Profit Shifting Rugikan Indonesia, Denny Vissaro Dorong Aturan Anti-Avoidance

IKPI, Jakarta: Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan penerimaan negara dari praktik penghindaran pajak. Denny Vissaro, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory, mengungkapkan bahwa praktik pengalihan laba atau profit shifting perusahaan multinasional menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan negara hingga Rp35 triliun pada 2020.

“Data internasional menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 10,3 persen dari total penerimaan PPh Badan akibat profit shifting. Angka ini bahkan lebih tinggi dari rata-rata global yang berada di level 9,1 persen,” ungkap Denny saat menjadi panelis dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, baru-baru ini.

Fenomena ini, jelas Denny, terjadi karena perusahaan multinasional kerap menargetkan keuntungan secara agregat di level grup, bukan pada masing-masing negara tempat mereka beroperasi. “Tidak masalah jika ada entitas tertentu yang merugi di negara dengan tarif pajak lebih tinggi, selama laba sebenarnya bisa dipindahkan ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah. Itu strategi umum yang mereka lakukan,” jelasnya.

Menurutnya, Indonesia sebagai negara pasar dengan sumber daya melimpah justru rentan menjadi target praktik tersebut. Laba yang semestinya dikenakan pajak di Indonesia bisa “digeser” keluar negeri melalui mekanisme transfer pricing atau skema agresif lainnya.

Untuk mengatasinya, Denny menekankan perlunya penerapan anti-avoidance rule secara konsisten. Ia menyinggung keberadaan General Anti-Avoidance Rule (GAAR) yang sebenarnya sudah diadopsi dalam kerangka hukum perpajakan terbaru. “Tax avoidance memang tidak melanggar aturan secara eksplisit, tetapi jelas menyalahi semangat perpajakan. GAAR memberi pemerintah alat untuk membatalkan skema agresif yang tujuannya hanya menghindari pajak,” tegasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa penerapan GAAR perlu dijalankan secara hati-hati. “Mengukur motif di balik sebuah transaksi bisnis bukan perkara mudah. Jika regulasi tidak jelas, justru bisa menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak. Ini yang harus diantisipasi,” kata Denny.

Ia menilai, jika regulasi anti-avoidance diperkuat dan diterapkan dengan konsisten, Indonesia tidak hanya bisa menutup kebocoran pajak, tetapi juga meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. “Kita perlu memastikan bahwa sistem pajak tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga adil dan memberikan perlindungan bagi wajib pajak yang patuh,” pungkasnya. (bl)

id_ID