Lonjakan Restitusi Rp304 Triliun Tekan Penerimaan Pajak 2025

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa penurunan penerimaan pajak hingga 31 Agustus 2025 disebabkan oleh melonjaknya restitusi atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, restitusi mencapai Rp304,3 triliun hingga akhir Agustus tahun ini naik signifikan dibanding periode yang sama tahun lalu.

“Restitusi mengalami peningkatan disebabkan oleh volatilitas harga komoditas. Harga komoditas yang tinggi di tahun sebelumnya kini termoderasi, sehingga kredit pajak yang dibayar Wajib Pajak lebih besar dari pajak yang terutang,” ujar Direktur P2Humas DJP Rosmauli, Sabtu (4/10/2025).

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak, terutama dalam menjaga keseimbangan antara pelayanan restitusi dan stabilitas penerimaan negara.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto memastikan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus untuk mengantisipasi lonjakan restitusi sepanjang tahun berjalan.

“Mitigasi lonjakan restitusi ini prinsipnya sederhana: knowing your taxpayer. Saya sudah minta seluruh KPP menganalisis secara cermat setiap permohonan restitusi, mulai dari lokasi usaha hingga validitas kegiatan bisnisnya,” tegas Bimo dalam Media Briefing DJP di Kantor Pusat DJP, Jakarta.

Namun, ia tidak menampik adanya tantangan baru dari tren bisnis berbasis virtual office yang kian marak digunakan oleh Wajib Pajak. Hal ini membuat analisis lokasi usaha semakin kompleks.

“Sekarang semua unit vertikal sudah dibekali data konkret dan sistem analisis yang kuat. Kami juga melakukan matching antara pajak masukan dan keluaran, serta membandingkan struktur biaya dengan industri sejenis untuk memastikan kewajaran,” ungkapnya.

Pemerintah sendiri baru saja mempercepat proses pemeriksaan dan restitusi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025, yang berlaku sejak 14 Februari 2025. Aturan ini mempersingkat durasi pemeriksaan menjadi hanya 1 bulan untuk pemeriksaan spesifik, 3 bulan untuk terfokus, dan 5 bulan untuk komprehensif.

Langkah itu diperkuat dengan terbitnya Peraturan Dirjen Pajak (PER) Nomor PER-16/PJ/2025, yang memperluas cakupan Wajib Pajak berisiko rendah hingga mencakup Special Purpose Company (SPC) dan Kontrak Investasi Kolektif (KIK).

Dengan berbagai kebijakan percepatan tersebut, DJP dihadapkan pada tantangan ganda: menjaga kredibilitas pelayanan restitusi sekaligus menahan tekanan terhadap penerimaan negara.

“Intinya, kecepatan layanan tidak boleh mengorbankan kehati-hatian. Transparansi dan analisis yang tajam tetap jadi kunci,” tutup Bimo. (alf)

id_ID