Memahami PMK 37 Tahun 2025 untuk UMKM dan Platform Digital

Ekonomi digital terus bertumbuh pesat di Indonesia, dengan UMKM menjadi salah satu penggerak utamanya. Seiring dengan perkembangan ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan regulasi terbaru untuk memastikan keadilan dan kepatuhan perpajakan di ranah digital. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang diundangkan pada 11 Juni 2025, menjadi sorotan penting bagi para pelaku usaha, khususnya UMKM, serta platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

PMK 37 Tahun 2025 ini secara spesifik mengatur penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri melalui sistem elektronik. Ini adalah langkah maju pemerintah dalam menyederhanakan dan mengoptimalkan pemungutan pajak di era digital.

Siapa Pihak Lain yang Ditunjuk?

Berdasarkan PMK ini, “Pihak Lain” adalah pihak yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Penunjukan ini mewajibkan platform e-commerce untuk memungut PPh Pasal 22 atas transaksi yang terjadi di platform mereka.

Pentingnya PPh Pasal 22 dalam Transaksi E-commerce

PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak tertentu sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau kegiatan usaha. Dalam konteks e-commerce, PMK 37 Tahun 2025 menjelaskan bagaimana PPh Pasal 22 ini diberlakukan:

• Pungutan oleh Pihak Lain: Platform e-commerce yang ditunjuk wajib menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap Masa Pajak ke kas negara.

• Pelaporan Informasi: Selain penyetoran, Pihak Lain juga wajib menyampaikan informasi transaksi dan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktur Jenderal Pajak. Informasi ini mencakup detail pedagang, data omzet, hingga informasi pembeli barang/jasa. Pelaporan ini menjadi lampiran dari Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.

• Sanksi Kepatuhan: Jika Pihak Lain tidak memenuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan, mereka dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dan penyelenggara sistem elektronik.

Dampak bagi Pedagang Dalam Negeri (UMKM)

Bagi UMKM sebagai Pedagang Dalam Negeri, PMK ini membawa beberapa poin penting:

• Kriteria Peredaran Bruto Rp500 Juta: PMK ini memperkenalkan ambang batas peredaran bruto. Pedagang Dalam Negeri yang memiliki peredaran bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 dapat menyampaikan surat pernyataan kepada Pihak Lain. Jika batas ini terlampaui, pedagang harus mulai mempersiapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda.

• PPh Pasal 22 Sebagai Pembayaran di Muka atau Final: PPh Pasal 22 yang tercantum dalam dokumen pembetulan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan, atau menjadi bagian dari pelunasan PPh yang bersifat final, bagi Pedagang Dalam Negeri yang dikenai PPh final.

• Contoh Penerapan:

• Pengecualian PPh 0,5% bagi UMKM di Bawah Rp500 Juta: Jika Tuan WY memiliki peredaran bruto di bawah Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, marketplace tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualannya. Namun, jika omzetnya kemudian melebihi batas tersebut, pemungutan PPh 0,5% akan mulai diberlakukan.

• Pajak Jasa Pengiriman dan Asuransi: PMK ini juga mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari jasa pengiriman dan asuransi yang difasilitasi oleh platform e-commerce. Tarif yang dikenakan adalah 0,5%.

• Jasa Sewa atau Lainnya: Transaksi lain seperti persewaan ruangan juga dapat dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5%, yang merupakan bagian dari pelunasan PPh final atas persewaan tanah dan/atau bangunan. Pedagang masih memiliki kewajiban untuk menyetor kekurangan PPh final dan melaporkannya.

• Pengecualian Khusus: Beberapa jenis transaksi, seperti penjualan pulsa, tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 berdasarkan PMK ini. Demikian pula dengan jasa angkutan oleh mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi.

Transisi dan Kesiapan UMKM

Ketentuan mengenai penyampaian informasi untuk Tahun Pajak 2025 paling lama disampaikan 1 bulan terhitung sejak penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak. Ini berarti UMKM memiliki waktu untuk beradaptasi dan memastikan pencatatan omzet mereka rapi.

Langkah ke Depan bagi UMKM

• Konsolidasi Data Omzet: Penting bagi UMKM untuk mencatat semua penjualan dari berbagai platform digital ke dalam satu sistem pembukuan terpusat. Ini krusial untuk perhitungan PPh Final 0,5% dan untuk melacak status peredaran bruto terhadap batas Rp500 juta.

• Pahami Batas Omzet dan Laporkan: Jika omzet Anda mendekati atau melebihi Rp500 juta, segera siapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda (Pajak Penghasilan Umum) dan pertimbangkan bantuan akuntan. Pastikan untuk menyampaikan surat pernyataan yang sesuai kepada platform.

• Manfaatkan Fitur Platform: Beberapa platform e-commerce dan aplikasi pembayaran digital mulai menyediakan fitur laporan transaksi yang dapat mempermudah perhitungan pajak. Manfaatkan fitur ini semaksimal mungkin.

• Pantau Informasi Resmi DJP: Tetaplah aktif mencari informasi terbaru dari situs web pajak.go.id, media sosial resmi DJP, atau konsultasi ke KPP terdekat mengenai insentif atau program keringanan pajak yang sedang berlaku.

Dengan pemahaman yang baik tentang PMK 37 Tahun 2025, UMKM dapat beroperasi dengan lebih tenang dan patuh dalam lingkungan ekonomi digital yang terus berkembang. Regulasi ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih terstruktur dan adil bagi semua pelaku ekonomi.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

en_US