Pajak Karbon Bisa Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi dan Inovasi Hijau Indonesia

IKPI, Depok: Indonesia memasuki era baru kebijakan fiskal hijau. Prof. Gunadi, Dosen Ilmu Administrasi Kebijakan Pajak dan Pajak Internasional, menegaskan bahwa pajak karbon bukan hanya alat pengumpulan penerimaan negara, tetapi juga instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, investasi, dan inovasi industri hijau. Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional Perpajakan bertema “Advancing Carbon Tax Policy in Indonesia: Developments and Future Directions”, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Prof. Gunadi menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam fase transisi ekonomi, dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang masih terbatas. Kondisi ini menempatkan negara dalam kategori middle-income dengan potensi pajak yang relatif terbatas dan dominasi sektor informal atau underground economy. Stagnasi tax ratio di kisaran 10–12% menunjukkan kesulitan pemerintah untuk memobilisasi potensi pajak, terutama dari sektor-sektor yang sulit dikenai pajak (hard-to-tax sectors).

Namun, menurut Prof. Gunadi, pajak dapat difungsikan lebih dari sekadar instrumen penerimaan. Dengan pendekatan yang tepat, pajak berperan sebagai stabilisator ekonomi dan stimulus investasi. “Pajak tidak hanya dipungut, tetapi juga bisa digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan memperkuat basis sosial masyarakat agar kepatuhan pajak meningkat,” ujarnya.

Dikatakannya, Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur pajak karbon, namun implementasinya masih menunggu kesiapan regulasi turunan. Pajak ini direncanakan diterapkan secara bertahap mulai 2025, dengan skema yang meliputi cap and trade, cap and tax, serta sertifikat izin emisi (SIE) dan sertifikat penurunan emisi (SPI). Skema tersebut memberi insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi dan mengadopsi teknologi hijau, sementara perusahaan yang melebihi batas emisi diwajibkan membayar pajak sesuai ketentuan.

Prof. Gunadi menekankan, pajak karbon akan mendorong adopsi teknologi hijau di industri padat karbon, seperti industri semen dan energi, dan memacu inovasi pada sektor energi terbarukan, termasuk panel surya dan solusi rendah karbon lainnya. “Perusahaan harus memilih antara membayar pajak lebih tinggi atau berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan. Pilihan ini pada akhirnya akan menekan emisi sekaligus memperkuat daya saing industri,” jelasnya.

Dari sisi ekonomi makro, implementasi pajak karbon diprediksi akan meningkatkan tax ratio hingga 16% atau lebih, sekaligus memobilisasi dana untuk hilirisasi industri dan investasi produktif. Prof. Gunadi menyebutkan, jika kebijakan ini berjalan efektif, pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi mencapai 6,5–7%, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pakar pajak ini juga menekankan pentingnya pengawasan dan kerjasama lintas kementerian, serta sosialisasi intensif untuk menjamin pelaksanaan pajak karbon berjalan adil dan efektif. “Pajak karbon bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi peluang strategis bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dengan ekonomi hijau yang berkelanjutan,” katanya. (bl)

 

id_ID