Tax Ratio dan Kapasitas Fiskal Indonesia: Analisis Teoretisatas Tantangan Reformasi Pajak di Era Menteri Purbaya

(Foto: DOK. pribadi)

Dalam literatur ekonomi publik, tax ratio sering dipandangsebagai cermin kapasitas fiskal suatu negara. Musgrave (1959) dalam Theory of Public Finance menyebutkan bahwa pajaktidak hanya berfungsi sebagai instrumen penerimaan, tetapi juga sebagai sarana distribusi dan stabilisasi. Oleh karena itu, rendahnya tax ratio sebuah negara menandakan keterbatasandalam menjalankan fungsi-fungsi dasar fiskal.

Indonesia dalam hal ini menghadapi tantangan serius. Selamalebih dari satu dekade, tax ratio Indonesia terjebak di kisaran 9–10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, rata-rata negara ASEAN mampu mencapai 13–15 persen, sementarastandar negara maju dalam kelompok OECD melampaui 25 persen. Rendahnya angka tersebut menimbulkan konsekuensiserius: ruang fiskal terbatas, pembangunan infrastruktur tergantung pada utang, dan kemampuan menghadapi guncanganeksternal menjadi rapuh.

Fenomena ini dapat dijelaskan dengan konsep tax effort gap (Tanzi & Zee, 2000), yaitu jarak antara kapasitas optimal pemungutan pajak dan realisasi aktual. Gap yang besarmenunjukkan lemahnya instrumen kebijakan, administrasi pajak, maupun kepatuhan wajib pajak. Tax ratio Indonesia yang rendah tidak berarti basis pajak kecil, melainkan adanyakelemahan struktural dalam mengonversi potensi menjadi penerimaan negara.

Dengan dilantiknya Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, publik menaruh harapan baru. Figur ekonom yang dikenal pragmatis iniditantang untuk tidak sekadar mempertahankan status quo, melainkan menghadirkan reformasi fiskal yang berani. Tantangan utamanya bukan hanya administratif, melainkan juga politis: berhadapan dengan kepentingan industri besar, resistensi masyarakat, hingga keterbatasan institusional di DirektoratJenderal Pajak.

Dalam kerangka akademik, permasalahan tax ratio ini perludianalisis dari tiga perspektif utama: pertama, potensipenerimaan pajak yang luas tetapi belum tergali; kedua, kepatuhan wajib pajak yang masih lemah; dan ketiga, keberanian kebijakan fiskal yang menjadi faktor pembedaapakah reformasi akan substantif atau sekadar retorika. Artikel ini akan menyoroti terutama aspek potensi dan kebijakan, sebagai dua pilar yang paling menentukan keberhasilanreformasi pajak di era Purbaya.

Potensi Penerimaan Pajak

Secara teori, tax potential merujuk pada besarnya penerimaanpajak yang dapat dihimpun jika seluruh basis pajak dikenakansesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bird (2008) menekankan bahwa negara berkembang sering memiliki tax potential yang besar tetapi terhalang oleh administrasi yang lemah dan sektorinformal yang dominan. Kondisi ini sangat relevan denganIndonesia.

Pertama, sektor ekonomi digital. Perkembangan e-commerce, fintech, dan layanan daring lintas negara telah menciptakan transaksi bernilai ratusan miliar dolar. Namun, kontribusi sektorini terhadap pajak relatif kecil. Menurut teori fiscal innovation, sistem pajak harus mampu beradaptasi terhadap transformasistruktur ekonomi. Tantangan utamanya adalah bagaimana menarik pajak dari transaksi lintas batas yang sering kali memanfaatkan celah yurisdiksi. Pengenaan PPN digital pada platform global adalah langkah awal, tetapi masih terbatas. Ribuan merchant lokal dan pelaku UMKM digital belum masuk sistem secara optimal.

Kedua, sektor UMKM. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa lebih dari 65 juta unit usaha tergolong UMKM. Namun, hanya sebagian kecil yang terdaftar sebagai wajib pajak, dan lebih sedikit lagi yang membayar pajak secara material sesuai omzet. Torgler (2007) menjelaskan bahwakepatuhan UMKM lebih banyak ditentukan oleh tax morale kepercayaan terhadap pemerintah dan persepsi keadilan ketimbang tarif pajak. Artinya, meski ada skema PPh Final 0,5 persen, kepatuhan masih rendah karena legitimasi fiskal belumsepenuhnya terbentuk.

Ketiga, sektor sumber daya alam (SDA). Indonesia adalahpengekspor utama batu bara, nikel, dan CPO. Namun, kontribusi pajak dari sektor ini sering kali tidak proporsional dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Praktik transfer pricing, profit shifting, dan under-invoicing masih marak. OECD melaluiinisiatif BEPS (2013) menegaskan bahwa tanpa kerja samainternasional, negara berkembang akan terus kehilangan potensi pajak dari sektor ekstraktif.

Selain itu, terdapat potensi besar dari high net worth individual (HNWI) yang belum tergali. Literasi keuangan yang rendah dan ketiadaan sistem pengawasan aset yang efektif membuat banyak kekayaan tidak tercatat dalam sistem pajak. Program tax amnesty memang sempat meningkatkan penerimaan, tetapi keberlanjutannya dipertanyakan jika tidak dibarengi dengan pengawasan aset lintas negara.

Dengan demikian, potensi penerimaan pajak Indonesia sangat besar, tetapi belum terkonversi karena kelemahan struktural dalam administrasi, pengawasan, dan legitimasi fiskal. Tanpalangkah terobosan, potensi ini akan tetap menjadi “angka di ataskertas” yang tidak memberi dampak nyata pada tax ratio.

Keberanian Menentukan Kebijakan

Literatur ekonomi politik fiskal menekankan bahwakeberhasilan reformasi perpajakan ditentukan bukan hanya oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh political will. Mahon (2004) menegaskan bahwa reformasi pajak di negara berkembang kerapgagal karena ketidak seimbangan antara kapasitas institusionaldan keberanian politik.

Salah satu contoh konkret adalah insentif fiskal. Selama bertahun-tahun, Indonesia memberikan tax holiday dan tax allowance untuk mendorong investasi. Namun, penelitian oleh Zee, Stotsky, dan Ley (2002) menunjukkan bahwa insentif fiskaldi negara berkembang cenderung tidak efektif, bahkan mengurangi kapasitas fiskal jangka panjang. 

Di era Purbaya, keberanian kebijakan akan diuji pada keputusan untuk mengevaluasi, memangkas, atau bahkan menghapus insentifyang tidak produktif.

Selain itu, ada isu perluasan basis pajak ke sektor informal. Selama ini sektor ini dianggap terlalu sensitif untuk disentuh karena melibatkan jutaan pelaku usaha kecil. Namun, literatur seperti Schneider & Enste (2000) menegaskan bahwa sektorinformal tidak bisa diabaikan. Pendekatan yang tepat bukandengan represif, tetapi dengan memberikan insentif formalitas, simplifikasi administrasi, dan integrasi dengan sistem keuangan. Jika Purbaya berani mengambil langkah ini, tax ratio bisaterdongkrak signifikan.

Isu lain yang memerlukan keberanian adalah pajak lingkungan. Stern (2007) menyebut pajak karbon sebagai instrumen vital untuk menginternalisasi eksternalitas negatif perubahan iklim. Di Indonesia, wacana pajak karbon telah muncul sejak 2021, tetapi implementasinya selalu tertunda. Alasan utamanya adalah resistensi industri dan kekhawatiran terhadap daya saing. Di titikini, Purbaya dituntut berani mengambil keputusan yang tidakpopuler demi keberlanjutan fiskal dan lingkungan.

Keberanian juga dibutuhkan untuk mendorong revisi UU KUP dan memperkuat instrumen hukum perpajakan. Tanpa kerangkahukum yang jelas, DJP akan kesulitan menindak praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi. Artinya, keberaniankebijakan bukan sekadar retorika, tetapi melibatkan konsistensipolitik untuk mengesahkan regulasi yang memperkuat kapasitasnegara.

Singkatnya, keberanian menentukan kebijakan akanmembedakan apakah Purbaya sekadar menjadi manajer fiskalatau pemimpin fiskal. Manajer fiskal mungkin bisa menjagastabilitas jangka pendek, tetapi hanya pemimpin fiskal yang berani mengambil risiko politik yang mampu meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan.

Kesimpulan

Dari perspektif akademik, tax ratio Indonesia adalah refleksidari tax effort gap yang besar. Potensi penerimaan ada di mana-mana: ekonomi digital, UMKM, SDA, hingga HNWI. Namun, kelemahan administrasi, rendahnya kepatuhan, dan ketidakberanian kebijakan membuat potensi itu tidak terkonversi menjadi penerimaan.

Musgrave (1959) sudah lama menekankan bahwa pajak adalahinstrumen utama negara dalam menjalankan fungsi fiskal. Tanzi& Zee (2000) menambahkan, negara berkembang akan selalutertinggal jika tidak mampu meningkatkan tax effort. 

Dalam konteks ini, tugas Purbaya bukan hanya mengejar target angka, tetapi membangun kapasitas fiskal jangka panjang.

Jika Purbaya mampu memperluas basis pajak, menutup celah penghindaran, dan berani mengevaluasi insentif tidak produktif, tax ratio Indonesia bisa meningkat secara signifikan. Sebaliknya, jika reformasi hanya berhenti pada retorika, maka Indonesia akan terus terjebak dalam “jebakan tax ratio rendah” yang melemahkan kemandirian fiskal.

Bagi profesi konsultan pajak, tantangan ini membuka peluanguntuk memainkan peran strategis. Konsultan bukan sekadarpenyedia jasa administrasi, tetapi aktor penting dalammembangun tax compliance culture dan menjadi jembatan antara wajib pajak dan negara. Dengan dukungan profesi, reformasi pajak bisa lebih efektif dan kredibel.

Kesimpulannya, peningkatan tax ratio Indonesia bergantung pada tiga pilar: potensi yang tergali, kepatuhan yang terbangun, dan keberanian kebijakan. Tanpa kombinasi ketiganya, tax ratio akan tetap menjadi “PR abadi” fiskal Indonesia. Namun, jika era Purbaya mampu menjawab tantangan ini, maka Indonesia bisamelangkah menuju kemandirian fiskal yang lebih kokoh, berkelanjutan, dan berkeadilan.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi, Dosen Universitas Nasional dan Mahasiswa Doktoral Universitas Brawijaya

M. Abdul Rahman

Email: rahmanmuhammadabdul@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US