Beban Pajak Masyarakat Miskin Diklaim Lebih Berat daripada Crazy Rich

pajak
(Gambar ilustrasi: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Ketimpangan beban pajak di Indonesia kembali menjadi sorotan. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, mengungkap fakta mencengangkan bahwa secara persentase pendapatan, masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar dibanding kelompok super kaya atau crazy rich.

Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Media menilai kondisi ketidakadilan fiskal ini semakin terasa di tengah jurang kesenjangan sosial yang melebar. Ia mencontohkan, median gaji buruh hanya sekitar Rp2,5 juta, sedangkan garis kemiskinan keluarga telah menyentuh Rp2,8 juta.

“Kalau satu keluarga hanya mengandalkan upah buruh, maka setengah juta buruh Indonesia bisa dikategorikan miskin,” ujarnya.

Menurut Media, persoalan ini bisa diatasi melalui sistem pajak yang berkeadilan. Penerimaan negara yang optimal seharusnya diarahkan untuk melindungi kelompok rentan seperti buruh, pengangguran, lansia, hingga anak-anak yang mengalami stunting. Namun, ia menekankan kepatuhan pajak hanya mungkin tercapai jika masyarakat merasa sistemnya adil.

“Lihat saja protes warga di Pati, kenaikan PBB sampai 250% langsung diberlakukan tanpa diskusi yang inklusif. Akhirnya yang paling terdampak ya masyarakat kecil,” jelasnya.

CELIOS juga menemukan bahwa orang kaya lebih mudah menghindari kewajiban pajak, misalnya dengan menempatkan aset di luar negeri melalui perusahaan cangkang (shell company). Keuntungan modal kemudian dilaporkan di negara tempat aset itu tersimpan, sehingga beban pajak di Indonesia berkurang drastis.

“Fenomena ini bukan hanya di Indonesia. Warren Buffett sendiri pernah menyinggung kenapa orang super kaya bisa membayar pajak lebih kecil secara persentase dibanding kelas pekerja. Salah satunya karena capital gain mereka banyak yang belum terealisasi,” tambah Media.

Ia menegaskan bahwa masyarakat miskin menghabiskan hingga 120% dari pendapatannya 20% di antaranya berasal dari utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, kalangan kaya hampir mustahil menghabiskan seluruh penghasilannya, meski nilainya mencapai miliaran rupiah per hari.

“Coba bayangkan figur publik seperti Raffi Ahmad atau Deddy Corbuzier, dengan kekayaan triliunan, mereka tentu tidak menghabiskan Rp1 miliar per hari,” ujarnya.

Distribusi pendapatan yang timpang, menurut Media, berakibat fatal bagi perekonomian. Ketika kekayaan menumpuk di segelintir orang, daya beli masyarakat melemah, permintaan menurun, dan angka pengangguran, khususnya di kalangan anak muda, semakin tinggi.

“Ketidakadilan sistem pajak berkontribusi langsung pada menurunnya permintaan dan daya beli. Inilah yang membuat situasi ekonomi makin sulit,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

id_ID