Pakar Desak Prabowo Segera Lakukan Reformasi Fiskal, Pajak Kekayaan Jadi Sorotan

IKPI. Jakarta: Gelombang aksi demonstrasi di sejumlah daerah belakangan ini dinilai sebagai sinyal kuat bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret. Sejumlah pakar ekonomi dan kebijakan publik pun mendorong Presiden Prabowo Subianto melakukan reformasi fiskal sebagai prioritas utama.

Manajer Riset dan Pengetahuan The Prakarsa, Roby Rushandie, menekankan pentingnya penerapan pajak kekayaan bagi kelompok super kaya sebagai bentuk redistribusi.

“Reformasi yang paling mendesak adalah segera melakukan reformasi fiskal. Presiden Prabowo perlu menerapkan pajak kekayaan pada kelompok super kaya untuk menjalankan fungsi redistribusi,” ujar Roby dalam diskusi publik yang digelar secara daring, Senin (1/9/2025).

Roby juga mengingatkan agar pemerintah daerah menunda kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta menghentikan subsidi PPh Pasal 21 untuk pejabat negara maupun anggota DPR. Ia menilai anggaran negara sebaiknya dialihkan untuk memperkuat program jaminan sosial, seperti bantuan sosial tunai bagi warga miskin dan perluasan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, mengusulkan moratorium kebijakan yang menambah beban pajak masyarakat, termasuk PPN dan PBB.

“Yang kaya harus membayar pajak lebih besar agar subsidi silang berjalan. Dengan begitu fasilitas publik bagi kelompok tidak mampu bisa ditingkatkan,” ujarnya.

Esther juga mengkritisi pemotongan transfer ke daerah yang dianggap memicu lonjakan pajak. Menurutnya, realokasi anggaran nonproduktif seperti belanja pejabat, DPR, hingga militer lebih baik dialihkan untuk penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, serta riset.

Sementara itu, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menilai strategi belanja pemerintah harus direvisi agar lebih tepat sasaran. Ia menyoroti pemborosan anggaran, termasuk pembentukan lembaga baru dan fasilitas berlebih untuk pejabat publik.

“Fokus belanja negara seharusnya diarahkan pada penciptaan lapangan kerja dan memperkuat sektor padat karya yang tengah tertekan, bukan pada pos belanja yang sifatnya seremonial dan tidak produktif,” tegas Faisal.

Faisal juga mengingatkan agar pemerintah tidak sekadar mengandalkan bansos, tetapi mampu menyentuh akar persoalan kemiskinan. Selain itu, ia menyoroti potensi tekanan eksternal akibat kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS) yang bisa berdampak pada perekonomian nasional.

Dorongan berbagai pihak tersebut memperlihatkan urgensi bagi pemerintahan Presiden Prabowo untuk mengambil langkah fiskal yang lebih progresif. Tujuannya bukan hanya menjaga stabilitas ekonomi, tetapi juga meredam ketidakpuasan sosial yang belakangan semakin menguat. (alf)

 

en_US