Kebijakan Pajak e-Commerce Dikritik: UMKM Dikejar, Raksasa Digital Global Dibiarkan?

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah Indonesia memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang e-commerce menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan ekonom. Kebijakan yang akan menjadikan marketplace sebagai pemungut pajak otomatis atas transaksi pedagang beromzet di atas Rp500 juta per tahun itu dinilai menyasar pelaku lokal tanpa menyentuh perusahaan teknologi global yang menguasai pangsa pasar digital nasional.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai bahwa meskipun tujuan pemerintah untuk menyederhanakan administrasi pajak dan menertibkan shadow economy patut diapresiasi, namun arah kebijakannya belum mencerminkan prinsip keadilan fiskal.

“Tujuannya bagus, meningkatkan kepatuhan dan menutup celah ekonomi gelap. Tapi pertanyaannya, kenapa hanya marketplace lokal yang dikejar? Padahal, sebagian besar pendapatan digital di Indonesia justru dinikmati oleh raksasa global seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix,” ujar Achmad, Sabtu (28/6/2025).

Ia menegaskan bahwa keadilan fiskal di era digital menuntut perlakuan setara terhadap semua pelaku, baik lokal maupun asing. Hingga kini, Indonesia hanya berhasil menarik PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebesar 11 persen dari perusahaan teknologi global, tanpa menyentuh laba bersih yang mereka tarik ke luar negeri.

Kanada Jadi Contoh Keberanian Fiskal

Achmad mencontohkan keberanian fiskal Kanada yang pada Juni 2024 resmi menerapkan Digital Services Tax (DST) sebesar 3 persen atas pendapatan digital perusahaan asing dengan omzet global di atas 750 juta euro dan pendapatan domestik minimal 20 juta dolar AS. DST ini berlaku surut sejak Januari 2022, menyasar pendapatan dari iklan digital, penggunaan data, dan aktivitas marketplace.

Kebijakan ini langsung memicu kemarahan Amerika Serikat. Presiden Donald Trump bahkan membekukan negosiasi dagang dengan Kanada dan menyebut DST sebagai bentuk diskriminasi terhadap perusahaan AS. Google pun menanggapi dengan mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan Kanada untuk menutupi beban pajaknya.

Namun, menurut Achmad, keberanian Kanada dalam menegakkan kedaulatan fiskal perlu menjadi inspirasi bagi Indonesia. “Mereka siap menanggung risiko diplomatik demi memastikan setiap sen dari revenue digital global yang berasal dari Kanada ikut berkontribusi secara adil,” ujarnya.

Indonesia Masih Main Aman

Berbeda dengan Kanada, Indonesia hingga kini masih memilih jalur aman: menunggu konsensus multilateral melalui forum OECD. Sementara itu, reformasi domestik difokuskan pada PPN PMSE dan skema PPh 22 untuk pelaku marketplace lokal.

Achmad menilai pendekatan ini terlalu berhati-hati. “Tanpa kebijakan unilateral seperti DST, Indonesia akan terus berada di posisi lemah. Kita hanya jadi pasar, tapi tak mendapatkan kontribusi fiskal yang proporsional,” jelasnya.

Ia menambahkan, pendapatan iklan digital yang dominan dinikmati oleh Google dan Meta, penjualan aplikasi dan layanan Apple, serta cloud computing milik Amazon, semuanya mengalir deras ke luar negeri tanpa dipotong pajak penghasilan.

Perlu Kerangka DST Nasional

Achmad mengakui bahwa skema PPh 22 e-commerce merupakan langkah awal yang baik untuk mengatasi shadow economy domestik. Namun, jika tidak dibarengi dengan strategi fiskal yang menyasar raksasa global, maka pelaku UMKM lokal justru akan merasa menjadi korban ketimpangan.

“Jika ini terus berlangsung, UMKM lokal akan merasa diperas oleh negaranya sendiri, sementara perusahaan asing bisa bebas mengekstraksi nilai ekonomi Indonesia tanpa kewajiban pajak,” ujarnya tegas.

Ia mendorong pemerintah untuk mulai merancang kerangka DST nasional jika pembahasan OECD terus mandek. “Keberanian fiskal harus seimbang dengan diplomasi fiskal. Kalau tidak, kita hanya akan menonton kekayaan digital menguap tanpa bekas ke luar negeri,” pungkas Achmad. (alf)

 

 

 

 

 

en_US