
Modernisasi dalam sistem perpajakan seharusnya menjadi solusi untuk menutup jurang kepatuhan antara wajib pajak dan pemerintah, bukan justru memperlebar kesenjangan yang sudah ada. Lebih dari sekadar penerapan teknologi digital, Core Tax System (CTS) diharapkan menjadi bukti nyata kehadiran negara yang adil, inklusif, dan berpihak pada seluruh rakyatnya. Dalam konteks ini, modernisasi bukan hanya soal mengganti sistem lama dengan yang baru, melainkan juga tentang membangun kepercayaan dan memastikan bahwa setiap lapisan masyarakat dapat merasakan manfaatnya. Jika modernisasi hanya berfokus pada aspek teknologi tanpa memperhatikan kesiapan dan kebutuhan wajib pajak, maka risiko munculnya beban baru bagi masyarakat sangat besar. Oleh karena itu, pemerintah perlu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas utama dalam setiap langkah modernisasi administrasi perpajakan.
Core Tax System merupakan tonggak penting dalam sejarah reformasi perpajakan di Indonesia. Sistem ini berpotensi menjadi terobosan besar jika mampu memberikan kemudahan nyata bagi seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pelaku usaha besar hingga pelaku UMKM, bahkan individu yang baru pertama kali berinteraksi dengan sistem perpajakan. Namun, potensi tersebut hanya akan terwujud jika pemerintah benar-benar memahami tantangan di lapangan dan tidak sekadar mengejar target digitalisasi. Jika implementasi CTS hanya menambah kompleksitas tanpa solusi yang konkret, maka modernisasi ini justru akan menjadi beban baru, terutama bagi kelompok masyarakat yang belum siap secara digital maupun psikologis. Oleh karena itu, pendekatan yang inklusif dan berorientasi pada kebutuhan wajib pajak sangat diperlukan agar CTS benar-benar menjadi solusi, bukan masalah baru.
Menutup Jurang, Bukan Menambah Beban
Selain aspek kemudahan, keamanan siber juga harus menjadi prioritas utama dalam implementasi CTS. Tidak ada artinya sistem secanggih apa pun jika kepercayaan publik runtuh akibat kebocoran data atau penyalahgunaan informasi pribadi. Dalam era digital, ancaman terhadap keamanan data semakin kompleks dan beragam, mulai dari serangan siber hingga potensi penyalahgunaan oleh oknum internal. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa setiap lapisan keamanan, mulai dari enkripsi data hingga audit sistem, berjalan dengan optimal. Kepercayaan publik adalah fondasi utama keberhasilan modernisasi administrasi perpajakan. Jika masyarakat merasa data mereka tidak aman, maka partisipasi dan kepatuhan pajak akan menurun drastis. Pemerintah juga perlu menyediakan mekanisme pengaduan yang responsif dan transparan, sehingga setiap insiden keamanan dapat ditangani dengan cepat dan adil.
Di sinilah letak pekerjaan rumah terbesar pemerintah. Jika CTS ingin berhasil, maka strategi pendampingan dan edukasi wajib pajak harus diperkuat secara masif dan berkelanjutan. Program literasi digital harus dirancang agar menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama UMKM dan wajib pajak yang rentan secara ekonomi maupun akses teknologi. Layanan hibrida—kombinasi antara digital dan tatap muka—tetap diperlukan selama masa transisi, agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal. Selain itu, pemerintah perlu merumuskan perlindungan hukum yang jelas bagi wajib pajak yang terdampak gangguan teknis, sehingga mereka tidak dirugikan akibat masalah di luar kendali mereka. Dengan demikian, modernisasi administrasi perpajakan dapat berjalan secara inklusif dan berkeadilan.
Modernisasi administrasi perpajakan memang tidak bisa dihindari di era globalisasi dan digitalisasi saat ini. Negara membutuhkan sistem yang kuat, transparan, dan efisien untuk menopang penerimaan negara yang semakin kompleks. Namun, yang sering terlupakan adalah aspek inklusivitas dan kesiapan masyarakat. Modernisasi bukan hanya soal kecanggihan teknologi, melainkan juga soal kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dan mengikuti perubahan tersebut. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan sebagian kelompok, tetapi juga memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.
Modernisasi Harus Membumi
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi CTS adalah integrasi data pribadi, seperti penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Integrasi ini memang dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi, namun juga membawa risiko kebocoran data yang lebih besar. Jika terjadi gangguan teknis, seperti sistem down saat pelaporan pajak, maka wajib pajak yang sudah beritikad baik bisa saja terkena sanksi administratif akibat masalah di luar kendali mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus menyiapkan mekanisme mitigasi risiko yang jelas dan adil, serta memastikan bahwa perlindungan data pribadi menjadi prioritas utama dalam setiap pengembangan sistem.
Kesiapan wajib pajak juga menjadi faktor kunci dalam keberhasilan modernisasi ini. Hingga pertengahan 2023, baru sekitar 63 ribu orang yang mengikuti program edukasi awal CTS—angka yang sangat kecil dibanding target puluhan juta wajib pajak. Bagi pelaku UMKM, pedagang pasar, atau petani, sistem digital bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga beban psikologis. Banyak yang mengeluhkan kesulitan login, kebingungan mengisi formulir, hingga frustrasi dengan tampilan sistem yang dianggap tidak ramah pengguna. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan terhadap sistem, serta menyediakan layanan bantuan yang mudah diakses oleh seluruh wajib pajak.
Literasi digital juga menjadi tantangan tersendiri. Survei nasional mencatat bahwa pengguna internet Indonesia sudah mencapai lebih dari 79% populasi, sekitar 221 juta orang. Namun, kualitas akses internet tidak merata di seluruh wilayah. Di kota-kota besar, akses internet relatif cepat dan stabil, sementara di desa dan daerah terpencil, banyak warga yang masih kesulitan mendapatkan sinyal. Bahkan jika internet tersedia, tidak semua wajib pajak terbiasa menggunakan aplikasi digital untuk keperluan administrasi. Pemerintah harus memastikan bahwa infrastruktur digital merata dan program literasi digital berjalan efektif, agar tidak ada kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses modernisasi ini.
Kenyataan di Lapangan
Jika proses transisi ke CTS berjalan mulus, modernisasi ini akan membawa banyak manfaat bagi wajib pajak dan negara. Wajib pajak dapat memantau profil dan riwayat perpajakannya secara mandiri tanpa harus bolak-balik ke kantor pajak. Interaksi tatap muka yang rawan “biaya siluman” dapat ditekan, sehingga transparansi dan akuntabilitas meningkat. Selain itu, penerimaan negara berpotensi meningkat melalui basis data yang lebih rapi dan akurat. Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak seindah presentasi PowerPoint pejabat pemerintah. Banyak kendala teknis dan non-teknis yang harus dihadapi, mulai dari infrastruktur yang belum memadai hingga resistensi dari masyarakat yang belum siap beradaptasi dengan sistem baru.
Pemerintah menargetkan peningkatan cakupan administrasi pajak secara signifikan—dari sekitar 33 juta wajib pajak menjadi hampir 70 juta. Sistem baru ini juga akan mengelola volume data yang sangat besar, seperti jumlah dokumen e-faktur yang melonjak ratusan juta dalam beberapa tahun terakhir. Semua data tersebut kini akan diproses dalam CTS, sehingga diperlukan sistem yang benar-benar andal dan skalabel. Pemerintah harus memastikan bahwa sistem mampu menangani lonjakan data tanpa mengorbankan kecepatan dan akurasi pelayanan.
CTS digadang-gadang akan menjadi “otak” baru administrasi pajak Indonesia. Dengan satu sistem terpadu, data wajib pajak dapat diakses lebih mudah, transparansi meningkat, dan potensi manipulasi administrasi dapat ditekan. Salah satu terobosan besar adalah penggunaan NIK sebagai NPWP, yang secara otomatis menghubungkan setiap warga negara dengan sistem perpajakan. Namun, keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur, kualitas sumber daya manusia, dan komitmen pemerintah untuk terus melakukan evaluasi dan perbaikan.
Janji Modernisasi
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi meluncurkan Core Tax System (CTS) sebagai bagian dari reformasi besar administrasi perpajakan. Pemerintah menyebutnya sebagai lompatan menuju masa depan perpajakan digital. Semua proses—mulai dari registrasi, pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan—dijanjikan akan lebih cepat, efisien, dan terintegrasi. Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah modernisasi ini benar-benar memudahkan wajib pajak, atau justru menambah kerumitan baru di lapangan? Jawaban atas pertanyaan ini sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk terus mendengarkan aspirasi masyarakat, melakukan evaluasi berkelanjutan, dan memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.
Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan
Jemmi Sutiono
Email: jemmi.sutiono@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis