IKPI, Jakarta:Peneliti LPEM FEB UI, Vid Adrison, melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan cukai rokok Indonesia. Ia menilai struktur tarif yang terlalu kompleks dan timpang membuat target penerimaan negara mustahil tercapai.
“Coba lihat, tarif rokok golongan satu 65% lebih tinggi dibanding golongan dua. Akibatnya apa? Perokok tinggal pindah dari rokok Rp37 ribu ke Rp23 ribu. Sama-sama ngebul, rasanya mirip, tapi jauh lebih murah. Jadi penerimaan pasti jeblok. Gak perlu jadi orang pinter untuk tahu ini bakal gagal,” ujarnya dalam forum diskusi perpajakan IKPI, Jumat (26/9/2025).
Vid menilai pemerintah seharusnya tidak kaget ketika target penerimaan cukai tidak tercapai pada 2023 dan 2024. “Kalau 2025 juga meleset, jangan heran. Gap tarif antar golongan terlalu besar. Itu undangan terbuka bagi konsumen untuk pindah merek. Dan kalau sudah pindah, penerimaan turun drastis,” katanya.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa ketergantungan negara terhadap cukai rokok terlalu berisiko. Kontribusinya bisa mencapai 14% dari total penerimaan pajak.
“Artinya, satu industri punya power luar biasa besar. Pemerintah jadi sulit mengendalikan konsumsi. Kalau cukai meleset, APBN bisa terguncang,” ungkap Vid.
Ia menegaskan, penyederhanaan struktur tarif mutlak dilakukan. “Tarif harus dibuat sederhana, tanpa celah lompatan antar golongan. Kalau tidak, penerimaan cukai akan terus meleset dan shadow economy dari industri rokok justru makin subur,” pungkasnya. (bl)