Pajak Berlapis Bikin Produk Hilirisasi RI Kalah Saing, Pemerintah Siapkan Insentif

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Todotua Pasaribu, menyoroti lemahnya daya saing produk hilirisasi Indonesia di pasar global. Salah satu contoh yang ia angkat adalah solder timah. Ironisnya, meski bahan baku timah berasal dari tambang Indonesia dan sudah diolah di smelter lokal, harga solder dalam negeri justru lebih mahal dibanding produk impor dari Malaysia.

Menurut Todotua, akar persoalan ini terletak pada pajak berlapis yang dikenakan di setiap tahapan produksi. “Setiap layer dipajaki. Begitu dihitung, ternyata harga solder produksi Indonesia lebih tinggi daripada produk Malaysia. Padahal Malaysia bahan bakunya impor dari kita. Ini kan jadi lucu,” ujarnya dalam Indonesia Green Mineral Investment Forum 2025 di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

Kondisi tersebut membuat produk solder asal Malaysia lebih kompetitif di pasar, sementara Indonesia justru tersisih. Karena itu, Todotua menegaskan perlunya perbaikan strategi fiskal agar hilirisasi tidak sekadar jargon, melainkan benar-benar memberi nilai tambah bagi ekonomi nasional.

Sebagai langkah konkret, BKPM tengah membahas insentif fiskal bersama Kementerian Keuangan. Insentif yang disiapkan mencakup tax holiday, tax allowance, hingga super tax deduction bagi perusahaan yang membangun pusat penelitian dan pengembangan (R&D). “Kementerian Investasi sudah siapkan konsepnya. Kita mau pastikan industri di Indonesia punya daya saing, tidak kalah dengan negara tetangga,” kata Todotua.

Selain beban pajak, ia juga menyinggung birokrasi yang kerap memperlambat investasi. Saat ini, siklus investasi di Indonesia bisa memakan waktu 4–5 tahun, dengan dua tahun di antaranya hanya untuk mengurus izin. Bandingkan dengan Vietnam yang hanya butuh sekitar dua tahun. “Vietnam lebih gesit, kapan mau bangun ya langsung bangun. Ini PR besar bagi kita,” tegasnya.

Untuk memangkas hambatan tersebut, Kementerian Investasi mendorong penerapan skema fiktif positif. Dengan mekanisme ini, izin yang sudah memenuhi syarat akan otomatis disetujui jika kementerian teknis tidak memberikan keputusan dalam batas waktu tertentu. “Misalnya izin hotel, 28 hari sudah bisa langsung bangun. Persyaratan dasar tetap ada, hanya saja dibuat pascabayar,” jelasnya.

Todotua menekankan bahwa hilirisasi seharusnya menjadi kekuatan utama Indonesia. Namun tanpa pembenahan fiskal dan birokrasi, produk dalam negeri akan terus kalah bersaing bahkan di pasar domestik sendiri. “Kita punya sumber daya alam, punya smelter, bahkan punya pasar. Tinggal strategi fiskal dan regulasi yang harus kita benahi agar industri kita bisa melesat,” pungkasnya. (alf)

en_US