Meningkatkan Tax Ratio Indonesia: Strategi Efektif Menuju Kemandirian Fiskal

Tax ratio atau rasio pajak adalah salah satu indikator utama untuk mengukur efektivitas sistem perpajakan suatu negara. Rasio ini menunjukkan seberapa besar kontribusi penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan menjadi cerminan langsung dari kapasitas fiskal pemerintah dalam membiayai pembangunan tanpa terlalu bergantung pada utang. Sayangnya, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya di kawasan Asia Tenggara. Padahal, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, baik dari sektor formal, informal, maupun ekonomi digital yang terus berkembang.

Rendahnya tax ratio menjadi tantangan struktural yang harus segera diatasi, terutama di tengah kebutuhan anggaran yang semakin besar untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program perlindungan sosial. Oleh karena itu, upaya meningkatkan tax ratio tidak bisa hanya dilakukan dengan pendekatan konvensional. Diperlukan strategi yang lebih inovatif, adaptif terhadap tren global, dan berorientasi pada pembenahan sistemik.

Mengapa Tax Ratio Penting bagi Masa Depan Ekonomi Indonesia?

Tax ratio adalah indikator kunci yang menunjukkan seberapa besar penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Di Indonesia, tax ratio masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara tetangga, pada 2024 tax ratio hanya mencapai sekitar 10,08% dibandingkan dengan tax ratio pada 2023 sebesar 10,4% (sumber: Kemenkeu). Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya pendanaan pembangunan nasional secara mandiri.

Saat ini Pemerintah Indonesia terus menggencarkan reformasi perpajakan sebagai upaya strategis untuk meningkatkan tax ratio yang selama ini masih tergolong rendah. Salah satu program unggulan dalam reformasi ini adalah digitalisasi sistem perpajakan, yang diwujudkan melalui implementasi Core Tax System (CTS) oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai Januari 2025.

CTS dirancang sebagai sistem teknologi modern yang menyatukan seluruh layanan dan proses administrasi perpajakan dalam satu platform digital yang terintegrasi. Tujuannya jelas yaitu untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan pajak di seluruh lapisan masyarakat.

Pemerintah terus berupaya melakukan reformasi perpajakan

Meski menjanjikan banyak manfaat, peluncuran CTS juga menghadapi tantangan. Masalah literasi digital, resistensi terhadap perubahan, dan kesenjangan infrastruktur teknologi di daerah menjadi hambatan yang perlu diatasi. Namun, pemerintah optimistis bahwa dengan pendekatan bertahap dan dukungan regulasi, CTS akan menjadi tulang punggung sistem perpajakan Indonesia masa depan.

Menurut laporan Bank Dunia (2024), negara yang berhasil mendigitalisasi sistem perpajakannya rata-rata mampu meningkatkan tax ratio sebesar 1,5–3% dalam 3–5 tahun. Jika implementasi CTS berjalan sesuai rencana, maka Indonesia berpeluang meningkatkan tax ratio hingga 13–14% pada 2030—angka yang jauh lebih sehat untuk mendukung pembangunan nasional.

Selain itu, Pemerintah terus menggencarkan ekstensifikasi pajak dengan menjangkau sektor-sektor yang belum tersentuh secara optimal, seperti ekonomi digital dan sektor informal. Integrasi data lintas instansi melalui big data dan data analytics memungkinkan DJP memetakan potensi pajak lebih akurat. Salah satunya melakukan kolaborasi dengan OJK, Bank Indonesia, dan K/L lainnya membuka akses data keuangan yang selama ini tertutup, meningkatkan basis data perpajakan hingga 22% pada 2024.

Meski teknologi dan data analytics membawa banyak keuntungan, kesenjangan dalam infrastruktur digital dan literasi pajak masih menjadi tantangan. Oleh karena itu, program pelatihan SDM pajak secara berkelanjutan dan peralihan paradigma dari pengawasan ke pelayanan adalah bagian penting dari reformasi. Melalui program DJP Digital Academy, pegawai pajak kini dilatih untuk menguasai teknologi dan pendekatan pelayanan berbasis data.

Sebagai bagian dari upaya memperbaiki tax ratio, edukasi dan literasi perpajakan menjadi kunci yang tak terelakkan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus menggencarkan program edukasi perpajakan, yang dimulai sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Tujuannya tidak hanya untuk meningkatkan kesadaran pajak di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap pentingnya kontribusi pajak dalam pembangunan ekonomi negara. Kampanye digital seperti #PajakKuatAPBNSehat dan kerja sama dengan influencer pajak juga menjadi alat efektif membentuk persepsi positif public dan dapat membangun wajib pajak yang melek pajak.

Dengan kombinasi antara digitalisasi, integrasi data, perluasan basis pajak, dan inklusi pajak, target menaikkan tax ratio ke 15% secara bertahap sangat mungkin dicapai. Kuncinya ada pada komitmen politik, dukungan publik, dan implementasi yang konsisten.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US