IKPI, Jakarta: Pemerintah didesak untuk segera memperkuat fondasi penerimaan negara guna mencegah risiko pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang diperkirakan mencapai 2,78 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Ekonom Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai langkah konkret dibutuhkan agar fiskal Indonesia tetap berkelanjutan di tengah ambisi besar program pemerintahan baru.
“Pelebaran defisit perlu dicegah karena akan membebani fiskal jangka panjang. Saat defisit dibiayai utang, maka negara harus menanggung bunga dan pokok utang di tahun-tahun mendatang. Ini adalah risiko keberlanjutan fiskal yang harus diantisipasi,” kata Achmad dalam keterangan di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Ia menyoroti potensi risiko fiskal yang muncul seiring realisasi pendapatan negara yang diprediksi hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau 95,4 persen dari target awal Rp3.005,1 triliun. Sementara itu, utang negara telah menyentuh Rp10.269 triliun atau 40,19 persen dari PDB per 2024.
Menurut Achmad, meski angka ini masih di bawah ambang batas Maastricht Treaty sebesar 60 persen dari PDB, situasi Indonesia tidak bisa dibandingkan langsung dengan negara maju.
“Tax ratio kita masih stagnan di kisaran 9-10 persen. Negara-negara OECD bisa aman dengan utang 60 persen dari PDB karena tax ratio mereka di atas 25 persen. Kemampuan bayar utang kita jauh lebih rendah,” tegasnya.
Tiga Rekomendasi Strategis
Untuk memperbaiki posisi fiskal, Achmad merekomendasikan tiga strategi utama: ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, optimalisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta evaluasi menyeluruh terhadap insentif perpajakan.
Ia menyarankan agar pemerintah memperluas basis pajak, terutama dari sektor-sektor yang belum tergarap optimal, seperti ekonomi digital, profesi bebas, dan kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi.
“Potensi pajak di sektor digital dan jasa profesional sangat besar, tapi selama ini kontribusinya belum maksimal,” ujarnya.
Selanjutnya, optimalisasi PNBP, khususnya dari sektor sumber daya alam dan pertambangan mineral dan batubara (minerba), juga dinilai krusial.
“PNBP dari SDA masih punya ruang besar untuk ditingkatkan melalui tata kelola yang lebih efisien dan transparan,” imbuhnya.
Tak kalah penting, ia menekankan perlunya evaluasi terhadap belanja perpajakan (tax expenditure) yang nilainya mencapai Rp372 triliun per tahun. Banyak insentif dinilai tidak memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, pemerintah juga dituntut untuk lebih disiplin dalam pengelolaan belanja negara. Achmad menilai perlu dilakukan penataan ulang atas program-program yang tidak memiliki efek berganda (multiplier effect) terhadap perekonomian.
“Belanja kementerian/lembaga yang bersifat seremonial, program-proyek mercusuar yang tidak berdampak langsung ke ekonomi rakyat, itu harus dipangkas atau bahkan dihapus,” kata dia.
Ia memberi contoh bahwa program prioritas Presiden RI Prabowo Subianto, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih, harus didukung oleh penerimaan yang seimbang agar tidak menambah beban utang negara.
“MBG tahap awal saja butuh Rp71 triliun, dan bisa tembus Rp400 triliun jika diterapkan penuh. Tanpa reformasi pajak dan efisiensi belanja, ini akan memperbesar tekanan fiskal,” katanya.
Achmad mengusulkan agar pemerintah dalam jangka menengah menurunkan target defisit menjadi di bawah 2 persen dari PDB sebagai bagian dari strategi penguatan ketahanan fiskal.
“Dengan strategi yang tepat, pemerintah bisa menjalankan program prioritas tanpa menambah beban utang, serta menjaga keberlanjutan pembangunan nasional ke depan,” pungkasnya. (alf)