IKPI, Jakarta: Para pengembang properti Tanah Air semakin giat mendorong pengembangan proyek berkonsep hijau dan berkelanjutan. Namun, tingginya biaya investasi menjadi tantangan utama dalam merealisasikan properti ramah lingkungan secara masif. Karena itu, sejumlah pengembang besar mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak untuk mempercepat adopsi bangunan hijau di Indonesia.
Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA), Budiarsa Sastrawinata menuturkan, komitmen membangun properti hijau membutuhkan biaya besar, mulai dari perencanaan desain berorientasi iklim, penggunaan material rendah karbon, hingga pemasangan teknologi hemat energi dan air. “Biaya itu dikeluarkan untuk memenuhi standar agar proyek bisa memperoleh sertifikat properti hijau, seperti EDGE atau Greenship,” katanya, Jumat (27/6/2025).
Ciputra Development sendiri telah mengembangkan tujuh proyek bersertifikat hijau yang terdiri atas lima bangunan tinggi (high rise) dan dua proyek hunian. Enam proyek meraih sertifikasi EDGE dari International Finance Corporation (IFC), dan satu proyek memperoleh Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Budiarsa menjelaskan, efisiensi dari bangunan hijau mencapai 20% dalam penggunaan air, energi, dan bahan bangunan.
Namun, dia tak menampik bahwa implementasi properti hijau belum berjalan mulus. Tantangan besar di lapangan mencakup minimnya baseline data untuk memenuhi kriteria taksonomi hijau, lemahnya ekosistem regulasi, hingga kebutuhan akan kebijakan insentif agar investasi hijau lebih menarik secara komersial.
Senada, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), Adrianto Pitojo Adhi, mengungkapkan bahwa pembangunan hunian hijau membutuhkan biaya tambahan sebesar 30% hingga 35% dibanding hunian konvensional. “Pemerintah seharusnya mempertimbangkan skema insentif fiskal bagi pengembang hijau agar proyek berkelanjutan ini bisa dijangkau pasar yang lebih luas,” ucapnya.
Sementara itu, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunjukkan keseriusannya dalam membangun gedung ramah lingkungan. Wakil Direktur Utama Intiland, Utama Gondokusumo, menjelaskan bahwa pendekatan ramah lingkungan diterapkan sejak tahap pengadaan material. Misalnya, pada proyek apartemen Fifty Seven Promenade, mereka bekerja sama dengan produsen kaca untuk meminimalkan limbah hingga tinggal 5%, dari sebelumnya 34%.
Namun, dia mengakui bahwa penerimaan pasar terhadap properti hijau masih rendah, terutama karena harganya lebih tinggi. “Tantangannya memang soal harga. Tapi tren ke depan menunjukkan konsumen, khususnya generasi muda, semakin peduli pada isu keberlanjutan,” imbuhnya.
Hal ini diperkuat oleh Vice President Market Research & Product Strategy Sinar Mas Land, Dwi Novita Yeni, yang menyebutkan bahwa generasi milenial dan Z mulai beralih ke gaya hidup eco-living. Dalam survei global Deloitte, mayoritas generasi muda kini mengutamakan lingkungan dan mendukung produk yang ramah bumi. “Namun teknologi hijau masih mahal, dan untuk bisa menjangkau segmen menengah, diperlukan insentif pemerintah,” jelasnya.
Sinar Mas Land sendiri telah menerapkan penghematan energi, pengelolaan air limbah, dan pemanfaatan panel surya. Bahkan, 29% material bangunan yang digunakan sudah tergolong ramah lingkungan.
Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI) Ignesjz Kemalawarta menyebut jumlah properti hijau di Indonesia masih sangat minim dibanding negara tetangga. Per 2024, baru ada sekitar 100 proyek tersertifikasi Greenship dan 150 proyek tersertifikasi EDGE. “Malaysia, Singapura, dan Filipina sudah memberikan insentif fiskal untuk bangunan hijau. Indonesia justru belum punya regulasi insentif sama sekali,” ujarnya.
GBCI menilai penting adanya insentif seperti diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 30% selama 3 tahun, atau pemberian tambahan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk proyek hijau. Menurut Ignesjz, investasi awal properti hijau memang lebih mahal 3%-4%, namun penghematan jangka panjang dapat mencapai 15%-40% selama usia bangunan 40 tahun.
Tak hanya pengembang, kalangan analis properti juga menilai insentif fiskal sebagai langkah strategis untuk mempercepat adopsi green building. CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda mengusulkan skema insentif pajak khusus untuk green financing, agar hunian hijau bisa lebih terjangkau. “Selama ini, konsep green living baru dinikmati oleh kelas menengah atas. Segmen menengah ke bawah belum tersentuh karena harga masih menjadi kendala,” jelasnya.
CEO PT Leads Property Services Indonesia, Hendra Hartono menambahkan, walau kesadaran masyarakat akan pentingnya hunian hijau mulai tumbuh, namun faktor harga masih menjadi penentu utama dalam keputusan pembelian rumah. Oleh karena itu, ia menilai insentif bagi pengembang dan konsumen sama-sama penting untuk menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan dan keterjangkauan.
Dengan tren properti hijau yang mulai menggeliat, dorongan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan menjadi krusial. Apalagi, pengembang mulai menyadari bahwa proyek ramah lingkungan dapat membuka akses pembiayaan yang lebih mudah, suku bunga lebih rendah, serta peluang kemitraan dengan investor global. (alf)