Pengamat: Usulan Pajak Tinggi Rumah Tapak Bisa Ganggu Pasar Properti

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk mengenakan pajak tinggi terhadap pembangunan rumah tapak mendapat sorotan tajam dari kalangan pengamat properti. CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghada, menyebut kebijakan tersebut justru berpotensi membebani masyarakat dan menekan pertumbuhan sektor properti.

Menurut Ali, pajak tinggi pada rumah tapak hanya akan meningkatkan harga jual bagi konsumen, sehingga memperlambat laju transaksi dan merusak stabilitas pasar. “Beban biaya akan jatuh ke konsumen. Ini jelas akan memperberat bisnis properti, apalagi di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih,” ujar Ali saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/6/2025).

Ia membandingkan kebijakan pajak properti di sejumlah negara maju, yang memang memberikan pajak lebih tinggi bagi rumah tapak dibanding apartemen. Namun, Ali menekankan bahwa perbedaan tersebut terjadi secara alami dan bertahap, bukan melalui kebijakan yang mendadak.

Ali justru mendorong pemerintah untuk mengambil langkah sebaliknya, yakni memberikan insentif fiskal bagi pembangunan hunian vertikal seperti apartemen dan rumah susun. Ia menilai pendekatan ini lebih tepat untuk mendorong peralihan pola hunian masyarakat.

“Semakin rendah segmennya, semakin besar pula insentif yang seharusnya diberikan. Ini bagian dari tanggung jawab negara dalam menyediakan hunian terjangkau atau public housing,” jelasnya.

Ali juga mengkritisi pendekatan kebijakan perumahan yang dinilainya tidak konsisten dan kerap berubah-ubah. “Kebijakan tambal sulam yang bersifat eksperimen justru akan menciptakan ketidakpastian dan membingungkan pelaku industri,” ujarnya.

Sebelumnya, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah mengusulkan pemberlakuan pajak tinggi bagi rumah tapak sebagai upaya mendorong masyarakat beralih ke hunian vertikal. Ia menilai ketersediaan lahan di perkotaan semakin terbatas, sehingga pembangunan rumah tapak seharusnya dikurangi.

“Di seluruh dunia sekarang ini tidak ada lagi landed house di pusat kota. Kita harus hentikan pembangunan rumah tapak di perkotaan karena lahan kita terbatas,” kata Fahri dalam sebuah pernyataan, Selasa (3/62025).

Namun, Fahri juga mengakui bahwa budaya tinggal di hunian vertikal belum mengakar di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, ia mengatakan pemerintah akan menggencarkan kampanye tentang manfaat dan keunggulan hunian vertikal. (alf)

 

 

 

en_US