IKPI, Jakarta: Revolusi digital telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk dunia perpajakan. Dalam podcast spesial Hari Sumpah Pemuda yang digelar oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), topik tersebut menjadi sorotan utama.
Diskusi yang menghadirkan Dewi Sukowati, Pengurus Pusat IKPI; Rian Sumarta, Sekretaris IKPI Cabang Jakarta Utara; serta dua mahasiswa Universitas Indonesia, Muhammad Hermaen Pasha dan Ryan wahyu Setiawan.
Dalam perbincangan, Rian Sumarta menyoroti reformasi digital yang tengah dilakukan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui sistem Coretax (Core Tax Administration System). Ia menyebut sistem itu sebagai tonggak baru untuk mempercepat transformasi layanan perpajakan nasional.
“Dengan Coretax pelaporan dan pembayaran pajak jadi lebih cepat dan efisien. Tapi memang, tantangan di lapangan masih ada, terutama di daerah yang belum sepenuhnya siap secara digital,” kata Rian.
Pandangan serupa disampaikan oleh Pasha, yang menilai reformasi digital adalah langkah maju meski belum sempurna. “Masih banyak error karena masa transisi. Tapi arah perubahannya sudah benar—menuju digitalisasi dan pelayanan satu pintu,” jelasnya.
Menurutnya, digitalisasi pajak akan membuka ruang bagi generasi muda untuk terlibat dalam inovasi sistem dan penyederhanaan regulasi.
Selain membahas Coretax, podcast ini juga menyinggung pengalaman para mahasiswa saat magang di kantor konsultan pajak. Ryan menceritakan tantangan menghadapi klien dari berbagai latar belakang.
“Wajib pajak di Indonesia sangat beragam. Ada yang belum paham aturan, ada juga perusahaan asing yang suka membandingkan kebijakan Indonesia dengan negaranya. Di situlah kita harus tanggap menjelaskan perbedaan secara profesional,” ujarnya.
Pasha menambahkan, perubahan regulasi yang cepat membuat para calon konsultan pajak harus terus belajar. “Tahun ini aja sudah ada Omnibus Law, aturan Coretax sampai global minimum tax. Kita harus paham semuanya supaya bisa bantu wajib pajak dengan benar,” ujarnya.
Diskusi kemudian berlanjut pada topik masa depan profesi konsultan pajak di era kecerdasan buatan (AI). Pasha sempat bertanya apakah teknologi mampu menggantikan peran manusia dalam bidang perpajakan. Pertanyaan itu memicu respons menarik.
Rian menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat bantu, bukan pengganti. “AI bisa bantu analisis data, tapi tidak bisa menggantikan empati, interpretasi, dan komunikasi manusia. Profesi konsultan pajak bukan sekadar menghitung, tapi memahami konteks dan niat wajib pajak,” katanya.
Sementara Dewi menilai bahwa AI justru dapat menjadi mitra strategis bagi konsultan pajak. Dengan bantuan teknologi, pekerjaan bisa lebih efisien tanpa menghilangkan nilai kemanusiaan di dalam profesi.
“AI bisa mempercepat pekerjaan, tapi human touch—kemampuan menjelaskan, menenangkan, dan membimbing klien itu tetap tak tergantikan,” ujarnya.
Dewi juga menekankan bahwa di tengah percepatan teknologi, semangat kemanusiaan dan etika profesional justru harus diperkuat. “Kecerdasan buatan bisa meniru logika, tapi tidak bisa meniru empati. Itu sebabnya konsultan pajak tetap relevan, karena mereka bekerja dengan hati,” tegasnya.
Dewi juga menegaskan, mereka bisa belajar banyak dari semangat Sumpah Pemuda, bahwa perubahan besar selalu dimulai dari generasi muda yang berani beradaptasi. Digitalisasi dan AI bukan ancaman, tapi peluang untuk berkontribusi lebih baik bagi negeri. (bl)
