berguna saat keberatan atau banding.
  4. Cegah salah paham – Semua diklarifikasi dari rekaman, bukan sekadar ingatan.

Dorong transparansi institusional – Membangun kepercayaan antara Wajib Pajak dan DJP.

Rekomendasi untuk Wajib Pajak

Meski hak merekam itu sah secara prinsip, etika komunikasi tetap penting. Berikut tips agar hak ini dapat digunakan secara bijak:

• Minta izin terlebih dahulu. Sampaikan maksud dengan sopan dan jelas.
• Jika ditolak, tanyakan alasannya dan pastikan apakah ada dasar hukumnya.
• Pertimbangkan untuk membawa konsultan pajak atau kuasa hukum sebagai pendamping dan pencatat resmi.
• Jangan menyebarkan rekaman tanpa izin, karena bisa melanggar hukum pidana atau perdata.
• Gunakan rekaman hanya untuk tujuan pembuktian atau pelindungan hak, bukan publikasi sensasional.

Perekaman dalam pertemuan pajak bukanlah praktik yang tabu atau ilegal. Justru, dalam banyak hal, ia dapat berperan sebagai alat penting dalam menjamin keadilan, transparansi, dan profesionalisme hubungan antara Wajib Pajak dan fiskus. Tidak ada yang perlu disembunyikan jika proses dijalankan dengan benar dan sesuai hukum.

Sudah saatnya kita melihat perekaman bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai jembatan menuju kepastian hukum dan perlindungan hak Wajib Pajak.

Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan
Email:tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Gelar ‘Konsultan Pajak’: Antara Legalitas dan Pengakuan Profesi

Gelar Konsultan Pajak untuk Siapa?

Pertanyaan ini mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara daring pada Selasa, 20 Juni 2025. Bertajuk “Gelar Konsultan Pajak Apakah Perlu?”, diskusi ini menghadirkan tiga pemantik utama: Dr. Nur Hidayat, Dr. Feber Sormin, dan Asih Ariyanto, seluruhnya adalah sosok yang dikenal dalam dunia perpajakan Indonesia.

Isu gelar profesi “Konsultan Pajak” bukan sekadar soal status atau simbol pengakuan. Di lapangan, ini menyangkut kredibilitas profesi, perlindungan terhadap Wajib Pajak, serta masa depan etika praktik perpajakan di Indonesia.

Mengapa Gelar Itu Perlu?

Ketiga narasumber sepakat: gelar “Konsultan Pajak” atau yang selama ini mulai dipakai secara informal sebagai BKP (Bersertifikat Konsultan Pajak) sudah waktunya dilembagakan dan diresmikan. Tujuannya jelas: memudahkan Wajib Pajak dalam mengenali konsultan pajak yang sah dan berizin, sekaligus sebagai bentuk penghargaan atas mereka yang telah menempuh proses panjang ujian sertifikasi.

Masalahnya, banyak Wajib Pajak yang masih sulit membedakan antara konsultan pajak resmi dan “konsultan” abal-abal. Tak jarang, kita melihat berita tentang Wajib Pajak yang tertipu oleh pihak yang mengaku sebagai konsultan pajak. Ujung-ujungnya, profesi konsultan pajak resmi yang tercoreng, bukan pelakunya.

Padahal, dalam praktiknya, peraturan pajak Indonesia sangat kompleks. Peran konsultan pajak tak bisa disepelekan ia bukan hanya sekadar penyedia jasa, tapi juga penasihat strategis bagi Wajib Pajak. Maka wajar jika ada dorongan agar profesi ini diberikan pengakuan yang setara dengan profesi lain seperti akuntan publik, penilai publik, atau ahli kepabeanan, yang telah memiliki gelar profesi resmi.

Gelar BKP

Namun, istilah Bersertifikat Konsultan Pajak (BKP) juga tidak bebas dari perdebatan. Ada yang menggunakannya di belakang nama sebagai bentuk kebanggaan dan identitas, namun tak sedikit pula yang menolak dengan alasan belum ada dasar hukum yang sah. Apalagi, sertifikat kelulusan USKP (Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak) belum selalu diikuti dengan kepemilikan izin praktik. Maka ada usulan, istilah BKP seyogyanya dimaknai sebagai Berizin Konsultan Pajak, bukan sekadar bersertifikat.

Pentingnya “cantolan hukum” untuk gelar ini juga disorot. Dr. Nur Hidayat dan Dr. Feber Sormin mengutip Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No. 6 Tahun 2022 tentang ijazah dan gelar profesi. Bahkan, mereka membandingkan dengan profesi akuntan publik yang pemberian gelarnya diatur oleh organisasi profesi, meski ada Undang-Undang yang melandasinya. Maka tak mustahil jika organisasi seperti IKPI mengambil langkah serupa.

Asih Ariyanto menambahkan, profesi konsultan pajak juga mirip dengan penilai publik yang pengakuan gelarnya dilakukan oleh asosiasi melalui sertifikasi dan pengawasan internal.

IKPI Bisa Jadi Pelopor

Namun di tengah absennya Undang-Undang Konsultan Pajak, pertanyaan krusial pun muncul: siapa yang berhak memberikan gelar itu? Suwardi Hasan dari Departemen FGD IKPI menggarisbawahi pentingnya dasar hukum agar gelar BKP tidak dianggap ilegal atau tidak sah. Sebab saat ini, pengaturan profesi konsultan pajak masih sebatas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 111/PMK.03/2014 jo. PMK No. 175/PMK.01/2022 dan keduanya tidak mengatur soal gelar profesi.

Penulis menilai bahwa diskursus soal gelar ini sudah berlangsung lama tanpa ujung. Idealnya memang harus ada cantolan hukum yang kuat entah dari UU, PMK, atau bahkan melalui peran P2PK sebagai penyelenggara USKP. Namun jika semua jalan itu belum terbuka, mengapa IKPI sebagai organisasi profesi terbesar dan tertua di bidang perpajakan tidak membuat peraturan internal sendiri?

Pertanyaannya: apakah peraturan itu bisa melanggar hukum? Jika ya, tentu tak bisa dilakukan. Tapi jika tidak, kenapa tidak mulai digodok?

Gelar “Konsultan Pajak” bukan semata-mata untuk pemiliknya. Ia adalah alat bantu masyarakat, terutama Wajib Pajak, untuk bisa memilah antara jasa resmi dan ilegal. Di tengah maraknya penyalahgunaan label konsultan pajak, gelar resmi adalah bentuk perlindungan. Perlindungan bagi masyarakat, dan kehormatan bagi profesi.

Penulis berpendapat, gelar Konsultan Pajak bukan sekadar simbol. Ia bisa menjadi benteng terakhir antara kredibilitas dan kekacauan. Maka, jika bukan sekarang, kapan lagi?

Penulis adalah Ketua Departemen PPKF IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

RPMK Kuasa Hukum Kembali ke Fitrah 

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang akan menggantikan PMK Nomor 184/PMK.01/2017 tentang Kuasa Hukum dalam proses keberatan, banding, gugatan, dan peninjauan kembali di bidang perpajakan. Langkah ini merupakan turunan dari Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Pajak. Namun, lebih dari sekadar regulasi administratif, RPMK ini menandai upaya penting mengembalikan peran Kuasa Hukum pada fitrahnya sebagai pihak profesional dan kredibel dalam mengawal keadilan pajak.

Salah satu terobosan paling signifikan dari RPMK ini adalah penekanan pada aspek legalitas dan keadilan. Jika sebelumnya ruang menjadi kuasa hukum terbuka lebar tanpa pengujian mendalam terhadap kompetensi di bidang pajak, maka kini diusulkan adanya kriteria yang lebih ketat dan berbasis bukti keahlian. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi para wajib pajak yang sedang mencari keadilan, karena perwakilan mereka akan ditangani oleh pihak yang memang memiliki kapasitas.

PMK 184/2017 dinilai terlalu longgar dalam menentukan siapa yang berhak menjadi kuasa hukum pajak. Asal memiliki surat kuasa dan memenuhi persyaratan administratif dasar, seseorang bisa mendampingi wajib pajak di pengadilan pajak, meskipun belum tentu memiliki kompetensi substantif di bidang perpajakan. Akibatnya, seperti jamur di musim hujan, muncul banyak kuasa hukum dadakan yang belum tentu profesional. RPMK ini menjadi filter penting untuk menjaga kualitas para pendamping wajib pajak.

Salah satu poin penting dalam RPMK adalah pengakuan terhadap Surat Keterangan Kompetensi (SKK) di bidang perpajakan dan sertifikat kepabeanan. SKK hanya dapat diterbitkan bagi mereka yang sudah mengantongi izin praktik konsultan pajak, sehingga secara otomatis memastikan bahwa para kuasa hukum memiliki fondasi keilmuan dan pengalaman yang memadai. Ini akan menciptakan standar profesionalisme baru yang lebih terukur dan kredibel.

Lex Specialis, Maka Harus Spesialis

Hukum pajak dikenal sebagai lex specialis, yaitu cabang hukum khusus yang memerlukan pemahaman mendalam dan berbeda dari hukum perdata atau administrasi umum. Dengan demikian, hanya mereka yang memang menekuni perpajakan secara spesifik yang layak menjadi kuasa hukum. RPMK ini mengembalikan semangat tersebut, di mana kualitas lebih diutamakan daripada sekadar kelengkapan formal.

Di era digital, administrasi yang rapi dan terstruktur bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga soal akuntabilitas. RPMK mewajibkan kuasa hukum memiliki catatan administrasi yang tertib, termasuk kewajiban pajaknya sendiri. Ini sekaligus menjadi contoh integritas pribadi yang akan tercermin dalam praktik profesionalnya. Bagaimana mungkin seseorang memperjuangkan hak wajib pajak lain jika kewajiban pajaknya sendiri tidak dipenuhi?

RPMK juga mengatur bahwa tingkatan izin kuasa hukum disesuaikan dengan tingkatan izin konsultan pajak. Hal ini menciptakan sinkronisasi yang penting antara otoritas hukum dan otoritas profesional, sekaligus membuka jalan untuk sistem klasifikasi dan spesialisasi yang lebih sehat dalam ekosistem perpajakan.

Membangun Ekosistem Perpajakan yang Sehat

Dengan lahirnya RPMK ini, diharapkan tercipta ekosistem perpajakan yang lebih sehat, adil, dan profesional. Para pencari keadilan akan merasa lebih aman karena didampingi oleh kuasa hukum yang benar-benar kompeten.

Sementara para kuasa hukum pun akan termotivasi untuk terus meningkatkan kapasitasnya sesuai jenjang dan spesialisasinya. RPMK ini bukan sekadar aturan baru, tetapi momentum untuk menata ulang fondasi profesi kuasa hukum pajak agar kembali ke fitrahnya: menegakkan keadilan dengan integritas dan kompetensi.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum IKPI dan Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak

Andreas Budiman

Email:andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Ayo, Move On PTKP !

Ketika mengisi SPT Pribadi tahun 2024, saya ingat mengisi dengan angka yg familiar lalu kemudian terlintas dipikiran, sudah berapa lama ya angka ini bertahan. Hal ini membuat saya tertarik untuk menelusuri historis dari PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan menemukan beberapa hal yg perlu diperhatikan atau dikaji lebih lanjut.

Mengingat rentang waktu yg panjang, saya membahasnya mulai dari awal dimulainya tahun berlakunya Undang Undang Perpajakan dalam hal ini Undang Undang No 7 Pajak Penghasilan tahun 1983 yg merupakan titik awal (new era) perpajakan yg diterapkan di Indonesia. Ternyata Undang2 Pajak Penghasilan ini beberapa kali dirubah baik partial maupun menyeluruh mengenai pasal2, penjelasan dan aturan pelaksanaannya. Sistimatika uraian hanya fokus pada UU dan Peraturan Menkeu berkenaan dgn PTKP

Undang Undang No 7 tahun 1983 berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.

Psl 7 menyatakan sbb:

(1) Kepada orang pribadi atau perseorangan sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan

pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak yang besarnya :

a. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak;

b. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

c. Rp 960.000,- (sembilan ratus enam puluh ribu rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang

mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan

usaha suami atau anggota keluarga lain;

d. Rp 480.000,- (empat ratus delapan puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap orang keluarga

sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat, yang menjadi tanggungan

sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ayat (1) ditentukan oleh keadaan pada permulaan tahun pajak atau pada permulaan

menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

(3) Besarnya penghasilan tidak kena pajak tersebut dalam ayat (1) akan disesuaikan dengan suatu

faktor penyesuaian yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

Ayat 1 saya olah atau work out untuk beberapa kondisi seperti yg ditentukan pada ayat 2 sehingga diperoleh Status TK-0 PTKP setahun 960ribu.

Status K-0 PTKP setahun 1.440 ribu

Status K/I/0 PTKP setahun 2.400 ribu

Status K/I/3 PTKP setahun 3.840 ribu

yg artinya TK-0 = WP dg status single atau tidak kawin mendapat PTKP 960rb, K-0 = WP berstatus kawin 1.440 rb,, K/I/0 WP yg penghasilan isteri digabungkan dan blm punya tanggungan 2.400 rb dan K/I/3 jika WP sdh menikah dgn tanggungan maksimal 3 adalah 3.840 rb.

Kondisi TK-0 dst nya ditetapkan pada awal tahun, jadi utk WP yg menikah pada Maret 1984 maka statusnya pada tahun pajak 1984 diperhitungkan sebagai TK-0 yaitu status dalam tahun 1983. Ayat 2 ini bagi beberapa WP sepertinya tidak adil karena tanggungan sdh bertambah setelah menikah tapi statusnya masih TK-0, tapi sebaliknya juga begitu, jika WP semula punya 3 tanggungan (K-3) dan satu nya meninggal pada tahun 1984 maka statusnya pada tahun 1984 tetap K-3 yaitu mengikuti status 1983 dan baru berubah pada awal 1985.

Ayat 3 menyatakan PTKP ini AKAN disesuaikan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Ayat ini menurut saya pada awal UU Pajak Penghasilan 1983 tidak ada Keputusan Menteri Keuangan jadi langsung penerapannya mengacu kepada UU nya.

Undang Undang No 7 tahun 1991 berlaku 1 Januari 1992. Rev 1

UU ini membuat beberapa perubahan dalam pasal2 yg tidak berkaitan dgn pembahasan PTKP , tidak menyebutkan apapun berkenaan dgn Keputusan Menteri Keuangan . Jadi selama tahun 1984 sampai dengan 1993 (10 tahun), PTKP yg berlaku adalah yg disebutkan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu 960rb dstnya sampai terbitnya UU No 10 tahun 1994..

Undang Undang No 10 tahun 1994 berlaku 1 Januari 1995. Rev 2

KUTIPAN Butir 40.

Ketentuan Pasal 35 disempurnakan, sehingga berbunyi sebagai berikut :

“Pasal 35 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.”

Pasal II Undang-undang ini dapat disebut “Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.”

Pasal III Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995.

Saya kutip dulu butir penting mengenai UU No 10 Tahun 1994 ini yaitu Pasal III menyatakan UU ini berlaku 1 Januari 1995 sedangkan Pasal II menyatakan UU ini dapat disebut sebagai Undang2 Perubahan Kedua UU Pajak Penghasilan 1984.

Jadi UU No 10 ini diakui sebagai kelanjutan dari UU No 7 tahun 1991 maka berlaku untuk PTKP, – yg meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit-,, adalah Psl 7 UU No 7 tahun 1991 (berlaku 1 Jan 1992) yang tidak menyebutkan adanya perubahan pada PTKP . Kalau begitu harusnya yg diakui adalah PTKP yg dinyatakan dalam UU No 7 tahun 1983 yaitu TK-0 980 rb dstnya.

KMK 928/KMK04/1993 berlaku tahun 1994

Tetapi harap diingat bahwa pada tanggal 8 Des 1993 terbit KMK 928/KMK04/1993 yg menetapkan berlakunya PTKP baru, berlaku untuk tahun 1994 dg angka2 yg setelah di work out sbb:

TK-0 1.728ribu,

K-0 2.592ribu

K/I/0 4.320ribu

K/I/3 6.912ribu

Yang menarik adalah dlm KMK ini dinyatakan bahwa Psl 1 Faktor Penyesuaian adalah 1,8 X , Psl 4 masa berlakunya tahun 1994 tapi tidak menyebutkan PTKP sebelumnya dihapus atau tidak berlaku, ( ada dipertimbangan bahwa PTKP yg lama sdh tidak sesuai lagi).

Jika dihitung dari Psl 1 KMK 928/1993 ini adalah TK-0 .1728rb ( 1,8 X TK-0 960rb) , K-0 2592 rb (1,8 X 1.440rb) ,dst terlihat adanya faktor penyesuaian 1,8X , makin meyakinkan saya bahwa tidak ada Peraturan Menteri Keuangan berkenaan dengan Psl 7 UU No 7 tahun 1983

Undang Undang No 17 tahun 2000 berlaku 1Jan 2001 Rev 3

Dalam Undang2 No 17 tahun 2000 ini dinyatakan PTKP sbb :

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

yg bisa dibaca pada Psl 7 ayat 1 (ringkasan setelah di workout) dan ayat 3 nya tertera bahwa PTKP ini ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan . Selama UU No 17 tahun 2000 ini telah diterbitkan 3 (tiga) KMK berikut :

KMK 361/KMK04/1998 tgl 27 Jul 1998 berlaku mulai 1999.

Angka2 yg tertera pada UU No 17 tahun 2000 bersumber dari KMK 361/KMK04/1998 tertanggal 27 Juli 1998 dan berlaku mulai tahun Pajak 1999, padahal UU No 17 tahun 2000 ini berlaku mulai 1 Jan 2001 (Pasal III ).

TK-0 2.880ribu,

K-0 4.320ribu

K/I/0 11.520ribu

K/I/3 15.840ribu

Dengan demikian bisa dikatakan dari tahun 1994 hingga 1998 PTKP yg digunakan merujuk ke Psl 4 KMK 928/KMK04/1993 yg berlaku mulai 1994.hingga 1998 (4 tahun) dan baru diganti dengan KMK 361/1998 , yg seperti disebutkan di atas, berlaku mulai tahun pajak 1999. Patut dicatat KMK yg baru tidak menyebutkan pembatalan KMK sebelumnya meskipun. TK-0 2.880rb,, K-0 4320rb berasal dari Faktor Penyesuaian 1 2/3 X(satu dua per tiga kali) dari KMK 928/1993. Sebagai tes , 2.880 ribu berasal dari 1.728 X 1 2/3 , 4320rb berasal dari 2.592 X 1 2/3 dst

KMK 564 /KMK03/2004 tertanggal 29 Nov 2004 berlaku mulai tahun pajak 2005

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 12.000ribu,

K-0 13.200ribu

K/I/0 25.200ribu

K/I/3 28.800ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun 2005.

Jadi ,bisa dikatakan bahwa KMK 361/1998 sebelumnya berlaku mulai tahun 1999 sampai 2004 (6 tahun) dan diganti dg KMK 564/2004 .

PMK 137/PMK05/2005 tertanggal 30 Des 2005 berlaku mulai tahun pajak 2006

Pasal 1 ayat 1 menetapkan PTKP sbb:

TK-0 13.200ribu,

K-0 14.400ribu

K/I/0 27.600ribu

K/I/3 31.200ribu

dan ayat 2 menetapkan berlaku mulai tahun pajak 2006 .

Patut ditunjukkan bahwa pasal 3 PMK 137 ini secara jelas mencabut KMK 564/2004 yg juga menjadi pertimbangan keluarnya PMK 137/2005 (baca di menimbang…) Kalau begitu bisa dikatakan KMK 564/2004 hanya berlaku selama tahun 2005 saja.

Catatan: PMK 137/2005 ini dicabut dengan PMK 213/03/2018

Undang Undang No 36 Tahun 2008 berlaku 1 Jan 2009 Rev 4

PTKP dalam pasal 7 ayat 1 setelah diolah menghasilkan sbb:

TK-0 15.840ribu,

K-0 17.160ribu

K/I/0 33.000ribu

K/I/3 36.960ribu

Ayat 3 untuk pertama kalinya tertera ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat

Tidak ada PMK yg menyertai UU No 36 ini yg sedianya berlaku Januari 2009. Kalau perbandingannya adalah apple to apple maka dari thn 2006 angka yg dipakai adalah PTKP PMK 137/2005 (TK-0 13.200rb dstnya) tapi ternyata angka PTKP dalam UU langsung berlaku..

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2010 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2010 (B.2.1.23.06) merujuk PTKP UU No 36 tahun 2008 ini

PMK 162/011/2012 terbit tanggal 22 Okt 2012 berlaku 1 Jan 2013

PTKP yg tertera sbb :

TK-0 24.300ribu,

K-0 26.325ribu

K/I/0 50.625ribu

K/I/3 56.700ribu

yg berlaku 1 Jan 2013 (Psl 3 PMK 162/2012).

Patut dibaca pada pembukaan PMK ini dalam konsiderans menimbang telah dilakukan konsultasi Menteri Keuangan dengan DPR pada tanggal 30 Mei 2012 dan 15 Okt 2012.

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2014 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2014 merujuk PTKP PMK 162 /011/2012 ini .

PMK 122/010/2015 terbit tanggal 29 Jun 2015

PTKP yg tertera sbb:

TK-0 36.000ribu,

K-0 39.000ribu

K/I/0 75.000ribu

K/I/3 84.000ribu

seperti yg ditetapkan dalam pasal 1 dan berlaku untuk tahun pajak 2015 (pasal 3) dan mencabut PMK 162/2012 (pasal 4). Patut dicatat dalam pertimbangannya dalam menerbitkan PMK ini disinggung pertemuan konsultasi dengan DPR RI tanggal 25 Jun 2015

Catatan : Buku Petunjuk Pengisian SPT Tahun 2015 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Edisi 2015 merujuk PTKP PMK 122 /010/2015 ini .

PMK 101/010/2016 ditetapkan tanggal 22 Jun 2016 dan diundangkan 27 Jun 2016

PTKP yg tertera dalam pasal 1 sbb:

TK-0 54.000ribu,

K-0 58.500ribu

K/I/0 112.500ribu

K/I/3 126.000ribu

dengan ketentuan berlaku untuk tahun pajak 2016 (pasal 3) dan telah dikonsultasikan dengan DPR RI pada tanggal 6 April 2016 dan 11 April 2016 (baca dalam menimbang dst)

Pasal 4 PMK ini mencabut PMK 122/2015

Saya juga tidak menemukan Buku Petunjuk (dalam bentuk cetakan) Pengisian SPT tahun 2024 Pajak Penghasilan WP Orang Pribadi yang merujuk PTKP di PMK 101/010/2016 ini.

UU No 11 Tahun 2020 Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 Rev 6 dan UU No 6 tahun 2023 Rev7

Khusus utk PTKP setelah UU Pajak Penghasilan No 36 dgn peraturan PMK 101/010/2016 yg memuat angka TK-0 54.000 rb dstnya tidak berubah hingga pengisian SPT Orang Pribadi tahun 2024 meskipun selama tahun 2016 hingga 2024 banyak revisi yg terjadi dalam UU PPh ini. Sebagai contoh dalam Undang Undang Perpajakan terbitan ORTAX , UU No 36 tahun 2008 diberi tanda Rev 4, UU No 11 tahun 2020 bertanda Rev 5, UU No 7 Tahun 2021 bertanda Rev 6 dan terakhir UU No 6 tahun 2023 Rev 7.

Saya merujuk UU No 7 tahun 2021 Rev 6 ini dimana dalam psl 7 TK-0 54.000rb dst nya menggunakan angka2 PMK 101/010/2016 . Perubahan yg perlu dicatat berkenaan dengan PTKP yang meskipun tidak menyangkut angka tetapi berdampak atas penerapan pengisian SPT Orang Pribadi adalah sbb:

Pertama UU No 36 tahun 2008 Rev 4 dalam penjelasan Pasal 7 ayat 2 diberikan contoh status wajib pajak Misalnya, pada tanggal 1 Januari 2021 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu) anak. Apabila anak yg kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2021 , besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada wajjib Pajak B untuk tahun pajak 2021 tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.

Kedua UU No 7 tahun 2021 Rev 6 memberikan besarnya PTKP per tahun pasal 7 ayat 1 untuk WP dgn status lajang 5400rb, tambahan 4500rb utk status WP dgn status kawin dst yang kalau di workout lebih lanjut persis dengan angka2 PMK 101/010/2016 yang menurut pendapat saya sebagai koreksi karena seharusnya angka2 tsb tampil dulu di UU baru diterbitkan PMK nya

Ketiga, UU No 7 tahun 2021 Rev 6 menambahkan pasal 7 ayat 2a sbb: Wajib pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 huruf e tidak dikenai Pajak Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp.500juta rupiah dalam satu tahun pajak. Ayat ini merupakan fasilitas yg diberikan kepada pengusaha WP Orang Pribadi untuk mendorong kemajuan UMKM .

Keempat, UU No 7 tahun 2021 menambahkan juga pasal 7 ayat 3 berkenaan dengan ayat 1 dan 2a ditetapkan dengan peraturan Menteri Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR RI (baca penjelasan tambahan…)…..setelah berkonsultasi dgn alat kelengkapan DPR RI yg bersifat tetap, yaitu komisi yg tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.

Kelima, saya mengusulkan untuk diberikan waktu minimal berapa tahun sekali harus dilakukan peninjauan PTKP misalnya tiap periode 4 tahun dilakukan konsultasi antara Menteri Keuangan dan DPR RI untuk meninjau kelayakan PTKP ini mengingat banyak WP Perorangan yg berstatus pekerja , meskipun ada kenaikan upah tiap tahun tapi karena PTKP yg konstan ini membuat Penghasilan Kena Pajak yg lebih besar tiap tahun untuk dikenai PPh bahkan dalam income bracket yg sama.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Kurniawan Tedjo

kurniawan_tedjo@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Tax Amnesty Jilid III: Solusi Instan atau Ancaman Jangka Panjang?

Isu mengenai pelaksanaan Tax Amnesty Jilid III kembali mengemuka dalam diskursus perpajakan Indonesia. Di satu sisi, pengampunan pajak dipandang sebagai alat cepat untuk menambah penerimaan negara. Namun, sejarah dan data menunjukkan bahwa program ini tidak selalu membawa manfaat jangka panjang. Bahkan, jika dijalankan berulang kali, tax amnesty justru dapat menjadi bumerang bagi sistem perpajakan yang sehat dan berkeadilan.

Artikel ini mencoba mengurai akar persoalan, membedah efektivitas amnesti sebelumnya, serta menawarkan pendekatan alternatif yang lebih berkelanjutan untuk memperkuat fondasi perpajakan nasional.

Sukses Jangka Pendek, Tantangan Jangka Panjang

Program Tax Amnesty pertama di Indonesia dirancang untuk empat tujuan utama: meningkatkan penerimaan pajak, mendorong repatriasi aset, memperluas basis data pajak, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Berikut beberapa capaian penting yang berhasil diraih:

• Penerimaan Uang Tebusan: Tercatat sekitar Rp114,02 triliun berhasil dikumpulkan sebagai tebusan dari peserta program.

• Pengungkapan Harta: Total aset yang dideklarasikan sangat besar Rp3.676 triliun dari dalam negeri dan Rp1.031 triliun dari luar negeri.

• Repatriasi Aset: Dana dari luar negeri yang berhasil dipulangkan ke Indonesia terbilang signifikan, meski belum sepenuhnya sesuai ekspektasi.

• Perluasan Basis Data Pajak: Pemerintah memperoleh data berharga untuk pemetaan potensi perpajakan di masa depan.

Namun, di balik angka-angka itu, satu pertanyaan besar mengemuka: Apakah program ini berhasil meningkatkan kepatuhan jangka panjang? Sejumlah studi menunjukkan adanya perbaikan sementara, tetapi efek jangka panjang masih dipertanyakan, terutama terkait moral hazard.

Tax Amnesty yang Diulang-Ulang 

Keberhasilan sementara dari program pertama tak lantas menjadi alasan kuat untuk melanjutkannya. Justru, pelaksanaan Tax Amnesty yang berulang kali menimbulkan berbagai risiko serius:

1. Mendorong Mentalitas “Nanti Diampuni Lagi”

Pola pikir seperti ini melemahkan semangat kepatuhan sukarela. Wajib pajak cenderung menunda atau menghindari kewajiban pajaknya, berharap akan ada “pengampunan jilid berikutnya”. Ini menciptakan moral hazard yang sistemik.

2. Ketidakadilan bagi Wajib Pajak Patuh

Mereka yang taat pajak merasa tidak dihargai. Sebaliknya, pelanggar malah diberi insentif dan kemudahan. Ini bertolak belakang dengan semangat keadilan fiskal dan dapat mengikis legitimasi sistem perpajakan di mata publik.

3. Melemahkan Wibawa Penegakan Hukum

Seringnya pemberian amnesti menciptakan kesan bahwa pemerintah tidak serius dalam penegakan hukum pajak. Konsekuensinya, rasa takut terhadap sanksi hukum melemah, dan upaya penegakan menjadi tidak efektif.

4. Inkonsistensi Kebijakan Fiskal

Pemerintah perlu menciptakan iklim kebijakan yang stabil dan dapat diprediksi. Tax Amnesty yang terus diulang memperlihatkan ketidakpastian dan mengganggu ekspektasi pelaku usaha dan investor.

5. Menggeser Fokus dari Reformasi Sistemik

Tax Amnesty seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan solusi rutin. Ketergantungan pada cara-cara instan seperti ini dapat mengalihkan perhatian dari reformasi struktural yang jauh lebih penting.

6. Risiko Penurunan Rasio Pajak Jangka Panjang

Program ini memang mampu meningkatkan penerimaan dalam waktu singkat. Namun, jika merusak fondasi kepatuhan, maka penerimaan jangka panjang dan rasio pajak terhadap PDB justru bisa stagnan atau bahkan menurun.

Strategi Meningkatkan Kepatuhan Pajak Secara Berkelanjutan

Daripada kembali mengandalkan Tax Amnesty, ada beberapa langkah strategis yang jauh lebih efektif untuk memperkuat sistem perpajakan:

1. Reformasi Perpajakan yang Komprehensif

Perlunya simplifikasi aturan perpajakan, peningkatan teknologi administrasi (seperti sistem Coretax), serta perbaikan layanan kepada wajib pajak agar lebih efisien dan transparan.

2. Penegakan Hukum yang Konsisten

Data dari amnesti sebelumnya sebaiknya dimanfaatkan untuk menindak tegas wajib pajak yang masih membandel. Penegakan hukum yang konsisten penting untuk membangun efek jera dan kepercayaan publik.

3. Ekstensifikasi dan Peningkatan Basis Pajak

Perluasan basis pajak ke sektor informal, UMKM, dan pelaku ekonomi digital menjadi keharusan di era ekonomi baru.

4. Peningkatan Edukasi dan Literasi Pajak

Edukasi berkelanjutan mengenai pentingnya pajak akan membangun kesadaran dan budaya kepatuhan sejak dini.

5. Membangun Kepercayaan Publik

Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara akan meningkatkan kemauan masyarakat untuk membayar pajak. Jika rakyat percaya pajaknya digunakan dengan benar, maka kepatuhan pun akan meningkat.

Jangan Ulang Kesalahan yang Sama

Tax Amnesty memang bisa menjadi jalan pintas untuk mengejar penerimaan negara, tapi bukan solusi jangka panjang. Terlalu sering memberikan pengampunan justru dapat menghancurkan fondasi utama perpajakan: keadilan, kepatuhan, dan kepastian hukum.

Waktunya kita beralih ke strategi yang lebih berkelanjutan membangun sistem perpajakan yang kuat, kredibel, dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak yang sehat bukanlah hasil dari pengampunan berkala, melainkan dari sistem yang dipercaya dan ditaati oleh semua.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Lampung

Teten Dharmawan

Email: tetendharmawan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

en_US